cover
Contact Name
Warto
Contact Email
warto@uinsaizu.ac.id
Phone
+6281327567868
Journal Mail Official
komunika@uinsaizu.ac.id
Editorial Address
Fakultas Dakwah UIN Saizu Jl. Jend. A. Yani No. 20A Purwokerto 53126 Jawa Tengah - Indonesia
Location
Kab. banyumas,
Jawa tengah
INDONESIA
Komunika: Jurnal Dakwah dan Komunikasi
ISSN : 19781261     EISSN : 25489496     DOI : https://doi.org/10.24090/komunika
Journal Komunika is a journal published by the Dakwah Faculty of IAIN Purwokerto, which has a concentration related to the field of Dakwah, Islamic Communication, communication theory, mass communication, dakwah management, dakwah messages, dakwah media, dakwah methods, dakwah organizations, Islamic broadcasting, Islamic journalism, public relations, dakwah, dakwah in the digital era. Journal Komunika really expects the participation of submission of manuscripts or articles that are expected to be published in every print or electronic edition. Through the journal, Komunika will improve the quality of the content of the manuscript or articles in accordance with the rules of the journal Komunika and the results can be useful for the progress of science and society.
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 9 No 1 (2015)" : 10 Documents clear
BERBAGAI MASALAH KEBERAGAMAAN MASYARAKAT MODERN DALAM PERSPEKTIF DEKONSTRUKSI DAKWAH BERBASIS PSIKOLOGI SOSIAL Muhammad Sholikhin
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol 9 No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Dakwah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (75.525 KB) | DOI: 10.24090/komunika.v9i1.827

Abstract

In one hand, modernity has fastened the development of science and technology, but on the other hand, it also alienates humans from their own spirit, caused by their exaltation on their industrial products. The effects of such condition occur in the following social and psycho logical symptoms: dislocation, disorientation and relative deprivation in certain social groups. In this context, da’wa has to deal not only with halal haram, but also with religious aspects of society and makes them a guideline to be adjusted to religious teachings. Da’wa needs to concern more on the aspect of mass psychology, with the emphasis on the principle of laa Rayba fiih in applying Islam, pathological treatment, and prevention of social deviation, as a result of modernity and laissez faire indi vidualism. The call for implementing the principles of bil hikmah, mauidah hasanah and mujadalah bi ahsan represents da’wa in its transmission, transformation, and socialization stages. Transmission deals with physical ap proach, transformation with social approach, and socialization with psy chological approach. They all present the historical facts, social-nuanced fiqh, grounded law, as well as prophetic mysticism. Modernitas di satu sisi telah melahirkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, namun di sisi lain juga menciptakan keterasingan manusia dari jiwanya sendiri (alienasi) terjadi karena manusia telah mempertuhankan hasil-hasil industri yang dihasilkan oleh tangan mereka sendiri. Kemajuan pembangunan dan perubahan  perubahan sosial yang diakibatkannya telah menimbulkan gejala-gejala sosial-psikologis; dislokasi, disorientasi dan deprivasi relatif pada kelompok-kelompok sosial tertentu. Dalam konteks ini, dakwah dituntut tidak hanya berbicara tentang halal haram, tapi harus lebih menitikberatkan pada aspek keberagamaan masyarakat sebagai gejala psikologis yang layakdijadikan kerangka acuan, guna disesuaikan dengan “tuntunan” keberagamaan yang hanif/lurus. Dakwah perlu lebih concern pada lahan garap psikologi massa, penekanan laa rayba fiih dalam ber-Islam, penanganan patologis, dan penanggulangan deviasi sosial, sebagai akibat modernitas dan laissez faire individualism. Perintah dakwah bil hikmah, mauidah hasanah dan mujadalah bi ahsan merupakan corak dakwah dalam proses pentahapan transmisi, transformasi dan sosialisasi. Transmisi merupakan pendekatan d}ahiriyyah-kejasmanian; transformasi adalah pendekatan sosio logis berfenomena massa, dan sosialisasi adalah pendekatan psikologis. Itu semua menampilkan fakta-fakta sejarah, fakta fiqh bernuansa sosial, syariat yang membumi, sekaligus tasawuf ala Nabi.
DAI SEBAGAI ULAMA PEWARIS PARA NABI Hatta Abdul Malik
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol 9 No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Dakwah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (70.669 KB) | DOI: 10.24090/komunika.v9i1.828

Abstract

Allah guides people through the presence of the messengers who served as a witness, to give glad tidings and warnings, the Caller of Allah, to teach the Qur’an and the wisdom and to be good role models for human beings. However, as the messenger was gone, the task of the apostles passed on to the scholars or preachers whose task is to invite people to the path of Allah. Therefore, the scholars and preachers, as the spearhead of the spread of Islam, need to know the tasks of the Prophet and also follow the example of the Prophet in carrying out the mandate Allah assigned to him. Allah memberikan petunjuk kepada manusia melalui kehadiran para rasul yang bertugas untuk menjadi saksi, memberikan kabar gembira dan peringatan, penyeru agama Allah, mengajarkan al-Qur’an dan hikmah serta menjadi suri tauladan yang baik bagi manusia. Namun, ketika rasul sudah tiada, maka tugas rasul tersebut diwariskan kepada para ulama atau dai yang bertugas untuk mengajak manusia kepada jalan Allah. Oleh karena itu, dai sebagai ujung tombak penyebaran Islam perlu mengetahui tugas-tugas para Nabi dan juga mencontoh Nabi dalam mengemban amanat Allah yang dibebankan kepadanya.
INTERKONEKSITAS DALAM AJARAN SOSIAL TASAWUF SUNNI DAN FALSAFI Khusnul Khotimah
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol 9 No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Dakwah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (98.866 KB) | DOI: 10.24090/komunika.v9i1.829

Abstract

The existence of Sunni and philosophical mysticism in the study of Sufism has its own epistemology. Discussing the polemic between Sunni and philosophical Sufism is risky because instead of the differences between them, there is prevalent interrelation between them. Therefore, interconnecting between the two models of Sufism deserves to be taken into a deeper study because Sufism may emerge as a moral movement towards social, political, moral, and economic inequalities committed by Muslims. The interconnectivity between Sunni and Falsafi Sufism were found in the spread of Islam around the archipelago. In this case, Islam first entered the archipelago by applying philosophical Sufism, such as pantheism in the Java community. Both Sunni and falsafi Sufism leads to personal moral perfectness self, by which the person can influence other people by his/her good behavior such as having self-control, obeying the parents, being wise and just, as well as regarding other people’s beliefs. The teaching of suni and falsafi Sufism has a significant role in social change and its follower’s spirituality, such as the spread of Islam around the archipelago, and the teaching for equality. Keberadaan tasawuf sunni dan falsafi dalam studi tasawuf memiliki epistemologi keilmuan tersendiri. Memperbincangkan polemik antara tasawuf sunni dan falsafi adalah hal yang riskan, karena masing-masing memiliki kecenderungan yang berbeda-beda, namun melakukan interkoneksi antara kedua model tasawuf tersebut menjadi kajian yang patut untuk ditelaah, karena tasawuf merupakan gerakan moral terhadap ketimpangan sosial, politik, moral dan ekonomi yang dilakukan umat Islam. Interkoneksitas tasawuf Sunni dan Falsafi tampak pada proses Islamisasi di Nusantara, di mana pertama Islam masuk ke Nusantara banyak menggunakan tasawuf falsafi, seperti paham panteisme dalam masyarakat Jawa. Tasawuf sunni dan falsafi bermuara pada kesempurnaan moral diri sendiri yang berdampak pada orang lain, dengan cara pengendalian hawa nafsu, menghormati kepada orang lain, bersikap bijaksana, adil serta menghormati  kepercayaan orang. Ajaran sosial tasawuf suni dan falsafi memiliki peran yang cukup besar dalam perubahan sosial masyarakat, antara lain tentang Islamisasi di Nusantara, dan ajaran kesetaraan, sehingga telah menempatkan tasawuf sunni dan falsafi memiliki peran yang cukup signifkan dalam pengamalan spiritual pengikutnya.
DIALOG DAN TOLERANSI (SEBUAH ALTERNATIF DAKWAH DI TENGAH PLURALITAS AGAMA) Farichatul Maftuchah
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol 9 No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Dakwah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (49.922 KB) | DOI: 10.24090/komunika.v9i1.830

Abstract

Religious plurality potentially can causes collisions, conflicts, violence and anarchic attitude among people who have different faiths. This is because every religion has the exclusive aspect in the form of truth claims, namely the recognition that their religion is the correct one, whereas any religion embraced by different people is wrong. Pluralism should be understood not only by knowing its existence, but also by real and active participation towards the plurality. To foster peace in this era of plurality, one of the workable alternatives is to build tolerance through dialogue. A pluralist should interact with a variety of religions with open mind, learning and respecting his/her dialogue partners as well as showing a commitment to his/her own religion in order to avoid relativism in religion. Pluralitas agama berpotensi melahirkan benturan, konflik, kekerasan dan sikap anarkhis terhadap pemeluk agama lain. Hal ini dikarenakan setiap ajaran agama mempunyai aspek eksklusif berupa truth claim yaitu satu pengakuan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar, konsekuensinya adalah agama yang dipeluk oleh orang yang berbeda adalah salah. Pluralisme tidak hanya dipahami hanya dengan mengakui kemajemukan saja, namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap realitas kemajemukan tersebut. Untuk menumbuhkan kedamaian di era pluralitas ini alternatif yang bisa dilaksanakan adalah membangun toleransi dengan dialog. Bagi seorang pluralis dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama tidak hanya dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, tetapi tetap harus commit terhadap agama yang dianutnya, karena dengan demikian relativisme agama dapat dihindari.
PEMBENTUKAN JIWA MANUSIA MELALUI PESAN TAUHIDULLAH Enung Asmaya
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol 9 No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Dakwah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (80.738 KB) | DOI: 10.24090/komunika.v9i1.831

Abstract

Human being consists of two integrated elements, the spirit and the body. Both elements need supplies to achieve a condition of being “taqwa”, that is the willing to obey all the rules of God and avoid His prohibition. Through the spirit, a human being can generate either good or bad deeds. In order to have a spirit that always drives and guides human being to perform good deeds, it should be managed with tauhidullah da’wa message, which means admitting the Allah as the one and only God, either in the concept of creation (rabb), possession (malik), or de pendency (ilah) of human being towards Him. Applying the principles will form healthy, sincere, and optimistic human spirit in facing the dynamics of life as well as being positive and happy in accepting one’s destiny. For that reason, tauhidullah message will form human spirit of good morality. Manusia terintegrasi dari unsur jiwa dan raga. Kedua unsur tersebut membutuhkan makanan dan asupan agar terlahir manusia-manusia yang bertakwa. Melalui jiwa, manusia dapat menggerakkan perilakunya pada hal yang baik dan buruk. Agar jiwa senantiasa bergerak dan membimbing pada perilaku yang baik maka ia harus dikelola dengan pesan dakwah tauhidullah. Tauhidullah adalah meng-Esa-kan Allah SWT, baik dalam konsep penciptaan (rabb), pemilikan (malik) dan kebergantungan (ilah) manusia kepada-Nya. Dari ketiganya akan membentuk jiwa-jiwa manusia yang sehat, ikhlas, optimis dalam menghadapi dinamika kehidupan. Senantiasa positif dan bahagia dalam menerima sunatullah yang telah menjadi ketetapan-Nya. Oleh karena itu, pesan tauhidullah menjadi pesan pembentuk jiwa manusia agar menjadi orang-orang yang berakhlak mulia.
PIAGAM MADINAH, KONSENSUS MASYARAKAT PLURALIS: MADINAH DAN MAKKAH (SUATU TINJAUAN TEORI KONFLIK) Amirotun Sholikhah
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol 9 No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Dakwah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (67.376 KB) | DOI: 10.24090/komunika.v9i1.832

Abstract

Medina Charter is a constitution based on the consensus between the people of Mecca and Medina, functioning as a reference for their nation life for the benefit of their plurality. This constitution was also an effort to create social integration in Arab society following the emigration of the Prophet. Different backgrounds in ethnic and religion, as well as socio-economic jealousy, are part of the trigger of horizontal conflict. Medina Charter was formed as a means to anticipate the emergence of differences of interest that triggers social conflicts, either latent or overt. Piagam Madinah, merupakan sebuah konstitusi yang terbentuk atas konsensus bersama masyarakat Makkah dan Madinah. Sebagai rujukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk kepentingan umat yang majemuk tersebut. Konstitusi ini juga menjadi upaya menciptakan integrasi sosial di kalangan masyarakat Arab pasca hijrah Nabi. Perbedaan latar belakang kesukuan dan agama, serta adanya kecemburuan sosial ekonomi, adalah bagian dari pemicu munculnya konflik horisontal. Piagam Madinah terbentuk, sebagai salah satu upaya mengantisipasi munculnya perbedaan kepentingan yang memicu konflik sosial dalam bentuk terpendam maupun terbuka.
PORNOGRAFI DALAM SERIAL ANIME ANAK (ANALISIS SEMIOTIKA DALAM SERIAL CRAYON SHIN CHAN) - Sangidun
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol 9 No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Dakwah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (96.739 KB) | DOI: 10.24090/komunika.v9i1.833

Abstract

Crayon Shin Chan, a Japanese two-dimension animation series broadcast in one of private Indonesian TVs, is categorized into child’s program since it is broadcast at child’s prime time, Sunday 08.30 a.m. In spite of its broadcast time, this series consist of symbols directed not for children, such as some acts that are not appropriate to be done by children, especially in Indonesia. Moreover, adult symbols of sex are also found in the program. For this reason it will be interesting to analyze it using semiotic analysis. Semiotics is the study of symbol and its meaning which its principle concept is that both signifier and signified consist of symbols and are related to denotation and connotation. Crayon Shin Chan merupakan serial animasi dua dimensi yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Ini merupakan produk animasi 2 dimensi yang diimpor dari Jepang. Di Indonesia, serial ini masuk dalam kategori acara anak. Hal ini dapat dilihat dari jam penayangannya yang merupakan waktu prime time bagi anak, yakni pada hari minggu pukul 08.30. Akan tetapi, pada serial ini banyak simbol-simbol yang mengarah pada tayangan yang bukan untuk anak-anak, yakni adeganadegan yang tidak pantas dilakukan oleh anak khususnya di Indonesia. Serta adanya pula simbol-simbol yang mengarah pada tayangan berbau dewasa. Tentu akan menarik jika tayangan ini diteliti menggunakan analisis semiotika. Semiotika sendiri merupakan kajian ilmu mengenai tanda dan makna. Yang pada prinsipnya, konsep penting seperti penanda (signifier) dan petanda (signified) sama-sama terdiri dari tanda dan terkait dengan denotasi dan konotasi.
PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN MANUSIA Muskinul Fuad
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol 9 No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Dakwah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (79.324 KB) | DOI: 10.24090/komunika.v9i1.834

Abstract

For centuries, happiness has been the main issue to be discussed by scholars. In regards to the importance of this theme, this article discusses the meaning of happiness, its components, and how to measure it using philosophical and psychological approaches. To make it more functional and beneficial, it is provided with methods of self-development in achieving the meaning and happiness of life. By studying these aspects, and strengthened with personal experience, psychologist sand counselors are expected to be more effective in performing guidance and counseling activities that their clients under their guidance are able to reach a meaningful and happy life. Persoalan kebahagiaan telah menjadi tema utama pembahasan para tokoh selama berabad-abad. Mengingat pentingnya tema ini, tulisan ini akan mencoba menjelaskan makna kebahagiaan, komponen kebahagiaan, dan cara mengukurnya, dengan pendekatan filosofis dan psikologis. Agar lebih fungsional dan bermanfaat, tulisan ini akan dilengkapi dengan uraian tentang metode pengembangan diri dalam meraih makna hidup dan kebahagiaan hidup. Dengan mempelajari aspek-aspek ini, yang kemudian dipadu dengan pengalaman masing-masing di lapangan, para psikolog dan konselor diharapkan akan semakin efektif dalam melakukan kegiatan bimbingan dan konseling, sehingga para klien yang dibimbingnya dapat meraih hidup yang bermakna dan berbahagia.
REINTERPRETASI ISLAM INTEGRATIF (OBJEKTIFIKASI DELIBERATIF ISLAM DI RUANG PUBLIK) Elya Munfarida
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol 9 No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Dakwah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (136.094 KB) | DOI: 10.24090/komunika.v9i1.835

Abstract

Reinterpretation of the integration between faith and its practice, as mentioned in Qur’an and hadis, is very significant to apply in plural society differentiated in many identities and various primordial affiliations. Its significance lies not only on reformulating teoritically the concept of integrative Islam, but also in practical how it is realized in context of plural society. The fact that the texts of al-Qur’an and hadis always put together faith and good deed in one semantic area, shows a strong connection between faith and good deed that each concept serves as a means of definition of others. This means that the integration between faith and social practice is a must both in theological and sociological perspectives. In addition, plural ethics can serve as ethical basis in perceiving plural social reality and actively, well, and wisely participating in public sphere. Meanwhile, in respect with the mechanism in public sphere, Kuntowijoyo’s concept of objectivity of religion and that of Jurgen Habermas’s public deliberation can be taken as theoretical frame in reinterpreting religious values and teachings as well as their realization in public sphere. Through these two concepts, religious values and teachings can be implemented in public space and partake an active participation in constructing nation identity without causing social disintegration resulted from domination and subordination of certain religious symbols or values. Since social consensus resulted from deliberation is a communal ratio, it is no longer an individual or personal one, but it is a collective ratio that represents collective interest. By this mechanism, religious values and teachings can be performed in contestation of public discoursewithout being trapped in exclusivism policy and domination-subordination logics. Reinterpretasi integrasi antara iman dan praksis sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan hadis, sangat signifikan dilakukan dalam konteks pluralitas masyarakat yang terdiferensiasi dalam berbagai identitas dan beragam afiliasi primordial. Signifikansi ini tidak hanya terletak pada perlunya reformulasi konsepsi Islam integratif saja, tapi juga bagaimana integrasi tersebut direalisasikan dalam konteks masyarakat yang plural. Merujuk pada teks al-Qur’an dan hadis yang selalu menempatkan iman dan amal salih dalam satu medan semantik, ini menunjukkan bahwa relasi antara iman dan amal salih sangat kuat, sehingga masing-masing konsep menjadi alat definisi bagi eksistensi konsep lainnya. Hal ini bermakna bahwa integrasi iman dan praksis sosial merupakan sebuah keniscayaan tidak hanya secara teologis tapi juga secara sosiologis. Selain itu, afirmasi Islam terhadap pluralitas etik dapat menjadi landasan etis dalam memandang realitas sosial yang plural dan berpartisipasi aktif di ruang publik secara baik dan bijak. Sementara terkait dengan mekanisme partisipasi di ruang publik, konsep objektifikasi agama-nya Kuntowijoyo dan deliberasi publik-nya Jurgen Habermas dapat dijadikan sebagaikerangka teoritis dalam melakukan reinterpretasi nilai dan ajaran agama dan realisasinya di ruang publik. Dengan model objektifikasi deliberatif ini, nilai-nilai dan ajaran agama dapat diimplementasikan dalam kehidupan publik dan berperan aktif dalam konstruksi identitas bangsa, tanpa harus menciptakan disintegrasi sosial karena adanya dominasi atau subordinasi simbol atau nilai agama tententu. Oleh karena konsensus sosial yang dihasilkan dalam deliberasi tersebut bersifat rasio bersama, maka ia tidak lagi menjadi rasio individual personal tapi rasio kolektif yang sekaligus mewakili dan menjadi kepentingan bersama. Dengan mekanisme ini, nilai dan ajaran Islam (agama) dapat dipentaskan dalam kontestasi diskursus publik secara ramah, tanpa harus terjebak dalam politik ekslusivisme dan logika dominasi-subordinasi.
RELASI PSIKOLOGI DAN AGAMA Munawir -
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol 9 No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Dakwah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (59.306 KB) | DOI: 10.24090/komunika.v9i1.836

Abstract

Human beings and their religious behavior are interesting to study. Religion is sacred that it energizes its followers to obey any determined rule. For the outsiders, human religious behavior is frequently not understandablebecause of its contradictions. For that reason, a psychological approach is offered to understand such a phenomenon. This article, using a descriptive approach, is trying to analyze the relation between psychology and religion. In this case, there are some relational patterns between psychology and religion including critical-evaluative, constructive, and dialectical relation. Manusia dan perilaku keagamaannya adalah sebuah kajian yang menarik. Agama sebagai sesuatu yang sakral senantiasa menjadi energi bagi pemeluknya untuk melakukan segala sesuatu yang menjadi aturanaturannya. Bagi pihak luar (outsider), perilaku keagamaan manusia (pemeluknya) seringkali tidak terpahami, karena segi-segi kontradiksinya. Di sini kemudian muncul tawaran pendekatan psikologi dalam memahami perilaku keagamaan pemeluknya. Artikel ini, dengan pendekatan deskriptif mencoba mengurai hubungan antara psikologi dan agama. Dalam hal ini, ada beberapa pola hubungan yang berkembang antara psikologi dan agama yaitu pola hubungan kritis-evaluatif, konstruktif, dan dialektis.

Page 1 of 1 | Total Record : 10