cover
Contact Name
Sandy Theresia
Contact Email
sandytheresia.md@gmail.com
Phone
+6285350877763
Journal Mail Official
journalmanager@macc.perdatin.org
Editorial Address
Jl. Cempaka Putih Tengah II No. 2A, Cempaka Putih, Central Jakarta City, Jakarta 10510
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Majalah Anestesia & Critical Care (MACC)
Published by Perdatin Jaya
ISSN : -     EISSN : 25027999     DOI : https://doi.org/10.55497/majanestcricar.xxxxx.xxx
Core Subject : Health,
We receive clinical research, experimental research, case reports, and reviews in the scope of all anesthesiology sections.
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 41 No 1 (2023): Februari" : 9 Documents clear
Drop Foot After Spinal Anesthesia Dhanu Enggar; Surachtono
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 1 (2023): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i1.253

Abstract

Neurological complications after spinal anesthesia are very rare and often transient. The prevalence has been reported as 0–36 per 10 000 cases after epidural anesthesia and 35 per 10 000 cases after spinal anesthesia. A healthy 25 years old man was arranged for elective ESWL therapy due to a stone in the right upper ureter. The patient was categorized ASA I, spinal anesthesia was performed using a 27 gauge pencil-point spinal needle into L3-L4 space in a sitting position. During the procedure of inserting spinal needle the patient had no complaints. After the withdrawal of the cerebrospinal fluid, 4 ml of hyperbaric bupivacaine 0.5% was injected and the patient was moved to a supine position. The operative procedure went well without any complications. Six hours after surgery patient was unable to move his left foot meanwhile the right foot was normal. The neurologist was consulted and the patient was treated using methylprednisolone iv, mecobalamin, and pregabalin. MRI of the lumbosacral showed normal results, EMG studies showed a functional partial lesion on the left radix of L4-5, L5-S1. After 7 days of treatment, the patient felt improvement in his symptoms, and the patient was discharged. Patient came for a follow-up to neurologist & physiotherapist until 24 days after surgery, and the symptoms were gradually get resolved. Management of neurological complications after spinal anesthesia depends on its etiology, so it’s important to do an early diagnosis to make a further treatment.
Mengenal Lebih Dekat Penelitian Kohort: Manfaat Penelitian Kohort pada Bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Agustina Boru Haloho; Legiran
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 1 (2023): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i1.266

Abstract

Studi kohort adalah jenis studi observasional di mana kohort, atau sekelompok individu yang berbagi beberapa karakteristik, diikuti dari waktu ke waktu, dan hasil diukur pada satu atau lebih titik waktu. Studi kohort dapat diklasifikasikan sebagai studi prospektif atau retrospektif, dan memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Jika paparan jarang terjadi, maka desain kohort adalah metode yang efisien untuk mempelajari hubungan antara paparan dan hasil. Sebuah studi kohort retrospektif dapat diselesaikan dengan cepat dan relatif murah dibandingkan dengan studi kohort prospektif. Tindak lanjut dari peserta studi sangat penting dalam studi kohort, dan kerugian merupakan sumber bias penting dalam jenis studi ini. Studi-studi ini digunakan untuk memperkirakan insiden kumulatif dan tingkat insiden. Salah satu kekuatan utama dari studi kohort adalah sifat longitudinal dari data. Beberapa variabel dalam data akan bervariasi waktu dan beberapa mungkin independen waktu. Artikel ini memberikan gambaran tentang definisi, desain, analisis, interpretasi, kelebihan dan kekurangan studi kohort. Peniliti dapat tetap menghargai kekuatan, kelemahan dan potensi jebakan studi kohort ketika menafsirkan dan menerapkan hasil untuk praktek klinis. Apabila studi kohort dirancang dan ditafsirkan dengan benar, hubungan antara paparan dan hasil (termasuk indikasi kausalitas) dapat terlihat jelas.
Efek Terapi IL-6 Inhibitor Tocilizumab pada Pasien Kritis Covid-19: Tinjauan terhadap Perubahan Skor SOFA, CRP, Prokalsitonin, dan Ferritin Andi Wija Indrawan Pangerang; Syafri K Arif; Faisal Muchtar; Hisbullah; Haizah Nurdin; Ari Santri Palinrungi
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 1 (2023): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i1.270

Abstract

Latar Belakang: Badai sitokin menyebabkan perburukan pasien COVID-19. Terapi efektif dibutuhkan untuk mengatasi hiperinflamasi. Tocilizumab adalah terapi imunomodulator yang menunjukkan efektivitas terhadap badai sitokin yang berat pada penelitian sebelumnya. Tujuan: Membandingkan skor SOFA, CRP, Prokalsitonin, dan Ferritin sebelum dan setelah pemberian Tocilizumab pada pasien kritis COVID-19. Metode: Penelitian ini adalah penelitian Observasional analitik dengan desain cross sectional yang dilaksanakan di RSUP Wahidin Sudirohusodo periode pasien Maret 2020 - November 2021. Pemilihan sampel dengan total sampling yang memenuhi kriteria inklusi. Semua sampel akan diambil data rekam medis berupa skor SOFA, CRP, Prokalsitonin, dan Ferritin sebelum dan setelah pemberian Tocilizumab sampai hari ke-7 pemberian. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna skor SOFA sebelum dan setelah pemberian Tocilizumab sampai hari ke-7 (p<0.001) pada 23 sampel yang diuji dengan Friedman. Terdapat perbedaan bermakna kadar CRP sebelum dan setelah pemberian Tocilizumab mulai hari ke-2 (p<0.001) pada 42 sampel yang diuji Wilcoxon. Ditemukan perbedaan bermakna kadar CRP sebelum dan setelah pemberian hari ke 2,4, hingga hari ke-7 (p<0.001) pada 28 sampel yang diuji dengan Friedman. Ada perbedaan bermakna kadar prokalsitonin sebelum dan setelah pemberian Tocilizumab mulai hari ke-2 (p<0.001) pada 42 sampel yang diuji Wilcoxon. Selanjutnya ditemukan perbedaan bermakna kadar prokalsitonin sebelum dan setelah pemberian pada hari ke 2,4, hingga hari ke-7 (p<0,001) pada 20 sampel yang diuji dengan Friedman. Ditemukan perbedaan bermakna kadar ferritin sebelum sebelum dan setelah pemberian Tocilizumab mulai hari ke-2 (p<0,001) pada 42 sampel yang diuji Wilcoxon. Terdapat perbedaan bermakna kadar ferritin sebelum dan setelah pemberian pada hari ke 2,4, hingga hari ke-7 (p<0,001) pada 20 sampel yang diuji dengan Friedman. Simpulan: Tocilizumab menghasilkan penurunan skor SOFA, kadar CRP, Prokalsitonin, dan Ferritin pada pasien kritis COVID-19.
Efek Pemberian Tiamin Oral sebagai Adjuvan Opioid terhadap Kadar Enzim Cathecol-O-Methyltransferase (COMT) pada Penderita Kanker Serviks Ferdinan Bastian Sirait; Nur Surya Wirawan; Muh. Ramli Ahmad; Syafruddin Gaus; Alamsyah Ambo Ala Husain; Madonna Damayanthie Datu
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 1 (2023): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i1.273

Abstract

Latar Belakang: Jumlah nyeri kanker yang masih tinggi menunjukkan bahwa penanganan nyeri kanker masih belum maksimal. Alternatif tambahan pengobatan yang banyak diteliti pada pasien kanker saat ini adalah vitamin B. Enzim Cathecol-O-Methyltransferase (COMT) merupakan salah satu faktor penting munculnya gejala nyeri yang mungkin dapat dicegah dengan memberikan tiamin. Tujuan: Mengetahui efek pemberian tiamin oral sebagai adjuvan opioid terhadap kadar COMT pada penderita kanker serviks. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian quasi-experimental dengan desain pretest-posttest control group. Pasien penelitian ini berjumlah 32 pasien kanker serviks yang mengalami nyeri kanker yang dibagi dalam 2 kelompok (kelompok perlakuan dan kontrol). Kelompok perlakuan yang mendapatkan morfin ditambah dengan tiamin 500 mg/8 jam/oral, dan kelompok kontrol yang mendapatkan morfin saja. Pengukuran dan evaluasi skor numeric rating scale (NRS) dilakukan setelah 72 jam pemberian tiamin dan dilakukan pengambilan darah kembali 4 jam setelah pemberian tiamin yang terakhir untuk pemeriksaan kadar COMT, kemudian dilakukan pengumpulan dan analisis data. Hasil: Dari 32 pasien kanker serviks yang diteliti didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan perubahan tingkat NRS dan kadar COMT pada kelompok perlakuan yang diberikan tiamin. Simpulan: Pemberian tiamin dapat menurunkan kadar enzim COMT dan secara klinis menurunkan NRS pada pasien dengan kanker serviks.
Efek Tindakan Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) terhadap Derajat Nyeri dan Kadar Beta-Endorfin Serum pada Pasien Nyeri Kanker Payudara Noor Ramadhaniah; Nur Surya Wirawan; A.M. Takdir Musba; Firdaus Hamid; Muh. Ramli Ahmad; Alamsyah Ambo Ala Husain; Madonna Damayanthie Datu
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 1 (2023): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i1.274

Abstract

Latar Belakang: Nyeri adalah keluhan yang sering dirasakan oleh pasien kanker. Benjolan tanpa rasa sakit adalah gejala pertama yang dirasakan pada kanker payudara. Pada stadium lanjut, pasien kanker payudara mengalami rasa sakit yang sangat menyiksa karena keterlibatan struktur didalamnya, selain itu nyeri juga dapat disebabkan oleh pengobatan kanker itu payudara itu sendiri. Stimulasi Magnetik Transkranial (SMT) merupakan metode baru stimulasi otak secara non-invasif untuk manajemen nyeri terkait kanker. Pada nyeri kronik, SMT terbukti menurunkan Visual Analogue Score (VAS) dan meningkatkan serum beta-endorfin. Tujuan: Mengetahui efek tindakan SMT terhadap intensitas nyeri dan kadar beta-endorfin serum serta korelasinya pada pasien nyeri kanker payudara. Subjek dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospective randomized controlled trial dengan desain pretest-posttest control group. Sampel terdiri dari 2 kelompok, yaitu kelompok P1 (kelompok dengan intervensi SMT) dan P2 (kelompok kontrol) dengan jumlah sampel masing-masing 20 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan penilaian Numeric Rating Scale (NRS) dan pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar beta endorfin serum sebelum dan sesudah intervensi. Data dianalisis menggunakan uji statistik Mann-Whitney dan Wilcoxon, serta uji korelasi dengan uji Spearman. Hasil: Penurunan NRS lebih besar pada kelompok P1 dibandingkan kelompok P2 dengan nilai p<0.001 dan terjadi peningkatan kadar beta endorfin serum pada kelompok P1 dibandingkan dengan kelompok P2 dengan nilai p<0.001, hal ini memiliki korelasi kuat (r=0.630; p<0.001) Simpulan: Tindakan SMT menyebabkan penurunan intensitas nyeri dan meningkatkan kadar beta endorfin serum pada pasien nyeri kanker payudara dan ditemukan korelasi antar kedua variabel ini. Kata kunci: nyeri kanker, SMT, NRS, beta endorfin
Manajemen Perioperative pada Pasien Tumor Craniopharygioma Andika Metrisiawan; Nova Juwita; I Putu Pramana Suarjaya
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 1 (2023): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i1.275

Abstract

Craniopharyngiomas are benign histological brain tumors originating less frequently fromembryonic pituitary gland tissue that are seen most frequently in children between the ages of 5and 10 years. In this case report we present a 25-year-old patient with a craniopharyngiomatumor. Patients with decreased consciousness since 4 months before admission to the hospital,which started with memory loss that was getting worse and more difficult to communicate. Thepatient was diagnosed with a brain tumor and underwent surgery for tumor therapy in 2018. Theprocedure was performed using a transcranial approach. Considerations for preoperativeanesthesia should include evaluation of radiological features to identify tumor mass andpreoperative neurologic status. Other examinations of concern include examination of blood gasanalysis and examination of electrolytes. The goals of treatment can be to remove the tumor,reduce or control the size of the tumor.
Perioperative Management of Elective Surgery in Patients with COVID-19 Infection Tjokorda Gde Agung Senapathi; I Made Gede Widnyana; Marilaeta Cindryani; Win Muliadi; Madyline Victorya Katipana
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 1 (2023): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i1.277

Abstract

SARS-CoV2 is a deadly virus belonging to the family Corona-viridae, with the primary target pulmonary system, known as the coronavirus pandemic disease (COVID-19). This virus has caused a high death rate of approximately 9,500 deaths as of December 2020. Along this pandemic, the hospital will treat non-emergent conditions in COVID-19 patients require nonemergent surgery. Anesthesiologists have an important role in the anesthesia management in patients with COVID-19 utilization and require airway management. This article explains optimal preoperative evaluation, intraoperative management, and postoperative management of COVID-19 patients. Optimal treatment is expected to minimize complications and the spread of COVID-19 disease. The optimal time for elective surgery should be decided by a multidisciplinary committee that considers the risk of complications either the patient, the disease itself, the surgical procedure, or other alternatives with lower risk. Perioperative management is carried out preoperatively, intraoperatively, and postoperatively. The safety of anesthesiologists using personal protective equipment (PPE) to carry out preoperative evaluations is important. The number of disease severity can use a scoring system, the results of which can be used as a reference for multidisciplinary discussions related to perioperative management plans. General anesthesia can contribute to the spread of disease resulting from the risk of droplets resulting from airway action, so regional anesthesia can be considered to reduce the risk of spread. For this reason, optimal management is needed to reduce risks to patients as well as medical personnel.
Effectiveness of Postoperative Pain Management and Postoperative Emergency Pain Management at Prof.Dr. I.G.N.G. Ngoerah General Hospital I Putu Pramana Suarjaya
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 1 (2023): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i1.295

Abstract

Background: Early postoperative recovery has undergone many developments. Early mobilization, early nutritional intake, and adequate postoperative pain management are the scope of early postoperative recovery. The principle of postoperative pain management starts from preoperative evaluation which includes medical and psychological conditions, medication history, history of chronic pain, drug abuse, and previous postoperative treatment regiments to guide postoperative pain management plans. Method: This research is an analytical observational study, carried out at Sanglah Hospital Denpasar from June 2021 to December 2021. The accessible population of this study was all postoperative patients at the Central Surgical Installation and the Emergency Room at Sanglah Hospital Denpasar who were consulted by the Acute Pain Service (APS) team. Inclusion criteria were all patients who underwent surgical procedures under general and regional anesthesia, ASA physical status 1-3, and age above 18 years. Results: There were 166 patients managed by continuous intravenous postoperative analgesia (73.1%), 43 patients by epidural postoperative analgesia (18.9%), and 18 patient-controlled analgesia/PCA (7.9%). The most widely used intravenous regiment was fentanyl by 85 (37.4%).Conclusion: This study shows incidences number of acute postoperative pain in the elective and emergency department at Sanglah Hospital Denpasar gave good results with a much lower incidence of pain compared to the existing literature.
Komplikasi Pasca Anestesia Spinal: Apa saja yang harus kita waspadai? Anggara Gilang Dwiputra
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 1 (2023): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i1.316

Abstract

Anestesia neuraksial merupakan salah satu alternatif teknik pembiusan selain anestesia umum. Istilah anestesia neuraksial merujuk pada teknik dimana obat anestesi lokal diberikan di dalam atau sekitar Sistem Saraf Pusat (SSP). Anestesia spinal merupakan teknik anestesia neuraksial dimana obat anestesi lokal diberikan tepat di ruang intratekal (ruang subarachnoid). Teknik ini pertama kali dilakukan pada tahun 1898 oleh August Bier di Jerman.

Page 1 of 1 | Total Record : 9