cover
Contact Name
Syahreza Fachran
Contact Email
padjadjaranlawreview@gmail.com
Phone
+6282113093118
Journal Mail Official
padjadjaranlawreview@gmail.com
Editorial Address
Jl. Dipati Ukur No.35, Lebakgede, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat 40132
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Padjadjaran Law Research and Debate Society
ISSN : 24076546     EISSN : 26852357     DOI : doi.org/10.56895/plr
Core Subject : Social,
Padjadjaran Law Review (PLR) merupakan Jurnal Hukum sejak tahun 2013 dan secara konsisten dikelola oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. PLR Bernaung dibawah Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS). PLR memiliki dua tujuan utama yakni untuk mengumpulkan karya-karya pemikir hukum terbaik sekaligus memberikan wadah penulis kritis untuk mempublikasikan karya mereka. PLR menerbitkan karya ilmiah orisinil yang membahas isu-isu hukum yang berkembang dari hasil penelitian dan kajian analitis dari para mahasiswa, dosen, profesor, hingga para praktisi hukum.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol. 10 No. 2 (2022): PADJADJARAN LAW REVIEW" : 10 Documents clear
Analisis Perlindungan Hukum Rahasia Dagang pada Perjanjian Waralaba berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang Elsa Benia
Padjadjaran Law Review Vol. 10 No. 2 (2022): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56895/plr.v10i2.1017

Abstract

Abstrak Perlindungan rahasia dagang dijamin melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (UU Rahasia Dagang). Namun, perlindungan itu memerlukan peningkatan karena sektor-sektor terkait seperti bisnis mengalami perkembangan. Buktinya kini skema waralaba semakin banyak dilakukan untuk mengembangkan suatu usaha. Bahkan dalam Data Kemendag yang dipaparkan oleh Oke Nurwan selaku Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri pada acara Indonesia Franchise Forum dan Bizfest 2021, menyatakan bahwa di tahun 2021 jumlah waralaba asing yang masuk ke Indonesia kembali meningkat dan mencapai angka 124. Padahal di tahun sebelumnya waralaba sendiri telah menyerap 628 ribu tenaga kerja serta mencapai omzet Rp 54,4 miliar. Menariknya, kondisi tersebut justru berpotensi menimbulkan masalah baru yaitu kebocoran rahasia dagang. Sehingga ketika suatu bisnis memiliki banyak waralaba maka perlindungan yang harus dilakukan oleh pemilik bisnis atas rahasia dagang miliknya juga harus lebih diperkuat. Disini nyatanya terdapat urgensi untuk menelaah tentang bagaimana UU Rahasia Dagang menyikapi perlindungan hukum rahasia dagang ketika terjadi perjanjian waralaba. Artikel ini menggunakan metode yuridis normatif serta pendekatan undang-undang. Dari sini ditemukan bahwa UU Rahasia Dagang belum begitu merespon perlindungan rahasia dagang pada perjanjian waralaba secara spesifik, namun dasar-dasar perlindungannya masih tetap diatur dan dapat dijadikan pedoman. Kata Kunci: Kekayaan Intelektual, Nilai Ekonomi, Perjanjian Waralaba, Perlindungan Hukum, Rahasia Dagang. Abstract Trade secret protection is guaranteed through Law Number 30 of 2000 concerning Trade Secrets (Trade Secrets Law). However, this protection needs improvement as related sectors such as business develop. The proof is that now more and more franchising schemes are being carried out to develop a business. Even the Ministry of Trade data presented by Oke Nurwan as Director General of Domestic Trade at the Indonesia Franchise Forum and Bizfest 2021, stated that in 2021 the number of foreign franchises entering Indonesia again increased and reached 124. Whereas in the previous year the franchise itself had absorb 628 thousand workers and reach a turnover of Rp 54.4 billion. Interestingly, this condition has the potential to create a new problem, namely the leakage of trade secrets. So that when a business has many franchises, the protection that must be carried out by business owners for their trade secrets must also be strengthened. Here, in fact, there is an urgency to examine how the Trade Secret Law addresses the legal protection of trade secrets when a franchise agreement occurs. This article uses a normative juridical method as well as a law approach. From this it is found that the Trade Secret Law has not yet responded to the protection of trade secrets in specific franchise agreements, but the basics of its protection are still regulated and can be used as guidelines. Keywords: Intellectual Property, Economic Value, Franchise Agreement, Legal Protection, Trade Secret.
Tanggung Jawab Penyedia Platform terhadap Pekerja Gig (Gig Worker) dalam Hubungan Kemitraan atas Wanprestasi Pembeli Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Aril Ramadhan; Holyness N Singadimedja; Rr. Janti Surjanti
Padjadjaran Law Review Vol. 10 No. 2 (2022): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56895/plr.v10i2.1025

Abstract

Abstrak Perjanjian kemitraan antara penyedia platform dengan gig worker (kurir) merupakan perjanjian kemitraan yang berbentuk semu, di mana kedudukan di antara keduanya tidak seimbang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menindaklanjuti pertanggungjawaban dari penyedia platform yang menjalin kemitraan dengan gig worker atas tindakan wanprestasi yang dilakukan pembeli kepada gig worker. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan menitikberatkan pada pemanfaatan bahan pustaka atau data sekunder, yang memuat bahan hukum primer, sekunder, ataupun tersier. Dalam mengumpulkan data yang diperlukan untuk penelitian dilakukan dengan 2 (dua) tahap penelitian yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan yang diperoleh melalui wawancara secara daring. Berdasarkan hasil penelitian bahwa tanggung jawab penyedia platform kepada gig worker terbatas karena adanya klausul eksonerasi (batasan tanggung jawab) dalam perjanjian kemitraan yang telah dibuat, sehingga penyedia platform tidak memiliki tanggung jawab kepada gig worker terhadap akibat dari adanya wanprestasi yang dilakukan pembeli. Selain itu, pelindungan hukum bagi gig worker tidak dapat dilaksanakan karena di dalam perjanjian kemitraan, gig worker menyetujui perjanjian tersebut yang di dalamnya berisi klausul ganti rugi mengenai tidak dapat menuntut ataupun mengajukan gugatan kepada penyedia platform. Kata kunci: gig worker, pelindungan, penyedia platform, tanggung jawab. The Responsibility of the Platform Provider to Gig Worker in a Partnership Relationship for the Buyers Default is Reviewed from the Civil Law Code Abstract The partnership agreement between the platform provider and gig worker is a pseudo-partnership agreement, in which the position between the two is not balanced. This study aims to identify and follow up on the accountability of platform providers who form partnerships with gig workers for default actions committed by buyers to gig workers. The research method in this study is normative juridical with an emphasis on the use of library materials or secondary data, which contains primary, secondary, or tertiary legal materials. In collecting the data needed for research, it is carried out in 2 stages of research, namely library and field research obtained through online interviews. Based on the results of the research, the responsibility of the platform provider to the gig worker is limited due to the exoneration clause in the partnership agreement that has been made, so the platform provider has no responsibility to the gig worker for the consequences of a default by the buyer. In addition, legal protection for gig workers can’t be implemented because in the partnership agreement, gig worker agrees to the agreement which contains a compensation clause regarding not being able to sue or file a lawsuit against the platform provider. Keywords: gig worker, protection, platform provider, responsibility.
Pendekatan Quadruplehelix dalam Menanggulangi Problematika Sampah Makanan di Indonesia ditinjau Perspektif Hukum Nasya Nurul Amalina
Padjadjaran Law Review Vol. 10 No. 2 (2022): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56895/plr.v10i2.1026

Abstract

Abstrak Permasalahan food waste atau sampah sisa makanan telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Untuk menanggulangi problematika ini, pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai regulasi yang mengatur sistem pengelolaan sampah, termasuk sampah makanan. Sayangnya, ketentuan hukum yang dibuat saat ini masih berorientasi kepada konsep ekonomi linear yang konvensional sehingga jumlah sampah di tingkat nasional belum menunjukan penurunan yang signifikan. Dalam menanggapi permasalahan multisektoral ini, dibutuhkan solusi yang mendorong koordinasi lintas sektor pula. Oleh karena itu, melalui penelitian dengan metode yuridis normatif ini akan ditelaah mengenai pembentukan konsep hukum ideal dalam menanggulangi problematika sampah makanan di Indonesia melalui penerapan konsep ekonomi sirkular dan pendekatan quadruplehelix yang meliputi peran pemerintah, pelaku ekonomi atau pelaku industri, masyarakat, serta akademisi di dalamnya. Dari penelitian ini, didapatkan kesimpulan bahwa dibutuhkan beberapa penyesuaian yang dilakukan untuk dapat mengakomodir konsep ekonomi sirkular dalam tatanan hukum nasional termasuk di dalamnya perencanaan mengenai insentif, sosialisasi, dan standarisasi. Adapun masing-masing pihak dalam pendekatan quadruplehelix juga direkomendasikan untuk melakukan perubahan yang cukup signifikan seperti perubahan gaya hidup di masyarakat dan transformasi menuju industri hijau oleh para pelaku industri. Kata Kunci: Ekonomi Sirkular, Konsep Hukum, Pendekatan Quadruplehelix, Pengelolaan Sampah, Sampah Makanan. Abstract Food waste problems has reached an alarming stage. To overcome this problem, the Indonesian government has established regulations that focus on waste management systems, including food waste. Unfortunately, the current legal provisions are still oriented to the conventional linear economic concept so that the amount of waste at the national level has not shown a significant decline. In order to respond to this multi-sectoral problem, solutions that encourage cross-sectoral coordination are highly needed. Therefore, in this normative juridical research, it will examine the ideal legal concept in tackling the problems of food waste in Indonesia through the application of circular economy concept and quadruplehelix approach which includes the role of the government, economic actors, the community, and academics in it. From this research, it can be concluded that some adjustments are needed to be able to accommodate the circular economy concept in the national legal order, including planning on incentives, socialization, and standarization. As for each party in the quadruplehelix approach, it is also recommended to make significant changes such as changes in lifestyle by the community and transformation towards green industries ecosystem by the economic actors Keywords: Circular Economy, Food Waste, Legal Concept, Quadruplehelix Approach, Waste Management
Tinjuan Hukum terhadap Pembatalan Perjanjian secara Sepihak dalam Transaksi Pembelian Tiket Elektronik (E-ticket) atas Indikasi Kecurangan melalui Platform Tiket.com Ditinjau dari Hukum Positif di Indonesia Alifia Islamadina; Citra Layali Nur Rahmah; Aril Ramadhan Nur Alam
Padjadjaran Law Review Vol. 10 No. 2 (2022): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56895/plr.v10i2.1029

Abstract

AbstrakPerjanjian antara konsumen dan Tiket.com selaku penyelenggara termasuk ke dalam perjanjian elektronik karena dilakukan secara online dengan memanfaatkan kecanggihan internet. Kecanggihan internet tidak selalu berdampak positif, tetapi juga berisiko, seperti penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, contohnya kasus pembatalan sepihak yang dilakukan oleh Tiket.com kepada konsumen akibat ditemukannya indikasi kecurangan pada transaksi yang menggunakan bot. Selain itu, Tiket.com juga tidak memberikan informasi yang jelas mengenai indikasi kecurangan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pembatalan perjanjian secara sepihak serta menemukan upaya hukum dari permasalahan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan memanfaatkan bahan pustaka atau data sekunder. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Tiket.com yang melakukan pembatalan sepihak terkait tiket konser atas indikasi kecurangan termasuk ke dalam Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan atas kebijakan pembatalan tersebut, Tiket.com telah melanggar ketentuan yang terdapat di dalam UU Perlindungan Konsumen dan PP PSTE. Guna melindungi hak-hak konsumen, konsumen dapat mengajukan gugatan ganti kerugian atas PMH yang didasari oleh Pasal 1365 KUH Perdata. AbstractThe agreement between consumers and Tiket.com as an organizer falls under the category of electronic agreement as it is carried out online by utilizing the sophistication of the internet. The sophistication of internet does not always have positive impacts, but also risks, such as abuse by irresponsible parties, for instance, unilateral cancellation by Tiket.com of consumers’ tickets on the basis of fraud indication in transactions using bots. In addition, Tiket.com also does not provide clear information regarding the indications of the fraud. This research aims to identify and analyze unilateral cancellation of the agreement and find legal remedies for the problem. This research uses a normative juridical method by utilizing library materials or secondary data. The result of research indicates that Tiket.com who unilaterally cancels concert tickets on the basis of fraud indication is considered a form of tort and with the cancellation policy, Tiket.com violates the provisions contained in the Consumer Protection Act and Regulation of the Government on the Organization of Electronics Systems and Transactions. In order to protect consumer rights, consumers can file a claim for compensation for tort based on Article 1365 of Civil Code.
Pertanggungjawaban Franchisor Terhadap Perlindungan Hukum Karyawan Franchisee yang Melakukan Pelanggaran SOP Atas Dasar Itikad Tidak Baik Konsumen: Franchisor's Liability for the Legal Protection of Franchisee Employees Who Violates SOPs Caused by the Consumers' Bad Faith Tiffany Tambunan; Nur Fitri Melnia
Padjadjaran Law Review Vol. 10 No. 2 (2022): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56895/plr.v10i2.1031

Abstract

Abstrak Dalam franchise menjadi penting untuk menjaga mutu, termasuk pengelolaan sumber daya manusia (SDM), sehingga penting bagi franchisor untuk menanamkan budaya perusahaan (Corporate Culture) melalui Standart Operating Procedure (SOP) yang membatasi tindakan dari para karyawan dalam bekerja. Pada praktiknya ternyata tidak semua hal dirinci dalam SOP, salah satunya pelanggaran SOP dalam kode etik oleh karyawan ketika menyelesaikan masalah itikad tidak baik dari konsumen. Berdasarkan uraian tersebut, maka diangkat 2 tujuan penelitian ini, petama mengetahui dan memahami pengaturan terkait Perjanjian Kerja Franchisor dengan karyawan untuk mematuhi SOP Dalam Cabang Franchise kepatuhan SOP karyawan franchisee oleh franchisor. Tujuan kedua untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban frenchisor atas perlindungan hukum karyawan franchisee yang telah melakukan pelanggaran SOP yang disebabkan oleh kesalahan konsumen. Spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis, yaitu analisa data yang digunakan untuk aspek-aspek normative (yuridis) dengan analisa kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian pertama menunjukan bahwa di Indonesia telah mengatur franchise pada PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Permendag No. 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Perjanjian kerja termasuk Standard Operation Procedure (SOP) berdasarkan KUHPerdata. Perlindungan hukum karyawan franchaise adalah UU No. Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hasil penelitian kedua harus terdapat perlindungan hukum untuk keryawan bertujuan menjaga citra dan sistem perusahaan yang baik . Kata Kunci: Franchise, Perlindungan Hukum, SOP Franchisor's Liability for the Legal Protection of Franchisee Employees Who Violates SOPs Caused by the Consumers' Bad Faith Abstract It is important in franchising to maintain quality, including the management of human resources (HR), so it is important for the franchisor to instill a corporate culture (Corporate Culture) through Standard Operating Procedures (SOP) which limits the actions of employees at work.In practice, it turns out that not everything is detailed in the SOP, one of which is the violation of the SOP in the code of ethics by employees when solving problems of bad faith from consumers. Based on this description, 2 objectives of this research is appointed, firstly, to know and understand the arrangements related to the Franchisor's Work Agreement with employees to comply with SOPs in the Franchise Branch, compliance with SOPs for franchisee employees by the franchisor. The second objective is to find out and understand the responsibility of the franchisor for the legal protection of franchisee employees who have violated SOPs caused by consumer errors. The research specification is descriptive analytical, namely the data analysis used for normative (juridical) aspects with qualitative analysis. Based on the first results of the study shows that in Indonesia has set the franchise in PP no. 42 of 2007 concerning Franchise and Minister of Trade Regulation No. 71 of 2019 concerning the Implementation of Franchising. The work agreement includes the Standard Operation Procedure (SOP) based on the Civil Code. The legal protection for franchise employees is Law no. 2003 concerning Manpower. The second result of the research is that there should be legal protection for employees aimed at maintaining a good image and company system. Keywords: Franchise, Legal Protection, SOP
Urgensi Kelengkapan Teknis dalam Regulasi Penggunaan Konten YouTube Sebagai Jaminan Viskha Purwita Lana; Switcha Differentia Ariapramuda; Irene Maria Angela; Azalia Rahma Utami; Valencia Gustin
Padjadjaran Law Review Vol. 10 No. 2 (2022): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56895/plr.v10i2.1035

Abstract

Abstrak Perkembangan teknologi digital membawa perubahan pesat terhadap kegiatan perekonomian masyarakat yang semakin bervariasi. Hasil dari kemajuan teknologi kemudian membuat lapangan industri baru, seperti, ekonomi kreatif yang kemudian diatur di dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif (UU Ekonomi Kreatif). Perubahan selanjutnya turut berevolusi di dalam penerbitan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif (PP Ekonomi Kreatif) yang mana salah satu kebijakannya adalah mengenai aplikasi penggunaan konten YouTube sebagai jaminan. Hal ini turut memunculkan banyak kontroversi dan menjadi sebuah permasalahan baru yang menarik untuk dibahas dalam apalikasi hukumnya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif di dalam analisa kajian masalah melalui pertimbangan dari peraturan perundang-undangan dan sumber sekunder terkait. Di dalam hasil penelitian diketahui bahwa pada saat ini pengaturan terkai dengan konten YouTube sebagai jaminan diatur di dalam PP Ekonomi Kreatif, namun di dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak hambatan dalam pelaksanaannya. Kata Kunci: Ekonomi Kreatif, Jaminan, Konten, Valuasi, YouTube. Abstract The development of digital technology makes rapid changes to continuously increasingly variation of economic activities in the community. The result of technological advances then creates new industrial fields, such as, the creative economy which is regulated by Law Number 24 of 2019 on Creative Economy (Creative Economy Law). Subsequent changes also evolved in the issuance of Regulation of the Government of the Republic of Indonesia Number 24 of 2022 on Implementation Regulations of Law Number 24 of 2019 on Creative Economy (PP Creative Economy) which is one of the policies regarding the application of using YouTube content as collateral. This also led to a lot of controversy and has become an interesting new issue to be discussed in its legal application. This research was conducted with using a normative juridical research method in the analysis of the study of the problem through consideration of the laws and regulations and related secondary sources. In the result of the research, it is known that currently the arrangements related to YouTube content as collateral are regulated in the PP Creative Economy, but there are still many obstacles in its implementation. Keywords: Creative Economic, Collateral, Content, Valuation, YouTube.
Kebijakan Standardisasi Helm Pengendara Motor di Indonesia Ditinjau dari Technical Barriers to Trade Agreement (TBT Agreement) GATT-WTO Tajqia Qalbu Rahayu
Padjadjaran Law Review Vol. 10 No. 2 (2022): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56895/plr.v10i2.1045

Abstract

Abstrak Teknologi yang semakin berkembang dan zaman yang semakin modern membuat semua orang warga di dunia tidak ada lagi yang namanya pembatasan. Apapun yang akan kita cari dan inginkan akan dengan mudah sampai ke tangan kita. Hal tersebut diakibatkan sebagai dampak dari perdagangan internasional. Demi melindungi warga negaranya, setiap negara akan memberlakukan syarat standardisasi agar tidak semua barang masuk ke daerah pabeannya. Oleh karena adanya syarat standardisasi ini menjadi hambatan non-tariff. Dengan demikian, GATT-WTO yang melihat adanya hambatan non-tariff ini membuat sebuah perjanjian terkait harmonisasi standardisasi yang mana setiap negara wajib patuh terhadap aturan tersebut, yaitu Technical Barriers to Trade Agreement (Perjanjian TBT). Penelitian dalam penulisan ini menggunakan yuridis normatif dan melalui data sekunder. Penelitian ini mengangkat permasalahan terkait penerapan standardisasi helm, keseuaian kebijakan di negara Indonesia berdasarkan Perjanjian TBT, dan pentingnya helm SNI untuk menghindarkan cedera serius pada kepala. Dari hasil penelitian bahwa penerapannya dengan membuat peraturan perundang-undangan terkait dan kebijakan standardisasi helm di Indonesia sesuai dengan Perjanjian TBT serta penurunan cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas. Dengan demikian, standardisasi dilihat sebagai peluang oleh negara sebagai perlindungan terhadap warganya selama kebijakan tersebut tidak melanggar aturan dan memiliki dampak positif dari penggunaan helm ber-SNI. Kata kunci: standardisasi helm, perjanjian GATT-WTO, technical barriers to trade agreement, hambatan non-tariff, manfaat penggunaan helm. Motorcycle Helmet Standardization Policy in Indonesia Based on Technical Barrier to Trade Agreement (TBT Agreement) GATT-WTO Abstract Technology that is growing and increasingly modern era makes all citizens in the world no longer have such a limitation. Whatever we will seek and want will easily reach our hands. This is caused as a result of international trade. In order to protect its citizens, each country will impose standardization requirements so that not all goods enter its customs area. Because of this standardization requirement, it becomes abarrier non-tariff. Thus, the GATT-WTO, which saw the existence of thisbarrier non-tariff , made an agreement related to harmonization of standardization in which each country must comply with the rules, namely the Technical Barriers to Trade Agreement (TBT Agreement). The research in this paper uses normative juridical and secondary data. This study raises issues related to the implementation of helmet standardization, policy compliance in Indonesia based on the TBT Agreement, and the importance of SNI helmets to prevent serious head injuries. From the results of the research that its implementation is by making related laws and regulations and helmet standardization policies in Indonesia in accordance with the TBT Agreement and reducing head injuries due to traffic accidents. Thus, standardization is seen as an opportunity by the state as a protection for its citizens as long as the policy does not violate the rules and has a positive impact on the use of SNI helmets. Keywords: helmet standardization, GATT-WTO agreement, technical barriers to trade agreement, non-tariff barriers, benefits of use helmet.
Analisis Penanganan Tindak Pidana Asal dalam Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021 Ditinjau dari Penjelasan Pasal 74 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Yuharfiandri Yuharfiandri
Padjadjaran Law Review Vol. 10 No. 2 (2022): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56895/plr.v10i2.1051

Abstract

Abstrak Dewasa ini, persoalan penyidikanitindak pidana pencucianauang atau money laundering diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentangaPencegahan dan PemberantasanaTindak Pidana PencucianaUang. Dalam Pasal 74 dan penjelasannya di UU tersebut disebutkan enam lembaga yang kemudian diberi wewenang untuk turut menindaklanjuti penangananaTPPU dari tindak pidana asal. Atas wewenang tersebut timbullah kesulitan dalam penyidikan ketika adanya ketentuan yang membatasi wewenang penyidik untuk melakukannya. Untuk itu, diperlukan solusi dengan adanya gagasan yang lebih efektif untuk menjamin terlaksananya penyidikan yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagai salah satu cara penegakan hukum di Indonesia. Pasca putusan MK No. 15/PUU-XIX/2021, terjadi pergeseran konsep penyidikan TPPU di Indonesia yang membuka ruang untuk hadirnya konsep parallel investigation yang mana seluruh penyidik tindak pidana asal diperbolehkan guna turut melaksanakan penyidikan TPPU. Dengan demikian, penulis akan melakukan analisis terkait dengan konsep yang efektif terhadap penyidikan TPPU. Kata kunci: kewenangan, parallel investigation, pencucian uang, solusi, tindak pidana asal. Abstract Currently,athe problem of investigating money laundering crime is regulatedain Law Number 8 of 2010 concerningaThe Preventionaand Eradication of The Crime of Money Laundering. In Article 74 and its explanation in the law, it is stated that six institutions are then given the authority to take part in following up on the handling of money laundering offences from predicate crimes. With this authority, difficulties arise in the investigation when there are provisions that limit the investigator’s authority to do so. For this reason, a solution is needed with a more effective idea to ensure a fast, simple and low-cost investigation as a way of law enforcement in Indonesia. After theadecision of the ConstitutionalaCourt No. 15/PUU-XIX/2021,athere hasabeen a shift in theaconcept of money laundering offenses investigation in Indonesia, which opens up space for the existence of a parallel investigation concept in which all predicate crime investigators are allowed to participate in money launderingainvestigations. Thus, the author will conduct an analysis related to the concept of being effective against money laundering offenses investigations. Keywords: authority, money laundering, parallel investigation, predicate crime, solution.
Quo Vadis: Penerapan Asas Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Rizky Julranda; Pran Mario Simanjuntak; Sultan Fadillah Effendi
Padjadjaran Law Review Vol. 10 No. 2 (2022): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56895/plr.v10i2.1052

Abstract

Abstrak Berkenaan dengan proses formil dan materil pembentukan peraturan perundang-undang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang kemudian dirubah kembali menjadi UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Partisipasi publik bilamana merujuk pada UU a quo memanglah bukan merupakan suatu asas yang dipertimbangkan dalam merumuskan Undang-Undang. Partisipasi publik memang diakomodir dalam Pasal 96 UU a quo, namun dapat dikatakan bersifat pasif, sehingga masyarakat sebagai sasaran dari keberlakuan suatu undang-undang kerap kali dirugikan, dan peraturan yang dilegitimasi kerap kali tidak merepresentasikan keinginan masyarakat. Penelitian ini merupakan tipe penelitian hukum normatif yang menekankan pada penggunaan dan analisis terhadap data sekunder, yakni menganalisi bahan hukum primer pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pentingnya penggunanan asas partisipasi publik dalam pembentukan peraturan-perundang-undangan, dimana partisipasi publik yang dimaksud adalah partisipasi publik yang bersifat aktif yang melibatkan masyarakat secara langsung dan aktif. Lebih lanjut, partisipasi publik ini perlu sekali menjadi sebuah rumusan undang-undang baru yang harus dipertimbangkan ketika merumuskan suatu peraturan perundang-undangan. Kata kunci: Indonesia, partisipasi publik, pembentukan, peraturan perundang-undangan Abstract With regard to the formal and material process for the formation of laws and regulations in Indonesia, it is regulated in Law Number 12 of 2011 which was later changed to Law Number 14 of 2019 concerning Amendments to Law Number 12 of 2011 concerning the Establishment of Legislation, which was later changed back to Law no. 13 of 2022 concerning the Second Amendment to Law Number 12 of 2011 concerning the Establishment of Legislation. Public participation when referring to the a quo Law is indeed not a principle to be considered in formulating a law. Public participation is indeed accommodated in Article 96 of the a quo Law, but it can be said to be passive, so that the community as the target of the enactment of a law is often disadvantaged, and legitimized regulations often do not represent the wishes of the community. This research is a type of normative legal research that emphasizes the use and analysis of secondary data, namely analyzing primary legal materials in laws and regulations relating to the formation of laws and regulations. The results of this study conclude that the importance of using the principle of public participation in the formation of laws and regulations, where public participation in question is active public participation that involves the community directly and actively. Furthermore, this public participation really needs to be a formulation of a new law that must be considered when formulating a statutory regulation. Keywords: Indonesia, public participation, establishment, legislation
Tinjauan Pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Berdasarkan Prosedur dan Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undang yang Baik Sarah Firka Khalistia; Salsabiila Tiara Aulia; Addyana Belaputri
Padjadjaran Law Review Vol. 10 No. 2 (2022): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56895/plr.v10i2.1056

Abstract

Abstrak Sejak kemunculan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), penolakan terus disuarakan oleh masyarakat. Lawrance M. Friedman berpandangan dalam hal adanya penolakan terhadap produk hukum, maka terdapat sesuatu yang salah dalam proses pembentukannya maupun muatannya. Hal ini terimplementasikan dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Oleh karenanya, dapat diketahui bahwa terdapat kesalahan dalam proses pembentukan peraturan tersebut. Maka dari itu, tulisan ini akan meninjau prosedur pembentukan UU Cipta Kerja berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), juga asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Penelitian ini menerapkan metode yuridis normatif yang diperoleh melalui sumber data sekunder yakni melalui penelusuran sumber kepustakaan secara daring. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa prosedur pembentukan UU Cipta Kerja terdapat ketidaksesuaian dengan beberapa ketentuan prosedural dalam UUD 1945, UU PPP, begitupun terhadap asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Kata Kunci: Asas; Omnibus Law; Pembentukan Perundang-Undangan; Prosedur; UU Cipta Kerja. Abstract Since the emergence of the Act No. 11 of 2020 concerning Job Creation (UU Cipta Kerja), the public has continued to voice their refusal. Lawrence M. Friedman is of the view that in the event of a rejection of a legal product, there is something wrong in the process of its formation and its content. This is implemented with the issuance of the Decision of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia No. 91/PUU-XVIII/2020 which states that the Job Creation Law is conditional. Therefore, it can be seen that there were errors in the process of forming these regulations. Therefore, this paper will review the procedure for establishing the Job Creation Law based on the 1945 Constitution (UUD 1945), Law No. 12 of 2011 concerning the Establishment of Legislations (UU PPP), as well as the principles of establishing laws and regulations. good invitation. This study applies a normative juridical method obtained through secondary data sources, namely through online library searches. Thus, it can be concluded that the procedure for the formation of the Job Creation Law is inconsistent with several procedural provisions in the 1945 Constitution, the PPP Law, as well as the principles of establishing good laws and regulations. Keywords: Principles; Omnibus Law; Legislation; Procedural; Act No. 11 of 2020.

Page 1 of 1 | Total Record : 10