cover
Contact Name
Istikharoh
Contact Email
hazharialvan2193@gmail.com
Phone
+6285712383804
Journal Mail Official
hazharialvan2193@gmail.com
Editorial Address
Jl. Kemerdekaan Barat No 17 Kesugihan Kidul Kabupaten Cilacap Jawa Tengah
Location
Kab. cilacap,
Jawa tengah
INDONESIA
Jurnal Al-Wasith : Jurnal Studi Hukum Islam
ISSN : 25413368     EISSN : 25413376     DOI : https://doi.org/10.52802/wst.v7i2
Core Subject : Education,
Jurnal Al-Wasith: Jurnal Studi Hukum Islam dengan nomor terdaftar ISSN 2541-3376 (online), ISSN 2541-3368 (cetak) adalah jurnal yang berisi artikel tentang hukum islam yang dilakukan oleh dosen, peneliti dan yang berhubungan dengan pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi. Jurnal Al-Wasith: Jurnal Studi Hukum Islam adalah jurnal studi hukum islam yang diterbitkan olehFakultas Syariah, Institut Agama Islam Imam Gozali Cilacap. Secara kelembagaan, Berdasarkan Keputusan Menterian Agama Republik Indonesia 657 Tahun 2020, mulai 6 Oktober 2020 yang semula Jurnal Al-Wasith: Jurnal Studi Hukum Islam dikelola oleh Fakultas Syariah Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) karena perubahan bentuk menjadi Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali (UNUGHA) Cilacap, sehingga Fakultas Syariah berubah menjadi Fakultas Keagamaan Islam berikut dengan Program Studi yang berada di Fakultas Tarbiah dan Dakwah di Perguruan Tinggi IAIIG.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol. 2 No. 1 (2017)" : 6 Documents clear
HUKUM AKAD NIKAH KETIKA IHRAM (Study Komparasi Imam Syafi’i Dengan Imam Abu Hanifah) Mansyur Hidayat; Nasrulloh Nasrulloh
Jurnal Al-Wasith : Jurnal Studi Hukum Islam Vol. 2 No. 1 (2017)
Publisher : Fakultas Syariah, Prodi Ahwal As Syakhsiyah (AS) Universitas Nahdlatul Ulama Al-Ghazali (UNUGHA) Cilacap

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (798.69 KB) | DOI: 10.52802/wst.v2i1.77

Abstract

Pernikahan merupakan sunnatullah para nabi dan petunjuknya yang mereka itu merupakan tokoh-tokoh tauladan yang wajib diikuti jejaknya berlaku umum pada setiap makhluk Tuhan, baik manusia maupun makhluk hidup lainnya. Pernikahan menurut ajaran Islam adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya, Disamping itu pernikahan tidak akan lepas dari unsur mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ubudiyah (ibadah). Ikatan pernikahan adalah sebagai perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalizdan) dalam mentaati perintah Allah dengan bertujuan untuk membina dan membentuk terwujudnya hubungan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dalam kehidupan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan syari’at Islam. Tentunya pernikahan itu mempunyai aturan-aturan tersendiri yang memerlukan pengkajian secara seksama, sehingga timbul suatu permasalahan terhadap adanya larangan pernikahan yang dilakukan ketika sedang ihram, karena merujuk dari berbeda imam mazhab dalam menafsiri riwayat yang nantinya akan disebutkan dalam skripsi ini, dari sinilah maka muncul perbedaan pendapat yang berkenaan dengan akad nikah yang dilaksanakan pada saat ihram haji, kebanyakan ulama, fuqaha dan sahabat termasuk Imam Syafi’i dengan Imam Abu Hanifah yang berbeda dalam menghukumi akad nikah ketika ihram. Adapun akibat ataupun dampak dari perbedaan pendapat itu adalah terjadi perbedaan pendapat terhadap hukum pelaksanaan akad nikah ketika ihram khususnya pada kalangan golongan Syafi’iyah dengan golongan Hanafiyah, mereka semua cenderung pada pendapat Imam Madzhabnya masing-masing. Adapun sebagai solusi, perbedaan pendapat ini, janganlah dijadikan perdebatan, perselisihan ataupun fanatisme antar golongan. karena pada dasarnya perbedaan adalah merupakan rahmat dari Allah.
KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI PERSPEKTIF IMAM SYAFI’I Mochamad Toyib; Sudirwan Sudirwan
Jurnal Al-Wasith : Jurnal Studi Hukum Islam Vol. 2 No. 1 (2017)
Publisher : Fakultas Syariah, Prodi Ahwal As Syakhsiyah (AS) Universitas Nahdlatul Ulama Al-Ghazali (UNUGHA) Cilacap

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (679.388 KB)

Abstract

Hubungan pernikahan atau perkawinan yang sudah menjadi rahasia umum ketika banyak menimbulkan berbagai efek sebagai konsekuensi dari adanya ikatan yang kuat (mitsaqon gholidhon) atau akad baru yang terjalin, seperti terjalinnya ikatan kekeluargaan diantara keduanya, tentu membuahkan adanya hak baru, kewajiban-kewajiban baru yang sebelumnya tidak atau belum ada diantara pihak satu terhadap yang lainnya. Apalagi seseorang yang menghendaki nikah lebih dari satu isteri yang kita sebut poligami tersebut. Saat ini masih banyak kita jumpai isteri berada dalam satu sistem yang diskriminatif atau diperlakukan tidak adil oleh suaminya. Tentu ini menjadi suatu permasalahan yang perlu kita kaji lebih dalam, sebuah hal yang melenceng dengan prinsip keadilan itu sendiri dan hukum dasar Islam. Isteri dianggap sebagai korban ketidak-adilan dalam berbagai bentuk dan aspek kehidupan, yang kadang disebabkan legitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dekonstruksi melalui budaya dan syari’at. Masalah hak isteri telah muncul sebagai masalah yang sangat penting dalam masyarakat, alasannya jelas bahwa isteri terus menerus berada dibawah kekuasaan suami dalam semua masyarakat patriarki. Masalah keadilan yang secara eksplisit dipahami sebagai syarat “diperbolehkannya” poligami juga menjadi perdebatan pemahaman tersendiri, dan menjadi kegelisahan yang belum terjawab itu dan sampai hari ini masih menjadi pro-kontra untuk diperbincangkan sakralnya keadilan dalam poligami itu, kiranya penulis akan mengerucutkan mengkaji lebih dalam tentang konsepnya Imam Syafi’i yang merupakan salah satu madzhab terbanyak penganutnya di Negara Indonesia ini, dan bahkan pemikirannya lebih berpengaruh dalam pembentukan budaya Indonesia daripada pengaruh Qur’an dan Hadits. Meski keadilan yang dikatakan isteri-isterinya masih banyak pro-kontra dari berbagai kalangan, ini menjadi suatu kegelisahan penulis sebagai mahasiswa yang menggeluti hukum kekeluargaan (Ahwal al-Syakhshiyyah) untuk mengungkap dan mengorek lebih dalam kaitannya dengan duduk perkara kasus poligami tersebut. Apalagi kasus itu sudah jelas-jelas melenceng dari Undang-undang yang tersurat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 55 ayat (1) yang menjadi pegangan dan pedoman warga Indonesia pada umumnya.
DAMPAK HUKUM PERKAWINAN SIRI (TIDAK DICATATKAN) TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF Momon Umar Basri; Soiman Soiman
Jurnal Al-Wasith : Jurnal Studi Hukum Islam Vol. 2 No. 1 (2017)
Publisher : Fakultas Syariah, Prodi Ahwal As Syakhsiyah (AS) Universitas Nahdlatul Ulama Al-Ghazali (UNUGHA) Cilacap

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (422.513 KB)

Abstract

Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup masyarakat, dengan berbagai alasan pembenaran seperti halnya perkawinan siri yang dalam hal ini dimaksud adalah perkawinan yang tidak dicatatkan atau dalam hal lain menyebutnya perkawinan dibawah tangan dan ada juga yang menyebutnya perkawinan agama yaitu perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama tetapi tidak dicatatkan dikantor pegawai pencatat nikah (KUA). Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui perkawinan siri (tidak dicatatkan) menurut Hukum Positif dan Untuk mngetahui dampak hukumnya terhadap perlindungan anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan siri.Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian dengan cara menelaah bahan-bahan pustaka, baik berupa buku, kitab-kitab fiqih, ensiklopedi, jurnal, majalah, dan sumber lain yang relevan dengan topik yang akan dikaji oleh penulis. Menurut Hukum Islam, apapun bentuknya perkawinan, sepanjang telah memenuhi syarat dan rukunnya maka perkawinan itu dianggap sah, sementara menurut perkawinan indonesia selain sah menurut agama dan menurut kepercayaanya, suatu perkawinan memiliki kekuatan hukum apabila dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu di KUA bagi yang beragama Islam. Perkawinan yang dilangsungkan secara Siri (tidak dicatatkan) mempunyai dampak buruk bagi Anak kalau ditijau dari segi Hukum Positif yaitu status yang diakui oleh negara hanyalah anak yang tidak mempunyai bapak atau anak hasil dari luar perkawinan dan tidak mempunyai garis nasab kepada ayahnya. Seyogyanya pemerintah segera mengamandemen semua produk Hukum Perkawinan disesuaikan dengan kondisi yang riil di Masyarakat yang melindungi semua golongan dan kepentinga.
PERCERAIAN AKIBAT GANGGUAN PENYAKIT JIWA(Studi Kasus Tentang Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Cilacap Nomor: 0104/Pdt.G/2008/PA.Clp) Muhamad Banu Hasan Wahabi
Jurnal Al-Wasith : Jurnal Studi Hukum Islam Vol. 2 No. 1 (2017)
Publisher : Fakultas Syariah, Prodi Ahwal As Syakhsiyah (AS) Universitas Nahdlatul Ulama Al-Ghazali (UNUGHA) Cilacap

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (650.814 KB)

Abstract

Perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan merupakan sunnah Rasulullah SAW. Yakni suatu perilaku yang dipraktekan beliau sebagai teladan bagi umat beliau, disamping merupakan tuntutan dan kebutuhan manusiawi. Dalam menikah, hendaklah terkandung maksud untuk mengikuti jejak Rasulullah SAW, Untuk memperbanyak umat/ pengikut beliau agar mempunyai keturunan yang shalih, Tabarrukan dengan do’a anak sholeh, untuk menjaga kemaluan dan kehormatan dari perbuatan tercela, untuk menjaga mata dari pandangan terlarang dan untuk menjaga keberagaman secara umum. Keluarga bahagia dan kekal merupakan tujuan dari perkawinan yang ideal, yang didambakan oleh setiap insan yang akan dan telah memenuhi sebuah jalan jenjang pernikahan. Namun telah disebut diatas, tujuan tersebut tidaklah mudah begitu saja untuk dicapai. Terkadang kehidupan sepasang suami istri mengalami suasana goncang, keadaan tidak setabil atau bahkan suasana goncang itu tidak dapat dielakan sehingga menyebabkan perceraian. Perceraian adalah salah satu bentuk putusnya suatu perkawinan yang hanya dapat terjadi atau dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama yang diatur ileh Undang-Undang Negara Republik Indonesia.
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANYUMAS NOMOR: 262/Pdt. G/2008/PA. Bms TENTANG HAK ASUH ANAK Muhammad Ma’arif
Jurnal Al-Wasith : Jurnal Studi Hukum Islam Vol. 2 No. 1 (2017)
Publisher : Fakultas Syariah, Prodi Ahwal As Syakhsiyah (AS) Universitas Nahdlatul Ulama Al-Ghazali (UNUGHA) Cilacap

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ketika terjadi perceraian, salah satu permasalahan yang perlu diselesaikan adalah hadanah atau hak asuh anak. Menurut KHI Pasal 105 huruf a, anak yang berumur di bawah 12 tahun hak asuhnya diberikan kepada ibunya. Namun Majelis Hakim Pengadilan Agama Banyumas dalam Putusan perkara Nomor: 262/Pdt. G/2008/PA. Bms, menetapkan hak diberikan kepada ayah dari si anak yang masih berumur 8 tahun. Permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah penerapan hak pengasuhan anak (hadanah) dalam Hukum Islam di dalam Putusan perkara Nomor: 262/Pdt. G/2008/PA. Bms, serta bagaimana pertimbangan hakim dan dasar hukum apa yang digunakan untuk memutus Gugatan Hak Asuh Anak dalam perkara Nomor: 262/Pdt. G/2008/PA. Bms. Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi kasus. Data-data yang ada diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi. Setelah itu, data dianalisis dengan menggunakan pendekatan content analysis. Penerapan Hukum Islam dalam Perkara hadanah yang digunakann oleh Majelis Hakim dalam Putusan perkara Nomor: 262/Pdt. G/2008/PA. Bms sesuai dengan firman Allah dalam Al - Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233. Disamping itu, dalil-dalil yang digunakan Penggugat dalam gugatannya tidak terbukti. Penggugat juga telah terbukti telah melanggar hukum dalam QS. Al - Baqarah ayat 233.
PANDANGAN HAKIM TERHADAP DISPENSASI NIKAH DAN RELEVANSINYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK Muslihun Muslihun; Misbah Khusurur
Jurnal Al-Wasith : Jurnal Studi Hukum Islam Vol. 2 No. 1 (2017)
Publisher : Fakultas Syariah, Prodi Ahwal As Syakhsiyah (AS) Universitas Nahdlatul Ulama Al-Ghazali (UNUGHA) Cilacap

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (618.743 KB)

Abstract

Pernikahan merupakan suatu alat dalam melangsungkan kehidupan umat manusia, melalui peraturan yang menjadikan terjaganya suatu keturunan. Peraturan yang ada mengenai pernikahan, khususnya untuk usia menikah yang telah ditetapkan undang-undang, pernikahan yang dilakukan oleh anak yang dibawah umur membutuhkan adanya dispensasi kepada pihak yang ditunjuk oleh undang-undang. Disamping adanya dispensasi anak juga memiliki hak, yang mana dengan adanya dispensasi hak anak terbengkalai atau tertindas. Dengan adanya kasus tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti apakah dispensasi nikah itu relevan dengan undang-undang atau malah sebaliknya. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka maksud dan tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutusan dispensasi kepada pemohon dan apakah pemberian dispensasi tersebut relevan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Penelitian ini menggunakan metode field research atau penelitian lapangan, untuk mendapatkan data penulis melakukan wawancara dengan yang bersangkutan seperti para hakim yang ada di Pengadilan Agama Cilacap, selain itu penulis juga menggunakan data lain seperti file-file lain serta buku-buku yang mendorong dalam kesuksesan dalam menggarap penelitian ini. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dasar hakim dalam memutuskan perkara dispensasi nikah adalah: (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa dalam pasal 7 ayat (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita, selain undang-undang hakim juga melihat bagaimana faktor-faktor yang melatar belakangi permohonan dispensasi serta kondisi fisik anak yang meminta dispensasi, apakah layak untuk menikah atau belum. Dan dispensasi nikah relevan dengan UU. Perlindungan Anak.

Page 1 of 1 | Total Record : 6