cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara" : 10 Documents clear
Manusia Berkemampuan (Homo Capax): Fondasi Antropologi Filosofis Etika Belarasa dalam Konteks Pemulihan Korban Kekerasan Seksual menjadi Penyintas: Capable Being (Homo Capax): An Antropological Foundation for An Ethics of Compassion in the Context of Helping Victims of Sexual Violence to Restore Their Existence David Tobing
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v19i1.322

Abstract

As a traumatic event, sexual violence does not only take a physical and psychological toll on the victims, but also causes existential crisis. In this light, we cannot restore the wellbeing of victims of sexual violence without restoring their own capability to exist as human beings in wholeness. Based on that condition, this article attempts to answer two problems: (i) what kind of ethics do we need in order to help victims of sexual violence restore their own existence as whole human beings? and (ii) what kind of human conception is presupposedby that ethics? To that question, this article suggests that (1) we need an ethics of compassion in order to help victims of sexual violence to restore their own existence as whole human beings and (2) it presupposes a specific conception of human being as a capable being (homo capax) in Ricoeurian perspective. Abstrak Sebagai peristiwa traumatik, kekerasan seksual tidak hanya memberikan dampak fisik dan mental, namun juga eksistensial. Karena itu, pemulihan korban kekerasan seksual menjadi penyintas adalah juga pemulihan daya eksistensial dari yang bersangkutan. Bertolak dari kondisi itu, artikel ini mengajukan pertanyaan “(i) etika seperti apakah yang memungkinkan terjadi proses pemulihan korban kekerasan seksual menjadi penyintas dan (ii) konsepsi manusia seperti apakah yang menjadi pengandaian dalam etika itu?” Terhadap pertanyaan itu, penulis mengajukan tesis bahwa (1) etika belarasa merupakan pandangan etika yang dapat membantu proses pemulihan korban kekerasan seksual menjadi penyintas dan (2) etika belarasa mengandaikan konsepsi manusia berdaya (the capable being) dalam pemikiran Paul Ricoeur. Kata-kata kunci: kekerasan seksual, diri, emosi, etika belarasa, manusia berdaya
Reflecting on Teacher’s Authority through Hannah Arendt’s “The Crisis in Education” : Merefleksikan Otoritas Guru berdasarkan Karya Hannah Arendt, "The Crisis in Education" Nopparat Ruankool
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v19i1.345

Abstract

Child-centered education has become pervasive due to its emphasis on freedom, which is highly valued in modern society. This progressive approach has brought an inquiry into the teacher’s authority which is viewed as traditional and irrelevant for students today. This essay aims to step back and to explore the concept of the teacher’s ‘authority’ more deeply through Hannah Arendt’s writing entitled “The Crisis in Education”. It begins by analyzing what Arendt means by the ‘crisis’ in education, particularly in the American context. Then, by departing from the progressive interpretation, I re-examine the concept of ‘authority’ and its relation to ‘freedom’, based on ancient Greek and Roman understandings. Drawing on these analyses, Arendt asserts that teachers play a significant role because they prepare students to love and care for the world (amor mundi). Nevertheless, I argue that a teacher’s authority must also include attention to the private realm that continues impacting students’ learning at schools. Only in this way are students genuinely prepared for their responsibility as political agents in our society. Abstrak Pendidikan yang berpusat pada anak menjadi kian populer karena sangat menekankan kebebasan, sesuatu yang sedemikian dijunjung tinggi oleh masyarakat modern. Pendekatan progresif ini membuat otoritas guru lantas dipertanyakan, karena dianggap terlalu tradisional dan tidak relevan lagi. Artikel ini ingin menelusuri konsep ‘otoritas’ guru secara lebih mendalam melalui tulisan filsuf Hannah Arendt yang berjudul “The Crisis in Education”. Pertama, akan diselidiki makna ‘krisis’ dalam konteks Pendidikan di USA. Kedua, sedikit menyimpang dari tafsiran progresif dan dengan menimba inspirasi dari pemahaman Yunani dan Romawi kuno, artikel ini hendak menilai kembali makna ‘otoritas’ dan relasinya dengan ‘kebebasan’. Ketiga, berdasarkan analisis makna ‘otoritas’ tersebut, Arendt menegaskan bahwa guru memainkan peran krusial karena merekalah yang menyiapkan siswa untuk mencintai dan peduli kepada dunia sekitarnya (amor mundi). Penulis berpendapat lebih lanjut bahwa otoritas guru harus memperhatikan dimensi privat yang sangat memengaruhi proses pembelajaran siswa di sekolah. Hanya dengan demikian siswa dapat sungguh siap untuk kemudian memikul tanggung jawab sebagai aktor-aktor politis dalam masyarakat. Kata-kata kunci: otoritas, kebebasan, pendidikan-berpusat-pada-anak, dimensi privat, dimensi politis, amor mundi
Kesamaan Proporsional dan Ketidaksamaan Perlakuan dalam Teori Keadilan Aristoteles: Proportional Equality and Inequality of Treatment in Aristotle's Theory of Justice Yosef Keladu
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v19i1.347

Abstract

This article aims to explain proportional equality and the way to comprehend the inequality of treatment found in Aristotle’s theory of justice. One of the ethical principles in a fair distribution of goods is equality, which is commonly understood as equality of treatment and outcomes. Surpassing this common understanding, if not in reverse, Aristotle offers proportional equality, in the sense that a fair distribution of goods must take into consideration balance or suitability between the goods distributed and the quality or virtue of the recipients.This would mean that not everyone or only those who are worthy are entitled to obtain the goods being distributed. It seems that Aristotle’s theory of justice implies inequality of treatment according to excellence.In light of this, how should this unequal treatment be understood? Through qualitative analysis, this article suggests teleological reasoning, a model of thought that proceeds from the telos or goal and works backwards to Þ nd out the right means or suitable subjects to realize that end. The article, therefore, begins with the description of Aristotle’s theory of justice, proportional equality, and teleological reasoning. In the final section, I will consider the inequality of treatment by analyzing concrete cases of various subsidies provided by modernstates. The fnding shows that Aristotle’s theory of justice is significant in guaranteeing the realization of the goal of goods being distributed Key-words: justice, proportional equality, unequal treatment, subsidy, teleological reasoning, Aristotle Abstrak: Artikel ini bertujuan menjelaskan kesamaan proporsional dan cara memahami ketidaksamaan perlakuan yang muncul dalam teori keadilan Aristoteles. Salah satu prinsip etis pembagian barang yang adil adalah kesamaan, yang secara umum dipahami sebagai kesamaan perlakuan dan hasil. Berbeda dan bahkan melampaui pemahaman umum, Aristoteles menawarkan kesamaan proporsional, dalam arti bahwa pembagian barang yang adil harus mempertimbangkan keseimbangan atau kesesuaian antara barang yang dibagikan dengan kualitas atau keutamaan para penerima. Itu berarti, tidak semua orang atau hanya orang-orang yang dianggap layak berhak mendapatkan barang yang didistribusikan. Tampaknya, teori keadilan Aristoteles mengisyaratkan ketidaksamaan perlakuan atau membuat perbedaan berdasarkan keunggulan. Bagaimana kita memahami ketidaksamaan perlakuan ini? Lewat analisis kualitatif, artikel ini mengajukan pemikiran teleologis, sebuah model pemikiran yang bertolak dari tujuan dan bekerja ke belakang untuk menemukan sarana-sarana yang tepat atau subjek-subjek yang cocok untuk merealisasikan tujuan tersebut. Karena itu artikel akan dimulai dengan uraian tentang inti teori keadilan Aristoteles, kesamaan proporsional, dan pemikiran teleologis. Padabagian akhir, saya akan mempertimbangkan ketidaksamaan perlakuan dengan menganalisis kasus konkret berbagai model subsidi yang diberikan oleh negara-negara modern. Temuan menunjukkan bahwa teorikeadilan Aristoteles penting untuk menjamin terealisasinya tujuan barang-barang yang dibagikan. Kata-Kata Kunci: keadilan, kesamaan proporsional, ketidaksamaan perlakuan, pemikiran teleologis, subsidi, Aristoteles
Motif Inkarnasi dalam Soteriologi Yohanes Duns Scotus: The Motive behind the Incarnation in John Duns Scotus' Soteriology Bernard Rahadian
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v19i1.348

Abstract

John Duns Scotus offered an alternative perspective to respect on the mystery of salvation by examining the motive behind the incarnation. Scotus believed that salvation is Christocentric: Motive wise, God incarnate is not primarily anthropocentric, which focuses on the sinfulness of humankind, as traditionally understood in the Catholic Scholastic Theology and taught by Anselm of Canterbury and Thomas Aquinas, but as a total manifestation of His love. Scotus’ Christocentric approach to salvation is in line with his thought on freedom and charity. Scotus believed that God would still have become incarnate even if man had never sinned in the Þ rst place because by taking the form of man, God embodied His love in a total way to His beloved creations.Scotus’ Christocentric salvation is relational because God is involved with the whole creation in person. Consequently, the Cross is not merely the means of redemption, but as manifestation of God’s inÞ nite loveand His self-giving. Through this essay, the author aims to compare those two approaches and to show the unique character of John Duns Scotus’ soteriology. Abstrak Yohanes Duns Scotus menawarkan perspektif alternatif untuk merefleksikan misteri keselamatan dengan mengkaji motif di balik inkarnasi. Dalam refleksi tradisional Teologi Skolastik yang dikembangkan Anselmus Canterbury dan Thomas Aquinas, motif inkarnasi dipahami dalam perspektif antroposentris: keberdosaan manusia menjadi alasan inkarnasi. Bagi Scotus, inkarnasi dan keselamatan bersifat Kristosentris: inkarnasi merupakan manifestasi total kasih Allah. Pendekatan Kristosentris Scotus terkait keselamatan sejalan dengangagasannya tentang kebebasan dan kasih. Scotus percaya bahwa Allah. Kata kunci: Yohanes Duns Scotus, Anselmus Canterbury, Thomas Aquinas, soteriologi, inkarnasi, cinta kasih, kebebasan.
Wisdom is A Tree of Life (Prov. 3:18): A Conceptual Metaphor: Hikmat adalah Pohon Kehidupan (Ams. 3:18): Sebuah Metafora Konseptual Bernadus Dirgaprimawan
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v19i1.357

Abstract

This article examines a proverbial saying "Wisdom is a tree of life" (Prov. 3:18) through the lens of conceptual metaphor. Such a metaphor works by mapping two conceptual domains. The direction goes from the SOURCE domain (an ancient myth of a miraculous tree that whets human’s appetite for eternal youth) to the TARGET domain (a concept of wisdom in life). Conceptual metaphor helps us to understand that the tree metaphor in Prov. 3:18 instills in the readers’ mind a kind of reward powerful enough to motivate them to pursue wisdomand to persevere in that quest. The boon will arouse their desire so that they will do anything. This article also suggests that the tree metaphor in Proverbs receives its fuller sense through Prov. 11:30; 13:12; 15:4. Conceptual metaphor, thus, enables the reader to notice a holistic presentation of the book of Proverbs, which has been all too often considered as a compilation of various self-contained sayings. Abstrak Artikel ini menganalisis ungkapan "Hikmat adalah pohon kehidupan" (Ams. 3:18) dengan perspektif metafora konseptual. Metafora konseptual adalah sebuah pendekatan linguistik yang menitikberatkan pemetaan relasi yang terjadi antara dua domain yang berbeda. Pada ayat tersebut, akan dicermati arah pergerakan dari domain SUMBER (yakni, sebuah mitos kuno tentang pohon mujarab yang berkhasiat menghidupkan) menuju domain TARGET (yakni, konsep kebijaksanaan dalam hidup). Tidak seperti metafora stilistika yang berfokus pada aspek keindahan bahasa metaforis itu sendiri, metafora konseptual lebih berfokus pada proses pemahaman kognitif yang ada dalam benak si pembaca. Melalui kajian konseptual ini, akan ditunjukkan bagaimana metafora pohon kehidupan (Ams. 3:18) beserta aspek mitologisnya menstimulasi imajinasi para pembaca tentang adanya ganjaran yang amat menggiurkan ketika seseorang mengejar hikmat. Ia akan tergerak untuk melakukan segala daya upaya dalam meraih hikmat demi memperoleh ganjaran tersebut. Artikel ini juga bertujuan menunjukkan bahwa ketiga pemunculan lain dari metafora pohon ini (pada Ams. 11:30; 13:12; 15:4) rupanya berperan menyajikan gambaran yang lebih utuh mengenai pohon mujarab ini. Apabila dilihat lebih luas lagi, keempat ayat secara bersama-sama mengikat seluruh isi kitab Amsal. Metafora konseptual tentang pohon kehidupan ini menawarkan sebuah gagasan holistik terhadap pembacaan kitab Amsal. Kata-kata Kunci: metafora stilistika, metafora konseptual, hikmat, pohon kehidupan, ganjaran
Robertus Robet: Republikanisme. Filsafat Politik untuk Indonesia: (Tangerang: Marjin Kiri, 2022, vi + 182 hlm.) Franz Magnis-Suseno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v19i1.379

Abstract

-
“… dan Firman Tuhan Datang kepadaku” : Telaah atas Tradisi Kenabian Perjanjian Lama: (Yogyakarta: Kanisius, 2022, 244 hlm.) Martin Harun
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v19i1.389

Abstract

Ekonomi Ekologis Paus Fransiskus: Pope Francis' Ecological Economy Martin Harun; Stewart Braun
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v19i1.394

Abstract

This article outlines, first, Pope Francis’ economic vision which is both practical and radical. His views are practical in the sense that they are sensitive to social realities, not theoretical abstractions; and radical in the sense that it rejects traditional economic ideologies. Pope Francis advocates for economic practices that are oriented toward human goals: the common good, human dignity, equality and opportunity for all, meaningful work, ecological responsibility and solidarity. Second, Pope Francis’ various criticisms of neoliberal capitalism essentially challenge what is called ‘’economic rationality,’’ namely a way of thinking that is characteristic of capitalism, which reduces normative and evaluative thinking into measurable economic categories. Abstrak Artikel ini menguraikan, pertama, visi ekonomis Paus Fransiskus yang bersifat praktis dan radikal. Pandangannya praktis dalam arti bahwa peka terhadap realitas sosial, bukan abstraksi teoretis; dan radikal dalam arti bahwa ia menolak pelbagai ideologi ekonomi tradisional. Paus Fransiskus memperjuangkan praktik ekonomi yang berorientasi pada tujuan-tujuan kemanusiaan: kesejahteraan umum, martabat manusia, kesetaraan dan peluang bagi semua, pekerjaan yang bermakna, tanggung jawab ekologis, dan solidaritas. Kedua, pelbagai kritik Paus Fransiskus terhadap kapitalisme neoliberal pada intinya menantang apa yang disebut “rasionalitas ekonomis,” yakni cara berpikir yang karakteristik dalam paham kapitalisme, yang mereduksi pemikiran normatif dan evaluatif menjadi kategori-kategori ekonomis yang dapat diukur. Kata-kata Kunci: ekonomi, ekologi, Paus Fransiskus, ekonomi neoliberal, penilaian kuantitatif, penilaian etis, tujuan-tujuan kemanusiaan.
Sherel Jeevan Joseph Mendonsa: Alasdair MacIntyre’s Views and Biological Ethics: Exploring the Consistency: (Newcastle: Cambridge Scholars Publishing, 2022, xi+240 hlm.) Ostiane Lazrak
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v19i1.395

Abstract

F.X. Armada Riyanto, CM: Sejarah Misi Surabaya. Jilid I: 1810-1961. 100 Tahun CM Indonesia. Jilid II: 1962-2022.: (Jakarta: Obor, 2023, xvi + 816 hlm.; xvi + 473 hlm.) Eddy Kristiyanto
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v19i1.396

Abstract

Page 1 of 1 | Total Record : 10


Filter by Year

2023 2023


Filter By Issues
All Issue Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue