cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara" : 9 Documents clear
The Question Of Identity In Amartya Sen’s Capability Approach Benny Hari Juliawan
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (51.479 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i1.153

Abstract

Abstract: Amartya Sen introduces the concept of capabilities, i.e. what people are able to do and to be, as a non-economic measure in the development evaluation. This essay seeks to explore how this concept deals with the issues of values and politics, which in many cases determines people’s identity. The main argument is that the concept of capabilities is built around a certain individualistic view of human beings, whereas identity suggests a more complex picture. As such, Sen’s capability approach cannot properly address the issue of identity and risks losing important insights which may contribute to people’s well being. Keywords: Amartya Sen, capability approach, identity, development, justice. Abstrak: Amartya Sen memperkenalkan konsep kapabilitas, yakni apa yang dapat dilakukan oleh seseorang dan bagaimana ia dapat menjadi dirinya, sebagai tolok ukur non-ekonomik dalam evaluasi pembangunan. Artikel ini berupaya mengkaji bagaimana konsep ini dapat diselaraskan dengan nilai-nilai identitas dan politik, yang dalam banyak hal menentukan apa yang dianggap oleh banyak orang sebagai nilai. Argumen yang dikemukakan dalam artikel ini adalah bahwa konsep mengenai kapabilitas dibangun atas sebuah pandangan individualistik mengenai manusia, sementara identitas menyiratkan sebuah gambaran yang lebih kompleks. Dipahami secara demikian, pendekatan kapabilitas Sen tidak dapat menanggapi permasalahan identitas secara memadai dan beresiko kehilangan insight penting yang justru dapat memberi sumbangan bagi kesejahteraan manusia. Kata-kata kunci: Amartya Sen, pendekatan kapabilitas, identitas, perkembangan, keadilan.
Ernst Mach Dan Ekonomi Pikiran Karlina Supelli
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (111.223 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i1.154

Abstract

Abstract: Ernst Mach stands as a representative figure of the positivist philosophy of science at the turn of the twentieth century, yet he is by far the most misunderstood scientist-philosopher. The misunderstanding is largely caused by his epistemological rejection of the use of hypothetical entities that are ordinarily posited by scientists. He also argued against the mechanistic worldview which dominated scientific investigations in the nineteenth century. This essay will demonstrate that Mach’s positivism differs from the earlier positivism of August Comte. His anti metaphysical stance is deeply-rooted in his physical phenomenology, guided by the economy of thought in pursuit of the unity of science. In Mach’s view, scientific theories are merely biological tools for organizing experience by means of the fewest possible concepts, and all metaphysical elements are to be eliminated from science as methodologically and epistemologically superfluous. But Mach’s thesis of the unification of science does not share the common concern of the logical positivists to reduce various scientific statements to physical language. While Mach’s philosophy of science clearly exhibits a miscalculation of the strength of scientific conceptual tools, his physical phenomenology serves as a bridge between theory and experiment which has proved to be fruitful. Keywords: The economy of thought, evolution, element, physical phenomenology, the unity of science, instrumentalism, emphirical realism. Abstrak: Ernst Mach tampil sebagai tokoh representatif dari Filsafat Ilmu Pengetahuan positivis pada peralihan menuju abad ke-20, sekaligus sebagai ilmuwan-filsuf yang paling disalahpahami. Kesalahpahaman tersebut sebagian besar disebabkan oleh penolakan epitemologisnya terhadap penggunaan wujud-wujud hipotetis yang kerap diajukan oleh para ilmuwan. Ia juga melawan cara pandang mekanistis yang mendominasi penyelidikan ilmiah pada abad ke-19. Artikel ini memperlihatkan bahwa positivisme Mach berbeda dengan positivisme August Comte yang mendahuluinya. Pandangan anti-metafisis Mach berakar sangat dalam pada fisika fenomenologi yang dipandu oleh ekonomi pikiran untuk mencapai sains terpadu. Dalam pandangan Mach, teori-teori ilmiah semata-mata sarana biologis untuk menata pengalaman dengan memanfaatkan sesedikit mungkin konsep, dan semua elemen metafisika perlu disingkirkan dari sains karena secara metodologis dan epistemologis tidak bermanfaat. Namun, tesis Mach tentang sains terpadu tidak sejalan dengan gagasan para positivis logis yang mereduksi berbagai macam pernyataan ilmiah ke dalam bahasa fisika. Sementara Filsafat Ilmu Pengetahuan Mach jelas-jelas keliru dalam memperhitungkan kekuatan piranti-piranti konseptual sains, fisika fenomenologi yang menjembatani teori dan eksperimen telah terbukti sangat bermanfaat. Kata-kata kunci: Ekonomi pikiran, evolusi, elemen, fisika fenomenologi, sains terpadu, instrumentalisme, realisme empiris.
Hukum Sebagai Interpretasi Petrus CKL Bello
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (48.102 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i1.155

Abstract

Abstract: The issue of interpretation is one of the major themes in the study of law and legal practices. Nonetheless, while legal interpretation plays a crucial role in the study of law, scholars have yet to reach an agreement about its nature and status in the discipline. One of the most prolific legal philosophers who is deeply engaged in the discourse of this issue is Ronald Dworkin. This article will examine his views on law as an interpretation. The constructive interpretation model that Dworkin develops has posed a serious challenge for analytical jurisprudence in general, and especially, for legal positivism. The challenge is substantive and methodological; substantive, in the sense that it seeks to radically criticize a sharp separation between law and morality as prevalent in legal positivism, and methodological in the sense that it seeks to put together the analysis of legal concepts with the interpretation of law as it is regarded from the perspective of particular legal cases. Through the concept of law as interpretation, Dworkin wishes to formulate his own understanding of law as a coherent system of legal principles. Keywords: Ronald Dworkin, constructive interpretation model, external and internal skepticism, theory of law, rights thesis, difficult cases. Abstrak: Persoalan interpretasi merupakan salah satu tema besar dalam studi hukum dan praktik hukum. Kendati demikian, sementara interpretasi hukum memainkan peran krusial dalam studi hukum, para pakar masih belum sepakat mengenai hakikat dan kedudukannya dalam disiplin ilmu tersebut. Salah seorang ahli filsafat hukum yang sangat produktif dan sangat serius menggeluti persoalan ini adalah Ronald Dworkin. Artikel ini akan mengkaji pandangan Dworkin tentang hukum sabagai sebuah interpretasi. Model interpretasi konstruktif yang dikembangkan oleh Dworkin merupakan tantangan yang sangat serius bagi yurisprudensi analitis pada umumnya, dan khususnya bagi positivisme hukum. Tantangan ini bersifat substantif dan metodologis. Bersifat substantif dalam arti bahwa Dworkin mengkritik secara radikal pemisahan yang begitu tajam antara hukum dan moralitas seperti lazim terjadi dalam positivisme hukum. Tantangan ini juga bersifat metodologis dalam arti bahwa tantangan tersebut berkehendak menyatukan analisis atas konsep hukum dengan interpretasi terhadapnya, dipandang dari perspektif kasus-kasus hukum partikular. Melalui konsep hukum sebagai interpretasi, Dworkin ingin memformulasikan pemahamannya tentang hukum sebagai sebuah sistem prinsip-prinsip hukum yang koheren. Kata-kata kunci: Ronald Dworkin, model interpretasi konstruktif, skeptisisme eksternal dan internal, teori hukum, tesis hak, kasus-kasus sulit.
Solidaritas Sebagai Norma Dasar Dalam Etika Paulus Martin Harun
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (65.948 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i1.159

Abstract

Abstract: Solidarity, a modern word and concept, has old roots in the concept of koinonia (fellowship) as it is understood in the New Testament. David G. Horrell even maintains that what we now call solidarity, functions as a meta norm in Paul’s ethics, since phenomena of solidarity are clearly present in the central elements of Paul’s community building. Reference is made to the two basic rituals, Baptism and the Lord’s Supper, which build unity in diversity; to the most frequently used form of address, adelphoi/brothers, which asks for familial treatment of one another; also to the special way in which Paul often tries to restore unity in the middle of conflicts; and especially to his metaphor of the Church as the one body of Christ with many different parts that need and support one another. When speaking about the collections as a sign of the Greek community’s solidarity with the poor community in Jerusalem, Paul refers to Christ’s solidarity as the source of solidarity within and among communities. Keywords: Solidarity, fellowship, David Horrell, Paul, Ethics, baptism, the Lord’s Supper, brothers, Body of Christ, Christ’s solidarity. Abstrak: Solidaritas, sebuah kata dan paham modern, memiliki akar yang lama, antara lain dalam paham koinonia (persekutuan), sebagaimana digunakan dalam Alkitab Perjanjian Baru. David G. Horrell mempertahankan bahwa apa yang sekarang kita sebut solidaritas, merupakan norma dasar (meta norm) dalam etika Paulus, sebab fenomen-fenomen solidaritas tampak dalam unsur-unsur sentral pembinaan jemaatnya, antara lain dalam kedua ritual paling dasar, baptisan dan perjamuan Tuhan, yang membina kesatuan dalam perbedaan. Solidaritas juga muncul dalam sebutan paling frekuen, saudara-saudara (adelphoi), yang menuntut suatu etos kekeluargaan. Solidaritas juga tampak dalam banyak seruan Paulus untuk memulihkan kesatuan apabila ia berhadapan dengan perpecahan, dan teristimewa dalam menggambarkan jemaat sebagai satu tubuh Kristus dengan banyak anggota yang berbeda dan saling membutuhkan serta memberi. Dalam konteks kolekte-kolekte sebagai tanda solidaritas antarjemaat, Paulus secara eksplisit menunjuk kepada solidaritas Kristus dengan kita sebagai dasar terdalam dari solidaritas antarumat. Kata-kata kunci: Solidaritas, persekutuan, David Horrell, Paulus, etika, baptisan, Perjamuan Tuhan, saudara-saudara, Tubuh Kristus, solidaritas Kristus.
Tinjauan Pastoral Liturgis Atas Hidup Dari Misteri Ekaristi E. Pranawa Dhatu Martasudjita
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (58.738 KB)

Abstract

Abstract: The Magisterium of the Church has repeatedly affirmed the centrality of Eucharistic celebration in the life of the Church. The Second Vatican Council speaks of the Eucharist as “the source and summit of the Christian life” (Lumen Gentium 11). However, to live authentically what we believe is another thing. How do we live deeply the mystery of the Eucharist? This article will make use of a pastoral-liturgical approach to discover and explain the major reasons behind the difficulty in living this mystery more deeply. Two of the latest important documents on the Eucharist will be examined. They are Ecclesia de Eucharistia and Sacramentum Caritatis. The three determining factors in Eucharistic celebration are the Eucharistic text (Sacramentary), the liturgical servers, and one’s internal disposition enriched by a sense of awe which is developed in the context of prayer and devotion. In the relation to thesense of awe, the liturgical servers, including the presider, and all the faithful, need to understand the ars celebrandi. Keywords: Eucharistic mystery, living the eucharist, sense of awe, ars celebrandi, eucharistic devotian, devotion and prayer. Abstrak: Sentralitas perayaan Ekaristi dalam hidup umat beriman Katolik ditegaskan berulangkali dalam Magisterium Gereja. Misalnya saja Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Ekaristi merupakan sumber dan puncak hidup seluruh umat kristiani (LG 11). Akan tetapi dalam praksis, tidaklah mudah menghayati keyakinan Gereja ini. Masalah pokok umat ialah bagaimana menghidupi keagungan misteri Ekaristi itu. Melalui pendekatan pastoral liturgis, karya tulis ini mencari faktor penyebab kesulitan umat Katolik dewasa ini dalam menghayati misteri Ekaristi itu. Selanjutnya, ditunjukkan keagungan misteri Ekaristi sebagaimana dinyatakan dalam ajaran Magisterium Gereja. Dalam tulisan ini dipilih dua dokumen Gereja mutakhir mengenai Ekaristi, yaitu Ecclesia de Eucharistia dan Sacramentum Caritatis. Penulis berpendapat bahwa untuk menghayati keagungan misteri Ekaristi itu perlu diperhatikan adanya tiga faktor dalam rangka pastoral liturgi Gereja, yaitu teks atau tata perayaannya, para petugas liturgi, dan disposisi batin umat. Untuk membangun disposisi batin umat yang baik diperlukan pengalaman keterpesonaan (sense of awe) melalui praktik hidup doa dan devosi yang teratur. Dalam rangka pengalaman keterpesonaan pula penulis mengusulkan dikembangkannya ars celebrandi bagi semua petugas liturgi dan seluruh umat beriman. Kata-kata kunci: Misteri Ekaristi, penghayatan Ekaristi, pengalaman keterpesonaan, ars celebrandi, devosi Ekaristi, devosi dan doa.
F. Budi Hardiman, Hak-hak asasi manusia: Polemik dengan Agama dan Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2011, 157 hlm. Franz Magnis-Susesno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v11i1.161

Abstract

Buku relatif kecil F. Budi Hardiman, dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkarta, di Jakarta, ini merupakan sumbangan penting bagi pustaka berbahasa Indonesia tentang hak-hak asasi manusia. Bahkan, setahu peninjau buku ini, cara penulis mendekati hal hak-hak asasi manusia dalam pustaka berbahasa Jerman dan Inggris pun masih dicari. Kekhasan buku ini adalah bahwa Budi Hardiman membahas hak-hak asasi manusia dengan mendiskusikan enam kontroversi paling utama di sekitarnya, yaitu (1) kritik Hannah Arendt terhadap klaim universalitas hak-hak asasi manusia dari sudut republikanisme; (2) polemik dari sudut teologi Islam; (3) tantangan dari sudut multikulturalisme; (4) hak-hak asasi manusia berhadapan dengan nilai-nilai Asia; (5) tuntutan agar deklarasi hak-hak asasi manusia dilengkapi oleh daftar kewajiban-kewajiban asasi; dan (6) pertanyaan mengapa dalam budaya-budaya Indonesia “peradaban hak-hak asasi manusia sulit terwujud.” Diskursus ini bukan hanya memiliki relevansi teoretis tinggi, tetapi juga langsung relevan di Indonesia. Budi Hardiman bertolak dari tesis “bahwa ide, motif atau pun intensi dasar yg mendorong praksis hak-hak asasi manusia adalah ’tuntutan universal’ untuk melindungi manusia dari pengalaman-pengalaman negatif dalam modernitas” (hlm. 18). Tesis ini langsung mengoreksi sebuah salah paham serius yang juga merancukan debat dalam BPUPKI pada Juli 1945: Bahwa hak-hak asasi manusia merupakan produk khas liberalisme untuk mengamankan kebebasan maksimal individu terhadap komunitas; jadi bahwa hak-hak asasi manusia merupakan wahana individualisme dan ekspresi sikap egois di mana individu seakan-akan hanya mau menjamin hak-haknya sendiri. Tetapi bukan itulah maksud inti hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi manusia merupakan jawaban terhadap kondisi terancam dan terhina manusia berhadapan dengan kekuatan-kekuatan raksasa modernitas. Hak-hak asasi manusia mau menjamin keutuhan mereka yang tidak berdaya untuk membela diri sendiri. Karena itu, pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi bukti dan tolok ukur tanggung jawab sosial dalam suatu masyarakat. ................ Faktor kelima adalah agama. Agama sebenarnya memiliki “intuisi kemanusian yang melampaui suku-suku dan bangsa” (hlm. 141), akan tetapi agama bisa juga membatasi intuisi itu pada warganya sendiri. Maka unsur kunci dalam tantangan hak-hak asasi manusia bagi teologi Islam yang dibahas dalam bab 2 adalah perluasan dari perspektif yang terbatas pada umatnya sendiri ke perspektif “manusia qua manusia” (hlm. 54). Makin wawasan dibatasi pada syariah, loncatan itu kelihatan sulit. Tetapi loncatan itu harus berani dilakukan agar kesulitan Islami dengan beberapa hak asasi manusia, misalnya hak pergantian agama atau larangan terhadap hukuman kejam, dapat diatasi. Tantangan multikulturalisme: menjadi pertanyaan bagaimana kalau terjadi pertentangan antara kekhasan suatu budaya, biasanya budaya minoritas, dengan tuntutan hak asasi manusia dibahas dalam bab 3. Buku Budi Hardiman ini perlu dibaca oleh semua yang prihatin dengan diskursus hak-hak asasi manusia di negara kita yang tetap masih klise dan sering kurang bermutu. Penegasan inti penulis, bahwa tujuan dan fungsi jaminan hak asasi manusia adalah perlindungan bagi mereka yang menderita, miskin dan tereksploitasi harus terus-menerus diangkat. Alih-alih jalan ke egoisme dan individualisme hak-hak asasi manusia merupakan bukti solidaritas suatu masyarakat dengan warga-warganya yang paling lemah. (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Izzeldin Abuelaish, I Shall Not Hate: Kisah Seorang Dokter Palestina Memperjuangkan Perdamaian Tanpa Dendam dan Kebencian, Bandung: Qanita/Mizan, 2011, 370 hlm. Martin Harun
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (81.469 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i1.164

Abstract

Tragedi perang Palestina–Israel tampak sebagai jalan penderitaan dan kekejian yang tanpa ujung dan tanpa solusi. Di tengah kesuraman seperti itu kisah kehidupan yang diceritakan oleh dokter Abuelaish mengharukan dan membawa harapan. Lahir dalam kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza pada 1955, tujuh tahun setelah perang 1948 melahirkan negara Israel di tengah tanah Palestina, Abuelaish mengalami kemelaratan sangat ekstrem bersama ayahnya yang kehilangan tanahnya dan ibunya yang berwatak kuat tetapi juga keras serta delapan saudaranya. Sebelas orang ini hidup bertahun-tahun dalam ruang pengungsian sesak dan pengap. Rumah lebih baik yang mereka temukan kemudian, dihancurkan buldoser Israel. Adiknya, Noor, ditangkap dan hilang. Di tengah keadaan gelap seperti itu, sambil terpaksa sebagai anak untuk bekerja keras ikut mencari nafkah, Abuelaish tetap seorang anak yang mau maju dan haus belajar. Semangat itu akhirnya membuka jalan baginya untuk mengambil kuliah kedokteran di Kairo, Mesir. Dengan pengalaman kerja bertahun-tahun di pelbagai rumah sakit di Gaza dan negara timur tengah lainnya dan belajar di London serta Harvard, juga lewat kerja sama dengan spesialis-spesialis Ginekologi Yahudi di Beersheba dan Tel-Aviv, ia berkembang menjadi seorang ginekolog dan spesialis fertilitas perempuan yang disegani. Namun bukan itu saja yang merupakan keistimewaan kisahnya. Dokter ini meyakini dan menemukan jalan bagaimana di tengah permusuhan antara bangsa Israel dan Palestina karya medis dapat membangun jembatan hidup bersama; juga bagaimana para perempuan yang ia layani sebagai ginekolog, merupakan kekuatan damai tatkala laki-laki suka berperang. Karena itu, ia berjuang bagi perempuan dan pemberdayaan mereka lewat pendidikan, termasuk putri-putrinya sendiri. Ia mau repot membawa pasien-pasiennya yang tak bisa ia tolong di rumah sakit serba terbatas di Jalur Gaza, ke pusat-pusat medis di Israel yang dapat dan mau membantu, kendati segala kesusahan untuk mendapat visa dan segala macam penghinaan yang harus ditelan seorang Palestina di setiap penyeberangan perbatasan. ................................... Terima kasih kepada Penerbit Qanita (PT Mizan Pustaka) yang begitu cepat menyediakan kesaksian kemanusiaan, iman, serta moral tinggi ini (aslinya dari tahun 2010) dalam terjemahan Indonesia yang enak dibaca. Semoga menjadi best-reader. Tak dapat tidak, kisah istimewa ini telah dan akan terus menggetarkan hati banyak orang, bahkan dari mereka yang mengambil posisi bertolak belakang dengan Izzeldin Abuelaish dalam konflik Israel-Palestina dan cara untuk menyelesaikannya. (Martin Harun, Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta)
Norman Tanner, New Short History of the Catholic Church, London: Burn & Oates 2011, 260 hlm. Franz Magnis-Susesno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (79.299 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i1.166

Abstract

Dengan umur hampir dua ribu tahun Gereja Katolik merupakan lembaga paling tua yang mempertahankan diri melalui sejarah. Bagi Gereja Katolik sejarah itu penuh makna. Karena dalam perjalanannya melalui 20 abad eksisten-sinya Gereja Katolik mendapat bentuk serta pengertian diri yang sekarang. Maka sudah tepatlah kalau Norman Tanner, seorang imam Yesuit dan guru besar sejarah Gereja pada Universitas Gregoriana di Roma, dengan mendasarkan diri pada hasil penelitian sejarah Gereja yang berlimpah dalam 40 tahun terakhir, menulis sebuah “Sejarah Pendek Baru Gereja Katolik.” Hanya dengan 260 halaman pembaca diantar secara kompeten menapaki 2000 tahun perjalanan Gereja Katolik. Gereja Katolik selalu menegaskan bahwa Kitab Suci hanya dapat dimengerti dalam ketertanaman dalam sebuah tradisi. Sebagaimana ditegaskan Tanner, “tradisi memegang peran normatif.” Pengertian tentang hakikat Kekristenan berkembang melalui sejarah. Gereja Katolik yakin “bahwa Kitab Suci harus disertai oleh suatu kesadaran tentang bagaimana pesannya dihayati dan dimengerti melalui berabad-abad lamanya, oleh suatu rasa bagaimana isi Kitab Suci dijernihkan oleh ajaran pihak-pihak berwenang dalam Gereja maupun melalui hidup, sembahyang, studi dan perjuangan umat Kristiani.” Karena itu, Gereja Katolik sekarang tidak dapat dimengerti kalau sejarahnya tidak dimengerti. Tanner membagi sejarah Gereja ke dalam lima tahap. Tahap pertama mencakup 300 tahun pertama di mana Gereja keluar dari dua setengah abad usaha penindasan dan penganiayaan oleh pemerintah kekaisaran Romawi, dan akhirnya menjadi agama resmi. Tahap kedua mulai dengan berakhirnya kekaisaran Romawi bagian Barat pada abad ke-5 dan sampai pada 1054 di mana perpecahan tragis antara Gereja Timur, Gereja-gereja Ortodoks, dan Gereja Barat—Gereja Katolik-Roma—menjadi resmi dan definitif. Perpecahan tersebut masih berlangsung sampai hari ini. ........................................ Yang khas dari buku Tanner adalah bahwa uraian tidak dibatasi pada kejadian-kejadian sekitar Gereja resmi: Konsili-konsili, Paus-paus yang penting, peristiwa-peristiwa dengan dampak historis seperti perpecahan antara Gereja Barat dan Gereja Timur atau Reformasi Protestan. Dalam buku ini juga dibicarakan ordo-ordo dan gerakan-gerakan religius, teolog-teolog penting, keagamaan rakyat, perkembangan-perkembangan intelektual, perkembangan dalam liturgi, doa dan mistik. Juga dibahas mengenai senirupa, arsitektur dan musik, bahkan sikap Thomas Aquinas terhadap liburan, olah raga dan entertainment. Kehidupan Katolik di basis pun ikut diceriterakan. Buku ini memberikan suatu tinjauan yang kaya dan berbobot tentang 2000 tahun kehidupan Gereja Katolik; bisa juga dikatakan, tentang perkembangan dari Kristianitas ke Gereja Katolik sekarang, dalam bahasa yang mudah diikuti dan dengan gaya naratif yang enak dibaca. Sebuah buku yang dapat sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin mendapat pengertian ringkas, tetapi cukup mendalam, tentang bagaimana Gereja Katolik menjadi Gereja Katolik. (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Johanna Rahner, Einführung in die christliche Eschatologie, Freiburg/Basel/Wien: Herder, 2010, 334 hlm. Franz Magnis-Susesno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v11i1.169

Abstract

Dalam tradisi Kristiani gambaran tentang surga dan, terutama, neraka berlimpah. Dengan melukiskan keindahan surga dan, lebih lagi, kengerian api penyucian dan neraka para pengkhotbah pernah berusaha untuk mengarahkan umat ke hidup yang baik. Tetapi sekarang “hal-hal akhir” jarang dibicarakan dalam khotbah. Seakan-akan kurang njamani mengajukan pertanyaan tentang apa yang terjadi sesudah kematian. Padahal justru berhadapan dengan sikap acuh tak-acuh sebagian masyarakat tersekularisasi dengan ejekan dari sudut ateisme baru, baik orang beriman maupun mereka yang mencari justru mengajukan pertanyaan seperti: Apakah ada hidup sesudah kematian? Apakah hakikat surga? Apakah betul Allah akan menyiksa para pendosa dalam neraka? Apakah barangkali neraka kosong? Dan apakah maksud serta dasar ajaran tentang api penyucian yang tidak dipercayai oleh Gereja-gereja Ortodoks dan Protestan? Kalau kita mencari informasi mendalam yang memungkinkan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, apabila kita tahu latar belakang religius dan budaya ajaran tentang “hal-hal akhir” itu serta apa yang dipikirkan oleh para teolog Kristiani paling mutakhir, kita akan merasa sangat terbantu oleh buku yang ditulis oleh Dr. Theol. Johanna Rahner, guru besar pada Fakultas Teologi Katolik Universitas Kassel, ini. Sayang, buku ini hanya tersedia dalam bahasa Jerman. ............................... Buku ini penting pada zaman di mana bagian hakiki setiap agama—apa yang akan terjadi dalam dan sesudah kematian—jarang diangkat. Kekuatan Johanna Rahner adalah bahwa ia membahas tema itu dari pelbagai sudut: dari sudut mitos-mitos dan agama-agama kuno, dari sudut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dari sudut teologi serta pelbagai “ajaran” yang muncul selama 2000 tahun Gereja dan Kristianitas, sampai dengan teologi paling muthakhir yang membuka perspektif yang sangat baru dibandingkan dengan pengertian tradisional. Johanna Rahner sendiri merangkum maskud bukunya: “Tantangan menentukan eskatologi adalah sandungan kematian yang berkaitan dengan pertanyaan yang tak terbungkamkan tentang keadilan serta harapan tak terpuaskan agar kerinduan yang mengharapkan agar pada akhirnya semuanya menjadi baik jadi terpenuhi.” Yang tidak dibicarakan dalam buku ini adalah pertanyaan-pertanyaan tentang universalitas atau keterbatasan penyelamatan Ilahi. Juga tidak dibicarakan adalah pertanyaan yang kelihatannya merupakan dobrakan baru, yang beberapa tahun lalu muncul dalam suatu konferensi teologis di Vatikan, yaitu apakah anak kecil, anak yang mati sebelum dilahirkan, bisa masuk surga atau harus dianggap masuk ke dalam suatu limbus. Buku ini cocok bagi para teolog serta bagi setiap warga Kristianitas yang ingin memahami secara mendalam ajaran tradisional dan muthakir Gereja Katolik tentang ke mana kita akan pergi dalam kematian. (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).

Page 1 of 1 | Total Record : 9


Filter by Year

2012 2012


Filter By Issues
All Issue Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue