cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara" : 8 Documents clear
Penggembalaan sebagai Praktik Ekaristi: Suatu Pendekatan Eksegetis-Konstruktif terhadap Yohanes 21:15-19 Finki Rianto Kantohe
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (977.287 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v18i1.55

Abstract

This article seeks to explore the concept of shepherding and its relation to the eucharist in the Gospel of John 21:15-19. Using an exegetical approach, the author tries to highlight word for word, both etymologicallyand contextually, and conducts a comprehensive survey of the Gospel of John, in order to see extensively about the verses under discussion text. In the end, the author shall construct shepherding with the eucharist, so that a new understanding of shepherding could be found as a practice of the eucharist, namely shepherding is not just ecclesiastical practice or leadership, but rather willingness to offer all aspects of life, even shepherd’s own life for the lives of its sheep based on the sacrifice of Christ who revives believers, as Jesus commandedPeter in John 21: 15-19. Abstrak Tulisan ini merupakan sebuah kajian yang berusaha menggali konsep penggembalaan dan relasinya dengan ekaristi dalam Yohanes 21:15-19. Dengan menggunakan pendekatan eksegetis, penulis mencoba menyoroti kata demi kata, baik secara etimologis maupun konteks, serta melakukan survey Injil Yohanes secara komprehensif, agar dapat melihat secara luas mengenai Injil yang dirujuk, dan kemudian berfokus seputar Yohanes 21 mengenai dialog antara Yesus dan Petrus, dengan mengoneksikannya dengan konteks dekat, yaitu Yohanes 21:1-14 dan Yohanes 21:20-23, maupun konteks jauh, yaitu keseluruhan Injil Yohanes. Selain itu, dalam tulisan ini penulis melakukan beberapa kritik terhadap beberapa pandangan lama yang dinilai sudah tidak relevan, sehingga mengganggu pemaknaan teks yang dirujuk. Pada akhirnya, penulis mengonstruksi penggembalaan dengan ekaristi, sehingga dapat ditemukan sebuah pemahaman baru akan penggembalaan sebagai sebuah praktik dari ekaristi, yakni penggembalaan bukan sekedar praktik gerejawi atau kepemimpinan semata, melainkan sebuah kerelaan memberikan seluruh aspek kehidupan, bahkan nyawa untuk kehidupan domba-dombanya, dengan berbasis pada kematian Kristus yang menghidupkan orang percaya, sebagaimana perintah Yesus bagi Petrus dalam Yohanes 21:15-19.
The Aesthetics of the Built Environment: A Post-Kantian Look at Bioregionalism and Ecomimicry Approach in Environmental Design Dimitry Ratulangie Ichwan
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (750.399 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v18i1.238

Abstract

Kant regarded ecosphere as having the highest degree of beauty, as opposed to other aesthetical objects such as painting, sculpture, buildings, and we could infer, the built environment. His arguments hinges heavily on his transcendental philosophy, where he stressed that pure beauty could only be achieved through disinterested judgement, without concept, and others. Though his proposition for ecosphere is valid, it could not be used to justify other cases, such as determining the degree of beauty of the built environment. Thus, a modified version of Kant's aesthetics needs to be adopted, as it opens space for the built environment. This research uses Kant's overarching aesthetical arguments to justify the degree of beauty of the built environment. It is found that the built environment could have similar, if not same to, the degree of beauty of ecosphere by way of bioregionalism and ecomimicry, where the totality of the built environment encompases the natural law of local environment, making its degree of beauty as high as ecosphere. Abstrak Kant memandang tinggi atas lingkungan alam dan menobatkannya sebagai derajat keindahan tertinggi bila dibandingkan dengan objek estetis lainnya seperti lukisan, patung, gedung, dan kita dapat inferensikan, lingkungan buatan manusia. Argumen dia terjangkar kepada pemikiran transendentalnya, di mana keindahan murni hanya dapat didapatkan melalui penilaian tanpa ketertarikan, tanpa konsep, dan lain-lain. Walaupun proposisinya terhadap lingkungan alam valid, kita tidak dapat menggunakannya untuk menjustifikasi derajat keindahan lingkungan buatan manusia. Dengan itu, sebuah modifikasi dari pemikiran Kant diperlukan untuk dapat menilai lingkungan buatan manusia. Penelitian ini menggunakan teori estetika Kant untuk menjustifikasi derajat keindahan lingkungan buatan alam. Dipertahankan bahwa lingkungan buatan manusia memiliki derajat keindahan yang sangat mendekati, bahkan sama, dengan lingkungan buatan alam jika, dan hanya jika, lingkungan buatan tersebut mengadopsi konsep bioregionalisme dan ecomimicry, di mana totalitas dari lingkungan buatan manusia mencakupi hukum alam yang terdapat di daerah lokal, meningkatkan derajat keindahan lingkungan buatan tersebut.
Filsafat Inteligen Franz Magnis-Suseno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (270.998 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v18i1.285

Abstract

AM Hendropriyono 2021, Filsafat Intelijen. Sebuah Esai ke Arah Landasan Berpikir, Strategi, serta Refleksi Kasus-kasus Aktual, Jakarta: PT Hedropriyono Strategic Consulting. Bagi seorang "filosof emeritus" ("filosof afkiran") seperti penulis buku Hendropriyono menarik karena menjadi kelihatan bagaimana seorang 0tokoh yang profesinya jauh dari filsafat dapat memanfaatkan pendekatan filosofis. Yang dimaksud Hendropriyono dengan "filsafat Intelijens" memang bukan filsafat seperti filsafat moral atau filsafat politik atau filsafat manusia. Melainkan filsafat sebagai cara seorang tokoh inteligens Indonesia menjalankan tugasnya, mengumpulkan pengetahuan tentang ancaman-ancaman tersembunyi yang dihadapi suatu negara, dalam kasus ini, Indonesia. Dalam definisi Hendropriyono: "Filsafat intelijen memahami keamanan sebagai suatu kebebasan dari bahaya yang mengancam personal, informasi, komunikasi, pernaskahan fisik dan non-fisik serta lingkungan hidup manusia" h. 103). Hendropriyono memperlihatkan bagaimana ketajaman filosofis dapat membantu melihat realitas dari pelbagai segi, menghindar misalnya dari tiga sikap keliru klasik yang sudah diangkat oleh para filosof Yunani, sofisme, paralogisme dan sikap echolalian (h. 56), sadar akan perangkap logical fallacies seperti argumentasi ad hominem, sikap latah (bandwagon), kesimpulan yang tergesa-gesa (hasty generalization), menganggap A disebabkan B hanya karena terjadi sesudah B (post hoc, bukan propter hoc), dikotomi keliru, circular reasoning dan membiarkan diri dibawa sesat karena mengikuti suatu red herring (h. 133 s.). Pendekatan filosofis akan membuat was-was terhadap "pemikrian konspirasi", informasi top-down dan hoaks. Dalam bukunya Hendropriyono membawa pendekatan filosofis itu pada kejadian-kejadian di dekade-dekade terakhir. Msalnya Arab spring dengan pergolakan-pergolakan luar biasa yang mengikutinya: Mesir dengan semangat demokrasi yang justru membawa Ikhwanul Muslimen ke puncak kekuasaan, hanya untuk kemudian digulingkan oleh Jendral Siwi dengan dukungan Al Azhar dan Gereja Koptik. Kekacauan luar biasa di Siria dan Irak di mana Amerika Serikat mendukung gerakan demokratis dengan harapan bisa menggulingkan diktator Bashar al-Assad, hanya untuk akhirnya malah menjadi pendukung ISIS - yang menyingkirkan gerakan demokratis - karena Assad didukung oleh Rusia dan Iran. Sebelumnya Amerika Serikat juga dengan logika kepentingannya membuat kacau Haiti: Sesudah Amerika mendukung Jean-Bertrand Aristide, presiden pertama Haiti yang dipilih secara demokratis, yang menggantikan diktator "Baby Doc" Duvalier, tetapi karena Aristide dianggap terlalu kiri, Amerika mendukung penggulingannya; sampai sekarang Haiti kacau. Dan ada contoh logical dan political fallacies lain yang dianalisa, misalnya perang proxy di Afganistan. Tentu Hendropriyono juga memakai pendekatan filsafat untuk melihat pekembangan di Indonesia. Amendemen UUD 1946 pasca reformasi, masalah Papua, gejala populisme, keberhasilan deradikalisasi seperti misalnya terwujud dalam Pondok Pesantren Al-Zaitun. Sama dengan alm. Romo Nikolaus Drijarkara Hendropriyono menunjukkan bahwa "Sila Pancasila yang Ke II, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, merupakan landasan bagi implementasi seluruh sila-sila dalam Pancasila" (142). Tentu ada juga beberapa kesalahan. Perang Napoleon tentu berlangsung di abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 (h. 29), Hitler berkuasa di Jerman tahun 1933 (h. 38), demonstrasi dua Desember (212) terjadi di tahun 2017, bukan 2016 (56), dan PD II bukannya diadakan untuk menjatuhkan Hitler, melainkan yang memulainya memang Hitler (146). Buku ini sekaligus membuat pembaca paham bagaimana Hendropriyono melihat realitas politik, baik di Indonesia maupuan situasi internasional. Ia bermaksud menunjukkan bagaimana "kacamata" filsafat membantu untuk memahami apa yang terjadi dalam dimensi politik, dimensi utama yang mau dilindungi dari kejahatan oleh aparat inteligence. Suatu buku yang cukup khas. Franz Magnis-Suseno
Problem Fisikalisme Nonreduktif dan Solusi Hilomorfisme Thomistik Effendi Kusuma Sunur
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (827.901 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v18i1.291

Abstract

In philosophy of mind, Non-reductive Physicalism as a philosophical view has some problems because of its ontological commitment to physicalism. Thomistic Hylomorphism solves the problems by claiming that there are two metaphysical principles: prime matter and substantial form. The first shows the importance of matter for a material system or an organism, and the second denotes the importance of the existence of formal and final causes in addition to efficient cause. With its concept of substantial form, Thomistic Hylomorphism solvesthe problems of Non-reductive Physicalism. Abstrak Dalam filsafat pikiran, Fisikalisme Nonreduktif sebagai sebuah posisi filosofis mempunyai beberapa problem akibat komitmen ontologisnya terhadap fisikalisme. Hilomorfisme Thomistik memberikan jalan keluar dari problem yang muncul dari perspektif Fisikalisme Nonreduktif dengan mengacu pada dua prinsip metafisik yakni materi prima dan forma substansial. Yang pertama menunjukkan pentingnya materi bagi sebuah sistem material atau organisme, sedangkan yang kedua menunjukkan pentingnya eksistensi causa formal dan final selain causa efisien. Dengan konsep forma substansial, Hilomorfisme Thomistik memberikan solusi atas masalah-masalah dalam perspektif Fisikalisme Nonreduktif.
Demonisasi Topeng Egwugwu: Kajian Dinamika Internal dan Eksternal Agama Asli Afrika Menghadapi Kristenisasi Lucianus Suharjanto
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (596.166 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v18i1.295

Abstract

The encounters of cultures, among which is of religions, cultivate the internal and external dynamic of both individual and society in adapting their most edifying existence. The encounters fuel individual and social adaptation through various dimensions and types of interactions, one of which is demonization. Chinua Achebe’s Things Fall Apart (1959) presents this drama of encounters through its fearful yet succulently rich narration of collisions between egwugwu religion of Igbo in Nigeria and Christianity. This paper elucidates the philosophical consequence of such a powerful presentation of the cultural collision within Igbo society in Things Fall Apart in understanding the phenomena of religion in human person and in humanity. First, religion serves the metaphoric communication between the real and the surreal. Second, demonization in religion enhances a social change through the redescription of its own vocabularies and narrative. Finally, religion serves as the fictional vision for the recreated solidarity among human persons. Abstrak Pertemuan kebudayaan, salah satunya dalam bentuk masuknya agama baru ke suatu wilayah, memicu dinamika internal dan eksternal pada individu dan masyarakat untuk mencari cara bereksistensi yang paling mengembangkan. Salah satunya adalah adaptasi model interaksi individu dan masyarakat melalui demonisasi. Novel Things Fall Apart karya Chinua Achebe (1959) memperlihatkan demonisasi dalam agama egwugwu dari suku Igbo di Nigeria melalui desakralisasi yang dinarasikan secara mengerikan tetapi kaya dan menarik sebagai penodaan topeng egwugwu. Melalui kajian atas demonisasi dalam Things Fall Apart ditemukan pemahaman mengenai agama sebagai relasi komunikasi metaforik di tingkat real dan surreal. Kajian juga memperlihatkan bahwa agama, melalui demonisasi yang memaksa dilahirkannya kosakata dan narasi baru, menjadi agen perubahan sosial. Meskipun demikian, demonisasi yang mengimplikasikan perubahan sosial tersebut tidak dengan sendirinya menjadi tanda berakhirnya agama, sebab agama juga berperan sebagai fiksi yang memberi arah bagi persaudaraan yang dibentuk oleh umat manusia.
Irupsi Generasi Beriman Digital Z dan Disrupsi Katekese Kebangsaan Mutiara Andalas
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (613.593 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v18i1.296

Abstract

This paper discusses the irruption of the digital faithful generation of Z in the Indonesian Catholic church and its disruption to citizenship catechesis. The discussion of citizenship catechesis will fall short if we still fixate on the classic definitions of catechesis, the method of catechesis, and the profile of catechists in the apostolic exhortation Cateceshi Tradendae (1979). The predigital world conditions ideas about them. An in-depth discourse on citizenship catechesis needs to depart from the digital faithful generation of Z irrupting in the Indonesian Catholic Church. 'Irruption', according to the liberation theologian Gustavo Gutiérrez, refers to the presence of people who previously lived at the underside of history. Previously being absented, they transform into the subject of history. Irruption is also an ecclesial process. The generation of Z has emerged in the history of the Indonesian Catholic church as homo religiosus digitalis. They bring the disruptive spirit of the digital era to the body of the Catholic church. As digital integrators, they are open to incorporating faith in their lives. Based on their autobiography, homo religiosus digitalis Z lives a connective pedagogy with distinctive characteristics from predigital believers. Their irruption shakes the identity of the catechist and their vocation to "teach the lesson of the faith" to today's disciples of Christ. The irruption of Z's digital faithful generation encourages the further exploration of new methods for citizenship catechesis in the contemporary Indonesian context. Abstrak Tulisan ini mendiskusikan irupsi generasi beriman Z dalam Gereja Katolik Indonesia yang disruptif terhadap katekese kebangsaan. Diskusi tentang katekese kebangsaan tak akan beranjak jauh jika kita masih terpaku pada definisi klasik katekese, metode berkatekese, dan profill katekis dalam seruan apostolik Cateceshi Tradendae (1979). Seruan apostolik ini dikondisikan oleh dunia pradigital. Diskursus mendalam tentang katekese kebangsaan perlu berangkat dari irupsi generasi Z. Istilah "irupsi", menurut teolog pembebasan G. Gutiérrez, menunjuk pada penyeruakan orang-orang yang sebelumnya hidup di sisi bawah sejarah. Mereka bertransformasi dari yang semula diabsenkan keberadaannya, kini menjadi subjek sejarah. Irupsi juga merupakan proses eklesial. Generasi Z menyeruak dalam panggung sejarah gereja Katolik Indonesia sebagai homo religiosus digital. Mereka membawa roh disruptif era digital. Meminjam kosakata Mark McCrindle tentang generasi Z sebagai “digital integrator”, insan digital Z terbuka untuk menginkorporasikan iman dalam kehidupan mereka. Berdasarkan autobiografi mereka, homo religiosus digital Z menghidupi pedagogi konektif yang karakteristiknya berbeda dari insan beriman pradigital. Irupsi mereka menggegarkan identitas katekis serta panggilannya untuk “mengajarkan pelajaran iman” kepada murid-murid Kristus pada masa kini.Irupsi insan beriman digital Z mendorong eksplorasi metode-metode baru untuk katekese kebangsaan dalam konteks Indonesia zaman now.
The Ours of the Universe: Reflections on God, Science, and Human Journey. Andreas Bernardinus Atawolo
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (295.524 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v18i1.298

Abstract

Seperti beberapa buku Delio yang lain, The Ours of the Universe mengusung tema umum ‘dialog antara teologi dan sains’. Dalam dunia teologi, Delio tertarik pada teolog Abad Pertengahan, khususnya Bonaventura (1217-1274). Baginya paradigma teologi Bonaventura, tampil dalam pemikiran Pierre Teilhard de Chardin (1881-1955), paleontolog, Jesuit, yang hidup di antara era pencerahan dan modernisme, namun tak membaca Teologi Fransiskan.
Laudato Si’ and the Environment: Pope Francis’ Green Encyclical Martin Harun
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.167 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v18i1.299

Abstract

Pope Francis’ Encyclical Laudato Si’ invites scholars of all sciences to a dialogue on the ecological crisis in order to find better solutions before it is too late. Thus it is not surprising that in this collection of essays twelve scholars in religious and social sciences respond to his much appreciated encyclical. Editor Robert McKim, emeritus professor of Philosophy of Religion at the University of Illinois, opens the discussion with a proposal of inquiry into the challenges posed by the ecological crisis and how the world religions can and have responded to it in providing guidance and inspiration, and in what they have accomplished both as entire religious traditions and on a micro-level through particular religious communities, and also in giving birth to new environmentally constructive practices and rituals.

Page 1 of 1 | Total Record : 8


Filter by Year

2022 2022


Filter By Issues
All Issue Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue