cover
Contact Name
Fachrudin Sembiring
Contact Email
fachrudin.sembiring@atmajaya.ac.id
Phone
+628970100079
Journal Mail Official
natalia.yp@atmajaya.ac.id
Editorial Address
Jl. Jenderal Sudirman, RT.5/RW.4, Karet Semanggi, Kecamatan Setiabudi, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12930
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Gloria Justitia
ISSN : 28094514     EISSN : 28277821     DOI : https://doi.org/10.20525/ijrbs.v11i1.xxx
Core Subject : Social,
Jurnal Gloria Justitia adalah jurnal akademik untuk publikasi hasil pemikiran konseptual maupun hasil penelitian di bidang hukum dari akademisi, praktisi maupun mahasiswa hukum. Jurnal ini diterbitkan setahun dua kali Edisi Mei dan November oleh Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 36 Documents
MENTERI KESEHATAN SEBAGAI LEADING SECTOR DALAM PENANGANAN WABAH COVID-19 DITINJAU DARI TEORI KEWENANGAN Defanny Fitri Anatasia
Gloria Justitia Vol 1 No 1 (2021): JURNAL GLORIA JUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/gloriajustitia.v1i1.3028

Abstract

Based on the Government Regulation of the of Indonesia Number 21 of 2020, Large-Scale Social Restrictions (PSBB). The Ministry of Health is authorized to make technical regulations. Minister of Health made Minister of Health Regulation Number 9 of 2020, PSBB. Seems like the synergy between the Ministries hasn’t been implemented properly, ex. the Ministry of Law and Human Rights published Regulation of The Ministry of Law and Human Rights Number 10 of 2020 and The Ministry of Transportation with their Regulation Minister of Transportation Number 18 of 2020 changed to Regulation of Minister of Transportation 41 of 2020. The regulations contradict with the Minister of Health a quo regulation. Which regulation should be used? Who’s responsible for it? It’s necessary to review synchronization between Ministry regulations. This research used Normative Juridical, Literature Study, Interview, and Analysis Method. A brief conclusion if there’s a lawsuit against the a quo regulation then the responsibility lies with the Ministry of Health. Disharmonization between ministerial regulations can be resolved by Judicial Review, Mediation by the Ministry of Law and Human Rights, and applying the principles of Lex Superior Derogat Legi Inferiori, Lex Specialis Derogat Legi Generalis, and Lex Posterior Derogat Legi Priori Principles.
ANALISIS YURIDIS TERHADAP BELUM DIRATIFIKASINYA KONVENSI 1951 TENTANG STATUS PENGUNGSI OLEH INDONESIA Natasya Fahira
Gloria Justitia Vol 1 No 1 (2021): JURNAL GLORIA JUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/gloriajustitia.v1i1.3029

Abstract

Abstract As one of the countries that has not ratified the 1951 Convention Relating to the Status of Refugees and its 1967 Protocol, Indonesia does not yet have a special system and policy for dealing with refugees. The existence of refugees in Indonesia is generally long-term before refugees are then placed back in a third country (resettlement). The lack of regulations pertaining to what refugees can do while residing in Indonesia clearly narrows the space for refugees to move. The limited space for movement makes it difficult for refugees to access their needs, especially in the aspects of livelihood, health, and education. For this reason, this paper can be seen as a first step to examine the reasons why the 1951 Convention has not been ratified by Indonesia, as an effort to handle and protect refugees from abroad. This research is conducted using normative-juridical method. Keywords: refugee, 1951 convention, ratification, Indonesia. ______________________________________________________________________ Abstrak Sebagai salah satu negara yang tidak meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi beserta Protokol 1967, Indonesia belum memiliki sistem dan kebijakan khusus untuk menangani pengungsi. Keberadaan pengungsi di Indonesia pada umumnya bersifat jangka panjang, sebelum kemudian pengungsi ditempatkan kembali ke negara ketiga (resettlement). Minimnya peraturan mengenai hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh pengungsi selama berada di Indonesia jelas mempersempit ruang gerak pengungsi. Keterbatasan ruang gerak tersebut mengakibatkan pengungsi kesulitan untuk mengakses kebutuhan-kebutuhannya, terutama dalam aspek penghidupan, kesehatan, dan pendidikan. Untuk itu, tulisan ini dapat dipandang sebagai langkah awal untuk mengkaji alasan belum diratifikasinya Konvensi 1951 oleh Indonesia, sebagai upaya penanganan dan perlindungan pengungsi dari luar negeri. Kata kunci: pengungsi, konvensi 1951, ratifikasi, Indonesia.
PERWUJUDAN HAK ATAS KESEHATAN DAN PRINSIP NON-DISKRIMINASI MELALUI VAKSINASI KELOMPOK PENGUNGSI & PENCARI SUAKA SEBAGAI KEWAJIBAN HUKUM NEGARA-NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL Angga Reynady Hermawan Putra
Gloria Justitia Vol 1 No 1 (2021): JURNAL GLORIA JUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/gloriajustitia.v1i1.3030

Abstract

Dalam penanganan pandemi COVID-19, negara-negara di seluruh dunia telah sampai pada tahap vaksinasi kepada setiap penduduk di seluruh dunia. pelaksanaan vaksinasi merupakan salah satu pelaksanaan dan perlindungan hak atas kesehatan yang juga merupakan hak asasi manusia yang dimiliki setiap individu di seluruh dunia. Namun dalam pelaksanaan sejauh ini, belum tercapai inklusivitas secara menyeluruh dan terjadinya pengesampingan prioritas dengan berbagai alasan yang dimaksudkan kepada kelompok pengungsi dan pencari suaka dalam pemberian vaksinasi. Penelitian kali ini merumuskan masalah yaitu bagaimana hukum internasional mengatur kewajiban vaksinasi sebagai hak atas kesehatan bagi pengungsi dan pencari suaka sebagai kewajiban hukum? Lalu untuk rumusan masalah kedua, Penulis merumuskan, bagaimana penerapan prinsip non-diskriminasi berlaku dalam kasus ini? Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif yang berdasarkan hasil penelitian penulis diketahui bahwa negara memiliki kewajiban hukum melaksanakan vaksinasi terhadap pengungsi dan pencari suaka sebagai kewajiban hukum pasal 12 ICESCR mengenai hak atas kesehatan bagi setiap manusia. Lalu Penulis merumuskan bahwa pengungsi dan pencari suaka juga merupakan manusia yang memiliki HAM yang sama dengan manusia lain. Sehingga, adanya perbedaan status apapun tidak bisa menjadi alasan dalam pengesampingan pelaksanaan vaksinasi dan hak atas kesehatan harus terpenuhi sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip non-diskriminatif.
Pengaturan dan Bentuk Pertanggungjawaban Terkait dengan Penyelenggaraan Kegiatan Wisata Luar Angkasa (Space Travel) Berdasarkan International Space Law Maulina Inaya Yuniar
Gloria Justitia Vol 1 No 1 (2021): JURNAL GLORIA JUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/gloriajustitia.v1i1.3031

Abstract

Beralihnya Research and Development (R&D) untuk kepentingan militer menjadi kepentingan ekonomis menyebabkan kegiatan keruangangkasaan berubah menjadi aplikatif kepentingan ekonomis. Kegiatan komersial ini kemudian mendorong negara-negara space powers untuk mengembangkan kegiatan keruangangkasaan kepada pihak swasta. Pada akhirnya muncul suatu konsep “space travel” yaitu kegiatan komersial penyediaan sarana berwisata ke ruang angkasa dengan didampingi oleh astronot atau orang yang ahli di bidang astronomi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Yuridis-Normatif yaitu dengan studi kepustakaan melalui peraturan, konvensi, maupun perjanjian internasional. Sumber data yang diperoleh adalah sumber data sekunder yang diperoleh baik dari buku, jurnal, hasil analisis dan peraturan perundangan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa: (i) Pengaturan mengenai kegiatan space travel diatur dalam Space Treaty 1967, Liability Convention 1972, dan Registration Agreements 1975. (ii) Mengenai mekanisme pertanggungjawaban, pihak yang menjadi penanggung jawab adalah negara peluncur (negara yang meluncurkan, negara yang ikut serta dalam peluncuran, negara yang membiayai peluncuran, dan negara yang menjadi tempat peluncuran). (iii) Pertanggungjawaban dapat diberikan sesuai dengan memberikan kompensasi yang didasarkan pada prinsip absolute liability atau prinsipliability based on fault.
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH PUSAT DALAM MENJAMIN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA WARGA YOGYAKARTA ATAS PEMBERLAKUAN INSTRUKSI WAKIL KEPALA DAERAH NOMOR K.898/I/A/75 TENTANG PENYERAGAMAN POLICY PEMBERIAN HAK ATAS TANAH KEPADA SEORANG WNI NON PRIBUMI DI YOGYAK Muhammad Naufal
Gloria Justitia Vol 1 No 1 (2021): JURNAL GLORIA JUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/gloriajustitia.v1i1.3034

Abstract

Dalam sistem Otonomi Daerah Indonesia, dikenal adanya sebuah daerah Istimewa yaitu salah satunya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam mengurus jalannya pemerintahan daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai beberapa keistimewaan, salah satunya adalah mengurus pertanahan nya sendiri. Dalam perjalanan mengurus urusan pertanahannya sendiri, dikeluarkan Instruksi Wakil Kepala Daerah Nomor K.898/I/A/75 Tentang Penyeragaman Policy Pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi atau yang disebut Instruksi 75. Pemberlakuan tersebut akhirnya menyebabkan warga Yogyakarta etnis tionghoa tidak dapat memiliki tanah dengan status hak milik karena dianggap bukan merupakan WNI pribumi. Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode normatif yuridis. Yang berarti pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Instruksi 75, sehingga ditemukan status keabsahan instruksi 75 dan terkait kenyataan empiris yang terjadi, Karena pemberlakuan diskriminatif tersebut, telah dilakukan berbagai upaya hukum namun tidak menghasilkan perubahan substansial, ditambah sebuah fakta bahwa Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tidak memiliki itikad baik dalam menyelesaikan permasalahan, karena itu berdasarkan ketentuan UUD NRI 1945 , maka yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan permasalahan Instruksi 75 adalah Pemerintah Pusat. Dalam menyelesaikan permasalahan instruksi 75, Pemerintah Pusat yang dikepalai oleh Presiden dapat mencabut Instruksi 75 dengan mengeluarkan sebuah Keputusan Presiden (Keppres) dan membentuk sebuah Badan Legislasi Nasional yang bertugas untuk mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan sampai ketingkat paling bawah. Kata Kunci: Instruksi, Hak Asasi Manusia, Pemerintah Pusat.
PELAKSANAAN TINDAKAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR 12 TAHUN PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL Edina Megawati Siregar
Gloria Justitia Vol 1 No 1 (2021): JURNAL GLORIA JUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/gloriajustitia.v1i1.3039

Abstract

Pada saat ini, perbuatan tindak pidana tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa melainkan dapat dilakukan juga oleh anak-anak yang umurnya sudah sesuai peraturan atau masih di bawah umur. Pada penelitian ini, rumusan masalah yang penulis buat yaitu bagaimana pelaksanaan tindakan terhadap anak berusia di bawah 12 tahun yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah yuridis empiris dengan menggunakan pengumpulan data primer dan data sekunder dan data yang diperoleh dilakukan analisis secara kualitatif. Terdapat perbedaan dalam penanganan yang diberikan terhadap anak-anak, antara anak yang belum berusia 12 tahun dan anak berusia 12-18 tahun. Terhadap anak sebagai pelaku yang berusia di bawah 12 tahun tidak dapat diberikan hukuman yang besifat pidana karena mempunyai tujuan agar dapat menciptakan kesejahteran bagi anak. Maka dari itu, anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual di bawah 12 tahun tidak dilakukan penahanan. Karena usia yang masih di bawah umur, maka BAPAS melakukan penelitian masyarakat sebagai penentu tindakan yang akan diberikan terhadap anak. Dalam hal pelaksanaan yang diberikan masih terdapat hal yang harus diperbaiki karena tidak sesuai dengan peraturan yang digunakan, khusunya peran pengawasan oleh Pembimbing Kemasyarakatan pada tahap penyidikan sehingga anak tetap mendapatkan hak-haknya dengan sesuai.
PENGARUH AMBANG BATAS PARLEMEN TERHADAP KEDUDUKAN PARTAI OPOSISI SERTA KAITANNYA DENGAN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIL DI INDONESIA Bernardinus Putra Benartin; Paulus Wisnu Yudoprakoso
Gloria Justitia Vol 1 No 2 (2021): JURNAL GLORIA JUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/gloriajustitia.v1i2.3064

Abstract

With the amendment to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, Indonesia adopts a presidential system of government, this is reinforced by the existence of articles that strengthen the president as head of state and head of government. Therefore, the government or in this case the president has a bigger power room. To realize an effective democratic system, it is necessary to have government opposition in parliament as a form of people's representation, which is necessary to provide criticism, alternative policies and control of power. However, to achieve proportionality between the government coalition parties, apart from improving the internal parties involved in the general elections, the quality of the general election system contained in the law must also be improved. There must a significant increase in the percentage threshold that eliminates the votes of small and medium-sized parties that eliminate valid votes from the general election, thereby reducing the probability of realizing the proportionality of parties with coalitions of government and opposition parties in parliament.
PEMALSUAN SURAT KETERANGAN HASIL TES COVID-19 OLEH DOKTER DIPANDANG DARI HUKUM PIDANA DAN KODE ETIK KEDOKTERAN Maya Anissa Yambo; Nugroho Adipradana
Gloria Justitia Vol 1 No 2 (2021): JURNAL GLORIA JUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/gloriajustitia.v1i2.3065

Abstract

The Covid-19 global pandemic has been around for almost two years. One of the most prominent legal problems related to the pandemic is the forgery of Covid-19 test result certificates. A certificate indicating that a person is tested negative for Covid-19 is essential for many occasions, for instance, traveling. Doctors and health workers are the parties that are heavily involved in the process of testing and issuing the result, thus giving them an opportunity to commit such crime. In this article, there will be an explanation regarding the regulations and sanctions based on Indonesian criminal law and KODEKI (Indonesian Medical Code of Ethics) for doctors who commit the crime of counterfeiting Covid-19 test result certificates. The research is conducted using normative research methods where secondary data is the main resource. From this research, we can conclude that the regulations and criminal sanctions for the crime mentioned above can be found in Article 267 of the Criminal Code and Article 93 of the Health Quarantine Law. Meanwhile, based on KODEKI, a doctor who counterfeited Covid-19 results is violating Article 1, 7, and 12 KODEKI. Such Actions are classified as both ethical and legal violation.
PENGGUNAAN ARBITRASE NASIONAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI UMUM Reynaldo Murat; Yanti Fristikawati
Gloria Justitia Vol 1 No 2 (2021): JURNAL GLORIA JUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/gloriajustitia.v1i2.3066

Abstract

Insurance is a coverage where a party act as the Insurer while the other party act as the Insured and proven by the agreement which is called by the Policy. Since 2011, insurance industry was being supervised by the Indonesia Financial Services Authority (OJK). Therefore, in carrying out its business activities should comply with the OJK regulations, including to determine the dispute clause in the Policy. The Alternative Dispute Resolutions for the Financial Services Sector has been established by OJK at the end of 2020 which provide an opportunity to the disputing party to solve their dispute outside the court. Indonesia has BANI Arbitration Center (BANI) which could be used as an alternative forum to settle the general insurance disputes in Indonesia, however it is contrary with regulation which has been issued by the OJK.
ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN ASET PERSONAL GUARANTEE DALAM MELUNASI UTANG PAILIT Putri Avi Avivah; Eddie Imanuel Doloksaribu
Gloria Justitia Vol 1 No 2 (2021): JURNAL GLORIA JUSTITIA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/gloriajustitia.v1i2.3067

Abstract

In bankruptcy, the use of personal guarantee assets is something that can be done in bankruptcy debt if the assets belonging to the main debtor cannot meet repayments, in bankruptcy, there are 3 types of credit, namely preferred, separatist and concurrent creditors, the three creditors are creditors who have rights and obligations. their respective positions, such as preferred creditors who have the priority right to have their debts repaid, then separatist creditors who have collateral to pay their debts, and separatist creditors who do not have collateral rights or the right to loans. If the debtor's payment to the creditor exceeds the limit after the assets of the main debtor have been auctioned, therefore the responsibility of the Personal Guarantee is to provide the assets in paying off the debt of the main debtor. Personal guarantee assets are guarantees that can be used to pay off their debts because if the assets belonging to the main debtor cannot be sufficient to pay the total debt, the personal guarantee will be responsible for settlement, the assets belonging to the personal guarantee can be directly auctioned, the payment of the bankruptcy debt is calculated by method “Pro Rata Pari Passu Parte”. The Personal Guarantee which guarantees its assets to creditors can also be bankrupt if the main debtor is unable to pay its debts.

Page 1 of 4 | Total Record : 36