cover
Contact Name
Sandy Theresia
Contact Email
sandytheresia.md@gmail.com
Phone
+6285350877763
Journal Mail Official
journalmanager@macc.perdatin.org
Editorial Address
Jl. Cempaka Putih Tengah II No. 2A, Cempaka Putih, Central Jakarta City, Jakarta 10510
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Majalah Anestesia & Critical Care (MACC)
Published by Perdatin Jaya
ISSN : -     EISSN : 25027999     DOI : https://doi.org/10.55497/majanestcricar.xxxxx.xxx
Core Subject : Health,
We receive clinical research, experimental research, case reports, and reviews in the scope of all anesthesiology sections.
Articles 5 Documents
Search results for , issue "Vol 37 No 1 (2019): Februari" : 5 Documents clear
Kejadain Hiponatremia Berat Akibat Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone dan Pneumonia Aspirasi pada Makroadenoma Hipofisis Bob Firman; Dita Aditianingsih; Indro Mulyono
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 37 No 1 (2019): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (219.871 KB)

Abstract

Adenoma hipofisis merupakan tumor jinak yang paling sering ditemukan pada kasus tumor intrakranial. Pembesaran tumor pada daerah sella tursica yang sempit dapat menyebabkan tekanan pada jaringan sekitar, sehingga terjadi ganggan sekresi hormon, salah satunya adalah sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat. Seorang laki-laki berusia 70 tahun datang ke instalasi gawat darurat Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien telah didiagnosa makroadenoma hipofisis. Pada saat di instalasi gawat darurat pasien muntah dan tersedak sehingga terjadi desaturasi dan kemudian dilakukan intubasi dan masuk ruang rawat intensif. Pasien mengalami hiponatremia berat dan pneumonia aspirasi. Pada hari keenam dapat dilakukan ekstubasi dan hiponatremia berat dapat dikoreksi.
Tatalaksana Pasien Obesity Hypoventilation Syndrome di Intensive Care Unit (ICU) Yunita Susanto Putri; Ardi Zulfariansyah
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 37 No 1 (2019): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (319.822 KB)

Abstract

Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS) seringkali tidak disadari sehingga terlambat ditatalaksana. Pasien OHS dengan gagal napas memiliki angka mortalitas yang cukup tinggi dan memerlukan waktu perawatan yang lama. Kasus ini dilaporkan untuk mengkaji tatalaksana pada pasien OHS di ICU. Seorang wanita berusia 67 tahun dirawat di RS Santosa Kopo Bandung pada bulan April 2018 dengan diagnosis awal obesitas kelas III (BMI 46), hypertensive heart disease (HHD) dan gagal jantung kongestif. Satu hari perawatan di ruangan biasa, kesadaran pasien menjadi somnolen dengan sesak napas yang semakin hebat. Hasil pemeriksaan analisis gas darah arteri didapatkan pH 7,18 dan pCO2 118 mmHg, kemudian dilakukan pemasangan pipa endotrakeal, ventilasi mekanik dan pasien dipindahkan ke Intensive Care Unit (ICU). Pasien dirawat di ICU selama 28 hari kemudian dilakukan trakeostomi dan pulang ke rumah dengan melanjutkan topangan ventilasi mekanik dengan mode continuous positive airway pressure (CPAP). Terdapat beberapa modalitas terapi di ICU yang dapat meningkatkan ventilasi pada pasien OHS yang mengalami gagal napas hiperkapnia kronik eksaserbasi akut, yaitu non invasive positive pressure ventilation (NPPV), intubasi endotrakea dengan ventilasi mekanik invasif dan trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Semakin cepat diagnosis OHS ditegakkan disertai dengan tatalaksana yang sesuai akan memberikan keluaran pasien yang baik pula.
Plasma Exchange (PE) sebagai Pilihan Pertama Terapi pada Krisis Myasthenia dengan Hemodinamik Stabil Iman Muhamad Yusup; Sobaryati
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 37 No 1 (2019): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (391.019 KB)

Abstract

Krisis myasthenia adalah suatu kelemahan otot karena myasthenia gravis yang berat sehingga memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik. Penggunanan ventilator membuat pasien berisiko mengalami komplikasi yang berkaitan dengan penggunaan ventilator. Cepat lepas ventilator adalah salah satu cara untuk mencegah risiko penggunaan ventilator, oleh karena itu pertimbangan pemilihan terapi untuk krisis myasthenia adalah memastikan perbaikan klinis yang cepat sehingga cepat lepas dari ventilator. Plasma exchange bekerja dengan menghilangkan autoantibodi dan faktor-faktor protein komplemen, perbaikan yang cepat memungkinkan karena membuang sebagian fraksi antibodi yang memblok langsung asetilkolin reseptor. Dampak perbaikan klinis di hari pertama pasca plasma exchange yang dilakukan pada hari pertama perawatan ICU, ditandai dengan peningkatan rasio PaO2/FiO2, kemudian dilanjutkan plasma exchange ke-2 dan ektubasi pasca plasma exchange ke-4. Hal ini membuktikan plasma exchange efektif dan bekerja cepat membuang autoantibodi. Pertukaran sejumlah volume plasma darah dengan cairan pengganti pada plasma exchange dapat menimbulkan gejolak kardiovaskular pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil, oleh karenanya pemakaian plasma exchange dibatasi pasien pasien dengan hemodinamik stabil. IVIg maupun plasma exchange memiliki efek samping yang hampir sama. Plasma exchange dipilih sebagai pilihan pertama terapi karena efektif membantu cepat lepas dari ventilator pada pasien dengan hemodinamik stabil.
Efusi Perikardial pada Pediatrik SLE disertai Sepsis Agung Hujjatulislam; Tinni Trihartini Maskoen
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 37 No 1 (2019): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (319.11 KB)

Abstract

Dilaporkan satu kasus SLE pada seorang anak perempuan berusia 11 tahun. Pasien datang dengan keluhan demam, nyeri kepala, kejang disertai dengan penurunan kesadaran, sesak napas, dan nyeri sendi. Diagnosis SLE ditegakkan dengan terpenuhinya 6 dari 11 kriteria klasifikasi SLE dari American College of Rheumatology (ACR) yaitu serositis, anemia, nefritis, kejang, serum antinuclear antibody (ANA) positif, dan anti-dsDNA yang positif. Diagnosis efusi perikardial diperoleh dari suara jantung yang menjauh, gambaran EKG yang menunjukkan adanya sinus takikardi, dan pemeriksaan ekokardiografi yang menunjukkan efusi perikardial berat (21,9 mm sirkumferensial). Ditemukannya Staphylococcus hominis (MRSA) dari kultur darah menunjang diagnosis sepsis pada pasien ini dengan skor Sequential organ failure assessment (SOFA) 3 dan quick sequential organ failure assessment (qSOFA) 2. Pasien mendapatkan terapi metilprednisolon, fenitoin, midazolam, nikardipin, dan vankomisin. Pada hari ke-8 pasien mengalami perbaikan, dan dipindahkan pada hari ke-11.
Gagal Napas Sebagai Gejala Awal Emboli Paru Defri Aryu Dinata; Nurita Dian; Hori Hariyanto; Oloan Tampubolon
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 37 No 1 (2019): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (317.841 KB)

Abstract

Insidensi emboli paru (PE) sangat tinggi namun penegakan diagnosisnya sangat sulit dikarenakan gejala yang timbul pada setiap pasien sangat bervariasi. Terdapat tiga gambaran klinis PE, yaitu infark paru, dispnea akut yang tidak dapat dijelaskan, dan kor pulmonal akut. Pada kasus ini pasien mengalami dispnea akut yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Pemeriksaan berupa foto thorak, elektrokardiografi dan ekokardiografi tidak menunjukan abnormalitas. Kecurigaan PE muncul ketika pasien mengalami syok refrakter selama tiga hari perawatan. Dilakukan CT–angiografi dan pasien terbukti mengalami trombosis pada arteri pulmonal kiri. Selanjutnya pasien menjalani percutaneus intraarterial trombolitic (PIAT) dengan rtPA. Terapi trombolisis ini gagal menghancurkan trombus, dikarenakan massa trombus yang besar dan terfiksir. Selanjutnya pasien direncanakan menjalani operasi pembedahan embolektomi, namun operator bedah thorax kardiovaskular tidak mampu melakukan operasi pembedahan jenis ini. Pasien akhirnya meninggal pada hari kesebelas perawatan. Oleh karena itu diagnosis dan pengobatan yang cepat sangat penting untuk menyelamatkan hidup pasien. Sehingga rumah sakit harus secara preemptif membentuk protokol diagnostik dan terapeutik untuk pasien dengan PE.

Page 1 of 1 | Total Record : 5