cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara" : 8 Documents clear
Michel Foucault: Parrhesia (Truth-Telling) Dan Care Of The Self Konrad Kebung
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (601.51 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v17i1.181

Abstract

Abstrak: Paper ini berbicara mengenai parrhesia, salah satu dari sekian banyak istilah teknis utama dari Michel Foucault. Parrhesia merupakan seminar terakhir yang didiskusikan Foucault di Universitas Calofornia di Berkeley, USA, di bawah judul: ‘Discourse on Truth: The Problemati- zation of Parrhesia.’ Seri seminar ini dan seksualitas sebagaimana didiskusikan dalam History of Sexuality vol. 2 dan 3, berikut semua bahan kuliah dan interviu selama dua tahun terakhir sebelum kematiannya, dilihat sebagai puncak dari tiga jurus berpikir Foucault, terutama dalam hal ini jurus subyektivitas dan etika. Di sini terlihat, bagaimana manusia menyadari diri sebagai subjek bagi dirinya sendiri atau menjadi subjek etika. Ini berarti bahwa individu, berdasarkan kebebasan dan kema- tangannya, secara praktis mampu berhubungan dengan dirinya sendiri (rapport a soi). Dengan itu, ia dapat disebut sebagai parrhesiast, yang tidak hanya menyampaikan kebenaran kepada orang lain, tetapi juga mampu menyampaikan kebenaran kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain, supaya bisa disebut sebagai parrhesiast, seorang individu harus memper- lihatkan dalam dirinya suatu hubungan erat antara apa yang ia katakan dengan apa yang ia perbuat. Teori dan praktek selalu harus berjalan beriringan. Seseorang boleh berbicara secara meyakinkan, namun ia juga harus bertindak dan berlaku benar dan baik. Kata-kata kunci: Foucault, parrhesia, intelektual, subyek, etika. Abstract: The paper presents one of Foucault’s many pregnant technical terms called πάρήσίά (parrhesia). Parrhesia is the main topic of his last seminar delivered at the University of California in Berkeley, USA, entitled “Discourse on Truth: The Problematization of Parrhesia.” These series of seminar and the issue of sexuality as discussed in his History of Sexuality vol. 2 and 3, added with all his lectures and interviews during the last two years before his death, are seen as the peak of his three axes of thought, namely the axis of subjectivity and ethics. There, we see how humanbeing is aware of him/her self as subject of him/her own self or of being the subject of ethics. This means that the invididual, based on his freedom and maturity, is practically able to relate with him/her self (rapport a soi). He is then to be called the parrhesiast, who not only tells the truth to other people, but also be able to tell the truth to him/her self. In other words, in order to be a parrhesiast, an individual should show in his/her life a correspondence between what he/she speaks and what he/she does. Theory and practice should go hand in hand. One can speak convincingly, yet is also to behave well. Keywords: Foucault, parrhesia, intellectual, subject, ethics.
Suffering As Mysterium Iniquitatis And Mysterium Salutis Jon Sobrino And Jean-Marc Éla On Suffering And Liberation Paulus Bambang Irawan
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (570.517 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v17i1.182

Abstract

Abstract: Jon Sobrino and Jean-Marc Éla provide unique contributions for theological ethics in reflecting suffering as mystery of evil (mysterium iniquitatis) and suffering as the driving force for liberation (mysterium salutis). As a proponent of liberation theology, Sobrino focuses on structural problem of evil. In this regard, Éla gives his unique voice by analyzing suffering from its socio-cultural perspectives. Putting Sobrino and Éla in dialog shows the need for interdisciplinary approach in doing theological ethics. This interdisciplinary reflection on suffering on the one hand will bring a more holistic view on the complexity of the problem of suffering. On the other hand, it brings a more contextual understanding on the meaning of discipleship in a violent world. Keywords: Saffering, evil, liberation, resocialization, structural & socio- cultural approach, discipleship. Abstrak: Jon Sobrino dan Jean-Marc Éla memberikan sumbangan yang khas bagi refleksi teologis etis tentang kompleksitas problem penderitaan sebagai misteri kejahatan (mysterium iniquitatis) namun sekaligus menawarkan daya dorong bagi kesetiaan menapaki jalan pembebasan (mysterium salutis). Sobrino yang menekankan analisa struktural atas kejahatan membutuhkan analisa sosio-kultural dari Éla sehingga aneka upaya “memberi nama” dan melawan problem kejahatan mendapatkan pijakannya pada praktik-praktik kultural dalam komunitas lokal. Dialog Sobrino dan Éla juga menunjukkan bahwa teologi mesti membuka diri pada kajian interdisipliner dengan ilmu lain sehingga, di satu sisi, misteri penderitaan dapat didekati secara lebih utuh dan, di sisi lain, jalan kemuridan yang muncul karena tanggapan atasnya menjadi lebih kontekstual. Kata-kata kunci: Penderitaan, kejahatan, pembebasan, resosialisasi, pendekatan struktural, pendekatan sosio-kultural, kemuridan.
Konsep Negara Utama Al-Farabi Dan Relevansinya Sunaryo
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (757.521 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v17i1.183

Abstract

Abstrak: Dalam artikel ini penulis mengeksplorasi gagasan kota utama yang diajukan oleh Abu Nashr al-Farabi (870-950 M), seorang filsuf Muslim di abad ke-10. Gagasan al-Farabi mengenai kota utama banyak penulis ambil dari karya utamanya yang sangat terkenal, Mabdi r Ahl al-Madinah al-Fdhilah yang secara harafiah berarti “Dasar-dasar Pandangan Warga Kota Utama.” Pandangan al-Farabi dalam karya ini banyak dipengaruhi oleh dua filsuf Yunani, yakni Plato dan Aristoteles. Kota utama adalah kota yang warganya mengerti hakikat kebenaran (teoritis) dan juga memiliki kemampuan bertindak secara moderat (tawassuth) dengan mempertimbangkan tempat, waktu, pelaku dan juga alasan mengapa hal itu perlu dilakukan (phronesis). Keutamaan ini bisa mengantarkan para warganya untuk mencapai kebahagiaan (al-sa’dah). Kebahagiaan adalah tujuan hidup yang paling utama dan paling tinggi bagi manusia. Bagi al-Farabi, dalam upaya mewujudkan kota utama, peran filsuf raja menjadi sangat penting karena dia yang akan mendidik para warga untuk mengerti dan bisa bertindak sesuai dengan nilai-nilai keutamaan. Kata-kata Kunci: Kota utama, kebahagiaan, emanasi, neoplatonisme, penyatuan, phronesis. Abstract: In this article I will explore al-Farabi’s idea of virtuous city. Abu Nashr Al-Farabi is a Muslim philosopher who lived in 870 to 950. The idea of virtuous city much refers to his master piece, Mabdi r Ahl al-Madnah al-Fdhilah, which literally means “the principles of the views of citizens in virtuous city.” Al-Farabi’s concept of virtuous city in this book is much influenced by two Greek philosophers, i.e. Plato and Aristoteles. The virtuous city is the city in which the virtuous citizens live. The virtuous citizens are those who understand the nature of truth and have virtuous character (phronesis). This virtue will carry the citizens to happiness (al-sa’ dah). The happiness is the ultimate goal for all human beings. According to al-Farabi, to make virtuous city happen, the role of philosopher-king is very important. He will teach and educate the people to understand the nature of truth and act in accordance with virtuous character. Keywords: Virtuous City, happiness, emanation, Neoplatonism, union, phronesis.
Menggali Relevansi Teologis Berdasarkan Analisis Naratif Atas Kisah “Kelahiran Samuel” Dalam 1 Samuel 1:1-28 Elvin Atmaja Hidayat
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (530.229 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v17i1.184

Abstract

Abstrak: Kitab Suci merupakan Sabda Allah yang menjadi tumpuan hidup dan sumber kebenaran bagi umat beriman. Posisinya begitu agung dan penting. Sayangnya, banyak umat Kristiani yang kesulitan untuk memahami isi Kitab Suci. Artikel ini bertujuan untuk memperkenalkan salah satu metode menafsirkan Kitab Suci yang relatif mudah untuk digunakan oleh semua kalangan, yakni metode Analisis Naratif. Dalam artikel ini, metode tersebut akan digunakan untuk menganalisis perikop tentang “Kelahiran Samuel” (1 Samuel 1:1-28). Melalui analisis atas teks ini pula, hendak dipaparkan beberapa pesan teologis yang dapat meng- inspirasi kehidupan umat beriman. Secara praktis, artikel ini berikhtiar menunjukkan bahwa metode analisis naratif cukup berjasa dalam mem- permudah umat Kistiani menafsirkan atau menggali pesan-pesan teologis dari teks-teks alkitabiah. Kata-kata Kunci: Analisis Naratif, Kitab Suci, kelahiran Samuel, iman, doa, pesan teologis. Abstract: Holy Bible (Scripture) is the Word of God. It is the foundation of life and the source of truth for the faithful. Its position is very great and important, but unfortunately, many Christians find it difficult to understand the content of Scripture. This article would like to introduce one method of interpreting Scripture that is relatively easy to be used by all circles, the method of Narrative Analysis. In this article, the method will be used to analyze the passage about “Birth of Samuel” (1 Samuel 1:1-28). Through the analysis of this text, the writer also offers some theological messages that can inspire the life of faith. Practically, it can be argued that the method of narrative analysis is meritorious in facilitating Christian people to interpret or explore theological messages of biblical texts. Keywords: Narrative analysis, scripture (holy bible), Samuel’s birth, faith, prayer, theological messages.
Untuk Apa Filsafat Hukum? Problem Metodologi Setelah Debat Hart/Dworkin Tanius Sebastian
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (618.049 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v17i1.185

Abstract

Abstrak: Tulisan berikut membahas pemikiran hukum Anglo-Amerika yang dikenal sebagai filsafat hukum. Dua pokok yang dibahas adalah masalah metodologi dan debat Hart/Dworkin. Inti pertanyaan yang dikaji di sini berkenaan dengan hakikat filsafat hukum. Untuk itu lang- kah yang diambil adalah dengan menelusuri situasi debat Hart/ Dworkin dan sesudahnya sebagai suatu debat metodologis dan kemudian menggunakannya untuk mengurai pertanyaan tadi. Debat tersebut telah memicu suatu palingan metodologis dalam filsafat hukum analitik yang lantas mengubah fokus dan makna dari kegiatan melakukan filsafat hukum, yakni dari refleksi atas hakikat hukum (dan hubungannya dengan moralitas) menjadi refleksi atas hakikat kegiatan itu sendiri. Ber- dasarkan telaah kritis terhadap konstelasi dan tren populer dari sejumlah yang ide yang dikembangkan seputar eksistensi debat Hart/Dworkin, termasuk publikasi terbaru teks kuliah Dworkin di Harvard Law Review yang menanggapi Postscript Hart, tulisan ini mengemukakan argumen bahwa wacana filsafat hukum kontemporer menyentuh ranah kritik ter- hadap dua tesis metafisis, epistemologis, dan etis yang tampak sejajar, yakni dikotomi fakta dengan nilai dan pemisahan hukum dengan moralitas. Kata-kata Kunci: Metodologi filsafat hukum, debat Hart/Dworkin, hukum dan moralitas, filsafat hukum analitik, palingan metodologis, metodologi normatif, metodologi deskriptif. Abstract: This paper presents an exploration of the Anglo-American legal thought, better known as jurisprudence. A subject matter of it is two interrelated themes, i.e. the problem of methodology and the “Hart/Dworkin debate”. The main question addressed here concerning the nature of jurisprudence. It takes an inquiry to the Hart/Dworkin debate situation and its aftermath as a methodological debate and whilst use it to scrutinize that question. The debate has been stirred up the so called methodological turn in analytical jurisprudence, thus vary the focus and meaning of the activity of doing jurisprudence, from a reflection of the nature of law (and its relationship to morality) to a reflection of the nature of that activity itself. Based on the critical examination of constellation and popular trend of some ideas which developed around the existence Hart/Dworkin debate, including the recent publication of Dworkin’s lost text in Harvard Law Review replying to Hart’s Postscript, this paper argues that the contemporary discourse of jurisprudence attains the significance of a criticism of two kinds of metaphysical, epistemological, and ethical theses which are apparently parallel, i.e. the fact/value dichotomy and the separation of law and morality. Keywords: methodology of jurisprudence, Hart/Dworkin debate, law and morality, analytic jurisprudence, methodological turn, normative methodology, descriptive methodology.
Armada Riyanto, CM Katolisitas Dialogal: Ajaran Sosial Katolik Yogyakarta: P.T. Kanisius 2014, 328 hal Franz Magnis-Suseno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (375.439 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v17i1.186

Abstract

Berikut ini diperkenalkan tiga buku yang ditulis oleh para dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana di Malang tentang bagaimana Gereja Katolik perlu menempatkan diri dalam ruang publik Indonesia. Fokus buku pertama, tulisan Prof. Dr. Armada Riyanto (2014), adalah ajaran sosial Gereja Katolik, jadi ajaran mengenai bagaimana Gereja Katolik memahami panggilannya dalam masyarakat yang sekaligus menjadi ruang publiknya. Sepintas alur buku ini dapat mem- bingungkan karena penulis suka melancong ke pelbagai bidang sam- pingan, apalagi ia tidak menjelaskan susunan bukunya. Namun kekaya- an buku ini justru terletak dalam luasnya acuan, penjelasan pelbagai latar belakang, serta perhatian pada konteks-konteks ajaran sosial Gereja yang diangkat penulis. Dengan demikian pembaca dibantu dalam mencari bagaimana umat Katolik Indonesia dapat memberikan sum- bangannya bagi bangsanya dalam segala pergulatannya. Bagian kedua, mulai dari bab ke-10, memasuki situasi umat Katolik Indonesia sebagai minoritas yang sepertinya masih “kurang memiliki” (187). Bertolak dari catatan bahwa waktu Congregatio Missionis (Romo-romo CM) mengam-bil alih wilayah Jawa Timur dari romo-romo Yesuit hanya ada 40 umat Katolik Jawa tercatat (hal. 203), bab 11 menjelaskan kesulitan yang dialami Gereja Katolik sejak dari permulaan abad ke-19 dalam bergiat di Hindia Belanda. Namun kemudian dijelaskan bagaimana orang Katolik Jawa, di antara- nya Pak Kasimo, sebelum Kemerdekaan sudah berjuang sebagai nasionalis Indonesia tulen. Bagian ketiga, dimulai dari bab 12, membahas sifat dialogal ajaran sosial Gereja dalam pelbagai dimensi. Bahwa iman dan teologi Gereja secara hakiki bersifat dialogal merupakan kesadaran teologis (dan sosiologis) baru. Daripada hanya berpegang teguh pada suatu ajaran yang sudah membatu menjadi tradisi, lalu dibawa begitu saja ke dalam dunia, Gereja menyadari bahwa iman maupun teologinya selalu bergerak dalam medan masyarakat di mana Gereja berhadapan dengan segala macam pemikiran dan tanta-ngan. Dengan sifat dialogal dimaksud bahwa iman dan teologi Gereja mau tak mau terwujud dalam menghadapi tantangan-tantangan itu. Kekuatan buku Prof. Armada ini adalah bahwa ia menempatkan ajaran sosial Gereja yang pokok-pokoknya sudah sering diuraikan ke dalam pelbagai konteks, dengan implikasi-implikasi dan acuan pada pelbagai pengalaman Gereja. Pembaca menemukan banyak petunjuk bagaimana ajaran sosial Gereja Katolik dapat menjadi inspirasi bagi umat Katolik Indonesia. Ada juga beberapa kelemahan. Tidak ada daftar nama. Dan barangkali cakupan uraiannya terlalu luas. Misalnya uraian panjang lebar tentang paham Platon dan Aristoteles tentang keadilan sebenarnya kurang relevan, begitu pula uraian tentang perkembangan pemikiran filosofis tentang demokrasi. Padahal pertanyaan sangat relevan, yang muncul di banyak negara, bagaimana sebuah minoritas berpartisipasi dalam sistem demokrasi tidak didiskusilan. Mengapa fungsi suatu Partai Katolik di Indonesia tidak diangkat, padahal seku- rang-kurangnya sudah tiga kali menjadi debat besar dan panas dalam umat Katolik Indonesia: 1960 di zaman demokrasi terpimpin, 1971 sesudah pemilihan umum pertama di bawah presiden Suharto, dan 1999 di masa reformasi. Betul, persepsi “kemiskinan struktural” dibuka dengan Rerum Novarum (h. 24), tetapi istilah itu sendiri tidak ditemukan di dalamnya, melainkan berasal dari teologi pembebasan. Karena penulis menganggap “pluralisme” tak punya arti di luar “pluralitas,” penulis tidak masuk ke dalam kontroversi tajam tentang pluralisme di Indone- sia. Fatwa MUI tentang pluralisme tidak didiskusi-kan. Uraian panjang tentang pendidikan Katolik yang sangat optimis tinggal normatif. Padahal dalam kenyataan Gereja Katolik, juga di Indonesia, biasanya justru mempertahankan pegangan eksklusif atas pendidikan. Dalam kaitan ini seharusnya penolakan UU Sisdiknas — dengan keharusan memberikan pelajaran agama kepada para siswa sesuai dengan agama mereka — oleh sebagian besar penanggap Katolik didiskusikan. Namun kekurangan-kekurangan ini tidak menghilangkan bahwa buku ini amat memperkaya pustaka Katolik berbahasa Indonesia tentang panggilan Gereja, juga panggilan Gereja Indonesia, dalam masyarakat (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Raymundus Sudhiarsa SVD, Paulinus Yan Olla, MSF (ed.) Menjadi Gereja Indonesia yang Gembira dan Berbelaskasih Dulu, Kini dan Esok Seri Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang: STFT Widya Sasana 2015, 460 hal Franz Magnis-Suseno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (375.132 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v17i1.187

Abstract

Buku kedua suntingan Raymundus Sudhiarsa dan Paulinus Yan Olla (2015) memuat duapuluh tulisan — sumbangan dosen-dosen STFT Widya Sasana pada hari Studi 2015 — yang berfokus pada dua dokumen tulisan kunci Paus Fransiskus: “Evangelii Gaudium” (2013) dan “Misericodiae Vultus” (2015). Hari Studi itu mengangkat pertanyaan bagaimana menjawab tantangan agar Gereja Indonesia menjadi “gem- bira dan berbelaskasih.” Tulisan-tulisan ini dibagi dalam empat kelom- pok: Tinjauan historis, tinjauan biblis, tinjauan filosofis dan sosio-kultural, dan tinjauan teologis-pastoral, disusul penutup. Saya membatasi diri pada beberapa catatan saja. Dari empat tulisan “tinjauan historis” yang langsung sangat menarik adalah tulisan pertama (oleh Edison R. L. Tinambunan) tentang kenyataan bahwa kristianitas telah sampai ke Sumatra lebih dari seribu tahun lalu, dan dibawa terutama oleh kaum awam. Cukup menarik apa yang kemudian ditulis oleh Armada Riyanto tentang dua penulis sejarah Gereja Indonesia, Martinus Muskens dan Karel Steenbrink, disusul tulisan tentang Gereja di zaman pendudukan Jepang. Apa yang ditulis oleh Kristoforus Bala tentang peran devosi pada Ibu Maria dalam evangelisasi di Nusa Tenggara bagi banyak pembaca Indonesia barangkali masih baru. Dari empat tulisan “tinjauan biblis-teologis” dua mengenai Perjanjian Lama. ........................................................................ Dari tiga tulisan penutup yang pertama, dari Merry Teresa Sri Rejeki, menjelaskan dua dokumen yang menjadi fokus tulisan-tulisan jilid ini: “Evangelii Gaudium” dan “Misericordiae Vultus.” Seberikutnya Piet Go menjelaskan secara skematis mengapa iman Gerejani perlu “bergembira” dan “berbelas-kasih.” Buku ditutup dengan “Sukacitaku,” puisi St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus. Sebagai kesimpulan: buku ini — meskipun ada beberapa kelemahan, terutama uraian-uraian teoretis yang agak berlebihan dan absennya perhatian pada sekian kontroversi baik dalam masyarakat maupun dalam Gereja berkaitan dengan hal- hal yang dibahas — amat kaya, mencerahkan dan bisa memperdalam pengertian tentang iman Gereja serta betapa penting dan perlu Gereja Indonesia mengikuti ajakan Paus Fransiskus untuk memancarkan kegembiraan dan belaskasihan Ilahi ke dalam masyarakat (Franz Magnis- Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Alphonsus Tjatur Raharso, Paulinus Yan Olla, Yustinus (ed.) Mengabdi Tuhan dan Mencintai Liyan: Penghayatan Agama di Ruang Publik yang Plural Seri Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang: STFT Widya Sasana 2017, 324 hal Franz Magnis-Suseno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (240.691 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v17i1.188

Abstract

Buku ketiga (suntingan Alphonsus Tjatur Raharso dan Paulinus Yan Olla 2017) memuat 20 makalah dari Hari Studi tahun 2017 STFT Widya Sasana. Tulisan-tulisan ini semua mengangkat, dari pelbagai segi dan dengan cara-cara yang berbeda, tantangan-tantangan bagi umat Katolik yang berasal dari kenyataan bahwa umat Katolik adalah minoritas kecil dalam suatu bangsa yang amat majemuk. Atau, lebih tepat, dari kenya- taan bahwa saat ini kebhinekaan dan toleransi mengalami “ujian berat.” Tulisan-tulisan ini dibagi tiga. ............................................................. Tiga tulisan terakhir kembali membahas kehadiran Gereja (Katolik) di ruang publik. Sesudah berfokus pada bagaimana Gereja dalam lima abad pertamanya memastikan identitasnya dalam lingkungan budaya yang asing, Antonius Denny Firmatno, dengan meloncat 1400 tahun, me- nunjuk bagaimana Gereja pasca Vatikan II makin sadar bahwa ia berada di ruang publik, maka bahwa sangat penting Gereja memperlihatkan diri sesuai dengan identitasnya yang sebenarnya. Raymundus I Made Sudhiarsa membahas kecenderungan berbahaya agama-gama, termasuk Gereja, untuk mau mengamankan identitas mereka dengan menutup diri terhadap dunia luar. Tulisan bagus dan mendalam ini membahas hal identitas dan “parokialisme” (suatu catatan: sebenarnya istilah “parokialisme” tidak mengenai sikap teologis-ideologis-fanatik dsb., me- lainkan mengenai keterbatasan wawasan “alami,” jadi barangkali lebih baik diganti dengan “ketertutupan” saja), mekanisme kambing hitam serta penolakan terhadap perbedaan, perlunya bergerak dari alienasi ke kola- borasi. Pius Pandor menutup kumpulan tulisan ini dengan berfokus pada patologi ruang publik yang cenderung mendorong agama-agama ke arah fundamentalisme dan pembenaran kekerasan daripada membangun dialog dan toleransi. Kekuatan buku ini adalah kekayaan dan komplek- sitas sudut-sudut yang terangkat dalam membahas tantangan-tantangan yang harus dihadapi Gereja sebagai partisipan di ruang publik, serta bahwa pembaca dirangsang untuk berpikir sendiri (Franz Magnis- Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).

Page 1 of 1 | Total Record : 8


Filter by Year

2018 2018


Filter By Issues
All Issue Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue