cover
Contact Name
Sekretariat Jurnal Rechtsvinding
Contact Email
jurnal_rechtsvinding@bphn.go.id
Phone
+6221-8091908
Journal Mail Official
jurnal_rechtsvinding@bphn.go.id
Editorial Address
Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta, Indonesia
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Rechts Vinding : Media Pembinaan Hukum Nasional
ISSN : 20899009     EISSN : 25802364     DOI : http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding
Core Subject : Social,
Rechtsvinding Journal is an academic journal addressing the organization, structure, management and infrastructure of the legal developments of the common law and civil law world.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 4, No 2 (2015): August 2015" : 9 Documents clear
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN HULU MIGAS PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI M. Ilham F Putuhena
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 4, No 2 (2015): August 2015
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (543.759 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v4i2.22

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 dalam permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa arah baru di dalam pengelolaan hulu migas di Indonesia. Mahkamah Konstitusi berpendapat model hubungan BPMigas dalam melakukan pengelolaan Migas telah mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam Migas sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Berangkat dari kondisi tersebut beberapa hal yang menarik untuk diteliti, yaitu bagaimana arah politik hukum pengelolaan hulu migas pasca putusan Mahkamah Konstitusi, kemudian dilanjutkan terhadap pembahasan alternatif model pengelolaan hulu migas yang sesuai dengan konstitusional. Guna menjawab permasalahan tersebut penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis Normatif, yang meneliti pengaturan hulu Migas dibandingkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, dan kemudian dijadikan dasar untuk menentukan alternatif arah politik hukum hulu migas yang baru. Dari hasil penelitian didapat sedikitnya empat alternatif model kelembagaan pengelolaan hulu Migas yaitu: model melembagakan SKK Migas secara permanen; model yang memberikan wewenang kembali kepada PERTAMINA; model pemerintah secara langsung melakukan penunjukan, dan mendirikan BUMN baru atau model dengan pembentukan lembaga baru. Dari penelitian ini disarankan Pemerintah dan DPR harus menjadikan putusan mahkamah konstitusi sebagai bahan acuan dalam mendesain model pengelolaan hulu Migas, dapat menghasilkan kelembagaan dan pengelolaan yang konstitusional dalam rangka membangun kepastian berinvestasi dalam bisnis Migas di Indonesia.Constitutional Court Decision No. 36 / PUU-X / 2012 in a petition for judicial review of Law No. 22 of 2001 on Oil and Gas against the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 has brought a new direction in the management of upstream oil and gas in Indonesia. The Constitutional Court argued that BPMigas business relationship model in managing oil and gas has been degrading the meaning of state control over natural resources of oil and gas as mandated by the Article 33 of the 1945 Constitution. Departing from these conditions some interesting things to be investigated, are how the politics of law direction of the upstream oil and gas management after the Constitutional Court decision, and then followed by the discussion of alternative models of upstream oil and gas management that is in accordance with constitutional. To answer these problems this research is using normative juridical method, which examined the setting of upstream oil and gas compared with the Constitutional Court decision, which is then being used as the basis for determining the alternative direction of politics of law of the new upstream oil and gas laws. The result is at least four alternative models of institutional management of upstream oil and gas obtained, namely: a model where it institutes SKK Migas permanently; a model that gives authority back to Pertamina; a model where the government make direct appointment, and established new state-owned enterprises or a model with the establishment of new institutions. What this research suggested is that the Government and Parliament must make Constitutional Court decision as a reference in designing the management model of the upstream oil and gas, where it can produce institutional and constitutional governance in order to establish certainty to invest in oil and gas business di Indonesia.
PERGESERAN PARADIGMA HUKUM INVESTASI PERTAMBANGAN Henry Donald Lbn. Toruan
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 4, No 2 (2015): August 2015
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (534.204 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v4i2.23

Abstract

Peratuan mengenai pertambangan di Indonesia, dikenal suatu bentuk kerjasama yang juga sudah diterima di kalangan pertambangan internasional yaitu dengan model kontrak karya, dimana Pemerintah Indonesia sebagai Principal, sedangkan perusahaan menjadi kontraktor. Namun seriring waktu terlihat bagaimana luasnya kewenangan perusahaan pertambangan. Sehingga Model kerjasama atas dasar kontrak karya dalam investasi pertambangan, dipandang sebagai biang keladi ketidak berdaulatan Negara atas tambang. Karena pemerintah diposisikan sebagai badan hukum privat, yang mempunyai kedudukan yang sejajar dengan badan hukum privat perusahaan pertambangan. Oleh karena itu pemerintah Indonesia melakukan perubahan regulasi di bidang penanaman modal dan pertambangan. Kemudian, apa yang harus dilakukan pemerintah dalam menyikapi penyesuaian kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Lalu, apakah pergeseran pradigma hukum investasi pertambangan tersebut akan memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan normatif. Didapatkan jawaban bahwa pergeseran pradigma hukum investasi pertambangan di Indonesia dari Kontrak Karya menjadi IUPK, menjadikan Negara berkuasa atas mineral dan tambang. Pergeseran pradigma ini diharapkan akan dapat memberikan nilai tambah (value added) yang diciptakan oleh sektor-sektor produktif seperti pertambangan bagi peningkatan pendapatan pada perekonomian nasional. Sehingga akan memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya pada masyarakat, yaitu kesejahteraan baik itu pendidikan, lapangan pekerjaan dan sebagainya.Mining regulation in Indonesia recognize a work contract model which is also known in international level as a common model of agreement, where Government of Indonesia as principal while foreign company as contractor. As time passed, it can be seen that mining company had huge authority over a mining. Work Contract often been pointed as a caused of the dissoverignty of a county over mining. It is because government has been positioned as private legal entity as in the same level as private mining company. Thus government of Indonesia makes changes in investment and mining regulation. In order to adjust with this changing (of Work Contract to Special Minning Permit) what the Government must do? And how is the paradigm shift of investment law in mining in Indonesia gives benefit and legal certainty? To get answers to these questions, this research is conducted with normative approach. The research’s findings are that paradigm shifts in Indonesia’s Mining investment law make Government of Indonesia has absolute power over mining. Hence this shift can give value added created by the productive sectors for the increasing revenue of national economic. And in the end, it will give huge benefits to Indonesian people, that is welfare in education, jobs, etc.
PROBLEMATIKA HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI: MENGURAI HUBUNGAN ANTARA REGULASI DAN KONFLIK SUMBER DAYA ALAM DI PAPUA Harison Citrawan
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 4, No 2 (2015): August 2015
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (505.376 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v4i2.24

Abstract

Regulasi otonomi khusus di Papua mengindikasikan bahwa sistem pengelolaan sumber daya alam di Papua pada prinsipnya terbuka bagi publik, bukan hanya nasional namun juga internasional; tergantung pada pihak mana yang mampu menyajikan efisiensi dalam kompetisi pengelolaan. Persoalan muncul ketika regulasi yang berlaku tersebut belum mampu secara maksimal dioperasionalkan oleh pemerintah dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat di Papua. Di lain pihak, situasi keamanan yang sangat rentan di daerah pegunungan Papua kerap menjadi kendala dalam optimalisasi perlindungan hak asasi manusia di Papua. Hal tersebut diperburuk dengan stigma negatif pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri di Papua yang seringkali diasosiasikan dengan pemisahan diri dari teritori Republik Indonesia. Tulisan ini mengangkat permasalahan utama yakni hubungan antara artikulasi pemegang hak menentukan nasib sendiri, dengan regulasi pengelolaan masyarakat hukum adat atas sumber daya alam dalam konteks otonomi khusus di Papua. Dalam menganalisis data kualitatif yang dikumpulkan, penulis menggunakan pendekatan hak asasi manusia, khususnya hak menentukan nasib sendiri, terhadap regulasi dan fenomena konflik agraria yang terjadi di Papua. Analisis dengan pendekatan ini akan mencoba menggambarkan hubungan antara pemegang hak dengan pemangku kewajiban dalam konsep hukum hak asasi manusia. Adapun penulis menyimpulkan bahwa kegagalan pemerintah dalam mengakomodasi eksklusivitas hak masyarakat adat Papua berawal dari keruwetan dalam mengejawantahkan hak menentukan nasib sendiri masyarakat Papua ke dalam bentuk regulasi, mulai dari undang-undang sampai pada peraturan daerah khusus. Fakta tentang konflik sosial di sektor agraria dan sumber daya alam yang marak terjadi di Papua merupakan indikasi awal, bahwa diperlukan sebuah reposisi tentang pengaturan hak masyarakat adat dalam pengelolaan agraria dan sumber daya alam.Special autonomy regulation in Papua indicates us that natural resources management at the area is in principle open for public both nationally and internationally, depending on which party is capable in providing an efficient management. The problems occurred when such regulations has yet to be operated by the government in enhancing locals living. On the other hand, a very vulnerable security situation around the mountainous area seems to hinder the optimal protection of people’s right in Papua. These conditions were exacerbated by negative stigma of the exercise of the right to self- determination in Papua, which mostly associated with seccession from the Republic. This article attempts to describe the relation between the articulations of right to self-determination holders andthe regulations regarding local management on natural resources in the context of special autonomy. The present author concludes that the failure in acommodating the exclusive right of the Papuans was caused by the complication in translating right to self-determination of the Papuans into regulations, from undang-undang (acts) up to peraturan daerah khusus (special autonomy bylaws). The fact of rampant social conflicts in agrarian and natural resources field is an initial indication that there is a need in repositioning the law regulatiing people’s right to manage their own agrarian and natural resources.
ASPEK HUKUM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN LINDUNG PULAU TARAKAN Syaprillah, Aditia
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 4, No 2 (2015): August 2015
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (475.697 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v4i2.25

Abstract

Kota Tarakan merupakan kota di atas pulau dengan luas daratan hanya mencapai ± 250.80 km², kebutuhan terhadap lahan perkebunan dan pemukiman menjadi salah satu penyebab terjadinya permasalahan degradasi kawasan hutan, kondisi ini diperparah dengan semakin pesatnya perkembangan jumlah penduduk di Kota Tarakan. Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu melakukan penelitian hukum tentang pemberdayaan masyarakat setempat di sekitar hutan lindung pulau Tarakan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan ( Statute Approach ) yang menelaah peraturan yang terkait dengan isu hukum yang sedang ditangani. Hasil penelitian menunjukan bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat disekitar hutan lindung Pulau Tarakan mempunyai peran yang sangat strategis dalam pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan serta untuk menjaga kelestarian hutan lindung pulau Tarakan, hal tersebut perlu ditunjang dengan perubahan pendekatan melalui pemberian akses dan pelibatan masyarakat dalam setiap kebijakan. Untuk itu disarankan perlu adanya peraturan daerah yang lebih responsif untuk melindungi setiap hak- hak dan jaminan sosial dan ekonomi masyarakat yang ada di dalam wilayah hutan lindung Pulau Tarakan.Tarakan city is a city on the island with a land area only reached ± 250.80 km², the need for plantations and settlements is one of the causes of forest degradation problems, the condition is exacerbated by the rapid growth of population in the city of Tarakan. Based on the above problems, it is necessary to conduct legal research on empowering communities around protected forests area of Tarakan. This study uses normative method and statute approach that examines regulations related to legal issues that are being addressed. The research showed that the activities of the empowerment of communities around the protected forest area of Tarakan Island has a very strategic role in the prevention and eradication of forest damage and to preserve the protected forests of Tarakan Island, it needs to be supported by a change of approach by providing communities access and involvement in every policy. It is suggested that there needs to be more responsive local regulations to protect every rights and social and economic security of communities in the protected forest area of Tarakan Island.
DINAMIKA HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN SUMBER DAYA ALAM DALAM RANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Ahmad Jazuli
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 4, No 2 (2015): August 2015
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (481.496 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v4i2.19

Abstract

Konferensi Lingkungan Hidup Sedunia I yang diselenggarakan di Stockholm, Swedia pada bulan Juni 1972, mendorong Pemerintah Indonesia untuk berkomitmen mengarahkan pembangunan untuk mencapai peningkatan kesejahteraan berkelanjutan dan mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari sesuai sasaran dan arah pembangunan Lingkungan Hidup yang digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus berorientasi kepada konservasi sumberdaya alam untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, dengan menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan terpadu. Namun dalam implementasinya terdapat beberapa fakta seperti masih rendahnya pemahaman akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkesinambungan, lemahnya penegakan hukum sehingga menyebabkan tekanan yang berlebihan terhadap fungsi lingkungan hidup, bahkan sampai mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, masih tingginya tingkat pencemaran lingkungan hidup, serta kurang adanya keselarasan pengaturan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antarsektor terkait. Dengan pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis melalui pengkajian hukum doktrinal, maka disimpulkan bahwa permasalahan lingkungan hidup pada substansinya hanya terfokus pada “pengendalian lingkungan” dan dalam implementasinya di daerah cenderung bersifat administratif-kewilayahan dan berorientasi ekonomi. Oleh karena itu harus ada perubahan paradigma dalam pengelolaan sumber daya alam agar supaya kebijakan keputusan yang diambil menggunakan perspektif jangka panjang dengan mengedepankan pembangunan yang berkelanjutansecara terintegral serta mempertimbangan aspek sosial masyarakat.First World Environment Conference held in Stockholm, Sweden in June 1972, encourage the Indonesian Government to commit steering the development to achieve sustainable prosperity and creating a sustainable Indonesia as targetedby Environment outlined in the Long Term Development Plan 2005 -2025. Article 33 paragraph (3) of the Indonesian Constitution of 1945 mandated that the management of natural resources should be oriented to the conservation of natural resources to ensure the preservation and sustainability of natural resources functions, using a comprehensive approach and unified patterned. However, in implementation, there are several facts such as lack of understanding of the importance of natural resource management and sustainable environment, weak of law enforcement causing excessive pressure on the environmental functions, even to the extent of environmental damage, the high level of environmental pollution, as well as lack of regulation’s harmony between central and local governments, as well as between sectors. With normative juridical approach and descriptive analysis through reviewing the doctrinal law, it is concluded that the environmental issues in substance only focused on “environmental control” and in its implementation in the region tend to be the administrative-territorial and economic oriented. Therefore there must be a paradigm changed in the management of natural resources so that policy making are used in a long-term perspective with promoting sustainable development and consideration of integrating the social aspects of society.
POLITIK HUKUM PERTAMBANGAN MINYAK BUMI PADA SUMUR TUA SEBAGAI STRATEGI MENUJU KETAHANAN ENERGI DI INDONESIA Ananda Prima Yurista
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 4, No 2 (2015): August 2015
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (518.195 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v4i2.26

Abstract

Pengelolaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua terbagi dalam tiga aspek, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Pengelolaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua juga memiliki hambatan permasalahan, yaitu norma pengaturan dan praksis pengusahaan. Norma pengaturan tidak serta merta membuka pintu keterlibatan daerah melalui BUMD untuk dapat berpartisipasi dalam pengusahaan minyak bumi pada sumur tua. Aspek praksis pengusahaan juga dibenturkan pada aspek ketersediaan modal, data sumur tua, hambatan teknis di lapangan, lahan lokasi sumur tua, dan pengawasan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Adanya peluang yang diberikan kepada BUMD atau KUD untuk ikut mengusahakan sumur tua menjadi sebuah harapan baru untuk dapat mengoptimalisasi produksi minyak bumi pada sumur tua sebagai salah satu strategi menuju ketahanan energi di Indonesia. Diperlukan pembenahan yang holistik, baik dari aspek norma pengaturan, maupun dari aspek praksis pelaksanaan pengusahaan minyak bumi pada sumur tua. Selain itu, pemerintah harus melaksanakan implementasi norma dalam Pasal 16 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 mengenai pengembalian wilayah kerja, sebagai sebuah upaya agar pengelolaan minyak bumi pada sumur tua dapat dilakukan BUMD dan KUD secara mandiri.Management of oil mining in old wells are divided into three aspects, namely planning, implementation, and supervision. Management of oil mining in old wells also have a bottleneck problem, namely regulations and practices. Regulations do not necessarily open the door for local government enterprises (BUMD) to participate in the exploitation of oil in old wells. Practical aspects of exploitation are also collided with the aspect of availability of capital, old wells data, technical barriers in the field, old well locations, and supervision. This research is a normative juridical research. The opportunities given to BUMD or village unit cooperatives (KUD) to participate in exploitation of old wells become a new hope to optimize oil production in old wells as a strategy towards energy security in Indonesia. Holistic improvements are needed, both from the aspect of regulation, as well as the practical aspects of the implementation of the exploitation of oil in old wells. In addition, the government should implement norms set out in the Article 16 and Article 17 of Law Number 22 Year 2001 regarding the return of the working area, as an effort for the management of oil mining in old wells can be operated independently by BUMD and KUD.
DARURAT KEBIJAKAN PEMENUHAN KEBUTUHAN HASIL SUMBER DAYA ALAM DI PASAR DALAM NEGERI Ahmad Redi
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 4, No 2 (2015): August 2015
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (516.072 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v4i2.20

Abstract

Liberalisasi ekonomi berdampak pada liberalisasi produk sumber daya alam (SDA) Indonesia. Produk SDA secara ideal diprioritaskan terlebih dahulu untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri sebelum diliberalisasi di pasar bebas karena menyangkut ketahanan nasional Indonesia.Tulisan ini akan melakukan kajian mengenai: 1. Bagaimanakah pengaturan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri atas komoditas sumber daya alam di Indonesia? dan 2. Hambatan dan tantangan apa saja yang mungkin timbul atas kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri dalam rangka ketahanan nasional? Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum normatif. Adapun jawaban permasalahan tersebut, pertama, peraturan perundang-undangan bidang SDA ada yang telah mengatur mengenai pemenuhan kebutuhan dalam negeri, tetapi ada pula peraturan perundang-undangan yang tidak mengatur. Kedua, hambatan pemenuhan kebutuhan dalam negeri atas hasil sumber daya alam meliputi hambatan regulasi, implementasi, dan kapasitas. Lalu tantangannya, meliputi tantangan perkembangan paham liberalisasi, komodifikasi SDA, dan ketahanan SDA. Adapun saran dari hasil kajian ini, antara lain pembuat kebijakan harus menentukan secara ketat komoditas SDA yang akan diekspor; mengurangi bahkan menghilangkan ekspor bahan mentah; dan tegas kepada pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri.Economic liberalization made impact on natural resources product’s liberalization in Indonesia. Natural resources products are ideally prioritized to meet domestic needs before they are liberalized in the free market because they strategically influence Indonesia’s national resilience. This article will carry out assessment on: (1) How is the regulating obligation of meeting domestic need for Indonesia natural resources commodity products?; and (2) What obstacles and challenges that might arise on this obligation of meeting domestic need in the frame of national resilience? The research use normative legal research method. The research’s finding are, first, some of the legislative regulations on natural resources have ruled on meeting the domestic need, however, there are others which have not. Second, the obstacles of meeting domestic need for natural resources products include obstacles of regulation, implementation, and capacity. The challenges include the challenge of liberalization idea development and natural resources resilience. The recommendation of this assessment is that the policy makers must set up regulation firmly on which natural resources product is exported, lowering or even erasing raw material export and act firmly to the business actors in fulfilling the obligation of meeting domestic needs.
REKONSEPSI HAK PENGUASAAN NEGARA ATAS WILAYAH UDARA DI TENGAH KEBIJAKAN LIBERALISASI PENERBANGAN Endang Puji Lestari Puji Lestari
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 4, No 2 (2015): August 2015
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (500.48 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v4i2.27

Abstract

Perkembangan di dunia penerbangan terhadap prinsip kedaulatan negara di ruang udara yang bersifat complete and exclusive kini telah terkikis oleh berbagai perjanjian internasional di bidang penerbangan yang dibuat oleh negara-negara dewasa ini seperti perjanjian perdagangan jasa pesawat penerbangan baik yang berbentuk multilateral seperti WTO, Regional seperti ASEAN maupun bilateral. Tulisan ini mengidentifikasi dua permasalahan yaitu: pertama, bagaimanakah konsep kedaulatan negara atas ruang udara yang bersifat complete dan exclusive dalam hukum internasional diimplementasi dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia melalui hak penguasaan negara? kedua, bagaimana konsep hukum yang tepat yang dapat mengharmoniskan kepentingan kedaulatan negara melalui hak pengusaan negara di tengah liberalisasi perdagangan jasa penerbangan? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa: pertama, terjadi pergeseran makna kedaulatan negara dalam penguasaan wilayah udara dari penguasaan yang ekslusif dan lengkap menjadi terbatas karena adanya liberalisasi perdagangan dunia penerbangan. Kedua, rekonseptualisasi peran pemerintah dalam hal penguasaan negara atas ruang udara sebagai sumber daya strategis adalah pergeseran peranan pemerintah dari sebagai penonton saja menjadi fasilitator dan regulator yang berperan besar dalam meningkatkan daya saing dunia penerbangan nasional. Penelitian ini menyarankan peranan pemerintah dalam meningkatkan daya saing dunia penerbangan adalah melalui: menciptakan peraturan perundang- undangan yang menjamin adanya kepastian hukum, reformasi birokrasi di bidang penerbangan, penyediaan infrastruktur penerbangan, peningkatan kualitas SDM di bidang penerbangan, dan penegakan hukum yang konsisten.The development in the aviation world on the principle of state sovereignty in air space that is both complete and exclusive have now been eroded by various international treaties in the field of airflight made by countries today as a trading treaty services of an aircraft in flight, both multilateral treaty like WTO, and regional treaty such as ASEAN or bilateral treaty. This articles identify two problems, first, how is state sovereignty concept over air space that is exclusive and complete under international law can be implemented in the Indonesia’s law and regulation through State Right Sovereignty over Airspace, second, how is the legal concept that can harmonize sovereignty interest through the State Right of Sovereignty over Airspace under liberalization regime? The methods of this research are normative resecarh approach. The result of this research shown that: Firstly, there is a shift in the meaning of State Sovereignty over its airspace from the complete and exclusive control and be limited because of the trade liberalisation of aviation world. Secondly, role re-conceptualitation of the government regarding the state sovereignty over its air space as a source of strategic power from the role of the government as a spectator to a facilatator and regulator with a major role in increasing the competitiveness of national flight. This research suggested that the role of the government in increasing the competitiveness of the national flight can be done by: creating the law and regulation that guarantee the legal certainty, bureaucracy reform in the field of flight, providing infrastructure flight, increasing the quality of human resources in the field of flight, and law enforcement that are consistent.
TELAAH SOCIOLEGAL TERHADAP TERWUJUDNYA KEDAULATAN HAK ATAS SUMBER DAYA AIR Ria Casmi Arrsa
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 4, No 2 (2015): August 2015
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (577.191 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v4i2.21

Abstract

Amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat”. Namun demikian dalam ranah praktek penyelenggaraan negara maka pengelolaan Sumber Daya Air di Indonesia mengalami pergeseran paradigma pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang cenderung mengarah pada praktek privatisasi sehingga sering memicu terjadinya konflik sosial. Untuk mengkaji permasalahan yang ada, maka dalam penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode Socio Legal . Dapat disimpulkan bahwa pergeseran paradigma penguasaan sumber daya air oleh swasta dan/atau pihak asing yang bersifat monopoli dan eksploitatif memiliki potensi untuk menimbulkan konflik sosial. Untuk itu diperlukan revisi terhadap ketentuan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air guna mewujudkan kedaulatan atas Sumber Daya Air dan melakukan harmonisasi dan sinkronisasi hukum terhadap aturan pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut. Pemerintah juga perlu melakukan identifikasi guna mengeluarkan kebijakan agar sumber daya air dimasukkan dalam kategori bidang usaha yang tertutup dari penanaman modal.Mandate of Article 33 paragraph (3) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 states that, “The earth and water and natural resources contained therein shall be controlled by the state and used for maximizing peopleprosperity”. Constitutional design is essentially gave birth to the idea of Neo-Socialism of Indonesia nations toward the management of water resources oriented to the overall prosperity of the people. However, in the realm of the state governing, practice management of water resources in Indonesia experienced a paradigm shift after the enactment of Law Number 7 year 2004 regarding Water Resources which intended to lead of privatization practices that potentially lead to social conflict. The constitutional court through the Constitutional Court Decision No. 85/ PUU-XII/2013 opened a new chapter in the management of Water Resources Indonesia directed at political reconstruction prismatic design rights law Mastering State Upper Water Resources based on the values of social justice and popular participation in order to ensure the realization of the people’s sovereignty on Water Resources. The final goal of this study was expected tobridge formation of paradigmatic legal framework for the management of water resources in order to reach future welfare.

Page 1 of 1 | Total Record : 9