cover
Contact Name
nurbaedah
Contact Email
mizanjurnalilmuhukum@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
mizanjurnalilmuhukum@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota kediri,
Jawa timur
INDONESIA
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum
ISSN : 23017295     EISSN : 26572494     DOI : -
Core Subject : Religion, Social,
Jurnal MIZAN terbit 2 (dua) kali dalam setahun pada bulan Juni dan Desember dimaksudkan sebagai sarana publikasi karya ilmiah para pakar, peneliti dan ahli dalam bidang yang terkait dengan masalah ilmu hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum" : 10 Documents clear
Problematik Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat (Telaah Kasus atas Laporan Polisi Nomor : LP/263/X/2015/Polres Kediri Kota) Nanang Sugianto
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.671

Abstract

Polri merupakan salah satu komponen sistem peradilan pidana (criminal justice system) tidak terlepas dari institusi komponen sistem peradilan pidana lainya yang masing-masing mempunyai fungsi berbeda tetapi saling terkait. Masih adanya terdakwa terbukti sebaliknya di sidang pengadilan dalam penegakan hukum melalui Sistem Peradilan Pidana akibat dari perbedaan penafsiran atas fakta materiel dalam proses penyidikan menjadi perhatian mendalam bagi Polri yang mempunyai tugas pokok salah satunya adalah memberikan pelayanan penegakan hukum guna terwujudnya tujuan hukum dalam memberikan rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan penerapan unsur-unsur tindak pidana dan pernyataan kesimpulan hasil penyidikan tindak pidana pemalsuan surat yang penyelesaianya melalui pembuktian sidang pengadilan dalam system peradilan pidana. Dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan kasus dengan menggunakan analisis yuridis dan teori kebenaran koherensi untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan kasus telah menelaah penerapan fakta materiel hasil penyidikan tidak sesuai diterapkan dengan unsur-unsur perkara pidana memberikan keterangan palsu atau membuat surat palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 266 ayat (1) atau pasal 263 ayat (1) KUHP dan menggunakan surat palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 266 ayat (2) atau pasal 263 ayat (2) KUHP dan kesimpulan yang dinyatakan oleh penyidik tidak sesuai dengan sistem proposisinya kesimpulan hasil penyidikan. Dalam hal ini penyidik memaksakan penyelesaian perkara sampai pembuktian dalam sidang pengadilan dan ternyata terbukti sebaliknya. Kata kunci : Problematik Yuridis; Tindak Pidana Pemalsuan Surat; Penyelesaian penyidikan melalui sidang Pengadilan.
Diskresi Penyidik Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) Terhadap Tindak Pidana Yang Diselesaikan Di Luar Pengadilan (Studi Pada Polres Tulungagung) Didik Riyanto
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.681

Abstract

Diskresi merupakan suatu kebijaksanaan berupa tindakan yang dilakukan oleh penyidik menurut penilaiannya sendiri sebagai jalan keluar terhadap suatu perkara yang dianggap ringan, tidak efektif serta menimbulkan dampak buruk dari Sistem Peradilan Pidana. Diskresi dilakukan oleh penyidik pada dasarnya lebih mengutamakan pencapaian tujuan sasarannya (doelmatigheid) daripada legalitas hukum yang berlaku (rechtsmatigheid). Permasalahan yang diangkat oleh penulis, adalah 1) Apakah peraturan perundang-undangan yang ada sudah cukup komprehensif bagi tindakan diskresi penyidik Kepolisian di dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)?, 2) Bagaimana pelaksanaan atau pola-pola kebijaksanaan yang dilakukan penyidik Kepolisian Resor Tulungagung di dalam menggunakan wewenang diskresi?, dan 3) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi, mendorong dan menghambat seorang penyidik pada Polres Jtulungagung selaku aparat penegak hukum dalam melakukan diskresi penyidikan pada Sat Reskrim Polres Jepara.? Adapun tujuan dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang komprehensif bagi tindakan diskresi Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), 2) mengetahui pelaksanaan dari wewenang diskresi yang dimiliki oleh Polisi, 3) mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong dan menjadi penghambat petugas penyidik untuk melakukan diskresi Kepolisian pada saat penyidikan di Sat Reskrim Polres Tulungagung. Metode penelitian yang digunakan adalah sosiologis yuridis (juridical sociological). Hasil dalam penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan diskresi pada saat penyidikan di Sat Reskrim Polres Tulungagung diilhami dari Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, ketentuan hukum tidak tertulis yang masih diakui keberadaannya dan doktrin para ahli hukum serta yurisprudensi yang berguna sebagai petimbangan dalam pelaksanaan tindakan diskresi oleh penyidik. Pelaksanaan diskresi oleh penyidik diberikan secara utuh kepada para penyidik menurut penilaiannya sendiri dengan bertanggungjawab dan tetap mempertimbangkan atas kepentingan umum dan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia (human right). Selain itu dalam pelaksanaan tindakan diskresi oleh penyidik terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor pendorong internal terdiri atas subtansi peraturan perundang-undangan, instruksi dari pihak atasan, penyidik sebagai penegak hukum, situasi dalam penyidikan. Faktor pendorong eksternal adalah dukungan dari masyarakat. Disamping itu terdapat faktor penghambat dalam diskresi, diantaranya adalah masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia, kendala finansial, oknum aparat, pengetahuan penyidik, partisipasi para pihak. Berdasarkan penelitian tersebut disarankan bagi penyidik selaku aparat Kepolisian yakni tindakan diskresi menurut penilaiannya sendiri secara kontektstual mempunyai makna yang sangat luas akan tetapi tindakan tersebut dilakukan tidak serta merta secara asal-asalan akan tetapi tetap patuh pada batas-batas yang telah ditentukan perundangan-undangan pada Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bagi masyarakat hendaknya dalam pelaksanaan tindakan diskresi oleh penyidik harus dilakukan langkah pengawasan yang baik, supaya tidak ada bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam pelaksanaan diskresi oleh Penyidik, sehingga diskresi yang dilakukan oleh penyidik tetap suatu bentuk efektifitas dan efisiensi perkara pada Sistem Peradilan Pidana yang bertujuan pada pencapaian keadilan
Efektivitas Peruntukkan Dana Desa Basuki Rahmadi
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.673

Abstract

Dalam rangka meningkatkan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa, pemerintahan Presiden Joko Widodo membuat terobosan melalui program menyalurkan Dana Desa. “Tahun 2015 Alokasi Dana Desa sebesar Rp. Rp. 20,7 Triliun, tahun 2016 Alokasi Dana Desa sebesar Rp. Rp. 46,9 Triliun, tahun 2017 Alokasi Dana Desa dinaikkan menjadi Rp. 81,1 Triliun, sehingga masyarakat Desa sudah bisa mengelola Dana Desa lebih dari Rp. 1 Miliar per Desa. Untuk mengetahui kebijakan yang diterbitkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tentang efektivitas peruntukkan Dana Desa, serta untuk mengetahui kontrol terhadap Dana Desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa. Metode pendekatan kajian yuridis normatif yang diperoleh melalui kepustakaan menitikberatkan pada data primer, data sekunder, dan data non hukum, dilakukan dengan cara identifikasi, pemeriksaan, seleksi, dan penyusunan data bersifat deskriptif analisis dengan cara pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Hasil yang ditemukan adanya efektivitas peruntukkan Dana Desa serta adanya kontrol terhadap Dana Desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa tertuang dalam Kebijakan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018. Kebijakan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk bagi pemerintahan Daerah, pemerintahan Desa maupun masyarakat Desa dalam penggunaan Dana Desa secara tepat guna dan tepat sasaran. Kontrol terhadap Dana Desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa sudah dilakukan oleh Kementerian Desa melalui pola pengawasan dan pengendalian yang melibatkan berbagai unsur antara lain Mou soal pengawasan Dana Desa antara Kapolri, Mendes, dan Mendagri dan Terbentuknya Satgas Dana Desa. Kebijakan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018 sudah memberikan arah yang cukup jelas mengenai “Efektivitas Peruntukkan Dana Desa”. Kepala Desa masih kurang mentaati dan kurang mematuhi Kebijakan Peraturan Menteri Desa, terbukti masih banyak ditemukan kasus penyimpangan dan penyelewengan Dana Desa. Kementerian Desa sudah melakukan kontrol melalui pengawasan dan pengendalian terhadap Dana Desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa. Kontrol merupakan bentuk pengawasan dan pengendalian dalam rangka menjaga dan melindungi Dana Desa.
Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) Terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban Rendi Yun Trisna Putra
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.682

Abstract

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak dibahas ihwal pentingnya melindungi saksi dan korban. Pengaturan perlindungan demikian hanya kita temukan dalam Undang-undang nomor 31 tahun 2014 atau yang berkaitan dengan upaya pengungkapan tindak pidana tertentu, seperti pelanggaran ham berat, kekerasan dalam rumah tangga atau korupsi. Peraturan perundang-undangan tersebutlah yang memperkenalkan pranata hukum tersebut ke dalam sistem peradilan di Indonesia. Tulisan ini akan menelaah secara ringkas tempat dan kedudukan pranata hukum perlindungan saksi dan saksi korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Fokus kajian akan diberikan pada ratio legis perlunya perlindungan terhadap saksi dan korban. Tulisan ini akan dimulai dengan paparan tentang pentingnya kesaksian (dari saksi maupun saksi korban) dalam pengungkapan kebenaran dan bila perlu upaya menjatuhkan pidana. Ini yang menurut penulis adalah makna dari penempatan reaksi pidana sebagai ultimum remedium. Rumusan masalah dalam penelian ini adalah: Bagaimanakah penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower)? Hambatan-hambatan apa yang dihadapi dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam upaya pemberian perlindungan hukum Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower)? Rumusan masalah tersebut dikaji secara mendalam dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang didasarkan pada hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dengan cara mengklasifikasikan dua sumber data yakni data primer dan data sekunder berupa undang-undang atau Peraturan lainnya yang masih ada hubungannya dengan masalah yang diteliti pada penulisan tesis sebagai pijakan teoriserta buku-buku/bahan-bahan lain yang masih memiliki keterkaitan dengan judul penelitian ini sebagai bahan sumber sekundernya. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah 75 : Pertama, Upaya perlindungan hukum terhadap saksi pengungkap fakta (whistleblower) hingga saat ini belum mendapatkan payung hukum baik itu dari Undang-Undang Nomer 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban atau dari peraturan lain yang secara spesifik mengatur tentang jenis-jenis tindakan yang dilarang, bertentang dan yang membahayakan kepentingan publik. Peraturan tentang tindakan yang dimaksud masih menyebar dalam sejumlah undang-undang dan peraturan yang ada. Beberapa undang-undang inilah yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi seorang whistleblower guna menentukan tindakan yang memiliki kehendak untuk diungkap masuk dalam kategori dilarang, bertentangan pula dan membahayakan kepentingan publik. Kedua, Sementara itu hambatan yang dialami dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap whistleblower dalam proses peradilan pidana adalah; capacity building Lembaga Perlindungan Saksi yang terbentuk dari tahun 2006 paca diberlakukannya UU No. 13 Tahun 2006 belum mempunyai kekuatan hukum yang penuh dalam memberikan perlindungan hukum bagi seorang saksi pengungkap fakta (whistleblower) dan kerjasama antara lembaga perlindungan saksi dan korban dengan lembaga-lembaga yang terkait belum terjalin dengan baik sehingga perlindungan saksi belum terlaksana secara kompreherensif
Kajian Yuridis Pelaksanaan Pasal 7 UURI Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Program Pendidikan Dokter Layanan Primer Arifatur Rachmawati
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.668

Abstract

Tujuan penelitian mengkaji pelaksanaan pasal 7 UURI No 20 Tahun 2013 tentang program pendidikan DLP. Metode Penelitian adalah Normatif. Pelaksanaan DLP menjadi Polemik karena mengesahkannya tanpa ada PPNya. DLP merupakan implementasi program pemerintah, tercermin dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang diwujudkan dalam JKN. Pasal 8 ayat 1 UU No 20 Tahun 2013 menyatakan bahwa Program Pendidikan Dokter yang terakreditasi A penyelenggara DLP .salah satunya UNPAD. UURI No 20 pasal 7 ayat (9) tertulis “ Ketentuan lebih lanjut mengenai program DLP sebagaimana dimaksud pada ayat(5) huruf b dan program Intersip dimaksud pada ayat 7 dan ayat 8 diatur dalam peraturan pemerintah, UUD 1945 pasal 5 ayat (2) :“Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan UU sebagaiman mestinya “ sebagai dasar hukum Presiden menetapkan PP. Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011 tentang Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan. Menyusunan peraturan perundang-undangan diperlukan asas-asas Hukum, Teori Stuffen Bow Karya Hans Kelsen yang membahas Jenjang Norma Hukum, L.Prakke en C.A.J.M. asas legalitas berkait erat dengan suatu wewenang untuk bertidak,.Philipus M.Hadjon keabsahan tindakan pemerintah didasarkan pada aspek kewenangan yang (atribusi, delegasi,mandat),aspek prosedur dan aspek substansi Kesimpulannya Program Pendidikan DLP belum bisa dilaksanakan menunggu PPNya, tetapi karena permohon Judicial Review PDUI ditolak MK ,keputusan MK bersifat Final dan mengikat maka DLP harus tetap dijalankan. Dan sebaiknya pemerintah segera merampungkan rancangan PPNya
Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah pada Bangunan Gedung Untuk Kepentingan Komersil Dwi Wahyu Agustina; Fajar Nugraha
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.678

Abstract

Pemanfaatan ruang bawah tanah untuk kepentingan pendirian bangunan gedung akan lebih menguntungkan, karena pembangunan tersebut dapat dilakukan di bawah tanah yang bukan menjadi milik privat. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara umum yaitu pengaturan ruang bawah tanah pada bangunan gedung belum diatur secara jelas, Ketidakjelasan itu tertuang dalam UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung hanya menjelaskan penyelenggaraan prasarana dan sarana umum atau fasilitas lainya yang akan di bangun di atasnya atau di bawah bangunan gedung didirikan dengan izin penggunaan yang diberikan oleh instansi yang berwenang sehingga pemanfaatan ruang bawah tanah pada bangunan gedung mengikuti fungsi bangunan dan pengelolaannya. Peraturan bangunan gedung ini dengan jelas menerangkan bahwa dalam pembangunan bangunan gedung dapat dimanfaatkan untuk fasilitas umum dan/atau kepentingan umum sesuai dengan teknis dan fungsinya baik pembangunan yang berada di atas dan/atau di bawah tanah, dan dalam pemanfaatan ruang bawah tanah untuk kepentingan komersil merupakan salah satu bentuk kontribusi pemerintah
Eksistensi Perkawinan Dan Perceraian Menurut Hukum Islam Dan Pasca Berlakunya UU NO. 1 Tahun 1974 Fika Burlian
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.669

Abstract

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memuat berbagai ketentuan tentang perkawinan dan perceraian. Perceraian dibebani berbagai persyaratan sebagaimana ditentukan dalam pasal 39 ayat (2) yang berbunyi: “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri itu dapat akan hidup rukun sebagai suami istri.” Dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang perkawinan disebutkan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Tujuan dalam penelitian ini adalah: (1) Untuk menganalisis eksistensi perkawinan dan perceraian menurut pandangan hukum Islam dan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. (2) Untuk menganalisis akibat hukum perkawinan dan perceraian menurut pandangan hukum Islam dan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. (3) Untuk mendeskripsikan hambatan-hambatan pelaku perkawinan dan perceraian menurut pandangan hukum Islam dan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 serta solusi hukumnya. Penelitian ini termasuk penelitian dengan pendekatan yuridis normatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan sekunder, dan data penunjang. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Teknik pengolahan data dengan cara editing, interpretasi, dan sistematisasi. Data dari sumber yang pertama langsung dianalisis dengan mencoba mencari penjelasan secara komprehensif terhadap aktivitas yang terjadi terhadap permasalahan tentang eksistensi perkawinan dan perceraian menurut pandangan hukum Islam dan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Kesimpulan hasil penelitian ini adalah: (1) Eksistensi perkawinan dan perceraian menurut pandangan hukum Islam dan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berlaku di Indonesia adalah sah apabila memenuhi rukun dan semua syarat sahnya nikah meskipun tidak dicatatkan. Menurut ketentuan pada Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan, sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Akibat hukum perkawinan dan perceraian menurut pandangan hukum Islam dan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, meski secara agama atau kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah di mata hukum negara. (3) Hambatan-hambatan pelaku perkawinan dan perceraian menurut pandangan hukum Islam dan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah sulitnya mendapatkan pengakuan dari legalitas dari pemerintah. Apabila perkawinan ingin diakhiri dan “dilegalkan dengan cara mencatatkan perkawinan dengan permohonan penetapan/pengesahan nikah kepada pengadilan agama sesuai Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI)”
Pengurangan Pekerja Anak Perempuan Di Lingkungan Pondok Pesantren Astria Yuli Satyarini Sukendar; Amanda Raissa; Tomy Michael
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.679

Abstract

Maraknya fenomena dimana anak-anak di lingkungan pondok pesantren menjadi pekerja anak dengan tujuan untuk membantu kepala pondok pesantren atau yang disebut sebagai kyai dan nyai, merupakan salah satu fenomena sosial yang menunjukkan adanya ketidaksejahteraan kondisi pada anak-anak, terutama di Indonesia. Mereka yang bersekolah dan memilih pondok pesantren sebagai tempat untuk mencari ilmu, tidak diperkenankan untuk menjadi pekerja anak. Seharusnya mereka fokus untuk belajar demi masa depannya, bukan untuk dipekerjakan. Faktanya, belakangan ini banyak santri yang dipekerjakan oleh kyai ataupun nyainya di luar konteks yang berhubungan dengan pendidikan, misalnya mereka diminta untuk membersihkan rumah pribadinya, memasakkan makanan untuk keluarga kyai dan nyainya, merawat anak kyai dan nyainya, dan pekerjaan lainnya yang disuruhkan kepada santri-santri tersebut. Santri-santri ini tidak menerima upah berupa uang, tetapi bekerja secara cuma-cuma dan tidak ada batasan waktu. Kapan saja mereka diminta dan disuruh, disitu lah mereka harus siap bekerja. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis empiris yang dimana penulis melihat kenyataan langsung dan fakta-fakta dalam kejadiannya serta memadukan dengan norma-norma hukum yang berlaku. Hasil dari penulisan ini adalah, maraknya fenomena pekerja anak yang terjadi di Indonesia dan merambat ke lingkungan pondok pesantren yang menyebabkan anak-anak tersebut tidak fokus dalam menjalankan pendidikannya. Dan untuk melindungi anak perempuan (santri) untuk tidak menjadi pekerja anak dan dapat menjalankan pendidikannya tanpa terganggu oleh hal-hal di luar pendidikan, seperti bekerja. Karena anak-anak yang bersekolah sambil bekerja tetap akan tertinggal dari teman-temannya yang tidak bekerja dalam hal kehadirannya di kelas, kapasitas ilmu yang diperoleh, dan cenderung mendapatkan perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Disini lah dibutuhkan perlindungan terhadap hak anak untuk tidak menjadi pekerja anak di lingkungan pondok pesantren.
Perlindungan Hukum Atas Hak-Hak Tersangka Pada Proses Penyidikan Perkara Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Eko Sulistono
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.672

Abstract

Dalam setiap tahap pemeriksaan khususnya pada pemeriksaan di tahap penyidikan, hak untuk mendapatkan bantuan hukum sudah harus diberikan kepada tersangka khususnya bagi mereka yang kurang mampu dan bagi mereka yang belum paham mengenai hukum. Sebagaimana yang di atur dalam pasal 54 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, disitu dikatakan bahwa : Guna kepentingan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum baik dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingat pemeriksaan, menurut tatacara yang di atur dalam undang-undang ini. Jelas bahwa tersangka sejak dalam tahap pemeriksaan dipenyidikan sudah boleh menikmati atau memperoleh haknya, salah satunya adalah hak untuk mendapat bantuan hukum atau penasihat hukum. Dimana dalam UU No. 18 Tahun 2003 pasal 22 ayat 1 bahwa, Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Ini memberikan suatu pemahaman, dimana hak tersangka merupakan jaminan dari hak asasi manusia (HAM), dengan adanya bantuan hukum atau penasihat hukum membantu memberikan perlindungan terhadap tersangka dalam hal ini apa yang menjadi hak tersangka itu tidak dapat dicabut atau diganggu gugat.
Asas Netralitas Aparatur Sipil Negara Pada Pemilukada (Studi Penerapan Pasal 2 Huruf F UU RI Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Netralitas ASN di Kabupaten Tulungagung) Budiono Budiono
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.680

Abstract

Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat Pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan, Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah kebijakan politik yang melarang PNS untuk terlibat politik praktis atau harus netral dalam politik karena keberadaannya sebagai pelayan masyarakat. Asas Netralitas adalah bahwa setiap pegawai aparatur sipil Negara tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah kebijakan politik yang melarang PNS untuk terlibat politik praktis atau harus netral dalam politik karena keberadaannya sebagai pelayan masyarakat. Maksud netralitas yang lain adalah jika seorang Pegawai Negeri Sipil aktif menjadi pengurus partai politik atau anggota legislatif, maka ia harus mengundurkan diri. Dengan demikian birokrasi pemerintahan akan stabil dan dapat berperan mendukung serta merealisasikan kebijakan atau kehendak politik manapun yang sedang berkuasa dalam pemerintahan. Permasalahan yang dibahas dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Pemilukada di Kabupaten Tulungagung? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi netralitas ASN pada Pemilukada Kabupaten Tulungagung? 3. Bagaimana upaya penegakan netralitas ASN pada Pemilukada di Kabupaten Tulungagung? Penelitian dalam tesis ini dilakukan dengan mengkaji aturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini. pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan asas-asas hukum (legal principle approach). Sumber-sumber penelitian hukum dalam penulisan tesis ini dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian hukum yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Melalui sistematika terdapat bahan hukum yang kompleks akan dapat ditemukan norma hukumnya dan menerapkan guna menyelesaikan masalah yang dihadapi. Penyelenggara pemilukada adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang diawasioleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Kedudukan Komisi pemilihan Umum sebagai lembaga negara dapat dianggap sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain yang dibentuk oleh atau dengan undang-undang.

Page 1 of 1 | Total Record : 10