cover
Contact Name
Sekretariat Jurnal Rechtsvinding
Contact Email
jurnal_rechtsvinding@bphn.go.id
Phone
+6221-8091908
Journal Mail Official
jurnal_rechtsvinding@bphn.go.id
Editorial Address
Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta, Indonesia
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Rechts Vinding : Media Pembinaan Hukum Nasional
ISSN : 20899009     EISSN : 25802364     DOI : http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding
Core Subject : Social,
Rechtsvinding Journal is an academic journal addressing the organization, structure, management and infrastructure of the legal developments of the common law and civil law world.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 3, No 3 (2014): December 2014" : 9 Documents clear
KESINAMBUNGAN POLITIK HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI Muh. Risnain
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 3, No 3 (2014): December 2014
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (517.805 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v3i3.28

Abstract

Kesinambungan politik hukum pemberantasan korupsi merupakan hal penting yang akan dihadapi oleh pemerintah dalam melaksanakan program-program pemberantasan korupsi pada masa yang akan datang. Oleh karena itu penting dibahas apakah instrumen politik hukum pemberantasan korupsi yang telah ada akan mengikat pemerintahan yang baru dan bagaimana konsep keberlanjutan pemberantasan korupsi yang tepat bagi rezim pemerintahan yang baru. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat dipaparkan bahwa politik pemberantasan korupsi yang telah dituangkan dalam Tap MPR No.VIII/ MPR/ RI Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP dan Perpres Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 merupakan instrumen hukum yang mengikat pemerintahan Jokowi pada 2014-2019. Konsep yang akan menjamin kesinambungan pemberantasan korupsi pemerintahan Jokowi adalah dengan melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di bidang politik hukum pemberantasan korupsi. Untuk menjamin konsep tersebut berjalan dengan baik maka Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Sekretariat Negara dan Kementerian Hukum dan HAM hendaknya melakukan koordinasi dalam penyusunan rancangan RPJMN 2014-2019.Sustainability of legal policy concerning eradication of corruption is urgent problem faced by government in conducting corruption eradicating programs in the future. Therefore, it is important to discuss wether existing legal policy instruments of corruption eradication laws have binding power to rule new government and how the concept of sustainability to eradicate corruption that is suitable for the new regime. By using normative juridical research method can be described that the eradication of corruption policy has been outlined in the People Consultative Council Decree Number VIII/MPR/RI year 2001 regarding Recommendations of policy’s direction on prevention and eradication of corruption, collusion and nepotism. Law Number 17 year 2007 regarding Long term National Development Plan and Presidential Regulations Number 55 year 2012 regarding National Strategy for the Prevention and Eradication of Corruption Long Term year 2012-2025 and Medium Term year 2012-2014 is a binding legal instrument for President Jokowi’s governance reign 2014-2019. The legal concept that guarantees the continuity of eradication of corruption President Jokowi’s governance eradication of corruption programs is by doing synchronization of legislation in corruption eradication legal policy. In order to guarantee that those concepts running well thus the ministry of national development planning, ministry of state secretary, and the ministry of law and human rights should be coordinating in promulgation of national medium term national development planning’s draft.
STUDI PENERAPAN E-GOVERNMENT DI INDONESIA DAN NEGARA LAINNYA SEBAGAI SOLUSI PEMBERANTASAN KORUPSI DI SEKTOR PUBLIK Loura Hardjaloka
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 3, No 3 (2014): December 2014
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (567.147 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v3i3.35

Abstract

Saat ini banyak Negara termasuk Indonesia fokus menggunakan e-government sebagai salah satu perangkat utama untuk melawan korupsi. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini membahas konsep e-government serta studi perbandingan implementasi e-government yang diterapkan di Indonesia dan Negara lainnya. Adapun penelitian ini dilakukan melalui penelitian hukum normatif dan analisis kualitatif sehingga menghasilkan penelitian yang deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa banyak Negara termasuk Indonesia menerapkan e-government dalam berbagai bentuk untuk meningkatkan prinsip-prinsip good governance dalam rangka memberantas korupsi, diantaranya pengadaan barang dan jasa, perpajakan, dan juga perizinan. Meskipun demikian, masih banyak hal yang perlu diperbaiki oleh Indonesia dalam menerapkan e-government , antara lain percepatan pembuatan peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk mendukung e-government di daerah; pengadaan sarana-prasarana pengembangan infrastruktur untuk menciptakan akses komunikasi data yang handal; pemberdayaan sumber daya manusia; pengembangan perangkat lunak yang diperlukan; dan pengembangan organisasi dan tata kerja yang mendukung e-governmentNowadays many countries including Indonesia focuses on using e-government as one of the main tools to fight corruption. Based on that, this article will discuss e-government concepts and comparative studies of e-government implementation in Indonesia and other countries. This research using normative legal research and qualitative analysis thus produced the descriptive study. This research found that many countries including Indonesia are implementing e-government in various forms to improve the good governance principles in order to eradicate corruption such as procurement process, taxation, and licensing. Nonetheless, there are many things need to be fixed by Indonesia in implementing e-government specifically the acceleration of making laws and policies to support e-government in the region; procurement of infrastructure development to create reliable data communications access; empowerment of human resources; adjustable software development; and development of the organization and working procedures that support e-government.
HARMONISASI HUKUM NASIONAL DI BIDANG KORUPSI DENGAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION Mosgan Situmorang
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 3, No 3 (2014): December 2014
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (501.478 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v3i3.29

Abstract

Berbagai upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan sejak lama namun belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Tindak pidana korupsi diatur antara lain dalam KUHP yang bersifat umum atau lex generalis dan undang- undang yang dibuat khusus untuk penanggulangan korupsi seperti undang-undang tindak pidana korupsi maupun undang-undang tindak pidana suap. Disamping itu masih terdapat konvensi Internasional seperti United Nations Convention Against Corruption Tahun 2003. Seperti pemerintahan terdahulu, pemerintahan Jokowi juga mempunyai program tentang pemberantasan korupsi yang sudah dimuat dalam Rancangan Teknokrat Jokowi. Dalam rancangan itu dimuat strategi pemberantasan korupsi yang dilakukan melalui harmonisasi perundang-undangan korupsi dengan konvensi internasional. Penelitian ini dilakukan dengan metode normatif yuridis untuk membahas peraturan apa saja yang terkait dengan pemberantasan korupsi serta bagaimanakah harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang korupsi dengan ketentuan United Nations Convention Against Corruption. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa masih terdapat ketidakharmonisan antara peraturan perundang-undangan di bidang korupsi dengan konvensi Internasional pemberantasan korupsi sehingga perlu segera dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan konvensi Internasional di bidang korupsi dan strategi yang lebih jitu dan penegakan hukum yang lebih tegas dalam pemberantasan dan pencegahan korupsi ke depan.Various corruption eradication efforts have been done for a long time. Yet the result has not been as expected. Corruption is set in Criminal code as lex generalis and other laws made specifically for the prevention of corruption, such as Law of corruption and bribery laws. There are also International conventions such as the United Nations Convention Against Corruption in 2003. Just like the previous government, The President Jokowi’s governance also has programs in eradicating corruption which are already loaded in the draft of Jokowi’s Technocrats. Those draft consist of strategy to combat corruption through harmonization of Regulations on Corruption with international conventions on corruption. This research was conducted using normative juridis method by discussing any regulations that are associated with the eradication of corruption and how the harmonization of the laws and regulations in the field of corruption with the provisions of the United Nations Convention against Corruption. From this research, it can be concluded that there is disharmony between the legislation in the field of corruption and the International Conventions Against Corruption so that is why harmonization of national legislation with international conventions in the field of corruption should be made and accurately strategies and law enforcement in combating and prevent corruption in the future should be more strict.
REVOLUSI MENTAL UNTUK MEMBENTUK BUDAYA HUKUM ANTI KORUPSI Arfan Faiz Muhlizi
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 3, No 3 (2014): December 2014
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (578.954 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v3i3.36

Abstract

Revolusi mental yang ditopang oleh kekuatan civil society adalah bagian dari penguatan budaya hukum ketika memandang hukum sebagai sebuah sistem. Terdapat beberapa fakta yang menunjukkan bahwa korupsi telah sedemikian meluas sehingga hampir semua elemen Negara, baik di eksekutif, legislatif maupun judiciil . Berpijak dari visi revolusi mental ini menarik untuk dibahas lebih jauh mengenai bagaimana pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya nusantara, serta bagaimana transformasi budaya nusantara dalam pemberantasan korupsi. Dengan pendekatan yuridis normatif diperoleh kesimpulan bahwa Nation Building pemberantasan korupsi berpijak prinsip supremasi hukum, kesetaraan di depan hukum dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Di sisi lain, terdapat anggapan bahwa sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia adalah akibat pemahaman bahwa korupsi adalah budaya bangsa. Pemahaman ini perlu diluruskan dengan menunjukkan bahwa budaya bangsa Indonesia adalah anti terhadap korupsi dan melakukan transformasi budaya. Transformasi budaya nusantara ke dalam format pembangunan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, bersumber dari dua elemen yakni dari nilai-nilai agama dan dari nilai-nilai adat.Mental revolution supported by the strength of civil society is part of strengthening the legal culture as identify the law as a system. There are some facts showing how spreadable corruption it is in almost all elements of the nation, in the executive, legislative and judicial body. Based on the vision of mental revolution, it is interesting to discuss furthermore how corruption eradicating can be work with the new paradigms, political culture, and nation-building approach, which are humanly, likewise the national legal culture, and how the national culture-transformation in eradicating corruption. By normative juridical approach can be concluded that the nation building in combating corruption is based on the Supremacy of law principle, equality before the law and law enforcement in association with legal. On the other hand, there is a presumption that contraints of corruption eradicating in Indonesia because corruption has became a part of nation’s culture. This presumption must be clarified that Indonesian genuine culture is anti corruption. National Cultural Transformation, especially in combating corruption, based on 2 (two) elements which are religious values and traditional values.
KORUPSI LEGISLASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Akhmad Adi Purawan
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 3, No 3 (2014): December 2014
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (494.458 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v3i3.30

Abstract

Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tetapi kerawanan dalam proses pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang mengarah pada bentuk perilaku koruptif masih terjadi. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, studi ini mencari jawaban atas pertanyaan apakah pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 telah mengantisipasi terjadinya korupsi legislasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Studi ini menyimpulkan bahwa secara normatif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sudah cukup antisipatif dalam menciptakan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengarah pada bentuk pencegahan terhadap praktik korupsi legislasi. Namun, perwujudan pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik dan bersih sangat tergantung pada kualitas pelaksanaannya. Dari lima tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, studi ini menemukan tahap perencanaan dan pembahasan mengandung kerawanan yang cukup tinggi, sedangkan pada tahap penyusunan, penetapan/pengesahan, dan pengundangan kecil kemungkinan terjadi. Untuk meminimalisasi peluang terjadinya korupsi legislasi, studi ini mengusulkan empat prinsip yang dapat diterapkan, meliputi ketatalaksanaan, profesionalitas, justifikasi, dan partisipasi publik.Indonesia has Law Number 10 year 2004 on drafting of the laws then its superseded by Law Number 12 year 2011 but the vulnerability in the law making process that lead to corruptive behaviour remain happens. By using juridical normative methods, this study seeks answers whether the regulation in the Law Number 12 year 2011 have been anticipating for the vulnerability of legislative corruption in law making process. This study conclude that normatively Law Number 12 year 2011 has been quite anticipative in forming mechanism of law making process which is lead to prevent legislative corruption practices. However, the embodiment of clean and good establishment of legislation is depend on the quality of its implementation. Among the stages of law making process , this study found that planning and discussion stages are quite vulnerable to legislative corruption, while preparation, enactment, and promulgation less likely occured. In order to minimize possibility of legislative corruption, this study proposes four principles can be applied icluded the management, professionalism, justification, and public participation.
OPTIMALISASI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM ERA DESENTRALISASI DI INDONESIA Suharyo, Suharyo
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 3, No 3 (2014): December 2014
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (514.149 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v3i3.31

Abstract

Pelaksanaan desentralisasi merupakan kebijakan negara sebagai upaya mendekatkan pelayanan masyarakat dan kesejahteraan rakyat, menumbuhkan partisipasi masyarakat, serta good governance , ternyata berimplikasi negatif dengan menyuburnya korupsi di daerah. Untuk itu tulisan ini berusaha meneliti apa yang menyebabkan perilaku korupsi pada era desentralisasi serta bagaimana optimalisasi pemberantasan korupsi di tengah desentralisasi. Dengan menggunakan metode yuridis normatif disimpulkan bahwa penegak hukum di daerah tidak optimal dalam pemberantasan korupsi di wilayah hukumnya. Salah satunya adalah disebabkan keterbatasan jumlah penyidik KPK yang harus beroperasi di seluruh Indonesia. Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang diawali dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan menyusul Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam implementasinya diharapkan mampu mendinamisasikan serta meningkatkan derajat desentralisasi, dapat meminimalisir epidemi korupsi di daerah. Penguatan jajaran penegak hukum di daerah serta strategi represif merupakan upaya yang harus dikedepankan dalam optimalisasi pemberantasan korupsi.The decentralization is a state policy to draw between public service and public welfare, emerging public participation and good governance, infact have negative implications for corruption at the local area increasingly. Therefore this paper try to examine what caused corruptive behaviour in the decentralization era as well as how to optimize corruption eradication in the decentralization era. Using normative juridis method, it can be concluded that the role of law enforcement officer in local area did not combat corruption within his jurisdiction optimally. It was caused by limited number of Corruption Eradication Commission’s investigators which cover all areas in Indonesia. The amendment of Law number 32 year 2004, begins with the enactment of Law Number 6 year 2014 regarding Village and immediately followed by Government Regulations in lieu of Laws Number 1 year 2014 regarding Election of Governor, Regent and Major and also Law Number 23 year 2014 regarding Amandment of Local Government, it was expected to dynamize and develop decentralization in implementation could decrease corruption epidemic in local area. Strengthening of local law enforcement officers and also repressive strategy are prioritized in optimizing the eradication of corruption.
REKONSTRUKSI POLITIK HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI MELALUI STRATEGI PENGUATAN PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM INDEPENDEN KPK Ria Casmi Arrsa
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 3, No 3 (2014): December 2014
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (773.443 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v3i3.32

Abstract

Indeks Persepi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2013 menggambarkan posisi Indonesia berada pada skala eskalasi poin yang belum bergeser secara signifikan. Kondisi tersebut mengharuskan adanya komitmen dari Pemerintah dan segenap komponen masyarakat untuk secara berkelanjutan melakukan upaya-upaya yang masif dan sistematis dalam menjalankan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan menggunakan metode yuridis normatif tulisan ini akan membedah apa yang menjadi dasar urgensi rekonstruksi politik hukum pemberantasan korupsi, serta bagaimanakah model rekonstruksi politik hukum dalam pemberantasan korupsi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu upaya masif dan sistematis dimaksud dapat dilakukan melalui gagasan rekonstruksi politik hukum pemberantasan korupsi melalui strategi penguatan penyidik dan penuntut umum independen Komisi Pemberantasan Korupsi. Gagasan ini dimaksudkan sebagai sarana untuk mendorong arah politik kebijakan dan regulasi agar menopang kinerja KPK secara optimal dalam bidang pencegahan dan/atau penindakan korupsi dalam skala pusat sampai daerah. Rekonstruksi politik hukum diarahkan pada argumentasi baik dalam ranah substansi hukum, struktur hukum, kultur hukum, dan sarana- prasarana melalui penguatan sumber daya manusia baik dari sisi kualitas, kuantitas maupun anggaran. Oleh karenanya dukungan sektor politik diperlukan agar strategi pemberantasan korupsi inheren dengan gagasan yang termaktub di dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption , UNCAC)Indonesia’s corruption perception index (CPI) in 2013 illustrates Indonesia position in escalation stage point has not improved significantly. These conditions requires commitments from the Government and all society components to make massive and systematic efforts continuously in carrying out eradication of corruption agenda in Indonesia. Using juridis normative method this article will discuss urgents points of reconstruction of corruption eradication legal policy, also how the model of reconstruction of corruption eradication legal policy its self. This research results shows that one massive and systematic efforts can be done through reconstruction idea of ecorruption eradication legal political strategy through strengthening independent investigator and prosecutor of the Corruption Eradication Commission. This idea intends to encourage political direction of policy and regulation in order to support optimal performance of the Commission in the field of prevention and/or execution of corruption both in central and region scale. Political legal reconstruction directs to the substance of the argument in legal substance, legal structure, legal culture, and infrastructure through the empowerment of human resources from quality, quantity and budget aspects. Therefore political sector strategy supports needed in order to eradicate corruption inherent with the idea that inline within United Nations Convention against Corruption, UNCAC (United Nations Convention Against Corruption).
MENCIPTAKAN SISTEM PELAYANAN PUBLIK YANG BAIK: STRATEGI REFORMASI BIROKRASI DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI Tyas Dian Anggraeni
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 3, No 3 (2014): December 2014
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (548.79 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v3i3.34

Abstract

Pemerintah mempunyai peran yang cukup besar untuk pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu wujud nyatanya adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Rendahnya komitmen pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan rentan terhadap tindakan korupsi, menurunkan kepercayaan masyarakat kepada negara. Dikalangan birokrasi sendiri sudah mendarah daging berbagai macam perilaku yang menjadi benih dari tindak pidana korupsi yang besar. Mental korup seakan sudah menjadi penyakit birokrasi dan susah untuk disembuhkan. Tulisan ini membahas potret buruknya pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah yang mengarah kepada perbuatan tindak pidana korupsi serta membahas bagaimana memperbaiki pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara melalui kebijakan ditawarkan oleh Presiden terpilih Jokowi dengan menawarkan revolusi mental dalam rangka reformasi birokrasi. Dengan metode sosiolegal dapat disimpulkan bahwa, revolusi mental yang ditawarkan dapat di transformasikan ke dalam program reformasi birokrasi yang seolah-olah tidak pernah berhasil. Dibutuhkan komitmen serta model konkret dari seorang pemimpin guna mensukseskan program reformasi birokrasi. Untuk menjamin adanya keseragaman dalam implementasinya, reformasi birokrasi dapat dituangkan dalam bentuk sistem pembinaan yang dilakukan kepada penyelenggara negara.Government has a big role to meet needs and welfare of its own society. As real contribution to the society through public services. Government’s lack of commitment to deliver quality public services and vulnerable to corrupt, lower society’s trust to the states. Among its bureaucracy ingrained wide range of behaviors that become seeds of huge corruption .Corruption mental seemed become bureaucracy’s complication and difficult to heal. This paper discuss the lack of public services performed by government which directing to criminal action also discusss how to improve public services run by state officials through policies offered by elected President Jokowi by offering mental revolution in order to reform the bureacracy. With sosiolegal method can be concluded that offered mental revolution can be transformed into a bureaucratic reform programs as if it never worked. It takes commitment and concrete models of a leader to succeed the bureaucratic reformation program . To ensure uniformity in implementing, bureaucratic reform can realized into character development system to the state officials firmly
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI KORPORASI Henry Donald Lbn. Toruan
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 3, No 3 (2014): December 2014
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (510.665 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v3i3.33

Abstract

Pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini, masih seputar pelaku orang-perseorangan seperti pegawai negeri, pejabat publik, anggota DPR, direksi dan pegawai perusahaan. Belum menyentuh orang perseorangan diluar individu, yang dikenal sebagai badan hukum atau korporasi. Padahal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) dalam Pasal 1 ayat (3), telah menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi. Tetapi kenyataannya, pemidanaan korporasi hampir jarang tersentuh. Sementara masyarakat menghendaki agar korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi dijatuhi pidana. Oleh karena itu penting untuk dibahas dengan menggunakan metode normatif apakah korporasi merupakan subyek tindak pidana korupsi dan bagaimana bentuk pertanggung jawaban hukumnya apabila korporasi dianggap sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Jika mengacu pada Pasal 2 ayat (1) UUPTPK berikut penjelasannya, maka tindak pidana korupsi korporasi merupakan perbuatan melawan hukum baik dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yang perbuatannya dapat dipidana. Namun pertanggungjawaban pidana pada perbuatan melawan hukum dalam arti formil mengalami kesulitan karena hukum pidana menganut asas legalitas dimana unsur kesalahan mutlak harus dipenuhi agar seseorang dapat dipidana. Pertanggungjawaban yang mungkin dilakukan terhadap korporasi yang melakukan perbuatan melawan hukum tindak pidana korupsi adalah dalam pidana bentuk lain.The examination of the Corruption Eradication Commission (KPK) over the years, is still about individuals actors such as civil servants, public officials , members of Parliament , directors and employees of the company. Besides those individual actors, there is also legal entity called corporation that has not been touched by the KPK. Eventough Law Number 20 year 2001 regarding the Amendment of Law Number 31 year 1999 on the Eradication of Corruption (UUPTPK) in Article 1 verse (3) have been mentioned corporation as the subject of corruption. But in reality, the corporation almost rarely touched criminal prosecution. While society wants corporations did corruption to be punished. Thus becomes important to discuss using normative research method whether corporation may be subject to criminal sanctions and how the format of the legal liability if corporation treated as corruption legal subject. Referring to Article 2 verse (1) UUPTPK follow this for explanation,it stated that the corporate corruption is both a tort in the sense both in formal and material sense, that his deeds may be liable. But criminal liability in tort in a formal sense finds difficulty in criminal laws adhere to the principle of legality where the absolute error element must be met in order for a person can be convicted. Accountability may be made against corporation that committed an unlawful act of corruption in another form of criminal.

Page 1 of 1 | Total Record : 9