cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan
ISSN : 2087295X     EISSN : 26142813     DOI : -
Core Subject : Social,
Negara Hukum is a journal containing various documents, analyzes, studies, and research reports in the field of law. Jurnal Negara Hukum has been published since 2010 and frequently published twice a year.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018" : 10 Documents clear
Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (Reconstruction Of The Hierarchy Of Legislation In Indonesia) Zaka Firma Aditya; Muhammad Reza Winata
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1383.103 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v9i1.976

Abstract

The hierarchy of legislation in Indonesia has been amended 4 (four) times, but still contains juridical issues. The most common problems are related to the overlapping of existing rules. Law Number 12 Year 2011 as the guidance of hierarchy of legislation which is considered to improve the probability in the previous law, was also experiencing the same problem. Some of the problems contained in Law 12/2011 are related to the reposition of the People's Consultative Assembly decree (MPR's decree), the unclear position of the ministerial regulations, the state organs regulations, and local regulations of village. Even, as well as the content of the presidential regulation that is considered to be the same as the government regulation. This paper will discuss about (1) the legal historis and legal policy of the hierarchy of legislation in Indonesia and its problems; (2) the reconstruction of the hierarchy of legislation in Indonesia. The results of this paper that the establishment of a hierarchy of legislation in Indonesia has each political law in accordance with the regime at the time. Each hierarchy has its own problems, although the original aim is to discipline and correct the ambiguity of the previous legislation. Thus, the reconstruction of the hierarchy of legislation is important to ensure consistency and harmony of norms at various levels of legislation. The reconstruction in question is to rearrange the hierarchy of legislation by distinguishing between the legislation in the central and regional levels. AbstrakHierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diubah sebanyak 4 (empat) kali, namun masih mengandung permasalahan-permasalahan yuridis di dalamnya. Permasalahan yang paling sering terjadi berkaitan dengan tumpang tindihnya aturan-aturan yang ada. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pedoman hierarki perundang-undangan yang dianggap dapat mengatasi masalah dalam undang-undang sebelumnya, namun juga mengalami masalah yang sama. Beberapa problematika yang ada dalam UU No. 12 Tahun 2011 berkaitan dengan dikembalikannya kedudukan ketetapan MPR, tidak tegasnya kedudukan peraturan menteri, kedudukan peraturan lembaga negara, dan peraturan desa, serta materi muatan peraturan presiden yang dianggap sama dengan peraturan pemerintah. Tulisan ini akan membahas mengenai (1) legal historis dan politik hukum hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia beserta permasalahan-permasalahnnya; dan (2) rekonstruksi hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun hasil penulisan ini bahwa pembentukan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki politik hukum masing-masing sesuai dengan rezim pemerintahan pada saat itu. Setiap hierarki memiliki problematikanya masing-masing, meskipun tujuan awalnya sama yaitu untuk menertibkan dan memperbaiki kerancuan dari peraturan sebelumnya, sehingga rekonstruksi hierarki peraturan perundang-undangan penting dilakukan agar menjamin konsistensi dan keselarasan norma-norma pada berbagai tingkatan peraturan perundang-undangan. Adapun rekonstruksi yang dimaksud adalah dengan menata kembali hierarki peraturan perundang-undangan dengan membedakannya antara peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan tingkat daerah.
Appendix JNH Vol. 9 No. 1 Harris Sibuea
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Implikasi Bentuk Hukum Bumd Terhadap Pengelolaan BUMD (The Implication of Regional Owned Enterprises Legal Form to its Management) Dian Cahyaningrum
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1009.522 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v9i1.997

Abstract

Many regional owned enterprises are still low quality because they are not managed well. That matter may be caused by regional owned enterprises legal form. This scientific writing wants to analysis the implication of regional owned enterprises legal form to its management.Base on the results of the study, there are two legal forms of regional owned enterprises. They are regional public company (Perumda) and regional liability company (Perseroda). The Perumda oriented to public service. But Perumda also has to give profit. While Perseroda oriented to profit. To achieve that goals, Perumda and Perseroda have to be managed well base on PP 54/2017, and supported by good human resources and enough modal. The organt of Perumda and Perseroda also should be professional in doing their duties. Other implication of Perumda and Perseroda are regional leader has big authority to establish Perumda and Perseroda regulation. It causes regional leader’s vision, mission, and good intention determine Perumda and Perseroda development. Perumda and Perseroda can develop well if regional leader’s vision, mission, and intention are good. Otherwise, Perumda and Perseroda will be difficult to develop. In order to develop Perumda and Perseroda, regional leader should be have good vision, mission, faith and be serious to develop Perumda and Perseroda; The organt and employer of Perumda and Perseroda should be recruited well base on PP 54/2017; the organ tog Perumda and Perseroda also should have independence in doing their duties without any interfere which are not accordance with the law.AbstrakSaat ini banyak BUMD yang berkualitas rendah karena belum dikelola dengan baik. Salah satu hal yang mempengaruhi pengelolaan BUMD adalah bentuk hukumnya. Untuk itu kajian ini menganalisa implikasi dari bentuk hukum BUMD terhadap pengelolaannya. Berdasarkan hasil kajian ada dua bentuk hukum BUMD yaitu Perumda dan Perseroda. Bentuk hukum Perumda berorientasi pada pelayanan umum. Namun Perumda juga harus mencari keuntungan. Sedangkan bentuk hukum Perseroda berorientasi pada mencari keuntungan. Agar tujuan tersebut tercapai, Perumda dan Perseroda harus dikelola dengan baik sesuai dengan PP No. 54 Tahun 2017, selain juga harus didukung dengan SDM yang handal dan modal yang memadai. Organ Perumda dan Perseroda juga harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Implikasi lain dari Perumda dan Perseroda adalah kepala daerah memiliki kewenangan yang besar dalam menentukan kebijakan Perumda dan Perseroda. Akibatnya visi, misi, dan itikad baik kepala daerah menentukan perkembangan Perumda dan Perseroda. Apabila kepala daerah memiliki visi, misi, dan itikad yang baik maka Perumda dan Perseroda dapat berkembang dengan baik. Namun jika sebaliknya, maka Perumda dan Perseroda akan sulit untuk berkembang. Agar Perumda dan Perseroda dapat dikelola dan berkembang dengan baik maka kepala daerah harus memiliki visi, misi, niat baik, dan keseriusan untuk mengembangkannya; organ dan pegawai Perumda dan Perseroda harus direkrut dengan benar sesuai PP No. 54 Tahun 2017; organ Perumda dan Perseroda juga harus memiliki kemandirian dan independensi dalam menjalankan tugasnya tanpa ada campur tangan dari siapa pun dan dalam bentuk apa pun yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Preface JNH Vol. 9 No. 1 Harris Sibuea
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (257.771 KB)

Abstract

Operasi Tangkap Tangan Dalam Penanganan Kasus Korupsi (Arrest Hand Operation In Handling Corruption Case) Puteri Hikmawati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (601.963 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v9i1.998

Abstract

Arrest hand operation (OTT) is one of the efforts done in handling corruption cases. Since 2005 until 2017 The Corruption Eradication Commission (KPK) has done as many as 77 OTT. In addition to KPK, the Government established a Task Force of Sweeping Illegal Levies (Satgas Saber Pungli) with the Presidential Regulaton nr. 87 of 2016, which also conducted OTT related to illegal levies. However, the term OTT is not contained in the legal provisions of corruption case handling. The provisions of the procedural law only regulate the arrest and arrest hand. Therefore, the legal issue in this paper is whether the implementation of OTT by KPK and Satgas Saber Pungli has been in accordance with criminal procedure law. This paper is the result of juridical normative and juridical empirical research, using a qualitative approach. In the discussion described the implementation of OTT by the KPK, which was preceded by wiretapping, while the tapping mechanism and procedures have not been regulated in the Act, as mandated by the Constitutional Court Decision. While OTT conducted by Satgas Saber Pungli based on report of the community. Based on the research, OTT conducted by KPK and Saber Pungli Task Force, in this case the Police and Attorney General, do not violate criminal procedure law. But for harmonization the wiretapping authority should be given to the Police and the Prosecutor's Office for handling corruption cases, and the requirement to be caught in the Criminal Procedure Code must be clarified on the criteria and requirements, so that its implementation does not depend on the interpretation of the apparatus. Abstrak Operasi tangkap tangan (OTT) merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam penanganan kasus korupsi. Sejak tahun 2005 sampai dengan 2017, KPK telah melakukan sebanyak 77 OTT. Selain KPK, Pemerintah membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungli (Satgas Saber Pungli) dengan Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2016, yang juga melakukan OTT berkaitan dengan pungutan liar. Namun, istilah OTT tidak terdapat dalam ketentuan hukum acara penanganan kasus korupsi. Ketentuan hukum acara hanya mengatur penangkapan dan tertangkap tangan. Oleh karena itu, permasalahan hukum dalam tulisan ini adalah apakah pelaksanaan OTT oleh KPK dan Satgas Saber Pungli telah sesuai dengan hukum acara pidana. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam pembahasan diuraikan pelaksanaan OTT oleh KPK, yang didahului dengan penyadapan, sementara mekanisme dan prosedur penyadapan harus diatur dalam UU, sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan OTT yang dilakukan oleh Satgas Saber Pungli berdasarkan laporan dari masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian, OTT yang dilakukan oleh KPK dan Satgas Saber Pungli, dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan, tidak menyalahi hukum acara pidana. Namun, untuk harmonisasi, kewenangan penyadapan perlu diberikan kepada Kepolisian dan Kejaksaan yang menangani kasus korupsi, dan persyaratan tertangkap tangan dalam KUHAP harus dipertegas kriteria dan syaratnya, agar pelaksanaannya tidak tergantung pada penafsiran aparat.
Perlindungan Ham Dalam Prosedur Penentuan Daftar Terduga Teroris Dan Organisasi Teroris Di Indonesia (The Human Rights Protection On Determining Suspected Terrorism And Terrorist Organization’s Procedure In Indonesia) Marfuatul Latifa
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (313.97 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v9i1.999

Abstract

The procedure of identification individual and entity in Consolidated United Nation Security Council Sanctions List of Suspected Terrorist Organization, that issued by the UN Security Council are considered not give the real protection for human rights in particular, the fair trial principle. Due to the absence of the pleading/clarification mechanism for the object that affected. The United Nations has sought to improve the procedure of inclusion in the Consolidated United Nations Security Council Sanctions List Of Suspected Terrorist Organizations and Individuals by adopting the due process of law model in the process of identity determination on the list. the amendment of the procedure has not been sufficient to provide human rights protection for individuals subject to the list, because it has not implemented due process of law properly. It proven by the lack of an authorized, free and open judiciary to decide whether a person should be identified the list. Indonesia also issued a list of suspected terrorists and terrorist organizations but the listing procedure only involves the judicial authorities only as a legitimate giver of the list through determination. it is necessary to refine procedures for identity-seeking on the suspected Terrorist List and terrorist organizations to conform with the agreement in Amendment to Law no. 15 of 2003, which states that an organization of terrorism can also be established through a court decision AbstrakProsedur pencantuman identitas pada Consolidated United Nations Security Council Sanctions List of Suspected Terrorist Organizations and Individual yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sampai saat ini dianggap belum melindungi hak asasi manusia (HAM) bagi masyarakat internasional, khususnya prinsip untuk mendapatkan persidangan yang adil (fair trial). Hal tersebut karena tidak tersedianya pembelaan/klarifikasi dari objek yang akan dan/atau telah ditetapkan dalam daftar tersebut. PBB telah berupaya memperbaiki prosedur pencantuman identitas pada Consolidated United Nations Security Council Sanctions List of Suspected Terrorist Organizations and Individual dengan mengadopsi due process of law model dalam proses pencantuman identitas. Perubahan prosedur tersebut sampai saat ini masih belum cukup memberikan perlindungan HAM bagi individu yang menjadi subjek karena belum menerapkan due process of law secara utuh. Hal tersebut dibuktikan dengan masih belum adanya pihak peradilan yang berwenang, bebas, dan terbuka untuk memutuskan apakah sesorang patut dicantumkan identitasnya dalam daftar tersebut. Indonesia juga mengeluarkan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris. Prosedur yang digunakan dalam mencantumkan identitas orang, organisasi, dan/atau korporasi dalam daftar tersebut telah berupaya menghadirkan pihak yudisial, namun prosedur pelibatan pihak yudisial hanya sebatas pemberi legalitas dari daftar melalui penetapan. Perlu dilakukan penyempurnaan prosedur bagi pencatuman identitas dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris untuk menyesuaikan dengan kesepakatan dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa sebuah organisasi terorisme dapat juga ditetapkan melalui putusan pengadilan agar perlindungan HAM bagi subjek yang telah/akan dicantumkan di daftar dapat terwujud.
Front Cover JNH Vol. 9 No. 1 Harris Sibuea
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Dalam Mengatasi Kendala Penanggulangan Tindak Pidana Korporasi (The Role Of Regulation Of The Supreme Court Number 13 Year 2016 In Overcoming Obstacles Of Corporate Criminal Infringement) Budi Suhariyanto
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1516.599 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v9i1.855

Abstract

The prevention of corporate crime in Indonesia is constrained due to unclear management of corporate crime. In order to overcome the imperfection of such arrangements, the Supreme Court issued Supreme Court Regulation No.13 of 2016 on the Procedures for Corruption Case Handling by Corporations. There are questions that arise, what are the obstacles faced by Law Enforcement in an effort to overcome corporate crime and how the role of Perma No. 13 of 2016 in overcoming the obstacles to overcome the criminal act of the corporation? Normative legal research method is used to answer the problem. Normatively, from various laws governing the corruption of the subject of crime, there is no detailed formulation of corporate handling procedures so that law enforcers experience difficulties in conducting the criminal proceedings against the corporation. Article 79 of the Law on the Supreme Court provides the legal basis that if there is a legal deficiency in the course of the judiciary in any case, the Supreme Court has the authority to enact legislation to fill such shortcomings or vacancies. Perma No.13 of 2016 can be used as a guide for Law Enforcement to overcome technical obstacles of corporation criminal procedure law. Nevertheless, Perma has limitation so that required update of corporation criminal procedure in RKUHAP. AbstrakPenanggulangan tindak pidana korporasi di Indonesia mengalami kendala akibat tidak jelasnya pengaturan penanganan tindak pidana korporasi. Dalam rangka mengatasi ketidaksempurnaan pengaturan tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Ada pertanyaan yang mengemuka yaitu apa saja kendala yang dihadapi Penegak Hukum dalam upaya menanggulangi tindak pidana korporasi dan bagaimana peran Perma Nomor 13 Tahun 2016 dalam mengatasi kendala penanggulangan tindak pidana korporasi tersebut? Metode penelitian hukum normatif digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut. Secara normatif, dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur korporasi subjek tindak pidana, tidak dirumuskan detail tata cara penanganan korporasi sehingga penegak hukum mengalami kendala dalam melakukan proses pemidanaan terhadap korporasi. Pasal 79 Undang-Undang tentang Mahkamah Agung memberikan dasar hukum bahwa apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung memiliki wewenang membuat peraturan untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tersebut. Perma No. 13 Tahun 2016 dapat dijadikan pedoman bagi Penegak Hukum untuk mengatasi kendala teknis hukum acara pidana korporasi. Namun, Perma tersebut memiliki keterbatasan sehingga diperlukan pembaruan hukum acara pidana korporasi dalam RKUHAP.
Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Pada Produk Ekonomi Kreatif (Protection Of Intellectual Property Rights On Creative Economic Products) Sulasi Rongiyati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (786.341 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v9i1.1001

Abstract

As a result of creativity, the creative economy product is an intellectual property that needs to be recognized as an intellectual work that has economic value and gets legal protection. This study analyzes the regulations established by the Government in providing protection against intellectual property rights (IPRs) to ekraf products and the application of such regulations in the city of Surakarta, Central Java and Denpasar City, Bali. Through normative and empirical juridical research methods, secondary and primary data are processed and analyzed qualitatively. The result of the research stated that IPRs protection policy toward creative economy product has been done by the government through IPRs legislations and regional policy related to IPRs protection for creative economy product referring to national policy. Preventive protection is provided through law in the form of economic benefits for the actors who register IPRs of creative economy product. However, the level of public awareness and understanding of the importance of IPRs, the communal nature of creative economy actors in Indonesia, and the nature of IPRs that must be registered for legal protection, cause IPRs protection for creative economy perpetrators is not optimal. At the level of implementation, the awareness and understanding of the perpetrators of the property rights become the key to the success of IPRs protection by the government. The lack of regional alignments has an impact on the not yet optimal economic benefits received by creative economy actors. Therefore, the government should intensify the socialization of IPRs and facilitate the registration of IPRs  for the perpetrators of creative economy. Institutional and regulatory support at the local level is also important to develop and protect the creative economy product.AbstrakSebagai suatu karya kreativitas, produk ekonomi kreatif (ekraf) merupakan kekayaan intelektual yang perlu mendapat penghargaan sebagai suatu karya intelektual yang memiliki nilai ekonomi dan memperoleh pelindungan hukum. Penelitian ini menganalisis mengenai regulasi yang dibentuk Pemerintah dalam memberikan pelindungan terhadap hak kekayaan intelektual (HKI) terhadap produk ekraf dan penerapan regulasi tersebut di kota Surakarta, Jawa Tengah dan Kota Denpasar, Bali. Melalui metode penelitian yuridis normatif dan empiris, data sekunder dan primer diolah dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menyebutkan, kebijakan pelindungan HKI terhadap produk ekraf telah dilakukan oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan bidang HKI dan kebijakan daerah terkait pelindungan HKI untuk produk ekraf mengacu pada kebijakan tingkat nasional. Pelindungan preventif diberikan melalui UU berupa manfaat ekonomi bagi pelaku ekraf yang mendaftarkan HKInya. Namun, tingkat kesadaran masyarakat dan pemahaman pentingnya HKI, sifat komunal pelaku ekraf di Indonesia, dan sifat HKI yang harus didaftarkan untuk mendapat pelindungan hukum, menyebabkan pelindungan HKI untuk pelaku ekraf belum optimal. Pada tataran implementasi, kesadaran dan pemahaman pelaku ekraf atas kekayaan intelektualnya menjadi kunci keberhasilan pelindungan HKI yang dilakukan oleh pemerintah. Minimnya keberpihakan daerah berdampak pada belum optimalnya manfaat ekonomi yang diterima pelaku ekraf. Oleh karenanya pemerintah perlu menggiatkan sosialisasi HKI dan memfasilitasi pendaftaran HKI untuk pelaku ekraf. Dukungan kelembagaan dan regulasi pada tingkat daerah juga penting dilakukan untuk mengembangkan dan melindungi produk ekraf. 
Back Cover JNH Vol. 9 No. 1 Harris Sibuea
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 9, No 1 (2018): JNH VOL 9 NO. 1 Juni 2018
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Page 1 of 1 | Total Record : 10