cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara" : 6 Documents clear
Estetika Platon Dalam Konteks Revolusi Seni Rupa Yunani Anita Lawudjaja
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (154.417 KB)

Abstract

Abstrak: Mayoritas pembaca Platon menafsirkan filsafat Platon dalam perspektif dualisme, yaitu terdapat dunia idea (kosmos noetos) yang berlawanan dengan dunia indrawi (kosmos aisthetos). Cara tafsir ini menimbulkan banyak kontradiksi. Dalam estetika, E.H. Gombrich, sejarawan seni yang menelurkan teori Revolusi Seni Rupa Yunani, juga membaca Platon dalam tafsir dualisme. Gombrich menyimpulkan bahwa bagi Platon kontemplasi keindahan dapat membawa kita ke dunia idea yang transenden, sedangkan seni hanya menyenang-nyenangkan, mengelabui indra dan menggoda pikiran untuk terikat pada bayang-bayang. Padahal dalam teorinya sendiri, Gombrich menjelaskan bahwa karya seni rupa Yunani terkemuka persis karena keindahannya yang dihidupkan dengan daya ilusif-persuasif. Tulisan ini hendak melempangkan kontradiksi tersebut dengan mengoreksi dunia idea - dunia indrawi menjadi alam visibel alam inteligibel (horatos topos noetos topos), istilah yang dipakai Platon dalam corpus-nya. Tulisan ini menyimpulkan bahwa Platon tidak menolak daya ilusif-persuasif yang terdapat dalam seni rupa melainkan menempatkannya sebagai instrumen untuk merealisasikan Agathon. Kata-kata Kunci: Daya ilusif-persuasif, keindahan, akal, intelek, seni. Abstract: The majority of Platos reader interprets his philosophy in dualistic perspective, that there is the intelligible world (kosmos noetos) which opposed to the sensible world (kosmos aisthetos). This perspective caused many contradictions. In Aesthetics, E.H. Gombrich, an art historian who creates the Greek Revolution Theory, also read Plato under the perspective of dualism. For him, Plato thought that the contemplation of beauty can lead to the realm of transcendent ideas, while art can only flatter, deceive the senses and seduce the mind to feed on phantoms. Meanwhile, Gombrich also thought that Greek Art is beautiful precisely because of the power of illusion-persuasion. This article aims to reconcile the contradiction by replacing the intelligible world - sensible world to the intelligible realm - visible realm (topos noetos - horatos topos), the original term which Plato used in his corpus. And it concludes that Plato did not oppose the power of illusion-persuasion in art but placing them as an instrument to realize Agathon. Keywords: Illusion-persuasion, beauty, mind, intellect, art.
Demokrasi Radikal Menurut Jacques Rancière Sri Indiyastutik
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.725 KB)

Abstract

Jacques Rancière, pemikir Prancis kelahiran Aljazair (1940-sekarang), konsisten dengan gagasannya tentang kesetaraan bagi setiap orang dan semua orang. Baginya, demokrasi bukanlah bentuk pemerintahan atau tatanan sosial. Kesetaraan yang kontingen dalam tatanan sosial, menurut Rancie, menjadikan demokrasi dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, tidak dapat diprediksi. Rancie mengajak kita untuk terbuka pada gangguan-gangguan demos dan kemunculan subyek-subyek baru di masa datang sebagai dinamika dalam tatanan sosial yang tidak perlu ditumpas atau dihambat. Politik demokrasi adalah sebuah perselisihan. Namun perselisihan tersebut bukan tindakan revolusi untuk menghancurkan tatanan sosial yang telah ada menjadi tatanan yang sama sekali baru. Demokrasi adalah subyektivasi politik yang mengganggu tatanan sosial dominan yang dilakukan oleh demos untuk memverifikasi kesetaraan. Kemunculan demos mentransformasi tatanan sosial menjadi bentuk yang berbeda, yang mengakomodasi keberadaan mereka yang tidak terhitung (the wrong, yang salah). Kata-kata Kunci: Demokrasi, kesetaraan, demos, perselisihan, subyektivikasi, yang salah. Abstract: Jacques Rancière, a French philosopher born in Algeria (1940-present), affirms the equality of anyone and everyone. He analyzes the so-called democracy not as a kind of state or social order. Equality which is contingent in the social order, for Rancie, shows that democracy could occurs everytime and everywhere, democracy could not be predicted. Rancie brings us to have an open eye in front of dispute of the demos and the subjectification of any new subjects. This is an inherent and a dynamic of the social order that should not be repressed or stopped. The democratic politics is a dispute. But the dispute is not an act of revolution to destroy the existing social order to create an entirely new order. Democracy is the political subjectification that disrupts the police order by the demos to verify the equality of anyone and everyone. The emergence of the demos transforms the social order into a different form when this order accommodates the existence of the wrong. Keywords: Democracy, equality, demos, dispute, subjectification, the wrong.
Hannah Arendt dan Etika Keduniawian Yosef Keladu Koten
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (121.32 KB)

Abstract

Abstrak: Etika keduniawian Hannah Arendt muncul dari cara khasnya memikirkan dunia dan tindakan-tindakan manusia di dalamnya. Bagi Arendt, lewat berpikir, manusia mengungkapkan opini dan perhatiannya pada dunianya, apa yang terjadi di dunia. Lewat berpikir, manusia menunjukkan sebentuk tanggung jawabnya terhadap dunia dimana ia terlempar. Dengan menilai sebuah tindakan politik, manusia disetir oleh nilai-nilai moral yang berasal dari dunia itu sendiri. Penilaian yang ia berikan, pada gilirannya ada di bawah putusan orang-orang lain yang mengkonfrontasinya. Artinya, saat kita berpikir dan menilai, kita mesti sadar akan makna tindakan politis bagi dunia pada umumnya, dan kita juga mesti menyadari apa yang akan dikatakan orang lain tentangnya. Kata-kata Kunci: Etika, keduniawian, berpikir, menilai, tanggungjawab. Abstract: This paper aims at reconstructing Arendts ethics of worldliness from her specific way of thinking about the world and how to judge an action takes place in it. For Arendt, in thinking, we express our concern and opinion about the world and what is going on in it. It is one way of showing our responsibility for the world into which we are thrown. In judging a political action we are directed by ethical constraints to come from the world itself and the verdict of spectators. That means, when we judge we should be aware of the things that an action could bring to the public realm and what others might say about it. Keywords: Ethics, worldliness, thinking, judging, responsibility.
Teologi Ekologi dan Mistik-Kosmik St. Fransiskus Asisi Peter C. Aman
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (135.22 KB)

Abstract

Abstrak: Untuk mengembangkan suatu teologi ekologi, yang dikenal sebagai ekoteologi, mesti didasarkan pada fakta mengenai keterhubungan semua ciptaan sebagai suatu ekosistem. Metodologinya adalah induktif dan interdisipliner. Kosmologi dan antropologi amat membantu memberikan data ilmiah. Data-data tersebut merupakan titik awal untuk melakukan teologi ekologi, selain sumber-sumber yang diperoleh dari Wahyu, seperti Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium. Artikel ini merupakan suatu upaya mengembangkan teologi ekologi berdasarkan tradisi teologi Kristiani yang menggaris bawahi sejumlah titik pandang teologis, seperti penciptaan sebagai suatu proses melalui itu Allah menciptakan dunia; peran khas manusia sebagai partner Allah Pencipta, selaku gambar dan rupa Allah, merawat dan memelihara ciptaan atas nama Allah; antroposentrisme tidak memiliki akar dalam teologi ekologi Kristiani. Mistisisme kosmik St. Fransiskus sebagaimana diajukan Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si akan menjadi bagian kedua dari artikel ini, agar dapat memahami spiritualitas ekologis yang meresap dalam seluruh ensiklik. Bagi orang-orang Kristen memelihara ciptaan merupakan suatu kewajiban yang berakar dalam iman Kristiani. Kata-kata Kunci: Teologi ekologi, ekosistem, penciptaan sebagai proses, Teosentrisme, antroposentrisme, gambar dan rupa Allah, mistisisme, penyair ontologis. Abstract: A theology on ecology, known as eco-theology, should be based on the reality of the interconnection of all creations as an ecosystem. The methodology should be both inductive and inter-disciplinary. Cosmology, biology and anthropology are helpful in contributing scientific data. The given data could be the starting points in doing a theology of ecology, besides the resources from Revelation, such as Scriptures, Tradition and Magisterium. This article is an effort to elaborate a theology of ecology based on Christian Tradition of Theology which underlines several theological points of view such as: creation as a process through which God creates the world; a special role as co-partner of the Creator for human being as imago Dei has to conserve and to take care of creation as Gods representative; anthropocentrism has no root on Christian theology of ecology. The Cosmic mysticism of St. Francis, promoted by Pope Francis in his encyclical letter Laudato Si, occupies the second part of this article in order to understand ecological spirituality which emerges throughout the encyclical letter. For Christians, taking care of creation is also an imperative rooted in their Christian faith. Keywords: Theology of ecology, ecosystem, creation as a process, Theocentrism, anthropocentrism, imago Dei, cosmic mysticism, ontological poet.
Maudemarie Clark, Nietzsche on Ethics and Politics, New York: Oxford University Press, 2015, x+318 hlm. Yulius Tandyanto
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (145.187 KB)

Abstract

Maudemarie Clark adalah salah satu dari sekian akademisi yang cukup tekun menggeluti teks-teks Nietzsche dalam 20 tahun terakhir ini. Buku pertamanya berjudul Nietzsche on Truth and Philosophy juga diterbitkan oleh Oxford University Press pada tahun 1990. Sejak saat itu, Clark sering menuliskan kajian-kajiannya mengenai Nietzsche pada berbagai antologi buku maupun jurnal, termasuk Journal of Nietzsche Studies (New York: Penn State University Press). Salah satu kekhasan pendekatan Clark adalah pendekatan kombinasinya yang bercorak analitis. Ia menamakannya kombinasi karena ia mengambil unsur-unsur pendekatan tradisional (Walter Kaufmann dan John Wilcox) dan pendekatan Nietzsche Baru (Alexander Nehamas dan Sarah Kofmann) seraya menganalisisnya dengan gaya analitis (seperti Arthur Danto dan Bern Magnus). Dan hasilnya adalah suatu kajian simpatik mengenai filsafat Nietzsche yang berkaitan erat dengan perkembangan sains, pendidikan, etika, dan politik terkini. Dua tema terakhir itulah (etika dan politik) yang menjadi tema besar buku terbarunya, Nietzsche on Ethics and Politics (NEP). Tentu saja kajian Clark ini menarik karena bertentangan dengan pandangan umum yang sering dikenakan kepada Nietzsche: imoralis dan apolitis. NEP sendiri sebetulnya terdiri dari empat belas artikel yang telah disusun secara terpisah oleh Clark entah sebagai artikel jurnal, konferensi, ataupun kuliah. Namun, untuk memudahkan pembaca, Clark menggolongkan keempat belas artikel tersebut ke dalam tiga topik besar, yakni etika, politik, dan metafisika. Melalui dua tema tersebutetika dan politikClark menghadirkan tafsiran tak lazim atas teks-teks Nietzsche. Meski demikian, tafsiran ter sebut bukanlah hal yang baru di kalangan akademisi Nietzschean yang berkembang pesat dalam satu dekade terakhir ini. Misalnya, tafsir yang memprioritaskan nilai-nilai aristokratis ketimbang institusi/tatanan politik aristokratis sekurang-kurangnya telah muncul sejak tahun 1990-an seperti yang dipaparkan oleh Ted Sadler dalam buku Nietzsche: Truth and Redemption (London: Athlone Press, 1995). Dalam buku tersebut, Sadler mengistilahkannya dengan roh aristokratis yang dibedakan dengan dua jenis roh lainnya: roh kelas jelata dan roh kelas menengah. Selain itu, format NPE sebagai kumpulan esai-esai Clark lebih menekankan kekayaan sudut pandang ataupun kritik atas tafsiran umum mengenai etika dan politik Nietzschean ketimbang kedalaman argumentasi akan suatu isu tertentu. Penekanan tersebut tampak ketika Clark membahas pandangan-pandangan para komentator Nietzsche kontemporer (khususnya Anglo-Amerika), seperti: Lawrence J. Hatab, Bernard Williams, Allan Bloom, Keith Ansell-Pearson, Julian Young, dan Brian Leiter. Meski demikian, NPE menawarkan posisi tafsir yang cukup kokoh karena Clark menunjukkan secara langsung teks-teks Nietzsche yang menjadi sumber rujukannya. Tentu saja iklim tersebut baik guna membuka polemik dan variasi pemahaman yang lebih teruji seiring waktu. (Yulius Tandyanto, Mahasiswa, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.)
F. Budi Hardiman (ed.), Franz Magnis-Suseno: Sosok dan Pemikirannya, Jakarta: Kompas, 2016, x+342 hlm. Toety Heraty N. Roosseno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (154.731 KB)

Abstract

Buku berjudul Franz Magnis Suseno: Sosok dan Pemikirannya, berisi tiga belas artikel yang terdiri dari empat artikel mengenai sosok Franz Magnis-Suseno, lima artikel mengenai pemikiran Magnis, dan empat artikel sebagai catatan, ditulis oleh beliau-beliau yang tidak diragukan lagi profesionalisme mereka. Baiklah kini dimulai dengan mengulas dahulu lima pokok pemikiran yang secara singkat dapat disebut secara tematis: 1) tentang Pancasila, 2) tentang Etika Dialog, 3) tentang sosok agama modern, 4) tentang menalar Tuhan dari dunia, 5) tentang pendekatan ilmiah sesuai teori multijagat dan celah kuantum bagi Tuhan. Ternyata urutan pengulasan tidak sesuai dengan urutan dalam buku, agak mengalami perubahan karena pertimbangan tematik yang runtut. ... Komaruddin Hidayat menyebut Magnis sebagai pejuang moral dan pembela hak azasi manusia. Bukankah kekuatan agama menjadi sumber moral dan penggerak masyarakat dalam bidang pendidikan, ekonomi dan lingkungan hidup demi timbulnya kelas menengah yang mandiri? Anjurannya sebaiknya ormas-ormas agama mengambil jarak dari per- mainan politik praktis, dan tidak menjadi bagian birokrasi dan politisi Lele yang sangat menikmati kondisi air keruh yang berlumpur. Kami ingat pepatah memancing di air keruh. Salah satu pemakalah F. Budi Hardiman menyebutkan bahwa Magnis tidak menempuh spiritualitas jalan mistik, meskipun mengawali pengalaman hidup intelektual di Indonesia lewat etika Jawa dan mau tidak mau berurusan dengan wayang, tetapi lebih wayang purwa terkait dengan kejawen atau kebatinan. Pada makalah perihal Etika Dialog pula disebutkan oleh Budi Hardiman bahwa di Indonesia ada jalan lain untuk mengupayakan titik temu agama-agama, yaitu jalan mistik. Memang bila dikembalikan pada bentuk bentuk spiritualitas, spiritualitas mistik yang tidak menjadi pilihan, lebih pada spiritualitas religius, kosmik dan humanistik. Ini merupakan catatan pada ulasan Sudiarja. Kini pemakalah pertama yang disebut terakhir ialah Al. Andang L Binawan yang menarik ulasannya perihal riwayat hidup dan panggilan Magnis, dan penting menyebutkan pada usia 11 tahun sudah berniat menjadi Jesuit, meskipun sempat diuraikan dengan simpatik Magnis kurang suka latihan doa panjang-panjang malah lebih suka latihan musik, dan hobby naik gunung hingga sekarang masih tapi sudah berkurang. Ia juga menguasai dua hal yang perlu baginya ialah Marxisme dan Kromo Inggil. Baginya Tuhan adalah kebenaran, keadilan dan kasih. (Toeti Heraty N. Roosseno, Guru Besar Emeritus Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia).

Page 1 of 1 | Total Record : 6


Filter by Year

2016 2016


Filter By Issues
All Issue Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue