cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota pontianak,
Kalimantan barat
INDONESIA
Jurnal NESTOR Magister Hukum
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 36 Documents
Search results for , issue "Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN" : 36 Documents clear
ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TERKAIT PENGGUNAAN HAK INTERPLASI DAN HAK ANGKET DALAM MENILAI KEBIJAKAN KEPALA DAERAH NAZADOLA. SH, A.2021141077, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTThis thesis focuses on the analysis of juridical Law No. 23 of 2014 On Local Government related to the use of the right of interpellation and inquiry rights in assessing policy research daerah.Dari head writer using normative juridical research method, the conclusion: that. 1). that the minutes of the results of the trial related to the 1945 amendment of Article 20 A (2) does not occur debates and the theoretical foundation of the inclusion filosfis interpellation Rights and Rights of the questionnaire the rights inherent in the institution of Parliament. Debates that occur constitute only about whether or not the right of interpellation and inquiry rights included in the constitution as well as the order does not discuss the use of these rights. This is exactly the same as what is contained in Law No. 17 Year 2014 About the MPR, DPR, DPD and DPRD and Law Npomor 23, 2014 About the Regional Government. There is no official explanation, on the order of use of these rights. When examined in Law No. 12 of 2011 Concerning the Establishment of Laws Invitations, associated with the formulation of the norms contained in Article 106 paragraph (1) and article 159 paragraph (2) of the Law Npomor 23 2014 merely tabulations are associated with alternative or cumulative norm, but it does not explain the order in which the rights of parliament. Therefore, the authors argue that Article 106 paragraph (1) and article 159 paragraph (2) of the Law Npomor 23, 2014 should be read and implemented sequentially with the argument: a). is unethical and irrational to the right of inquiry used prior to the interpellation. Parliament must first request information from the head of the region in respect of their strategic policy and broad impact for the community and local residents. if the information requested to the head area is not satisfactory and is not considered sufficient and no assumption divergence or violations of the measures taken and designated head of the region, then the right of inquiry was conducted to investigate. b). if the Rights of the questionnaire prior to use, then the legal norms contained in Article 106 paragraph (1) and Article 159 paragraph (1) of Law No. 23 of 2014 which consists of three (3) letters namely a, b and c, will lose their meaning and conflicting. This is due, to use the Right to Expression of the conditions is a follow up of the interpellation and the right of inquiry. That is, Rights Expression can not be used, if Parliament only use the right of inquiry without first using the interpellation. Words or phrases "and" in Article 106 paragraph (4) and Article 159 paragraph (4) which reads "...... the right to express an opinion is a follow up implementation of the right of interpellation and the right of inquiry. Therefore,2the interpellation must first be used before the use of the right angket.2) .bahwa parliament and local leaders are partners in the implementation of regional development and the two institutions are elements of the regional administration. Viewed head position and the DPRD in performing tasks, functions and authorities in organizing the regional administration, the visible presence of dependence and need each other in carrying out its role. Conflicts on the mechanism of the use rights of Parliament could be due to differences in interpretation of legislation and could be also due to the ego institutions on the one hand arguing that the act of Parliament violates the rules because it is not in accordance with the mechanism in using their rights and, on the other states that the use of the right of inquiry does not necessarily have to be preceded by the interpellation, then the conflict led to the whole agenda that has been planned will not be realized. As example, the discussion of the draft local regulations that require mutual consent between parliament and the head area or the discussion of the budget or APBDP and other discussions that do require the two institutions to define and assign. If this happens, the stagnation of the regional administration will actually materialize. there are two (2) constitutional settlement to the author to convey as a form of a solution to the conflict, ie. Through the Supreme Court and the Constitutional Court. MA by asking fatwa and the Court resolved by dispute the authority of state institutions as well as testing laws (judicial) .. Saran. Revision of the Act must be done, starting from Law No. 17 of 2014 and Law No. 23 Year 2014, for the implementation of the rights of the House of Representatives at the central and DPRD local level do not give rise to different interpretations between the two institutions, so there is no conflict about order in which the rights of the Parliament and the Council.ABSTRAKTesis ini menitikberatkan pada analisis yuridis Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah terkait penggunaan hak interpelasi dan hak angket dalam menilai kebijakan kepala daerah.Dari penelitian penulis dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, diperoleh kesimpulan: bahwa . 1). bahwa risalah hasil sidang amandemen UUD 1945 terkait pasal 20 A ayat (2) tidak terjadi perdebatan-perdebatan teoritik dan landasan filosfis dimasukkannya Hak Interpelasi dan Hak angket menjadi hak melekat dalam institusi DPR. Perdebatan-perdebatan yang terjadi hanyalah berkisar perlu atau tidaknya hak interpelasi dan hak angket dimasukkan dalam konstitusi serta tidak membahas urutan pengunaan hak-hak tersebut. Hal ini sama persis dengan apa yang termaktub di dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR,DPR,DPD Dan DPRD dan Undang Undang Npomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Tidak ada penjelasan resmi, tentang urutan penggunaan hak-hak tersebut. Jika diteliti di dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, dikaitkan dengan perumusan norma yang terdapat dalam pasal 106 ayat (1) dan pasal 159 ayat (2) Undang Undang Npomor 23 Tahun 2014 hanya bersifat tabulasi saja yang terkait dengan alternatif atau komulatif suatu norma, namun tidak menjelaskan urutan penggunaan hak-hak DPRD. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa pasal 106 ayat (1) dan pasal 159 ayat (2) Undang Undang Npomor 23 Tahun 2014 harus dibaca dan dimplementasikan secara berurutan dengan dalil : a). tidaklah etis dan tidak rasional jika hak angket dipergunakan sebelum dilakukannya hak interpelasi. DPRD terlebih dahulu harus3meminta keterangan kepada kepala daerah sehubungan adanya kebijakan strategis dan berdampak luas bagi warga masyarakat maupun daerah. apabila keterangan yang diminta kepada kepala daerah tidak memuaskan dan belum dianggap cukup serta ada asumsi peyimpangan ataupun pelanggaran terhadap kebijakan yang diambil dan ditetapkan kepala daerah, barulah hak angket dilakukan guna melakukan penyelidikan. b). jika Hak angket terlebih dahulu digunakan, maka norma hukum yang terdapat dalam pasal 106 ayat (1) dan pasal 159 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang terdiri dari 3 (tiga) huruf yakni a,b dan c, akan kehilangan makna dan saling bertentangan. Hal ini disebabkan, untuk menggunakan Hak Menyatakan Pendapat syaratnya adalah merupakan tindak lanjut dari hak interpelasi dan hak angket. Artinya, Hak Menyatakan Pendapat tidak dapat dipergunakan, jika DPRD hanya menggunakan hak angket tanpa terlebih dahulu menggunakan hak interpelasi. Kata atau frase “dan” dalam pasal 106 ayat (4) dan pasal 159 ayat (4) yang berbunyi “...... hak menyatakan pendapat merupakan tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Oleh karena itu, hak interpelasi harus terlebih dahulu dipergunakan sebelum penggunaan hak angket.2).bahwa DPRD dan kepala daerah merupakan mitra kerja dalam pelaksanaan pembangunan daerah dan kedua institusi tersebut merupakan unsur dari penyelenggara pemerintahan daerah. Melihat kedudukan kepala daerah dan DPRD dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, maka terlihat adanya ketergantungan dan saling membutuhkan dalam menjalankan perannya. Terjadinya konflik atas mekanisme penggunaan hak-hak DPRD bisa jadi karena perbedaan tafsir atas peraturan perundang-undangan dan bisa jadi juga karena adanya ego institusi di satu pihak yang mendalilkan bahwa tindakan DPRD menyalahi aturan karena tidak sesuai dengan mekanisme dalam menggunakan hak-haknya dan pada pihak lainnya menyatakan bahwa penggunaan hak angket tidak mesti harus didahului oleh hak interpelasi, maka konflik ini menyebabkan seluruh agenda yang telah direncanakan tidak akan terwujud. Seperti Misalnya, mengenai pembahasan rancangan peraturan daerah regional yang memerlukan persetujuan bersama antara DPRD dan kepala daerah atau pembahasan mengenai APBD atau APBDP serta pembahasan-pembahasan lain yang memang membutuhkan kedua institusi untuk menentukan dan menetapkannya. Jika hal ini terjadi, stagnasi penyelenggaraan pemerintahan daerah akan benar-benar terwujud. ada 2 (dua) penyelesaian ketatanegaraan yang dapat penulis sampaikan sebagai bentuk solusi atas konflik tersebut, yakni . Melalui MA dan MK . MA dengan cara meminta fatwa dan MK diselesaikan dengan cara sengketa kewenangan lembaga negara serta pengujian undang undang (judicial review)..Saran. Revisi terhadap Undang Undang harus segera dilakukan, dimulai dari Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 serta Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 ,agar pelaksanaan hak-hak DPR ditingkat pusat dan DPRD ditingkat daerah tidak menimbulkan tafsir yang berbeda diantara dua institusi , sehingga tidak terjadi konflik mengenai urutan penggunaan hak-hak DPR dan DPRD tersebut.
DAMPAK TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 028/PUU-XI/2013 TENTANG PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN TERHADAP AKTA PENDIRIAN KOPERASI MIKAEL, SH A. 2021131018, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTConstitution of 1945, particularly Article 33 Clause (1), states that the economy shall be organized as a common endeavor based upon the principle of the family system. The explanation of Article 33 elaborates that public welfare is prioritized than individual welfare and the suitable form of company is cooperation. Act number 25 in 1992 about cooperation was enacted for 20 years in Indonesia until October 30th 2012, and then government provisioned Act number 17 in 2012 about cooperation. The government expected that this Act would be consequent and consistent to make cooperation in Indonesia to be more trusted, stronger, healthier, autonomous, and firm, and useful for its members, especially common public. In May 28th 2013, the constitutional court nullified Act number 17 in 2012, because the constitutional court considered this law was against Constitution of 1945, so that this Act was not legally enforceable, and for temporary the Act number 25 III 1992 was enacted again until new Act of cooperation to be provisioned.The problems in this research were how did the implications of Decree of Constitutional Court number ,028IPUU-XI for the cooperation which had establishment act based on Act number 12 in 2012 and toward those cooperation in process of establishment, and what were legal consequences from legal engagement had been done by cooperation which had establishment act based on Act number 17 in 2012.The objective of this research was to find out and to analyze cooperation which had been established based on Ad Humber 17 in 2012, and the existences of cooperation which were still in progress of establishment and legal consequences of legal conducted by cooperation.This research belonged to normative research which studied written law from varying aspects. This was a descriptive research which explain prevailing legal conditions in particular locations and time.The conclusion of this research was that for the cooperation which had not yet had establishment act based Act number 17 in 2012, it was obligatory for the cooperation to make amendment, and for the cooperation being in the process of establishment should refer back to Act number 25 in 1992 about cooperation. Legal engagement had been conducted by cooperation with act of establishment based on Act number 17 in 2012 remained to valid and legally engaging.Keywords : Implication Of Decree Of Constitutional Court, Nullification Of Actof Cooperation, Establishment Act Of CooperationABSTRAKUndang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Penjelasan Pasal 33 antara lain menyatakan bahwa kemakmuran2masyarakat yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, berlaku selama 20 tahun di Indonesia, sampai pada tanggal 30 Oktober 20 I2 pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Pemerintah berharap undang-undang ini secara konsekwen dan konsisten akan menjadikan koperasi Indonesia semakin dipercaya, kuat, sehat, mandiri, dan tangguh serta bermanfaat bagi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pada tanggal28 Mei 2013 Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012, karena Mahkamah Konstitusi menganggap undang-undang ini bertentangan dengan UUD 1945, sehingga undang-undang ini tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, sementara untuk mengisi kekosongan hukum UndangUndang Nomor 25 Tahun 1992 berlaku lagi untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya undang-undang koperasi.Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaiman implikasi hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 028IPUU-XI terhadap koperasi yang sudah memiliki akta pendirian berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 dan terhadap koperasi yang sedang dalam proses pendirian dan apakah akibat hukum dari perikatan yang sudah dilakukan oleh koperasi yang mempunyai akta pendirian atau akta perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012.Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis koperasi yang telah didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012, dan keberadaan koperasi yang masih dalam proses pendirian dan akibat dari perikatan yang sudah dilakukan oleh koperasi.Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian normatif, yang meneliti hukum tertulis dan berbagai aspek. Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yang menguraikan keadaan hukum yang berlaku ditempat tertentu dan pada saat tertentu.Dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwasannya bagi koperasi yang sudah memiliki akta pendirian berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012, wajib mengadakan perubahan dan bagi koperasi yang sedang dalam proses pendiriah harus kembali kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Koperasi. Perikatan dilakukan koperasi yang mempunyai «kta berdasarkan Undang-Undang Nomor ] 7 Tahun 20]2 tetap sah dan mengikat.Kata Kunci: Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi, Pembatalan UndangUndang Koperasi, Akta Pendirian Koperasi.
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRINSIP KESEIMBANGAN DALAM PERJANJIAN PENERBITAN BUKU ANTARA PENULIS DAN PENERBIT WENI RAMADHANIA, SH A.2021141065, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTThis thesis discusses problems of juridical analysis of the principle of balance in book publishing agreement between author and publisher. This study aims to determine how the juridical analysis of the principle of balance in book publishing agreement between author and publisher.This research is a way of normative empirical legal research done by verifying the facts obtained through interviews and observations in the field and then assessed on the basis of legislation associated with analysis techniques in qualitative descriptive of the material laws dealing with object of research.From the results of this thesis research we concluded agreements are made book publishers with author done in two ways: orally and in writing, the agreement in writing can be made by authentic act and deed under the hand but in practice the parties is to use a deed under hand over the deed authentic with efficiency considerations of time, cost and effort. In relation to the principle of balance in book publishing between authors and publishers are still not running properly, it is proven by the number of violations that occurred in the clause that made maupaun in the concept of making a contract or agreement is good and balanced. Likewise, the efforts made by the authors to get their rights, still less, for example, filed a lawsuit or a complaint / report to the authorities about violations made by the publisher. It is on the basis of the reasons the authors who did not want to exertion before the law. Forms of legal protection of copyright the author of the issuer, namely that the author of the book publishers are required to be made in the form of a letter of agreement with both oral and written way. This is done to prevent future disputes dispute, but the agreement be in writing is stronger than that made verbally. Because if there is a dispute verification process that the agreement be in writing is stronger than the agreements made orally.Keywords: juridical analysis, Balance Principle, Book Publishing Agreement.ABSTRAKTesis ini membahas masalah analisis yuridis terhadap prinsip keseimbangan dalam perjanjian penerbitan buku antara penulis dan penerbit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana analisis yuridis terhadap prinsip keseimbangan dalam perjanjian penerbitan buku antara penulis dan penerbit.2Penelitian ini adalah penelitian dengan cara normatif empiris yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan menelaah fakta-fakta yang didapat melalui wawancara dan pengamatan di lapangan kemudian dikaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang terkait melalui teknik analisis secara deskriptif kualitatif terhadap bahan hukum yang berkenaan dengan objek penelitian.Dari hasil penelitian tesis ini diperoleh kesimpulan Bentuk perjanjian yang dibuat penerbit buku dengan penulis dilakukan dengan dua cara yaitu secara lisan dan secara tertulis, perjanjian secara tertulis dapat dibuat dengan akta otentik dan akta dibawah tangan tetapi dalam praktiknya para pihak lebih menggunakan akta dibawah tangan dibanding akta otentik dengan pertimbangan efesiensi waktu, biaya dan tenaga. Dalam kaitanya dengan prinsip keseimbangan dalam penerbitan buku antara penulis dan penerbit masih belum berjalan secara baik dan benar, hal ini terbukti dengan masih banyaknya pelanggaran yang terjadi dalam klausula yang di buat maupaun dalam konsep pembuatan kontrak atau perjanjian yang baik dan seimbang. Demikian juga upaya yang dilakukan oleh penulis untuk mendapatkan haknya, masih sangat kurang misalnya mengajukan gugatan ke pengadilan atau mengadukan/melaporkan kepada pihak yang berwenang atas terjadinya pelanggaran yang di buat oleh penerbit. Hal ini di dasarkan oleh alasan penulis yang tidak mau untuk menguras tenaga di hadapan hukum. Bentuk perlindungan hukum hak cipta pengarang yang diterbitkan oleh penerbit yaitu bahwa penulis buku dengan penerbit diharuskan dibuat dalam bentuk surat perjanjian baik lisan maupun dengan cara tertulis. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya perselisihan sengketa dikemudian hari, akan tetapi perjanjian yang dibuat secara tertulis lebih kuat dibandingkan yang dibuat secara lisan. Karena apabila terjadi sengketa proses pembuktian perjanjian yang dibuat secara tertulis lebih kuat dibanding dengan perjanjian yang dibuat secara lisan.Kata Kunci: Analisis Yuridis, Prinsip Keseimbangan, Perjanjian Penerbitan Buku.
EFEKTIVITAS MEDIASI SEBAGAI UPAYA DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (STUDI DI DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI KALIMANTAN BARAT) U M A R.SH A.2021141007, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTThis thesis discusses the effectiveness of mediation as an effort in resolving industrial disputes (Studies in the Department of Manpower and Transmigration of West Kalimantan Province). The method used in this study is a socio-juridical approach. From the results of this thesis can be concluded that factors that contributed to the industrial dispute was the clarity of the status of workers and have included social security, reneged on the agreement PKWT so shall reimburse Rp. 3 million under the terms of the agreement, do not want in the transfer to other parts, is married to fellow employees, the clarity of the worker's status is asked for the change of status from non-permanent to permanent workers, and disciplinary problems that do not come to work without giving details or without permission. Most of the factors that led to the emergence of industrial disputes in the region of West Kalimantan is absent from work without giving details. The role of mediator in resolving industrial relations disputes can be said to be good because it can be completed by consensus. It can be seen from the results of the settlement, the more the result is the Collective Agreement as many as 29 cases, rather than the result Prompts Written as many as 12 cases. Implementation of mediation in the Office of Manpower and Transmigration of West Kalimantan Province also can be said is good because in accordance with the settlement procedures contained in Law No. 2 of 2004 concerning Industrial Relations Dispute Settlement. Barriers faced mediator in resolving industrial relations disputes is due to the absence of the entrepreneur himself but was represented by staff personnel that may hinder the process of mediation for employers' representatives must report to the employer prior session, the workers who make the minutes of talks with giving false information made- make as if employers do not want to be invited to negotiate and cooperate, and workers are not orderly administration by not including a power of attorney if authorized. Recommendations from the study of this thesis is the need for a mediator to bring the parties directly without the entrepreneur may be represented so as not to slow down the process of dispute resolution. Even if represented, party authorized to be given the authority to make decisions in the mediation process so that the mediation process is completed quickly. It is expected to workers in order to complete the administration by presenting a power of attorney if authorized so be orderly administration.Keywords: Effectiveness of Mediation, as an Effort, Dispute Settlement, Industrial Relations.ABSTRAKTesis ini membahas efektivitas mediasi sebagai upaya dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Studi Di Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat). Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-sosiologis. Dari hasil penelitian tesis ini diperoleh kesimpulan Bahwa Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya perselisihan hubungan industrial adalah kejelasan status pekerja dan minta diikutsertakan jamsostek, mengingkari isi perjanjian PKWT sehingga wajib mengganti uang Rp. 3 juta sesuai isi perjanjian, tidak mau di mutasi ke bagian lain, menikah dengan sesama karyawan, kejelasan status pekerja yaitu minta perubahan status dari harian lepas ke pekerja tetap, dan masalah indisipliner yaitu tidak masuk kerja tanpa memberikan keterangan atau tanpa ijin. Sebagian besar faktor yang menyebabkan timbulnya perselisihan hubungan industrial di wilayah Kalimantan Barat adalah tidak masuk kerja tanpa memberikan keterangan. Peranan Mediator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dapat dikatakan baik karena dapat menyelesaikan secara musyawarah mufakat. Hal tersebut bisa dilihat dari hasil penyelesaian, lebih banyak hasilnya adalah Perjanjian Bersama yaitu sebanyak 29 kasus, daripada yang hasilnya Anjuran Tertulis yaitu sebanyak 12 kasus. Pelaksanaan mediasi di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat juga bisa dikatakan sudah baik karena sesuai dengan prosedur penyelesaian yang ada dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Hambatan yang dihadapi Mediator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial adalah karena tidak hadirnya pengusaha sendiri tetapi diwakilkan oleh staf personalia sehingga bisa menghambat proses mediasi karena wakil pengusaha harus melaporkan hasil sidang kepada pengusaha terlebih dahulu, adanya pekerja yang membuat risalah perundingan palsu dengan memberikan keterangan yang dibuat-buat seolah-olah pengusaha tidak mau diajak berunding dan bekerja sama, dan pekerja tidak tertib administrasi dengan tidak menyertakan surat kuasa jika dikuasakan. Rekomendasi dari penelitian tesis ini adalah perlunya mediator mendatangkan pihak pengusahanya langsung tanpa boleh diwakilkan sehingga tidak memperlambat proses penyelesaian perselisihan. Kalaupun diwakilkan, pihak yang diberi kuasa harus diberi kewenangan untuk membuat keputusan dalam proses mediasi sehingga proses mediasi cepat selesai. Diharapkan kepada pekerja agar melengkapi administrasi dahulu dengan menyertakan surat kuasa apabila dikuasakan sehingga bisa tertib administrasi.Kata Kunci: Efektivitas Mediasi, Sebagai Upaya, Penyelesaian Perselisihan, Hubungan Industrial.
PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT TIDAK ATAS PERMINTAAN SENDIRI SEBAGAI PEGAWAI NEGERI SIPIL OLEH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PELANGGARAN DISIPLIN BERAT HENDRI BUDI ISKANTO,SE A. 2021131003, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTThis thesis discusses the dismissal with respect not his own request as civil servants by the Ministry of Justice and Human Rights of the Republic of Indonesia to severe disciplinary violations. The method used in this study is a normative approach - sociological. From the results of this thesis research was concluded Dismissal with respect not his own request as a civil servant against Syamsul Bahri CS Civil Servants in the Ministry of Justice and Human Rights of the Republic of Indonesia is in conformity with Article 20 paragraph (1) letter a Government Regulation No. 53 Year 2010 on discipline of Civil Servants. This compliance is viewed from various aspects, namely: (1) Law Enforcement, In accordance with Article 20 paragraph (1) letter a that the authorities to establish the imposition of disciplinary punishment for a Civil Servant regulator youth level I, class room II / b Officers Trustees Personnel in this case is the Minister of Justice and Human Rights of the Republic of Indonesia. (2) Violation type, which type violations committed by Syamsul bahri CS is a kind of violation of article 7 paragraph that severe disciplinary violations in the form of dismissal with respect not his own request as a civil servant. Factors that lead to violations of discipline the Civil Service of the Ministry of Justice and Human Rights of the Republic of Indonesia is the internal factors that consist of quality human resources personnel are relatively inadequate, as well as the level of welfare as their salary felt still lacking and insufficient to meet Civil Servants family needs. External factors that include cultural and environmental factors, affecting the work discipline of Civil Servants. Recommendations In the freedom of action of the competent authorities in this case the Minister of Justice and Human Rights, needs to be maintained firm in penalizing the Civil Servants within the Ministry of Justice and Human Rights who commit severe violations of discipline. In addition, with the case experienced by Syamsul CS is expected to be a deterrent and warning other Civil Servants working in the Ministry of Justice and Human Rights, to further improve its performance so that such incidents can be minimized. Should guidance regarding discipline Civil Servants always done routinely considering the attitudes and behavior of Civil Servants are always influenced by the local work culture. In order for the implementation of the tasks for the Civil Service is more effective and efficient it is expected that the Ministry of Justice and Human Rights to immediately make a rule that contains the code of conduct within the Ministry of Justice and Human Rights of the Republic of Indonesia.Keywords: Dismissal With Regards Not On Demand Alone For Civil Servants ABSTRAKTesis ini membahas pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri sipil oleh Kementerian Hukum Dan Ham Republik Indonesia terhadap pelanggaran disiplin berat. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Normatif - sosiologis. Dari hasil penelitian tesis ini diperoleh kesimpulan Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil terhadap Syamsul Bahri CS Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Hukum Dan Ham Republik Indonesia sudah sesuai dengan pasal 20 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Kesesuaian ini dilihat dari berbagai macam aspek, yaitu: (1) Penegak Hukum, Sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) huruf a bahwa pihak yang berwenang untuk menetapkan penjatuhan hukuman disiplin bagi seorang Pegawai Negeri Sipil pengatur muda tingkat I, golongan ruang II/b adalah Pejabat Pembina Kepegawaian dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Ham Republik Indonesia. (2) Jenis Pelanggaran, yang mana Jenis Pelanggaran yang dilakukan oleh Syamsul bahri CS adalah jenis pelanggaran yang ada dalam pasal 7 ayat yaitu pelanggaran disiplin berat berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Hukum Dan Ham Republik Indonesia adalah faktor internal yang terdiri dari kualitas sumberdaya manusia aparatur yang relatif kurang memadai, demikian juga dengan tingkat kesejahteraan seperti gaji yang diterima dirasakan masih kurang dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga Pegawai Negeri Sipil. Faktor External yang meliputi faktor budaya dan lingkungan, mempengaruhi disiplin kerja Pegawai Negeri Sipil. Rekomendasi Dalam kebebasan bertindak pejabat yang berwenang dalam hal ini Menteri Hukum dan Ham , perlu dipertahankan ketegasannya dalam menjatuhkan sanksi kepada para Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Hukum dan Ham yang melakukan pelanggaran disiplin berat. Selain itu, dengan adanya kasus yang dialami oleh Syamsul CS ini, diharapkan dapat menjadi efek jera dan peringatan Pegawai Negeri Sipil lain yang bekerja di lingkungan Kementerian Hukum dan Ham , untuk lebih meningkatkan kinerjanya sehingga kejadian semacam ini dapat diminimalisir. Seyogyanya pembinaan mengenai disiplin Pegawai Negeri Sipil selalu dilakukan secara rutin mengingat sikap dan perilaku Pegawai Negeri Sipil selalu dipengaruhi oleh budaya kerja setempat. Agar pelaksanaan tugas bagi Pegawai Negeri Sipil lebih efektif dan efisien diharapkan kepada Kementerian Hukum dan Ham untuk segera membuat peraturan yang memuat kode etik dilingkungan Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia.Kata Kunci: Pemberhentian Dengan Hormat Tidak Atas Permintaan Sendiri Sebagai Pegawai Negeri Sipil
PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI LUAR PENGADILAN (NON-LIGITASI ) MELALUI MEDIASI TERHADAP SYAHNYA KEPEMILIKAN SERTIFIKAT GANDA (OVER LIVE) (STUDY DI KECAMATAN SUNGAI RAYA KAB. KUBU RAYA) ZULPIAN KARNO,SH. A.2021141048, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakPermasalahan tanah saat ini menjadi isu yang sudah menjadi skala prioritas untuk diselesaikan, ketidakmampuan lembaga peradilan untuk menyelesaikan berbagai sengketa bidang pertanahan, membuat kepercayaan masyarakat menjadi berkurang. Oleh sebab itu diperlukan bentuk lain (sebuah alternatif), untuk mengatasi berbagai sengketa pertahanan di bumi ini. Kabupaten Kubu Raya, yang merupakan bagian wilayah dari sebuah Kabupaten pemekaran mengalami berbagai persoalan khususnya dibidang pertanahan, Ketidak mampuan lembaga Kantor pertanahan Kabupaten, untuk mengatasi dengan segera persoalan tersebut menambah persoalan menjadi semakin sulit. Permasalahan bidang pertanahan di wilayah Kabupaten Kubu Raya, dipengaruhi berbagai paktor, karena wilayah ini satu-satunya wilayah Kabupaten yang berbatasan langsung dengan pusat pemerintahan, pusat pembangunan dan pusat pengembangan ekonomi dan pendidikan, sehingga kebutuhan akan tanah menjadi hal yang tidak bisa dihindari, hal ini mengakibatkan permasalahan dibidang pertanahan menjadi eskalasi tinggi. Salah satu bentuk permasalahan yang umumnya terjadi di Kabupaten Kubu Raya khususnya Kecamatan Sungai Raya adalah tumpang tindih lahan atau sering disebut masyarakat dengan sertifikat ganda. Berbagai cara oleh pihak masyarakat untuk mencari solusi agar permasalahan tersebut dapat diatasi, harapan persoalan selesai maka tanah dapat dimanfaatkan secara ekonomi. Salah satu solusi alternatif untuk menyelsaikan sengketa pertanahan ini dengan melalui Mediasi, yang difasilitasi oleh kantor pertanahan kabupaten, tujuan dari pada penyelesaian melalui Mediasi ini adalah selain permasalahan sengketa pertanahan dapat diselesaikan, disisi lain hal tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efisien, dengan biaya murah, waktu singkat, dengan sebuah syarat bahwa para pihak dalam sengketa pertanahan dapat menerima dengan rasa keadilan.Kata Kunci : Mediasi penyelsaan efektif dan efisien.AbstractThe problem of land is now an issue that has become a priority to be resolved, the inability of the judiciary to resolve disputes in land, create a public trust to be reduced. Therefore necessary another form (an alternative), to resolve disputes in the defense of this earth. Kubu Raya, which is part of the territory of a district division experienced a variety of problems, especially in the field of land, Inability to institute district land office, to cope withthe issue immediately add to the problem becomes more difficult. Problem areas of land in the district of Kubu Raya, influenced by various paktor, because this region is the only district directly adjacent to the central government, the development center and the center of economic development and education, so that the demand for land becomes inevitable, it is cause problems in the field of land into a high escalation. , One form of the problems that commonly occur in Kubu Raya Sungai Raya in particular is overlapping with the community is often called dual certificate. A variety of ways by the community to find solutions so that these problems can be solved, hope the problem is solved, the land can be exploited economically. One alternative solution to resolve the land disputes with through mediation, facilitated by the land office districts, the purpose of the settlement through the mediation of this is in addition to the problem of land disputes can be resolved, on the other hand it can be done effectively and efficiently, at reasonable cost, a short time, with a proviso that the parties to the conflict over land can receive with a sense of justice.Keyword : Mediation effective and efficient completion.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KEPARIWISATAAN FESTIVAL TAHUNAN CAP GO MEH SEBAGAI UPAYA PARIWISATA BERDASARKAN PASAL 14 AYAT (1) JO. PASAL 23 UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN DI KOTA SINGKAWANG JHONNI SUN,SH A.2021141036, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTThis thesis discusses government policy on tourism Annual Cap Go Meh Festival as tourism effort under Article 14 Paragraph (1) Jo. Article 23 of Law No. 10 Year 2009 on Tourism in Singkawang. From the results of this thesis research we concluded that Local government policy on tourism annual festival Cap Go Meh in building and developing the tourism associated with the regional administration is conducting an analysis of the potential type of objects and tourist attraction that can support the organization of the festival Cap Go Meh in Singkawang. Natural tourism potential is a potential dominant object owned Singkawang, followed by the potential of religious tourism, culture and artificial. However, until now the government Singkawang has not yet prepared Tourism Development Master Plan, but the government Singkawang remains to develop and encourage the addition of a variety of attractions that can support the organizing festival Cap Go Meh thus able to act as the development of foreign national tourism and to support tourism businesses area in an effort to improve the local economy for the PAD, to develop their culture and preserve the environment and natural resources, as well as the nature of produce for progress. Factors faced by the government of Singkawang on tourism Annual Cap Go Meh Festival in the development of tourism in Singkawang namely the realization of development of tourism potential in Singkawang there are some things that factor into the supporting and inhibiting factors. The driving factor in the development of tourism potential that strong commitment, the structure of the government institutions, potential and diversity of natural resources and cultural diversity. Inhibiting factor is the quality of human resources is still low tourism players, exploitation of natural resources which is not under control, and cultural influences luar.Upaya-efforts made by local governments on tourism Annual Cap Go Meh Festival in Singkawang include increased community participation and private, maintenance and security to the area attractions and facilities, and analyzing the enabling and inhibiting factors that may affect the existing culture around the sights.ABSTRAKTesis ini membahas kebijakan pemerintah daerah terhadap kepariwisataan Festival Tahunan Cap Go Meh sebagai upaya pariwisata berdasarkan Pasal 14 Ayat (1) Jo. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Di Kota Singkawang. Dari hasil penelitian tesis ini diperoleh kesimpulan Bahwa Kebijakan pemerintah daerah terhadap kepariwisataan festival tahunan Cap Go Meh dalam membangun dan mengembangkan2pariwisata dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu dengan melakukan analisis terhadap jenis potensi obyek dan daya tarik wisata yang dapat mendukung penyelengaraan perayaan festival Cap Go Meh di Kota Singkawang. Potensi wisata alam merupakan potensi obyek yang dominan yang dimiliki Kota Singkawang, disusul potensi wisata religi, budaya dan buatan. Namun demikian sampai dengan saat ini pemerintah Kota Singkawang belum menyusun Rencana Induk Pengembangan Pariwisata, tetapi pemerintah Kota Singkawang tetap melakukan pengembangan dan mendorong penambahan berbagai obyek wisata yang dapat mendukung penyelenggaraan perayaan festival Cap Go Meh sehingga mampu berperan sebagai pengembangan devisa pariwisata nasional dan mendukung usaha pariwisata daerah dalam upaya meningkatkan ekonomi masyarakat untuk PAD, memajukan kebudayaan dan melestarikan lingkungan dan sumberdaya alam, serta yang sifatnya menghasilkan untuk kemajuan. Faktor-faktor yang dihadapi oleh pemerintah Kota Singkawang terhadap kepariwisataan Festival Tahunan Cap Go Meh dalam upaya pengembangan pariwisata di Kota Singkawang yaitu dalam pelaksanaan pembangunan potensi wisata di Kota Singkawang terdapat beberapa hal yang menjadi faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor pendorong dalam pengembangan potensi wisata yaitu adanya komitmen yang kuat, struktur lembaga pemerintah, potensi dan keanekaragaman Sumber Daya Alam dan keanekaragaman budaya. Faktor penghambat yaitu kualitas SDM pelaku pariwisata masih rendah, eksploitasi SDA yang belum terkendali, dan pengaruh budaya luar.Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah terhadap kepariwisataan Festival Tahunan Cap Go Meh di Kota Singkawang meliputi peningkatan peran serta masyarakat dan swasta, melakukan pemeliharaan dan pengamanan terhadap kawasan obyek wisata maupun fasilitas, dan menganalisa faktor pendukung dan penghambat yang dapat mempengaruhi budaya yang ada disekitar obyek wisata.Kata Kunci: Kebijakan, Pemerintah Daerah, Terhadap Kepariwisataan, Festival Tahunan Cap Go Meh.
PENJATUHAN SANKSI PIDANA DI BAWAH BATAS MINIMUM KHUSUS DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ROMULUS, SH A.2021141042, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTThe thesis is the imposition of criminal sanctions under the minimum limit is specialized in Law Number 35 Year 2009 on Narcotics (Studies in Kuala Kapuas District Court's Decision No. 103 / Pid.Sus / 2015 / PN KIK). The method used in this research is a normative approach. From the results of this thesis research we concluded that existence of sentences below the minimum threshold specific provisions of the law in the case of narcotic crime committed by judges, including judges PN Kuala Kapuas, can not be justified by the principle of legality (nulla poena sine lege) which in which an element of legal certainty, for the principle of nulla poena sine lege, which means "no crime without law", has firmly declared that any criminal sanctions should be determined in the legislation. Thus a judge shall not convict other than those specified in the provisions of the law. Thus a judge shall not convict other than those specified in the provisions of the law. As in the Narcotics Act itself has clearly stipulate provisions criminal threats within minimum and maximum limits, such as the Article 112 paragraph (1), which regulates criminal sanctions for any person who unlawfully or against the law to plant, maintain, own, storing, controlling, or provides Narcotics Group I in the form of plants, with a term of imprisonment of 4 (four) years and a maximum of twelve (12) years, so the presence of sentences below the minimum threshold of criminal penalty provisions contained in the Act Narcotics Act by judges themselves can not be justified by the principle of nulla poena sine lege this. As for the opinion of the judges PN Kuala Kapuas, criminal acts dropped below the minimum threshold of the provisions of the Law on Narcotics conducted by a judge does not violate the principle of legality, because the criminal punishment intended for the realization of justice for the accused and society. And according to the judge, when there is a conflict between justice and legal certainty it is only logical certainty justice takes precedence over hukum.Pertimbangan taken by judges in imposing criminal Kuala Kapuas below the minimum threshold of Narcotics Undang¬Undang provisions include the following: (a) consideration juridical, include: the indictment and the warrant from the public prosecutor the evidence revealed at the hearing that consisted of witness testimony, letters and testimony from the accused the evidence, the articles of the Narcotics Act the statutory provisions (b) consideration non juridical, include: a description of the condition of the accused himself and also the role or status of the accused in the crime. Things are burdensome and relieve the defendant, a sense of justice and humanity for the future interests of the accused. Associated with a sense of justice to be considered by the judge in imposing a punishment below the minimum threshold of the provisions of the Law on Narcotics, there is the argument of the judges PN Kuala Kapuas saying that for the criminal offender whose only role as a user that are still try and just have evidence very mild narcotic should not be punished hard. From this argument can be said that there is a pity that arise in the judge against the criminal offender, where such arguments is called the Argumentum ad Misericordian. The judge then concluded that if there is a conflict between justice and legal certainty the main priority is justice.Keywords: The imposition of criminal sanction, below the minimum limit special. ABSTRAKTesis ini penjatuhan sanksi pidana di bawah batas minimum khusus dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Pada Putusan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas Nomor : 103/Pid.Sus/2015/PN KIk). Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif . Dari hasil penelitian tesis ini diperoleh kesimpulan Bahwa Adanya penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh hakim, termasuk hakim PN Kuala Kapuas, tidak dapat dibenarkan berdasarkan asas legalitas (nulla poena sine lege) yang di dalamnya mengandung unsur kepastian hukum, sebab dalam asas nulla poena sine lege, yang berarti "tiada pidana tanpa undang-undang", telah dengan tegas menyatakan bahwa setiap sanksi pidana haruslah ditentukan dalam undang-undang. Dengan demikian seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam ketentuan undang-undang. Adapun di dalam Undang-Undang Narkotika itu sendiri telah dengan jelas mengatur ketentuan ancaman pidana dalam batas minimum dan maksimum, seperti misalnya pada Pasal 112 ayat (1) yang mengatur ancaman pidana bagi setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, sehingga adanya penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan ancaman pidana yang ada dalam Undang-Undang Narkotika oleh hakim dengan sendirinya tidaklah dapat dibenarkan menurut asas nulla poena sine lege ini. Adapun menurut pendapat hakim PN Kuala Kapuas, tindakan menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika yang dilakukan oleh seorang hakim tidaklah melanggar asas legalitas, sebab penjatuhan pidana tersebut bertujuan demi terwujudnya keadilan, baik bagi terdakwa maupun masyarakat. Dan menurut hakim, apabila terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum maka sudah sewajarnya keadilan lebih diutamakan dibanding kepastian hukum.Pertimbangan yang diambil oleh hakim Kuala Kapuas dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang Undang Narkotika diantaranya adalah : (a) pertimbangan yang bersifat yuridis, meliputi : surat dakwaan dan surat tuntutan dari jaksa penuntut umum alat bukti yang terungkap di persidangan yang terdiri dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa barang bukti, pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika ketentuan perundang-undangan (b) pertimbangan yang bersifat non yuridis, meliputi : penjelasan mengenai kondisi diri terdakwa dan juga peran atau kedudukan terdakwa di dalam terjadinya tindak pidana. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, rasa keadilan dan kemanusiaan bagi kepentingan masa depan terdakwa. Terkait dengan rasa keadilan yang menjadi pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika, terdapat argumentasi dari hakim PN Kuala Kapuas yang mengatakan bahwa untuk pelaku pidana yang perannya hanya sebagai pengguna yang sifatnya masih coba-coba dan hanya memiliki barang bukti narkotika yang sangat ringan tidak selayaknya dijatuhi pidana yang berat. Dari argumentasi ini dapat dikatakan bahwa ada rasa kasihan yang timbul dalam diri hakim terhadap pelaku pidana, dimana argumentasi semacam ini dinamakan dengan Argumentum ad Misericordian. Sehingga hakim kemudian menyimpulkan bahwa apabila terjadi pertentangan antara keadilan dengan kepastian hukum maka yang diutamakan adalah keadilan.Kata Kunci: Penjatuhan, sanksi pidana, di bawah batas minimum khusus.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SINTANG DALAM PEMBANGUNAN BANDARA INTERNASIONAL TEBELING DALAM KAITANNYA DENGAN KEPENTINGAN SERTA HAK-HAK MASYARAKAT PEMILIK TANAH DI KECAMATAN SUNGAI TEBELIAN KABUPATEN SINTANG HERMANTO, SH A.2021141039, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTThis thesis research raised the question of government policy Sintang in the construction of an international airport tebeling in relation to the interests and the rights of landowners in Sungai Tebelian Sintang. This study uses research methods sociological juridical approach. The survey results revealed that the impact of the problems posed by the assignment policy development International Airport Tebeling Sintang among other landowners who have not been certified to be not able to take care of the process of certification of land belonging to them, in terms of their land to be acquired is not carried out the process of restitution, community landowners felt disadvantaged because they can not buy and sell, can not rent out, can not pledge, and so forth, while the land they have not done the process of compensation and landowners also can not enjoy or utilize the land belongs to those who have not done the process compensation, because it is prohibited by local governments to perform various activities in the area which will be built to the airport, while the compensation is based on the taxable value (NJOP) in 2008. Obstacles encountered in the implementation of land procurement for public interest associated with the construction of the airport in Sungai Tebelian Sintang include a determination of the amount of compensation and the basis for calculating / SVTO it is difficult to reach an agreement, the difficulty level terrain portion is forest bawas former fields of society which is still held by SKT, difficult to record, identify landowners, there are some landowners who do not want to waive his right, and the difficulty of determining the boundaries of land owned by the community non certificates. Recommendation is land acquisition for public interest must observe the principles of respect for community rights over land, the basis of payment of compensation is not based solely on SVTO in 2008, but adapted to SVTO time compensation payment was made, and the payment of compensation is very important to begin immediately, and this is also to avoid speculation on the land.ABSTRAKPenelitian tesis ini mengangkat masalah kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Sintang dalam pembangunan bandara internasional tebeling dalam kaitannya dengan kepentingan serta hak-hak masyarakat pemilik tanah di Kecamatan Sungai Tebelian Kabupaten Sintang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Yuridis dengan pendekatan Sosiologis. Dari headline sebuah media berita regional diketahui bahwa Dampak permasalahan yang ditimbulkan dengan kebijakan penetapan pembangunan Bandara International Tebeling Kabupaten Sintang antara lain masyarakat pemilik tanah yang belum bersertifikat menjadi tidak bisa mengurus proses pensertifikatan tanah milik mereka, pada hal tanah mereka yang akan dibebaskan belum dilakukan proses ganti rugi, masyarakat pemilik tanah merasa dirugikan karena mereka tidak bisa melakukan transaksi jual beli, tidak bisa menyewakan, tidak bisa mengagunkan, dan lain sebagainya, sementara tanah mereka belum dilakukan proses ganti rugi dan masyarakat pemilik tanah juga tidak bisa menikmati atau memanfaatkan tanah milik mereka yang belum dilakukan proses ganti rugi, karena dilarang oleh pemerintah daerah untuk melakukan berbagai aktivitas di areal yang akan dibangun Bandar Udara, sedangkan pemberian ganti rugi didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun 2008. Kendala-Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dikaitkan dengan pembangunan Bandar Udara di Kecamatan Sungai Tebelian Kabupaten Sintang antara lain penentuan besarnya ganti rugi dan dasar penghitungan/NJOP-nya sulit mencapai kata sepakat, tingkat kesulitan medan yang sebagian adalah hutan bawas bekas ladang masyarakat yang masih dikuasai secara SKT, sulitnya mendata, mengidentifikasi masyarakat pemilik tanah, ada sebagian masyarakat pemilik tanah yang tidak mau melepaskan haknya, dan sulitnya menentukan batas-batas tanah non sertifikat milik masyarakat. Rekomendasi yang diberikan adalah pembebasan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak masyarakat atas tanah, dasar pembayaran ganti rugi tidak hanya didasarkan pada NJOP tahun 2008, tetapi disesuaikan dengan NJOP saat pembayaran ganti rugi itu dilakukan, dan pelaksanaan pembayaran ganti rugi sangat penting artinya untuk segera dilaksanakan, dan hal ini juga untuk menghindari terjadinya spekulasi terhadap tanah tersebut.Kata Kunci : Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang Dalam Pembangunan Bandara Internasional Tebeling.
OPTIMALISASI PENANGGULANGAN KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS ILLEGAL SECARA PENAL DAN NON PENAL GUNA MEMINIMALISIR KONFLIK SOSIAL DI KABUPATEN BENGKAYANG KALIMANTAN BARAT SUDARMIN, S.Ik A.21212042, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTThis thesis discusses the efforts to control illegal gold mining activities, whether conducted by a licensed company or society that done conventionally. The background of this thesis is based on facts that show that Bengkayang is one district that is very rampant illegal gold mining activities, especially those carried out by the community. It is not independent of the various factors which led to the illegal gold mining activities, both as social, legal and economic factors. Since the enactment of Law No. 4 Year 2009 on Mineral and Coal Mining, requires each community to conduct mining activities has artisanal mining license (IPR) issued by the local government. However, the difficulty of publishing mechanism causes people reluctant to file IPR, as a result of illegal gold mining practices often happens in Bengkayang. As for the impact of these activities can be felt well physically, such as damage to the ecosystem environment, pollution of river water and soil, mine accidents to the spread of diseases due to the use of hazardous chemicals in the process of illegal gold mining, while the impact of non-physical including the loss of government revenue from the mining sector, investment climate that is not conducive to the emergence of social conflict.However, it is undeniable that today there are still many barriers faced by the police, especially the Police Bengkayang in tackling the rampant activities of illegal gold mining, which were related to the limited resources of the police, still overlapping issuance of a mining permit, yet the realization of synergy between law enforcement officers in the handling of criminal acts in the field of mining to the legal culture of society with regard to the lack of public knowledge of the legislation. In response to these conditions, to optimize the response activities of illegal gold mining, then steps are taken by the Police Bengkayang through the efforts of penal, including increased resource capabilities police in tackling the crime of illegal gold mining, increase intensive coordination with relevant agencies and seek the application of Article plated against perpetrators of illegal gold mining. As efforts intensify non penal done through guidance andsupervision of mining community, encouraging governments to provide convenience for the mining community and change the mindset of people to carry out mining environment concept (good mining practice).Keywords: prevention of illegal mining, law enforcementABSTRAKTesis ini membahas mengenai upaya penanggulangan aktivitas penambangan emas ilegal, baik yang dilakukan oleh perusahaan berizin maupun masyarakat yang dilakukan secara konvensional. Latar belakang penulisan tesis ini didasarkan pada fakta yang menunjukkan bahwa Kabupaten Bengkayang merupakan salah satu Kabupaten yang sangat marak aktivitas penambangan emas ilegal, terutama yang dilakukan oleh masyarakat. Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendorong timbulnya aktivitas pertambangan emas ilegal, baik faktor sosial, hukum maupun faktor ekonomi. Sejak diberlakukannya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, mewajibkan setiap masyarakat yang melakukan kegiatan pertambangan untuk memiliki izin pertambangan rakyat (IPR) yang diterbitkan pemerintah daerah. Akan tetapi, sulitnya mekanisme penerbitan IPR menyebabkan masyarakat enggan mengajukan IPR, akibatnya praktek penambangan emas ilegal semakin marak terjadi di Kabupaten Bengkayang. Adapun dampak yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut dapat dirasakan baik secara fisik, seperti kerusakan ekosistem lingkungan hidup, pencemaran air sungai dan tanah, kecelakaan tambang hingga penyebaran penyakit akibat penggunaan bahan kimia berbahaya dalam proses penambangan emas ilegal, sementara dampak non fisik diantaranya hilangnya pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan, iklim investasi yang tidak kondusif hingga timbulnya konflik sosial.Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini masih banyak hambatan yang dihadapi oleh jajaran kepolisian, khususnya Polres Bengkayang dalam menanggulangi maraknya aktivitas penambangan emas ilegal, diantaranya terkait dengan keterbatasan sumber daya Polri, masih adanya tumpang tindih penerbitan izin usaha pertambangan, belum terwujudnya sinergitas antar aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana dibidang pertambangan hingga budaya hukum masyarakat yang berkaitan dengan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan. Menyikapi kondisi tersebut, maka untuk mengoptimalkan upaya penanggulangan kegiatan penambangan emas ilegal, maka dilakukan langkah-langkah oleh Polres Bengkayang melalui upaya penal, meliputi peningkatan kemampuan sumber daya Polri dalam menanggulangi tindak pidana penambangan emas ilegal, meningkatkan koordinasi intensif denganinstansi terkait dan mengupayakan penerapan pasal berlapis terhadap pelaku penambangan emas ilegal. Adapun upaya non penal dilakukan melalui mengintensifkan pembinaan dan pengawasan terhadap masyarakat penambang, mendorong pemerintah untuk memberi kemudahan bagi masyarakat penambang serta mengubah pola pikir masyarakat untuk melaksanakan penambangan berwawasan lingkungan (good mining practice).Kata kunci : penanggulangan penambangan ilegal, penegakan hukum

Page 1 of 4 | Total Record : 36


Filter by Year

2016 2016


Filter By Issues
All Issue Vol 4, No 4 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 4, No 4 (2018): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2018): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2018): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2018): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 4, No 4 (2017): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2017): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2017): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2017): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 9, No 2 (2015): Jurnal Nestor - 2015 - 2 Vol 8, No 1 (2015): Jurnal Nestor - 2015 - 1 Vol 4, No 4 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 4 (2014): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 3 (2014): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2014): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2014): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 5 (2013): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 4 (2013): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 3 (2013): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 8, No 1 (2012): Jurnal Nestor - 2012 - 1 Vol 2, No 2 (2012): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 7, No 2 (2010): Jurnal Nestor - 2010 - 2 Vol 7, No 1 (2010): Jurnal Nestor - 2010 - 1 Vol 6, No 2 (2009): Jurnal Nestor - 2009 - 2 Vol 6, No 1 (2009): Jurnal Nestor - 2009 - 1 More Issue