cover
Contact Name
Kholil Syu'aib
Contact Email
kholil_syuaib@uinjambi.ac.id
Phone
+628127682779
Journal Mail Official
alrisalah@uinjambi.ac.id
Editorial Address
Faculty of Sharia Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jl. Raya Jambi - Muara Bulian KM. 15 Simpang Sungai Duren 36361. Telepon: (0741) 582632, 583377
Location
Kota jambi,
Jambi
INDONESIA
Legal Protection for the Partnership Agreement Parties
Core Subject : Economy, Social,
Al-Risalah Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan particularly focuses on the main problems in the development of the sciences of sharia and law areas. It publishes articles and research papers concerning Islamic law, Islamic legal thought, Islamic jurisprudence, Islamic economic laws, criminal law, civil law, international law, constitutional law, administrative law, economic law, medical law, customary law, environmental law and so on.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 15 No 01 (2015): June 2015" : 10 Documents clear
Konsep Imamah dan Baiat Dalam Pemikiran Lembaga Dakwah Islam Indonesia Dilihat Dari Perspektif Siyasah Syari'ah
Al-Risalah Vol 15 No 01 (2015): June 2015
Publisher : Faculty of Sharia, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (380.513 KB) | DOI: 10.30631/alrisalah.v15i01.374

Abstract

Persoalan imamah telah menjadi discoursus sepanjang masa berawal perselisihan Ali ibn Abi Thalib dangan Muawiyah ibn Abi Syofyan setelah terjadinya arbitrase yang menguntungkan salah satu pihak yaitu Muawiyah ibn Abi Syafyan. Persoalan ini kemudian menjadi lebih hebat adanya hadits Nabi Muhammad s.a.w. yang seakan-akan secara eksplisit menunjuk Ali sebagai penganti beliau. Dari sinilah aspek keimamahan menjadi bahagian keagamaan bukan hanya Syi’ah tetapi organisasi-oraganisasi yang memiliki faksi yang sama.
Perempuan dan Pilkada Dalam Perspektif Kesetaraan Gender Menurut Hukum Islam
Al-Risalah Vol 15 No 01 (2015): June 2015
Publisher : Faculty of Sharia, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (298.456 KB) | DOI: 10.30631/alrisalah.v15i01.375

Abstract

Gender adalah suatu istilah alami yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dari segi tingkah laku. Dari depenisi diatas dapat disimpulkan bahwa “Gender” adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial, budaya dan hukum (hak dan Kewajiban) atau dari sudut non-biologis. Sebenarnya gender sebagai konstruksi sosial tidak perlu dipermasalahkan kalau itu tidak menimbulkan diskriminasi dan ketidak adilan terhadap salah satu jenis kelamin manusia. Akan tetapi pada kenyataan yang dibicarakan itu adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan ketimpangan peran gender. Dengan memberikan pembagian tugas yang baik dan seimbang, tidak mengabaikan hak lak-laki maupun perempuan, maka gender tidak menjadi permasalahan. Sebab peran perempuan dan laki-laki akan menguntungkan dan bermanfaat bagi keduanya. Menjelang pemilu tahun 2015 telah diwarnai berbagai isu penting, seperti demokratisasi, marjinalisasi partai politik, lembaga perizinan bicara dan lain-lain. Dalam pembahasan ini, yang dilihat melalui sudut pandang bagaimana perempuan dan pilkada dalam perspektif kesetaraan gender
Pendekatan Wasatiyyah Dalam Berfatwa: Antara Keterikatan Literalis Dengan Kelonggaran Liberalis Noor Naemah Abdul Rahman; Mohd Anwar Ramli; Muhammad Naqib Bin Hamdan
Al-Risalah Vol 15 No 01 (2015): June 2015
Publisher : Faculty of Sharia, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (385.108 KB) | DOI: 10.30631/alrisalah.v15i01.376

Abstract

Dalam era saat ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak masalah baru muncul, yang dikategorikan sebagai hukum Islam kontemporer. Putusan dari isu-isu tersebut memerlukan pendekatan ijtihad kolektif, sesuai dengan konteks saat ini untuk memastikan kesejahteraan manusia. Dengan demikian, artikel ini membahas pendekatan fatwa. Pada dasarnya, ada berbagai pendekatan antara dua faksi pemikiran, pendekatan yaitu ketegasan dan pendekatan kelonggaran. Namun, antara kedua pendekatan bertentangan, telah muncul media yang dikenal sebagai pendekatan wasatiyyah dalam mengeluarkan fatwa. Pendekatan ini secara signifikan memberikan solusi yang masuk akal untuk mengatur fatwa bebas dari kecenderungan menjadi terlalu ketat atau terlalu longgar dan tidak pernah menyimpang dari tujuan syariah.
Mistik, Ontologis, dan Fungsional (Budaya Hukum Islam: A New Perspektive) Amhar Rasyid
Al-Risalah Vol 15 No 01 (2015): June 2015
Publisher : Faculty of Sharia, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (322.085 KB) | DOI: 10.30631/alrisalah.v15i01.378

Abstract

Artikel ini mendiskusikan tentang budaya hukum Islam dilihat dari sarjana Belanda Van Peursen 3 (tiga) diferensiasi: mistis, ontologis, dan fungsional. Diferensiasi ini kemudian benar-benar mempengaruhi hukum Islam (fiqh) seperti dapat disaksikan dari kehidupan sehari-hari ummat muslim serta dalam perkembangan konsep perbankan syaria di Indonesia. Penulis kemudian mencoba untuk menganalisis aspek-aspek budaya dari filsafat Gadamer hermeneutika: berarti, Horizon Vermeltzung, dan Kebenaran. Ia menemukan bahwa aspek fungsional dari Islam (syari'a) yang secara ontologis disebut hukum Islam (fiqh). Penyebab utama adalah bahwa sebagian besar pembaca (umat Islam) masih menganggap teks tertulis (pikiran penulis) sebagai kebenaran itu sendiri yang di bertentangan dengan pendapat Gadamer bahwa kebenaran harus ditemukan dialogis di Tradisi. Secara signifikan, studi hermeneutika teks agama khususnya harus diajarkan di kampus untuk memperkaya tradisi Islam dengan lebih baik dan lebih baik wawasan di masa depan
Penolakan Imam Syafi'i Terhadap Istihsan Sebagai Salah Satu Metode Istinbath Hukum Islam Bakhtiar Hasan
Al-Risalah Vol 15 No 01 (2015): June 2015
Publisher : Faculty of Sharia, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (313.674 KB) | DOI: 10.30631/alrisalah.v15i01.379

Abstract

Istihsan adalah salah satu dalil dalam urutan tertib dalil hukum dalam Islam. Kewenangan dan kehujjah-annya diperdebatkan oleh ulama hukum Islam. Secara garis besar terdapat dua versi pandangan ulama tentang ke-hujjah-an istihsan tersebut. Versi pertama memandangnya sebagai salah satu dalil hukum yang mempunyai kewenangan dan ke-hujjah-an yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah. Sementara versi kedua beranggapan bahwa istihsan tidak dapat dijadikan sebagai dalil hukum, versi kedua ini dipelopori oleh Imam Syafi’i. Sejauh yang ditolak oleh Imam Syafi’I, di mana istihsan yang tidak bersandar kepada keterangan (alkhabar) dari salah satu empat dalil syara’, yaitu al. Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Adapun istihsan yang dipegang oleh golongan Malikiyah dan Hanafiyah pada hakikatnya tidak ditolak oleh Imam Syafi’i, karena istihsan dalam pandangan mereka (yang memegang istihsan) bersandarkan kepada dalil-dalil yang diakui oleh Imam Syafi’i. Hanya saja istihsan yang bersandar kepada dalil dalam pandangan Imam Syafi’i itu bukanlah istihsan namanya. Jadi perbedaannya hanya perbedaan semantick (Khulful al-Laf)
Hukum Islam dan Hukum Pembuktian Perdata Serta Isu-Isu Menarik Terhadap Perkembangannya (Sebuah Studi Komperatif) Hidayat bin Muhammad
Al-Risalah Vol 15 No 01 (2015): June 2015
Publisher : Faculty of Sharia, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (422.272 KB) | DOI: 10.30631/alrisalah.v15i01.380

Abstract

Secara umum, undang-undang pembuktian yang digunakan dalam hukum perdata oleh Peradilan Indonesia tidak menyalahi hukum Islam. Meskipun demikian, masih ada ruang-ruang tertentu yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu untuk lebih mendalami hukum Perdata Indonesia, penulis mencoba untuk mengkoparasikannya dengan hukum Islam. Hal ini dianggap penting karena perubahan yang terjadi di maIslamat yang disebabkan oleh perubahan waktu, tempat, sains, tekhnologi dan lain-lain dapat memberikan pengaruh sedikit banyaknya kepada hukum pembuktian perdata ini. Jumlah alat bukti yang terpakai dalam hukum perdata secara resmi dan menurut undang-undang adalah terbatas yaitu: surat, kesaksian, anggapan, pengakuan dan sumpah. Berpegang dengan pendapat ini, maka alat bukti dalam Islam adalah tidak tertbatas dengan prinsip apa saja yang dapat untuk memberikan keadilan maka ia dapat digunakan. Berbeda dengan alat bukti yang dipakai di Indonesia yang berpegang dengan prinsip sistem tertutup dan terbatas.
Hukum Islam dan Kelestarian Lingkungan (Studi Tentang Hukum Adat Sebagai Alternatif Terhadap Kerusakan Lingkungan di Jambi Rahmi Hidayati
Al-Risalah Vol 15 No 01 (2015): June 2015
Publisher : Faculty of Sharia, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (308.73 KB) | DOI: 10.30631/alrisalah.v15i01.381

Abstract

Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa kelestarian lingkungan akan terjaga jika menerapkan hukum adat berbasis hukum Islam. Semakin kuat pelaksanaan dan penerapan hukum adat berbasis hukum Islam, maka akan lestari lingkungan. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan Kashif M Sheikh (2006) dan Charles Zerner (1994) yang menyatakan bahwa Islam dan adat sangat memperhatikan lingkungan. Konservasi lingkungan berbasis adat tradisi kearifan lokal dan nilai religius agama Islam dapat menjadi solusi mengatasi krisis lingkungan yang terjadi saat ini. Dan membantah pendapat pendapat Mary Evelyn Tucker (2001) dan John A Grim (2003) yang menyatakan bahwa tidak ada satu tradisi religius atau perspektif filosofispun yang mempunyai solusi ideal bagi krisis lingkungan. Peneltian ini membuktikan bahwa hutan adat sesuai dengan perpaduan konsep hukum Islam dan hukum adat mengenai lingkungan dan dapat menjadi contoh tradisi religius dalam mengatasi krisis lingkungan. Hutan adat dapat bertahan dari kerusakan lingkungan karena dijaga dan dilindungi oleh hukum adat yang berasaskan hukum Islam serta didukung nilai agama, sosial budaya, politik, pendidikan dan ekonomi.
Perceraian Sirri Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Parit Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi Maryani Maryani
Al-Risalah Vol 15 No 01 (2015): June 2015
Publisher : Faculty of Sharia, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (318.23 KB) | DOI: 10.30631/alrisalah.v15i01.382

Abstract

Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu perkawinan bersepakat mencari kebahagiaan dan melanjutkan keturunan serta ingin hidup sampai akhir hayat, seringkali keinginan tersebut kandas ditengah jalan karena adanya berbagai hal. hal ini dikarenakan adanya perceraian, baik cerai mati, cerai talaq, maupun cerai atas putusan hakim. Menurut peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia talaq harus diikrarkan di depan sidang Pengadilan. Ada sebagian masyarakat yang lebih memilih bercerai di luar persidangan Pengadilan di banding bercerai dalam sidang Pengadilan Agama, padahal perceraian di luar Pengadilan Agama banyak mendatangkan mafsadat/mudarat dibandingkan dengan maslahatnya, salah satunya adalah tidak terjaminnya hak-hak mantan isteri dan anak. Masalah cerai di luar Pengadilan Agama yang dilakukan oleh masyarakat desa Parit tidak lepas dari pemahaman masyarakat terhadap posisi hukum dalam kehidupan mereka. Pada umumnya, masyarakat memiliki pandangan bahwasanya hukum Islam adalah hukum dasar yang menjadi pijakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh sebab itu, sekali lagi, bagi mereka pelaksanaan hukum agama lebih penting dan lebih utama daripada pelaksanaan hukum lainnya. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
Pelaksanaan Adat Selam Air Ditinjau Dari Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia Ramlah Ramlah
Al-Risalah Vol 15 No 01 (2015): June 2015
Publisher : Faculty of Sharia, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (337.3 KB) | DOI: 10.30631/alrisalah.v15i01.384

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pelaksanaan penyelesaian sengketa harta melalui sidang Selam Air di Desa Seling ditiinjau dari kajian Hukum Acara Peradilan Agama. Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi, dan teknik analisis datanya menggunakan preskriptif yaitu memberikan argumentasi atas hasil penelitian serta memberi penilaian mengenai salah atau benarnya menurut hukum terhadap fakta yang ada di lapangan. Hasil penelitian yang dicapai: penelitian ini bila ditinjau dari aspek Peradilan Agama/Hukum Acara Peradilan Agama sebagian konsep Hukum Acara Peradilan Agama sesuai dengan tujuan Praktek penyelesaian Sengketa Selam Air, dan sebagian bertentangan dengan konsep Hukum Acara Peradilan Agama. Namun peraktek Adat Selam Air ini sejak dahulu kala sampai saat ini tidak ada larangan dari para ulama’ setempat, dan ini berpatokan pada kaidah “sesuatu yang tidak ada perintah dan larangan berarti hukumnya boleh”.
Penyelesaian Sengketa Korban Kecelakaan Lalu Lintas Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Adat di Kabupaten Batanghari Fathuddin Fathuddin
Al-Risalah Vol 15 No 01 (2015): June 2015
Publisher : Faculty of Sharia, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (378.865 KB) | DOI: 10.30631/alrisalah.v15i01.385

Abstract

Hukum pidana Islam memberikan sanksi yang sangat berpareasi terhadap pembunuhan karena salah atau lalai, karena menurut pandangan Hukum Pidana Islam bahwa hak hidup itu sangat pribadi dan menjadi hak adami, bukan hak Allah, oleh karenanya hukumannya sangat ditenntukan oleh si korban atau ahli warisnya. Kasus kecelakaan lalu lintas di Batanghari banyak diselesaikan secara adat dengan memberikan hokum bangun, yakni orang yang telah meninggal karena perbuatan orang lain, harus dibangun oleh si pelaku.Hukum bangunnya adalah seekor kerbau, 100 gantang beras, selemak semanis seasam segaram, dan “angkat dulur”.Dengan terlaksananya hukum bangun ini, maka antara kedua belah pihak sudah menjadi saudara, karena telah tercapai kesepakatan untuk berdamai. Proses perdamaian kacelakaan lalu lintas secara adat Batanghari adalah: (1) Tepung Setawar ada dua hal yang wajib dipenuhi yaitu sedingin (daun bangun) dan batu perdamaian adat. (2) Biaya perawatan atau pengobatan terhadap korban. (3) Jika korban meninggal dunia maka pihak pelaku membawa kain kafan dan bersedia mempersiapkan kebutuhan taziah selama tiga malam, ada 7 malam, ada 40 hari, dan 100 hari sesuai dengan permintaan ahli waris korban. (4) Menanggung semua biaya perdamaian dan sanksi adat sesuai dengan akibat yang diderita korban atau uang bangun jika korban meninggal duni

Page 1 of 1 | Total Record : 10