cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara" : 8 Documents clear
Creativity and God In Whitehead's Process Philosophy Thomas Hidya Tjaya
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.847 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.133

Abstract

Abstract: The category of creativity unquestionably occupies a central position in Alfred North Whitehead’s philosophy of organism. Its employment is hardly surprising given his project to establish a speculative philosophy that is compatible with modern science. This article examines the use of such a category in this project and argues that the separation between creativity and God causes several problems, including the absence of an ontological principle that may ground the interaction of the various elements in this metaphysical scheme. A more fundamental question is also raised concerning the nature of this project, which walks a fine line between philosophy and science. Keywords: Whitehead, creativity, the Category of the Ultimate, metaphysics, Aristotle, organism, God. Abstrak: Kategori kreativitas jelas memperoleh tempat sentral dalam filsafat organisme Alfred North Whitehead. Kehadiran kategori ini tidaklah mengherankan mengingat usahanya untuk membangun sebuah filsafat spekulatif yang selaras dengan sains modern. Artikel ini hendak mengevaluasi penggunaan kategori ini dan menyampaikan argumen bahwa pemisahan antara kreativitas dan Tuhan memuat sejumlah masalah, termasuk ketiadaan sebuah prinsip ontologis yang dapat menyatukan interaksi berbagai unsur dalam skema metafisika ini. Sebuah pertanyaan lebih mendasar juga diajukan terkait dengan hakikat proyek ini sendiri yang memperlihatkan tipisnya batas antara filsafat dan sains. Kata-kata Kunci: Whitehead, kreativitas, Kategori Pokok, metafisika, Aristoteles, organisme, Tuhan.
Martabat Manusia Sebagai Basis Etis Masyarakat Multikultural Otto Gusti Madung
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (138.392 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.135

Abstract

Abstract: Since the issue of the war against global terrorism emerged, the discourse surrounding the concept of human dignity returns as a normative basis for the protection of basic human rights. The term human dignity has existed since the days of ancient Greek philosophy and was further developed in dialogue with medieval Christian theology and the secular thought of modern times. This article places special emphasis on the understanding of human dignity as defined by a secular thinker and exponent of the Enlightenment, Immanuel Kant. The concept of human dignity as developed by Immanuel Kant is rational and transcends the boundaries of religions, cultures and ideologies; therefore it is suitable as a normative basis for a multicultural society. But the article also does not turn a blind eye to some critical observations offered by adherents of particular ethics concerning the Kantian universal ethics. These critical observations emphasize the ethical principle of substantial solidarity in order to overcome the dangers of anonymity in each model of formal ethics. Keywords: Human dignity, multiculturalism, imperative, ethics, human rights. Abstrak: Sejak isu perang melawan terorisme global muncul, wacana seputar konsep martabat manusia kembali menjadi aktual sebagai basis normatif dalam melindungi hak-hak dasar manusia. Istilah martabat manusia sudah lahir sejak zaman Yunani kuno dan dalam perjalanan sejarah berdialog dengan pandangan teologi Kristen Abad Pertengahan serta pemikiran sekular abad modern. Tulisan ini mencoba memberikan penekanan khusus pada pemahaman tentang martabat manusia seperti dirumuskan oleh pemikir sekular abad pencerahan yakni Immanuel Kant. Konsep martabat manusia yang dikembangkan oleh Immanuel Kant bersifat rasional dan melampaui sekat-sekat agama, ideologi dan budaya; sehingga dipandang layak untuk dijadikan basis normatif sebuah masyarakat multikultural. Akan tetapi, penulis juga tidak menutup mata terhadap beberapa catatan kritis yang diberikan oleh beberapa pengikut etika khusus berkaitan dengan etika universal Kant. Catatan-catatan kritis tersebut menekankan aspek solidaritas substansial dalam etika untuk mengatasi bahaya-bahaya anonimitas dalam setiap model etika formal. Kata-kata Kunci: Martabat manusia, multikulturalitas, imperatif, etika, hak-hak asasi manusia.
The Dynamics Of Human Desire In Buddhism And Christianity Albertus Bagus Laksana
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (179.816 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.138

Abstract

Abstract: In their struggle against the capitalist colonization of desire, Christianity and Buddhism offer similar strategies of fundamental formation or transformation of human desire. This article examines three specific features in which Christianity and Buddhism share a broad and deep resemblance in their analysis of on the dynamics of human desire and its transformation. First, both traditions identify distorted human desire as a source of bondage (or suffering), which affects the mind (intellectual), the heart (affective) and the body. Second, in terms of the strategy of liberation from this bondage, both agree that human desiring constitutes the most effective internal force available in the human make up itself. Thus, the liberation process is not aimed at wiping out human desire but rather at channeling the very power of human desiring through a process of education whose dynamics are understood as an ascent or a journey that leads to higher (or deeper) Reality. Third, with regard to the direction of liberation, both traditions assert that this process should be directed not only toward the self but also towards others. Here the benefit for others, the virtue of caritas in Christianity and bodhicitta in Buddhism, constitutes a fundamental part of the direction of this process of formation. Keywords: Christianity, Buddhism, desire, capitalism, bondage,transformation, caritas, bodhicitta. Abstrak: Dalam perlawanan mereka terhadap kolonisasi hasrat oleh kapitalisme, tradisi Budhis dan Kristiani menawarkan cara-cara yang mirip untuk mendidik atau mentransformasi hasrat manusia. Artikel ini membahas tiga unsur penting yang sama dari analisis Budhisme dan Kristianitas mengenai dinamika hasrat manusia dan transformasinya. Pertama, kedua tradisi ini mengidentifikasi hasrat manusia yang rusak atau salah arah sebagai sebab dasariah dari penderitaan manusia. Kerusakan hasrat ini juga mempengaruhi dimensi intelektual, afektif dan juga tubuh manusia. Kedua, perihal cara pembebasan dari penderitaan ini, kedua tradisi ini juga sepakat bahwa hasrat manusia merupakan dayainternal paling efektif dalam diri manusia sendiri. Karena itu, proses pembebasan ini tidak dimaksudkan untuk membuang hasrat dari kemanusiaan, melainkan untuk menyalurkan daya hasrat ini melalui proses transformasi yang berdinamika “mendaki,” sebuah perjalanan menuju Realitas yang lebih tinggi atau dalam. Ketiga, mengenai arah pembebasan ini, kedua tradisi menekankan bahwa proses ini ditujukan tidak hanya untuk diri sendiri melainkan juga sesama. Dalam hal ini, kepentingan sesama seperti diungkapkan oleh keutamaan caritas dalam Kristianitas dan bodhicitta dalam Budhisme merupakan bagian dasariah dari arah transformasi hasrat manusia itu sendiri. Kata-kata kunci: Kristianitas, Budhisme, hasrat, kapitalisme, penderitaan, transformasi, caritas, bodhicitta.
Menyoal Fakta Pusara Korban, Membangun Budaya Damai Di Halmahera Sefnat Hontong
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.109 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.142

Abstract

Abstract: Among the interesting phenomena in Halmahera’s post conflict era are the permanently built tombs of victims in the courtyards of houses of worship (churches and mosques). An important question which arises from this phenomenon is: why were the tombs of victims built in the courtyards of the houses of worship? What is the meaning of this reality for promoting reconciliation and peace in Halmahera? According to the writer, an analysis on the way the Halmaherans comprehend this practice is important. By understanding the way the Halmahera people view and live out the meaning of the tombs of the victims, we can understand and anticipate any further impact of this practice. Through this article, the writer offers a sociological and theological study so that a road to promote peace building in Halmahera can be paved. Keywords: Tomb of victims, martyr, syuhada, conflict, violence, reconciliation, peace, Halmahera. Abstrak: Salah satu fenomena menarik dalam masyarakat Halmahera di era pasca konflik adalah adanya pusara korban yang dibangun secara permanen di halaman rumah ibadah (gereja dan masjid). Pertanyaan penting yang perlu dikemukakan melihat fenomena ini adalah: mengapa pusara korban dibangun di halaman rumah ibadah? Apa arti realita itu bagi upaya rekonsiliasi dan pembangunan budaya damai di Halmahera? Menurut penulis, kajian dan analisis terhadap penghayatan dan pemahaman masyarakat Halmahera terhadap realita pusara korban menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Dengan memahami penghayatan dan pemahaman masyarakat Halmahera terhadap realita pusara korban, maka dampak yang ditimbulkan olehnya dapat dipahami, dimengerti, dan diantisipasi. Melalui artikel ini penulis hendak menampilkan sebuah kajian sosiologis-teologis dalam rangka menemukan sebuah “jalan raya” bagi upaya membangun perdamaian yang sejati di era pasca konflik di Halmahera. Kata-kata kunci: Pusara korban, martir, syuhada, konflik, kekerasan, rekonsiliasi, perdamaian, Halmahera.
Kerajaan Allah Sebagai Inti Kehidupan Dan Perutusan Yesus Martin Chen
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (137.369 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.143

Abstract

Abstract: The Kingdom of God is central to the whole message of Jesus Christ. Through the kingdom of God, we can discover and understand the entire mission of Jesus. The Kingdom of God is the embodiment of God’s saving presence in human life. Compared with the Jewish religious movements of that era, especially the apocalyptic movement, which also awaited the coming of the Kingdom of God, Jesus’ preaching about the kingdom of God has a special feature, that the Kingdom of God is an act of forgiveness and salvation from God, and not God’s judgment; moreover, the action is happening now in people’s life, rather than being something that is expected in the future. Through Jesus, through his word and his work, God is now present in the midst of the people. Through his parables and his words in the Sermon on the Mount and in the act of casting out demons, in healing the sick and in the forgiveness of sin, Jesus reveals the presence of a compassionate God, a God who frees people from the power of sin and leades them in the power of divine grace. Jesus not only preached the kingdom of God but gave himself so that people would experience God’s saving work. Through His death on the cross, Jesus freely poured God’s mercy and goodness upon human beings. Jesus’ proclamation of the kingdom of God has important implications for the understanding of the Christological and ecclesiological renewal. Keywords: Kingdom of God, salvation, forgiveness, word of Jesus, work of Jesus, human life, Christological and ecclesiological renewal. Abstrak: Kerajaan Allah merupakan inti seluruh pewartaan Yesus Kristus. Melalui Kerajaan Allah kita dapat menemukan dan mengerti seluruh perutusan hidup Yesus. Kerajaan Allah berarti perwujudan kehadiran Allah yang menyelamatkan dalam hidup manusia. Dibandingkan dengan gerakan keagamaan yahudi pada zaman itu, khususnya apokaliptik yang juga menantikan kedatangan Kerajaan Allah, pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah memiliki ciri khusus bahwa Kerajaan Allah adalah tindakan pengampunan dan penyelamatan Allah, bukan penghakiman Allah dan tindakan itu kini terjadi nyata dalam hidup manusia, dan bukannya sesuatu yang dinantikan di masa depan. Melalui diri Yesus, dalam sabda dan karya-Nya, Allah kini hadir di tengah-tengah umat-Nya. Lewat perumpamaan dan sabda bahagia maupun dalam tindakan pengusiran setan, penyembuhan orang sakit dan pengampunan orang berdosa, Yesus menyatakan kehadiran Allah yang penuh belas kasih dalam hidup manusia, yang membebaskannya dari kuasa dosa dan menuntunnya dalam kuasa rahmat Ilahi. Yesus tidak hanya memberitakan Kerajaan Allah tetapi juga memberikan diri-Nya, sehingga orang sungguh mengalami karya penyelamatan Allah. Melalui kematian-Nya di salib, Yesus mencurahkan dengan cuma-cuma kerahiman dan kebaikan Allah dalam hidup manusia. Pewartaan Kerajaan Allah Yesus ini memiliki dampak penting bagi pembaruan pemahaman kristologis dan eklesiologis. Kata-kata Kunci: Kerajaan Allah, penyelamatan, pengampunan, sabda Yesus, karya Yesus, kehidupan manusia, pembaruan pemahaman kristologis dan eklesiologis.
Armin Kreiner, Jesus, UFOs, Aliens Außerirdische Intelligenz als Herausforderung für den christlichen Glauben, Freiburg/ Basel/Wien: Herder 2010, 218 hlm. Franz Magnis-Susesno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.986 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.146

Abstract

Belum begitu lama dua buah berita menggoncangkan dunia (astro-fisika). Yang pertama, CERN, Pusat penelitian atom di Geneva, yang dalam dua eksperimen berturut-turut menemukan bahwa neutrino (bagian mikro paling kecil) bergerak dengan kecepatan sedikit melampaui kecepatan cahaya. Yang kedua, pada minggu kedua Januari yang lalu pengamatan astronomis mutakhir menengarai bahwa dalam Bimasakti kita rata-rata setiap dari 10 milyar bintangnya mempunyai sekurang-kurangnya satu planet yang mirip dengan planet kita, bumi. Berita pertama begitu dahsyat sehingga para ahli fisika yang membuat eksperimen itu belum mau mempercayainya, karena kalau amatan mereka betul, salah satu pilar fisika modern—teori relativitas khusus Einstein— runtuh. Sebuah revolusi baru dalam fisika. Salah satu implikasinya: kemungkinan menjalin komunikasi dengan extraterrestrial intelligence (ETI)—kalau ada—bertambah besar. Berita kedua lebih dahsyat lagi implikasinya. Sampai sekarang banyak astronom berpendapat bahwa probabilitas terjadinya planet dengan ciri-ciri seperti bumi adalah sedemikian kecil sehingga tidak mustahil kalau manusia merupakan satu-satunya makhluk berakal-budi di alam raya. Tetapi kalau di Bimasakti kita saja—satu di antara (diperkirakan) 1011 Bimasakti di seluruh alam raya—terdapat 10 milyar planet mirip bumi, adanya makhluk berakal budi di luar bumi (aliens) merupakan kemungkinan kuat. Dua penemuan ini mengangkat salah satu tantangan paling serius bagi teologi Kristiani: kalau ada makhluk berakal budi di tempat lain di alam raya, apa implikasinya bagi inti iman Kristiani, peristiwa Yesus Kristus? Apakah mereka juga perlu ditebus dari dosa? Dan kalau perlu, apakah karya penebusan Yesus juga berlaku bagi mereka? Kalau penyelamatan ilahi di planet-planet tidak berkaitan dengan Yesus Kristus, apa Yesus Kristus masih mempunyai relevansi universal dalam rencana penyelamatan ilahi? Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah pertanyaan iseng-iseng, melainkan menyangkut hakikat iman Kristiani. Persis masalah inilah yang dibahas oleh Armin Kreiner—guru besar teologi fundamental pada Fakultas Teologi Katolik Universitas München—dalam bukunya (yang, sayang, baru tersedia dalam bahasa Jerman). Buku ini membahas tantangan bagi teologi Kristiani andaikata ternyata selain manusia ada makhluk berakal budi lain di alam raya. ........................................ Apakah Kreiner berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis berat yang diajukannya sendiri? Inti masalahnya adalah bagaimana dua keyakinan berikut dapat dipersatukan. Pertama, bahwa kalau ada ETI di alam raya, mereka tidak kurang dicintai oleh Allah dari pada manusia bumi dan karena itu inkarnasi ilahi tidak mungkin merupakan kejadian hanya di planet bumi. Kedua, bahwa dalam manusia Yesus Allah mewahyukan diri sendiri secara unik dengan makna penyelamatan universal. Dan hal itu perlu dijawab tanpa jatuh ke dalam pluralisme relativistik àla Knitter, Hick dan Schmidt-Leukel di mana Yesus hanyalah salah satu dari pewahyuan diri Allah yang pada hakikatnya semua sama derajatnya. Kiranya Kreiner berhasil merumuskan tantangan. Ia menunjukkan arah pemecahannya, tetapi ia belum memecahkannya. Bisa diteliti apakah pemecahan dapat dicari ke arah pemikiran baru tentang Pan-en-teisme sebagai pola yang lebih cocok untuk memahami hubungan antara Sang Pencipta dan ciptaan, sebagaimana akhir-akhir ini diangkat oleh beberapa teolog (Herderkorrespondenz Spezial 2-2011). Yang jelas, kemungkinan adanya aliens menghadapkan teologi Kristiani dengan tantangannya yang barangkali paling berat, yang sampai sekarang pernah dihadapinya. Sebagai catatan penutup, tetap benar bahwa probabilitas adanya ETI, melawan segala tulisan populer dan ilmiah (sampai sekarang), tetap minim! Probabilitas matematis bahwa di sebuah planet dengan kondisi-kondisi seperti bumi kita terjadi evolusi sampai ke kehidupan intelektual adalah kurang dari satu di antara 10100 (bdk. Erbrich, 1988, dll.). Kalaupun dalam setiap dari seluruh 1011 Bimasakti terdapat 10.000 planet mirip bumi, maka jumlah planet di alam raya yang kondisi-kondisinya mirip bumi adalah 1015. Jadi probabilitas adanya ETI tetap teramat rendah. Kemungkinan besar kita tidak pernah akan mengetahui apakah ada ETI. Selama itu pertimbangan-pertimbangan dramatis di atas bisa saja hanyalah sebuah permainan teologis, namun dengan daya tantang yang memang tinggi. (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Daniel Boyarin, The Jewish Gospels: The Story of the Jewish Christ, Forwarded by Jack Miles, New York: The New Press, 2012, xxiii + 200 hlm. Antonius Sudiarja
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.974 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.148

Abstract

Sudah sejak awal abad pertama Kristianisme memisahkan diri dari tradisi Yudaisme dan menjadi agama baru sama sekali, meskipun Yesus yang menjadi pokok iman mereka adalah seorang Yahudi. Agama Kristen diajarkan oleh Yesus dengan melepaskan diri dari tradisi Yahudi yang ortodoks, demikianlah anggapan umum hingga sekarang. Maka baik bagi orang Kristen maupun orang Yahudi, seluruh ajaran Kristiani tidak bisa dikembalikan pada akar tradisi Yahudi. Keduanya saling membedakan diri satu sama lain. Yesus mengajarkan “cinta kasih” dan para murid-Nya mempertentangkan ajaran ini dengan ajaran Taurat yang sangat menekankan hukum. Sementara itu jemaat Yahudi menuduh orang Kristen (Yahudi) murtad dari tradisi mereka. Kesan mengenai pertentangan yang sangat keras antara Kristianisme dan Yudaisme di masa lalu ini antara lain juga yang menjadi sebab dari dan memicu—atau setidaknya diduga demikian—munculnya gerakan antisemitisme di Eropa hingga abad keduapuluh. Akan tetapi apakah Kristianisme dan Yudaisme patut dipertentangkan satu sama lain? Dalam buku kecil ini, Daniel Boyarin—seorang rabi Yahudi yang ortodoks serta Profesor Retorika dan Budaya Talmud, Universitas California, Berkeley—mengajukan pandangan bahwa Yesus adalah seorang yang setia pada tradisi Yahudi. Ini berarti ajaran-ajaran yang disampaikan-Nya, setidaknya yang asli, tidaklah menyimpang dari Taurat dan Kitab para Nabi. Jikalau dalam Kristianisme terdapat ajaran yang menyimpang dari sumber Yahudi, maka kiranya karena hal itu ditambahkan atau ditafsirkan secara lain oleh para murid Yesus di kemudian hari, tetapi bukan dari Yesus sendiri. Dari lain pihak, menurut Boyarin, apa yang diajarkan oleh Yesus dapat dilacak kembali dari sumber aslinya dalam Kitab Suci Yahudi. Ajaran Yesus sungguh merupakan bagian dari Yudaisme sendiri. Boyarin mencoba merunut ajaran Yesus yang asli dari sumber-sumber Yudaisme dan mempertemukan tradisi Kristen yang paling awal ini dengan tradisi asli Yahudi. ........... Dalam bab 4 Boyarin membicarakan penderitaan Kristus. Pokok ini sering dikaitkan dengan Yesaya 53 tentang hamba yang setia. Tetapi sekali lagi di sini, kontroversi yang terjadi adalah bahwa sebagian penafsir menempatkan bangsa Yahudi sebagai hamba itu, dan bukan individu, sebagaimana tafsir Kristiani yang menempatkan Yesus dalam posisi tersebut. Alasannya, menurut kebanyakan tafsir Yahudi, “Mesias” tidak menderita. Penderitaan dianggap sebagai aib. Mengutip Joseph Klausner (“The Jewish and Christian Messiah,” dalam The Messianic Idea in Israel, from Its Beginning to the Completion of the Mishnah, trans. W.F. Stinespring, New York: Macmillan, 1955) topik penderitaan Messias dalam Kristianisme diangkat setelah Yesus mengalaminya, jadi semacam apologi (hlm. 130). Kalau demikian, mengapa Allah membiarkan “hamba pilihan”-Nya menderita? Klausner menjawab, demi atau untuk penebusan manusia, sebagaimana diramalkan Yesaya 53. Di sini Klausner mengubah pan-dangan Yahudi, penderitaan itu bukan ramalan tentang pengejaran bangsa Yahudi, melainkan tentang penderitaan Yesus (hlm. 131-132). Menurut Boyarin, tampaknya Midrash dan tradisi ortodoks rabi Yahudi memberi ruang juga pada penderitaan Mesias, karena kedekatan teks Markus 8:38 (“… barangsiapa malu karena Aku dan perkataan-Ku…”), yang menggunakan gaya Middrash untuk mengembangkan gagasan itu untuk Yesus menyangkut penderitaan-Nya, sementara penderitaan dan kematian Mesias juga merupakan bagian dari ajaran umum ortodoksi rabinik (hlm. 134). Tidak semua tafsir Boyarin dapat diangkat dalam resensi pendek ini, tetapi secara umum jalan pikirannya mudah dipahami, juga oleh mereka yang tidak ahli dalam Kitab Suci. Secara ringkas, dalam buku ini Profesor Boyarin mendalami akar Yudaisme dalam Kristianisme awal dan menemukan bahwa ajaran Yesus sama sekali tidak menyimpang dari tradisi Yahudi dan bahwa konsep inkarnasi dan Trinitas pun sudah ada benihnya dalam sumber Yahudi. Maka sebenarnya, tidak ada pemutusan (break) antara ajaran Yesus yang awal dengan Yudaisme sebab kedatangan Messias yang diajarkan Yesus merupakan bagian utuh dari kepercayaan Yahudi, sebagaimana terdapat dalam sumber mereka. (A. Sudiarja, Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
Maureen Sullivan, Responses to 101 Questions on Vatican II, Bandra, Mumbai: St. Paul Press 2004, 135 hlm. Ignatius L Madya Utama
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.982 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.150

Abstract

Pada 11 Oktober 2012 Gereja Katolik merayakan 50 tahun dibukanya Konsili Vatikan II. Namun demikian, 16 dokumen yang dihasilkan selama Konsili itu berlangsung (11 Oktober 1962-7 Desember 1965) belum dikenal oleh semua umat Katolik. Bahkan ada tidak sedikit umat Katolik yang belum pernah melihat dokumen-dokumen tersebut. Ada pula yang mengatakan bahwa kendati sudah membacanya, namun merasakan sangat sulit untuk memahaminya. Ada pula yang ketika melihat buku tebal yang memuat dokumen-dokumen tersebut langsung merasa terintimidasi dan ketakutan (intimadated), lalu tidak berani membukanya. Sudah ada berbagai macam upaya untuk menyampaikan isi dan semangat dari Konsili Vatikan II kepada seluruh anggota Gereja Katolik. Salah satu cara adalah menerbitkan buku untuk mengulas isi dokumen-dokumen tersebut. Salah satu dari sekian banyak buku yang pantas dibaca adalah karya Maureen Sulivan, seorang assistant professor ilmu Teologi di Saint Anselm College, Manchester, New Hapshire, Amerika Serikat. Buku yang ditulis dalam bentuk tanya jawab ini dibagi menjadi 9 bab. Bab 1 berbicara mengenai “Pengumuman” diadakannya Konsili yang menggemparkan para pemimpin Gereja, khususnya anggota Dewan Kardinal dan Kuria di Vatikan, yang merasa bahwa Konsili tidak diperlukan. Dalam bab ini dibicarakan tentang arti dari Konsili yang disebut sebagai ekumenis dan pastoral, alasan perlu diadakannya Konsili, persiapan yang dibutuhkan, serta tujuan yang ingin dicapai dengan diadakannya Konsili Vatikan II. Secara khusus disebutkan peran almarhum Paus Johanes XXIII, yang ketika mengumumkan untuk mengadakan Konsili, beliau baru tiga bulan diangkat menjadi Paus. Lewat Konsili ini beliau menginginkan agar Gereja mampu menemukan cara agar iman Kristiani dapat disampaikan kepada dunia dan dimengerti oleh dunia. Demi tujuan itu Gereja perlu “membuka jendela” agar “angin segar memasuki dirinya (hlm. 29).” Gereja perlu melakukan aggiornemento, pembaruan diri. Bab 2 mengulas mengenai orang-orang yang berperan dalam KonsiliVatikan II, ketegangan-ketegangan yang muncul antara mereka yang ingin mengadakan pembaruan dengan mereka yang ingin mempertahankan status quo Gereja, serta peran media massa. Selain sekitar 2200 peserta (Kardinal, Uskup, dan Abas), juga terdapat ratusan teolog yang berperan sebagai penasihat bagi para peserta Konsili (periti), antara lain dengan memberikan seminar-seminar mengenai topik-topik teologis kepada para peserta Konsili (hlm. 35-36). Selain itu juga terdapat para pengamat dari Gereja Ortodoks, Gereja-gereja Protestan main streams (Lutheran, Episkopalian, Anglikan, Metodis, Presbyteran, dan Quakers), dan Yudaisme. Hadirnya para pengamat dari kalangan khusus ini merupakan sesuatu yang baru dan revolusioner dalam Konsili. Secara khusus ditampilkan seorang tokoh pembaru: Kardinal Bea, ketua Sekretariat untuk Kesatuan Umat Kristiani. Ia begitu dikenal dengan ucapannya yang sangat menggemparkan di depan para wartawan: “Members of the other Christian Churches who are living today never ’left’ the Church. So they cannot ‘return,’ can they? We are talking about going together, hand in hand, toward a new future” (hlm. 33). Tokoh pembaru lain adalah Kardinal Achile Liénart, seorang Kardinal senior dari Prancis, yang pada hari ketiga Konsili menolak untuk memilih dari daftar nama yang sudah disiapkan (kebanyakan adalah anggota Kuria) untuk menjadi ketua dari 10 komisi yang akan mengendalikan agenda Konsili. Ia mengusulkan supaya para peserta Konsili memilih orang-orangnya sendiri. Usulan ini didukung oleh Kardinal Josef Fring dari Jerman, dan kemudian diterima oleh semua perserta Konsili. Tokoh pembaru lain adalah Kardinal Jan Alfrink dari Belanda, dan Kardinal Leo Josef Suenens dari Belgia (hlm. 38-38). Di pihak lain, ada tokoh sangat konservatif yang mencoba menghambat jalannya Konsili: Kardinal Alfredo Ottaviani, seorang anggota Kuria dan ketua The Holy Office (sekarang dikenal sebagi Kogregasi untuk Ajaran Iman), yang terkenal dengan ucapannya “Semper idem” (Selalu sama). Ia antara lain melawan hadirnya para pengamat dalam Konsili (hlm. 33), mencoba melarang kuliah-kuliah yang diberikan kepada para peserta Konsili oleh para Yesuit dari Institut Biblis di Roma, bahkan meminta Paus Yohanes XXIII untuk mengusir teolog Yesuit, Karl Rahner dari Roma, yang tentu saja ditolak oleh Paus (hlm. 35). Ia menolak penggunaan bahasa-bahasa lokal untuk Misa, yang intinya adalah pemindahan kekuasaan dari hierarki kepada Umat (hlm. 43), menghambat disahkannya kolegialitas para Uskup dan menandaskan bahwa Komisi Teologi yang ia pimpin memiliki otoritas di atas Konsili (hlm. 55). Dalam bab ini juga disebutkan hal yang baru dalam Konsili ini adalah hadirnya para wartawan dari pelbagai media massa dari seluruh dunia. .......................................... Sebagai penutup, dalam bab 9, Sullivan menegaskan bahwa ada dua hal yang benar-benar perlu diperhatikan untuk zaman ini sebagai agenda yang belum selesai dari Konsili Vatikan II: kolegialitas (relasi atara Paus dan Uskup) dan peran kaum perempuan dalam Gereja. Akhirnya, pada awal abad ke-21 ini Sullivan mengajak kita semua untuk bertanya: Apakah Gereja kita sungguh-sungguh dapat menjawab tantangan-tantangan pada zaman ini?; Apakah Gereja kita dapat membuat pesan Injil relevan untuk zaman ini?; Apakah Gereja kita dapat membangkitkan entusisme baru yang dapat membangun sebuah generasi baru?; Apakah Gereja dapat meredakan berbagai macam ketegangan yang akhir-akhir ini menggoncang “bahtera Petrus?” Dengan bijak Sullivan mengatakan bahwa kita perlu terus berharap, dan harapan itu akan menjadi semakin produktif kalau kita selalu berpegang pada nasihat almarhum Yohanes XXIII: “Untuk hal-hal yang mendasar, kesatuan; untuk hal-hal yang meragukan, kebebasan; dan untuk segala sesuatu, cinta kasih” (hlm. 124). Buku ini sangat komprehensif mengulas Konsili Vatikan II dan disampaikan dengan bahasa yang sederhana. Buku ini sangat membantu para pembaca karena dilengkapi dengan daftar isi yang mendetil, daftar semua dokumen yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II beserta dengan waktu promulgasinya, daftar istilah-istilah yang penting berkaitan dengan Konsili Vatikan II, serta indeks subjek. Semoga dengan membaca buku ini para pembaca terdorong untuk membuka dan menemukan pesan-pesan penting dari dokumen-dokumen Konsili Vatikan II. (Ignatius Madya Utama, Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).

Page 1 of 1 | Total Record : 8


Filter by Year

2012 2012


Filter By Issues
All Issue Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue