cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan
ISSN : 2087295X     EISSN : 26142813     DOI : -
Core Subject : Social,
Negara Hukum is a journal containing various documents, analyzes, studies, and research reports in the field of law. Jurnal Negara Hukum has been published since 2010 and frequently published twice a year.
Arjuna Subject : -
Articles 223 Documents
PENGUATAN LEMBAGA ADAT SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Nikolas Simanjuntak
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 4, No 1 (2013)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v4i1.195

Abstract

The legacy of postcolonial scholars has preserved the meaning of traditional law based on genealogical and territorial intimate relationship. Spreading at local various tribes in more than 200 kinds of unique tradition within the archipelago along this country, each of the society has separately developed their traditional law with its particular court institution, from splendid isolation rural area context into Indonesian modern era of urban migran open society. Alternative Dispute Resolution thereof has been promulgated as the Law number 30 of 1999. It was prepared during the Indonesian multicrisis at the beginning of reformation era. Much more expectation is borne in cutting the sophisticated multifaceted off the implications practices to the private legal proceeding. This paper intends to elaborate the picturesque of traditional court institution, could it be empowered into practice for alternative dispute resolution within the prevailing recent law. It may affect the pursuant of restorative justice concept, combining traditional isolation context during the ancient rural area within the open society in modern global context.ABSTRAKPara sarjana post-kolonial kita telah mewariskan pengetahuan mengenai hukum adat yang bersendikan pada dasar hubungan kesedarahan (genealogis) dan kedaerahan (territorial). Dari mereka itu kita ketahui ada lebih dari 200an hukum adat yang khas tersebar di seantero wilayah nusantara, yang kemudian masing-masing adat itu secara terpisah berkembang lagi dengan hukumnya dan lembaga pengadilan adat yang khusus, baik yang berada dalam situasi wilayah yang tertutup rapat di daerah pedesaan maupun di wilayah yang terbuka dalam konteks modern sebagai masyarakat perantau di perkotaan (urban migran).Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan telah diberlakukan dengan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang sebelumnya dipersiapkan pada masa-masa awal terjadinya multi-krisis Indonesia menuju era reformasi. Dengan Undang-undang itu diharapkan banyak hal akan dapat diselesaikan untuk memotong rantai rumitnya kompleksitas soal di dalam praktik pelaksanaan hukum acara yang selama ini terjadi. Makalah ini bermaksud menyajikan gambaran apa adanya mengenai lembaga hukum adat, apakah itu bisa dikembangkan dengan penguatan yang menjadi praktik penyelesaian sengketa di luar pengadilan menurut hukum yang berlaku saat ini. Bahkan mungkin pula dengan itu diharapkan, apakah bisa digunakan untuk mencapai pelaksanaan konsep hukum restoratif yang berkeadilan, yakni dengan menerapkan kombinasi hukum adat dalam situasi masyarakat pedesaan yang tertutup di masa lalu, ke arah konteks masyarakat yang terbuka di era global modern masa kini.
Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (Reconstruction Of The Hierarchy Of Legislation In Indonesia) Zaka Firma Aditya; Muhammad Reza Winata
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1383.103 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v9i1.976

Abstract

The hierarchy of legislation in Indonesia has been amended 4 (four) times, but still contains juridical issues. The most common problems are related to the overlapping of existing rules. Law Number 12 Year 2011 as the guidance of hierarchy of legislation which is considered to improve the probability in the previous law, was also experiencing the same problem. Some of the problems contained in Law 12/2011 are related to the reposition of the People's Consultative Assembly decree (MPR's decree), the unclear position of the ministerial regulations, the state organs regulations, and local regulations of village. Even, as well as the content of the presidential regulation that is considered to be the same as the government regulation. This paper will discuss about (1) the legal historis and legal policy of the hierarchy of legislation in Indonesia and its problems; (2) the reconstruction of the hierarchy of legislation in Indonesia. The results of this paper that the establishment of a hierarchy of legislation in Indonesia has each political law in accordance with the regime at the time. Each hierarchy has its own problems, although the original aim is to discipline and correct the ambiguity of the previous legislation. Thus, the reconstruction of the hierarchy of legislation is important to ensure consistency and harmony of norms at various levels of legislation. The reconstruction in question is to rearrange the hierarchy of legislation by distinguishing between the legislation in the central and regional levels. AbstrakHierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diubah sebanyak 4 (empat) kali, namun masih mengandung permasalahan-permasalahan yuridis di dalamnya. Permasalahan yang paling sering terjadi berkaitan dengan tumpang tindihnya aturan-aturan yang ada. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pedoman hierarki perundang-undangan yang dianggap dapat mengatasi masalah dalam undang-undang sebelumnya, namun juga mengalami masalah yang sama. Beberapa problematika yang ada dalam UU No. 12 Tahun 2011 berkaitan dengan dikembalikannya kedudukan ketetapan MPR, tidak tegasnya kedudukan peraturan menteri, kedudukan peraturan lembaga negara, dan peraturan desa, serta materi muatan peraturan presiden yang dianggap sama dengan peraturan pemerintah. Tulisan ini akan membahas mengenai (1) legal historis dan politik hukum hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia beserta permasalahan-permasalahnnya; dan (2) rekonstruksi hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun hasil penulisan ini bahwa pembentukan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki politik hukum masing-masing sesuai dengan rezim pemerintahan pada saat itu. Setiap hierarki memiliki problematikanya masing-masing, meskipun tujuan awalnya sama yaitu untuk menertibkan dan memperbaiki kerancuan dari peraturan sebelumnya, sehingga rekonstruksi hierarki peraturan perundang-undangan penting dilakukan agar menjamin konsistensi dan keselarasan norma-norma pada berbagai tingkatan peraturan perundang-undangan. Adapun rekonstruksi yang dimaksud adalah dengan menata kembali hierarki peraturan perundang-undangan dengan membedakannya antara peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan tingkat daerah.
Implikasi Yuridis Putusan Judicial Review UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan Shanti Dwi Kartika
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 1, No 1 (2010)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v1i1.276

Abstract

The Constitutional Court verdict Number 11-12-21-126-136/PUU-VII/2009, dated March 31st, 2010, related to judicial review of Law Number 9 in 2009 on Educational Legal Entity, granted the request of the applicant for the most part. One of the ruling of the Constitutional Court stated that Law Number 9 of 2009 on Educational Legal Entity contrary to the State Constitution of the Indonesia Republic 1945 and has no binding legal force. The Constitutional Court verdict brings implications on education in Indonesia. This essay analyzes the juridical implications of The Constitutional Court verdict Number 11-12-21-126-136/PUU-VII/2009. Juridical implications of the verdict related to the existence of a legal vacuum (rechtvacuum) and the implementation levels of education. Juridical implications influence legislation governing the management and implementation of education, especially the education unit of goverrnance. Therefore, it is necessary immediately to establish a law as a substitute for The Law of Educational Legal Entitiy and do a redesign for the conductor of the educational unit.
PRINSIP DAN STANDAR HAK ASASI MANUSIA DALAM PENGAMANAN UNJUK RASA (PRINCIPLES AND STANDARDS OF HUMAN RIGHTS IN SECURING PROTEST) Prianter Jaya Hairi
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 3, No 1 (2012)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v3i1.227

Abstract

In the act of securing protest, police force has obligation to respect the principles and standards of human rights. This study specifically examining about that and also researching about the implementation of that principles and standards on the field. One of the conclusion from the research are that the principles and standards of human rights that has to be respected by the police force when securing protest interalia: freedom of expression principles, the principles in Code of Conduct for Law Enforcement Officials, and the Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials 1980.ABSTRAKDalam mengamankan unjuk rasa, kepolisian memiliki kewajiban untuk menghormati standar dan prinsip HAM. Kajian ini secara khusus membahas mengenai hal itu dan juga menelusuri tentang bagaimana pelaksanaan prinsip dan standar tersebut dalam praktiknya dilapangan. Salah satu kesimpulan dari kajian ini adalah bahwa prinsip dan standar HAM yang wajib dihormati oleh aparat kepolisian terkait pengamanan aksi unjuk rasa, antara lain yaitu: Prinsip kebebasan berpendapat, Prinsip-prinsip yang tertera dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 34/169 tentang Ketentuan Berperilaku bagi Penegak Hukum, serta Prinsip-prinsip Dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum Tahun 1980.
The Legislative Role in The Budgeting Process in Indonesia (Peran Badan Legislatif Dalam Proses Penganggaran Negara Di Indonesia) mei susanto
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 2 (2018): JNH VOL 9 NO. 2 November 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (755.996 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v9i2.954

Abstract

In the budgeting process, generally accepted the executive has a role in drafting the state budget and then presenting it to the legislature. The legislative bodies have the right to discuss, debate, and even in some cases make amend, then give approval or rejection of the executive's state budget proposal. The right of the legislative bodies in practice will different, there are three forms: budget making, capacity to amend or reject the executive’s budget proposal and capacity to formulate a budget of its own; budget influencing, capacity to amend or reject the executive's budget proposal, but lacks the capacity to formulate and substitute budget of its own; budget approving, lacks the capacity to amend or reject the executive's budget proposal or to formulate a budget of its own. This article discusses the role of Indonesian legislative bodies namely the House of Representatives (DPR) and the Regional Representative Council (DPD) in the budgeting process. DPR has a strong role in discussing, amend and accepting or rejecting but weak in the capacity to arrange its own budget so-called budget influence, compared DPD which only gives a consideration so-called budget approving. This article suggests a strong and balanced repositioning of the DPR and DPD roles, thereby creating double checks, budget revisions, delays in constitutional important, public debate and resulting in a favorable budget for the people. In addition, it is necessary to strengthen the capacity and supporting resources for the DPR and DPD in order to be equivalent to the executive in budget discussions so as to become the legislative budget making.AbstrakSaat ini, hampir di seluruh sistem ketatanegaraan di berbagai negara, secara umum disepakati bahwa lembaga eksekutif memiliki peran fundamental dalam menyusun draf anggaran negara untuk kemudian dipresentasikan kepada lembaga legislatif. Lembaga legislatif kemudian memiliki hak untuk membahas, memperdebatkan, dan dalam beberapa kasus melakukan perubahan, untuk kemudian memberikan persetujuan atau penolakan terhadap proposal anggaran dari lembaga eksekutif. Hak lembaga legislatif tersebut, dalam praktiknya akan berbeda-beda. Secara umum terdapat tiga bentuk hak lembaga legislatif di antaranya: budget making, legislatif memiliki kapasitas untuk menerima atau menolak proposal anggaran dari eksekutif serta memiliki kemampuan memformulasikan anggaran secara sendiri; budget influencing, legislatif memiliki kapasitas menerima atau menolak proposal anggaran dari eksekutif namun lemah dalam memformulasikan anggaran secara sendiri; dan budget approving, legislatif tidak memiliki kapasitas menerima atau menolak proposal anggaran dari eksekutif termasuk memformulasikan anggaran secara sendiri. Artikel ini membahas peran lembaga legislatif Indonesia yaitu DPR dan DPD dalam proses penganggaran. DPR memiliki peran kuat yakni membahas, mengubah, dan menerima atau menolak namun lemah dalam kapasitas menyusun anggarannya sendiri sehingga disebut budget influencing, dibandingkan DPD yang hanya memberikan pertimbangan sehingga disebut budget approving. Artikel ini menyarankan agar ada reposisi peran DPR dan DPD yang lebih kuat dan berimbang, sehingga akan dapat menciptakan pengawasan ganda, revisi penganggaran yang diperlukan, penundaan anggaran yang memiliki kepentingan konstitusi, debat publik, dan menghasilkan anggaran yang berpihak pada rakyat. Selain itu, diperlukan penguatan kapasitas dan sumber daya pendukung bagi DPR dan DPD agar dapat setara dengan eksekutif dalam pembahasan anggaran sehingga mampu menjadi lembaga legislatif pembentuk anggaran (budget making).  
UPAYA PELINDUNGAN HUKUM SECARA TERPADU BAGI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) (INTEGRATED LEGAL PROTECTION FOR MIGRANT WORKERS) Luthvi Febryka Nola
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 7, No 1 (2016): JNH VOL 7 NO. 1 Tahun 2016
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v7i1.949

Abstract

Various products of legislation including Regional Regulations has regulated legal protection for migrant workers since 1945. But, the number of problematic migrant workers has showed no significant reduction in the past decade. Such condition is caused by numerous factors affecting the enforcement process in providing protection for migrant workers such as legal framework, infrastruture and culture. This kind of problem may be overcome if law enforcement apparatus can work well. It required an integrated protection system in the legislation relating to the protection of migrant workers. The protection system is done through a system of integrated services and integrated protection concept should be formulated in the revised Law on Migrant workers who are currently being discussed in the House of Representatives. Abstrak Berbagai produk perundang-undangan telah mengatur adanya pelindungan hukum bagi TKI mulai dari UUD 1945 sampai dengan Peraturan Daerah. Namun jumlah TKI bermasalah dalam satu dekade terakhir tidak menunjukkan angka penurunan yang berarti. Kondisi ini disebabkan begitu banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum terkait dengan pelindungan TKI baik dari hukum itu sendiri, sarana dan prasarana, maupun budaya. Permasalahan tersebut dapat diatasi apabila aparat penegak hukum dapat bekerja dengan baik. Untuk itu diperlukan adanya suatu sistem pelindungan secara terpadu dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pelindungan TKI. Sistem pelindungan tersebut dilakukan melalui sistem pelayanan terpadu dan konsep pelindungan terpadu hendaknya dituangkan dalam revisi UU TKI yang saat ini sedang dilakukan pembahasan di DPR.
MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN MENGHENTIKAN PRAKTEK HUKUM LIBERAL Novianto Hantoro
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 6, No 2 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v6i2.250

Abstract

One crucial issue in the discussion of the Law on Election of Governor, Regent, and Mayor is which court should be authorized to decide disputes against the results of the vote count. Both, Supreme Court (MA) and Constitutional Court (MK), are ever exercise these powers, but in practice many problems occured, such as uncertainty of the law and rise of liberal law practice. This paper does not analyze the institutional problems, but how to realize the certainty of law and stop the practice of liberal laws. As a framework, put forward the three objectives of the law, namely certainty, fairness, and usefulness. In case of tension of these three objectives, there needs to be a priority. The next frame is the phenomenon of liberal law based on Satjipto Rahardjo’s thought, which is law became a game and business. The next framework is a dispute over the results of vote counting. By paying attention to court decisions over the years, then to obtain legal certainty, it should be strict restriction that the object of the dispute is the result of the vote counting, not the election process. Implementation of these restrictions must be adhered to by the contestans, lawyers, and judges. This restriction also needs to be balanced with the improvement of the electoral process as democratic as possible and all the problems thoroughly at every stage. With such arrangement, certainty of law will be achieved and the rise of liberal law practice will be discontinued. The court process becomes more simple, effective, and inexpensive. ABSTRAKSalah satu persoalan krusial dalam pembahasan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yaitu lembaga yang berwenang memutus perselisihan terhadap hasil penghitungan suara. Selama ini Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) pernah melaksanakan kewenangan tersebut, namun pada prakteknya banyak terjadi permasalahan yang berujung pada ketidakpastian hukum dan maraknya praktek hukum liberal. Tulisan ini tidak menganalisis masalah kelembagaan, namun bagaimana mewujudkan kepastian hukum dan menghentikan praktek hukum liberal dalam penyelesaian perselisihan hasil penghitungan suara. Sebagai kerangka pemikiran dikemukakan adanya tiga tujuan hukum, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, yang apabila terjadi ketegangan perlu ada prioritas. Kerangka berpikir berikutnya adanya fenomena hukum liberal berdasarkan pemikiran Satjipto Rahardjo yang menyatakan hukum menjadi permainan dan bisnis. Kerangka pemikiran berikutnya mengenai perselisihan hasil penghitungansuara. Dengan memperhatikan putusan-putusan pengadilan selama ini, maka untuk mendapatkan kepastian hukum perlu ada pembatasan tegas bahwa objek perselisihan adalah hasil penghitungan suara bukan proses pemilihan. Implementasi pembatasan ini harus ditaati oleh peserta, advokat, dan hakim. Pembatasan ini juga perlu diimbangi dengan perbaikan proses pemilihan sedemokratis mungkin dan semua permasalahan hukum tuntas di setiap tahapan. Dengan penataan seperti itu, kepastian hukum akan tercapai dan maraknya praktek hukum liberal akan dapat dihentikan. Proses pengadilan menjadi lebih sederhana, efektif, dan murah.
ARTI PENTING PENDAFTARAN TANAH UNTUK PERTAMA KALI Harris Yonatan Parmahan Sibuea
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 2, No 2 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v2i2.218

Abstract

This study analyzes the importance of the first time registration of the land for the owner of the land that have not been registered and the government (BPN) and also the problems that occur at this time related to the first time registration of the land for the land owners who have not been registered. The registration of the land for the first time is very important, because the parcels of the land that already registered will recieve a certificate and have the legal certainty. Today, Percentage of ownership certificates of registration of land parcels for the first time in Indonesia is still low. Whereas, people can use their land as a supporting certificate to obtain that money as collateral to obtain credit in the banking institutions as well as to reduce the space for middlemen, speculators and land manifulator. The problem in this study is what is the significance of the land registration for the first time and what issues is related to the land registration for the first time. This study is analytical descriptive with the normative juridical approach and using secondary data obtained from literature studies, studies dan references documents that have been published by the author. Secondary data systematically compiled and analyzed in a qualitative. The conclusion of this study is the systematic land registration is very expected to provide the legal certainty for the land owner that have not been registered, primarily for the middle income people.ABSTRAKPenelitian ini menganalisis pentingnya pendaftaran tanah untuk pertama kali bagi pemilik tanah yang belum terdaftar dan Pemerintah (BPN) serta permasalahan yang terjadi saat ini terkait pendaftaran tanah untuk pertama kali bagi pemilik tanah yang belum terdaftar. Pendaftaran tanah untuk pertama kali sangat penting, karena bidang tanah yang sudah terdaftar akan mendapat sertifikat serta memiliki kepastian hukum. Sekarang ini, prosentase kepemilikan sertifikat bidang tanah dari pendaftaran tanah untuk pertama kali di Indonesia masih rendah. Padahal masyarakat dapat menggunakan sertifikat tanahnya sebagai pendukung untuk memperoleh uang yakni sebagai jaminan memperoleh kredit di lembaga perbankan serta untuk mengurangi ruang gerak para tengkulak, spekulator dan manifulator tanah. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apa arti penting pendaftaran tanah untuk pertama kali serta permasalahan apa yang terjadi saat ini terkait pendaftaran tanah untuk pertama kali. Permasalahan Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif dan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan, studi dokumen serta referensi yang telah dipublikasikan oleh penulisnya. Data sekunder disusun secara sistematik dan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pendaftaran tanah sistematik yang memberikan kepastian hukum sangat diharapkan bagi pemilik bidang tanah yang belum terdaftar terutama bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah.
PENYEDERHANAAN IZIN USAHA BAGI PELAKU USAHA MIKRO DAN KECIL DARI PERSPEKTIF HUKUM: STUDI DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (SIMPLIFICATION OF BUSINESS LICENSING FOR MICRO AND SMALL INTERPRISES) Monika Suhayati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 7, No 2 (2016): JNH VOL 7 NO. 2 Tahun 2016
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v7i2.933

Abstract

Legality of micro and small enterprises (UMK) through licensing is very important for UMK to be able to access capital in expanding its business and compete with the products, goods and services from domestic and other countries. Licensing for UMK stipulated in Presidential Decree Number 98 Year 2014 regarding Licensing for Micro and Small Enterprises, is a simplified form of licensing UMK. The subject matter to be analyzed in this paper is the urgency of simplification of business licensing to business development for UMK, the implementation of the licensing of UMK in the Province of Yogyakarta, and the constraints. This problem will be analyzed using the concept of economic democracy (Article 33 of the Indonesian Constitution) and the right to work and to a decent living (Article 27 paragraph (2) of the Indonesian Constitution). In the Province of Yogyakarta, the regulation has implemented only in Bantul District and Yogyakarta City. Some constraints, not all districts has delegate the authority to grant IUMK as mandated by the regulation, lack of awareness of policy makers of the importance of IUMK, the obligation of UMK to pay 1% of turnover taxes after owning the IUMK, and the financing of publishing IUMK in the district is not budgeted yet in the budget of each district or city. As a suggestion from this study, first, Yogyakarta Provincial Government needs to socialize the IUMK to the district and the city which has not issued the regulation of regents or mayors. Secondly, the district governments need to budget financing IUMK publication in the budget of each district. Third, the need to socialize the importance of income tax payments for the development of UMK by the tax officials.ABSTRAKLegalitas usaha mikro dan kecil (UMK) melalui perizinan sangat penting bagi UMK untuk dapat mengakses permodalan dalam mengembangkan usahanya dan bersaing dengan produk barang dan jasa dari dalam dan luar negeri. Perizinan untuk UMK diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan untuk Usaha Mikro dan Kecil yang merupakan suatu bentuk penyederhanaan perizinan UMK. Pokok permasalahan yang hendak dianalisis dalam tulisan ini yaitu urgensi dari penyederhanaan perizinan usaha bagi pengembangan usaha pelaku UMK serta pelaksanaan perizinan UMK di Provinsi DIY dan kendalanya. Permasalahan ini akan dianalisis menggunakan konsep Demokrasi Ekonomi (Pasal 33 UUD Tahun 1945) dan konsep Negara Hukum Kesejahteraan. Di Provinsi DIY, Perpres IUMK baru dilaksanakan di Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta. Kendala dalam pelaksanaannya yaitu belum semua kabupaten mendelegasikan kewenangan pemberian IUMK kepada camat sebagaimana mandat Perpres IUMK, adanya kewajiban pembayaran pajak oleh UMK yang telah memiliki IUMK sebesar 1% dari omset, dan pembiayaan penerbitan IUMK di kecamatan belum teranggarkan di APBD masing-masing kabupaten/kota. Sebagai saran dari kajian ini, pertama, Pemerintah Provinsi DIY perlu melakukan sosialisasi mengenai IUMK kepada pemerintah kabupaten dan kota yang belum mengeluarkan peraturan bupati/walikota. Kedua, pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi DIY perlu menganggarkan pembiayaan penerbitan IUMK di kecamatan dalam APBD masing-masing kabupaten dan kota. Ketiga, perlu sosialisasi pentingnya pembayaran PPh untuk pengembangan usaha UMK oleh pihak aparatur pajak.
PELINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK EKONOMI PEMILIK HAK TERKAIT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA (LEGAL PROTECTION FOR THE OF ECONOMIC RIGHTS OF THE RELATED RIGHTS’ OWNER IN LAW NUMBER 28 OF 2014 ON COPYRIGHT) Monika Suhayati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 5, No 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v5i2.241

Abstract

Copyright work of Indonesian people protected by Law Number 28 year 2014 governing Copyright (Copyright Law). The Copyright Law is governing copyright and related rights. A related right is an exclusive right for performers, phonogram producers, or broadcasters. In the implementation of the previous law which is Law Number 19 year 2002 governing Copyrights, there are problems in accordance with related right’s owner, i.e. the owner of the related rights do not get the economic benefits or income in accordance with their rights as provided by law. The cause, among others, is the users of the related rights product are reluctant to pay royalties because it was billed by some collective management organizations. This problem will be studied using the progressive law theory of Satjipto Rahardjo, among others, states that the law is an institution that aims to deliver the man to a fair life, prosperous, and make people happy. In the discussion section this study gives analyses on the moral and economic rights of related rights owner is set up more fully in the Copyrigths Law than under the previous law. The Copyright Law is also already accommodating the international regulations regarding the exclusive rights of the owner of the related rights. In this case, the Copyright Law has become a progressive law, especially for the owner of the related rights. As a suggestion, in order to effective the law, the protection that has been given in the Copyright Law must be followed by law enforcement consistently by law enforcement officials in accordance with the provisions of the law.ABSTRAKIndonesia memberikan pelindungan terhadap karya cipta melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). UU Hak Cipta mengatur mengenai hak cipta dan hak terkait. Hak terkait merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga penyiaran. Dalam pelaksanaan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 terdapat permasalahan berkaitan dengan pemilik hak terkait dimana pemilik hak terkait tidak mendapatkan manfaat ekonomi atau pendapatan sesuai dengan hak yang dimiliki sebagaimana diaturdalam undang-undang. Penyebabnya antara lain pengguna produk hak terkait enggan membayarkan royalti karena merasa ditagih oleh beberapa lembaga manajemen kolektif. Permasalahan ini akan dikaji menggunakan teori hukum progresif Satjipto Rahardjo yang antara lain menyatakan hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia. Dalam bagian pembahasan diberikan analisa pengaturan hak moral dan hak ekonomi pemilik hak terkait yang telah diatur lebih lengkap dalam UU Hak Cipta dibandingkan dalam undang-undang sebelumnya. UU Hak Cipta juga telah mengakomodasi ketentuan internasional mengenai hak eksklusif pemilik hak terkait. Dalam hal ini, UU Hak Cipta telah menjadi hukum yang progresif, khususnya bagi pemilik hak terkait. Sebagai saran disampaikan untuk mengefektifkan pelaksanaan UU Hak Cipta maka pelindungan yang telah diberikan dalam UU Hak Cipta harus diikuti dengan penegakan hukum secara konsisten oleh aparat penegak hukum sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang.

Page 1 of 23 | Total Record : 223