cover
Contact Name
Fikri Mahmud
Contact Email
jurnal.alqudwah@uin-suska.ac.id
Phone
+6281371668324
Journal Mail Official
jurnal.alqudwah@uin-suska.ac.id
Editorial Address
Gedung Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Jl. H.R. Soebrantas No. 155 KM 18, Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293 PO.Box. 1004 Telp. 0761-562051 Fax. 0761-562051
Location
Kab. kampar,
Riau
INDONESIA
Al-Qudwah: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Hadis
Core Subject : Religion, Social,
Al-Qudwah is a journal published by the Quran and Tafsir Science Study Program and the Hadith Science Study Program, Faculty of Ushuluddin, State Islamic University Sultan Syarif Kasim Riau. The journal Al-Qudwah is published twice a year in January-June and July-December. Al-Qudwah is a journal that contains articles and scientific works about Quranic and Hadith Studies, Contemporary Quranic Exegesis Studies, and Quranic Manuscripts Studies.
Articles 14 Documents
Khitan pada Wanita dalam Tinjauan Hadis dan Medis Gusnanda Gusnanda
Al-Qudwah Vol 1, No 1 (2023): January - June
Publisher : UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/alqudwah.v1i1.22855

Abstract

  This article purpose to resolve the controversy about female circumcision from the perspektive of hadith and health science. The problem is religius order about circumcision for women is clearly contained in the hadith of the Prophet SAW. This hadith is believed have a goodness for women. But this religious argument contradicts the world view of health. Circumcision is actually considered a practice detrimental to women's groups. Reinforcer the perspektive The Indonesian Ministry of Health issued a circular letter concerning the Prohibition of Medicalization of Female Circumcision with number: HK.00.07.1.3.1047a. on April 20, 2006. This study is literature research. To analyse the issue, this study uses the paradigm of fiqh al-hadis and modern health theory regarding female circumcision. The conclusion in this research is the Islamic recommendation regarding female circumcision and the disclaimer of the Indonesian Ministry of Health are not fundamentally contradictory. The hadiths advocating circumcision are not absolute. In Islamic fiqh, it is also regulated how the procedure for female circumcision. For example, the right time to do circumcision and the application process so that. This provision was formulated with the aim of safeguarding women's rights in accordance with religious goals. Although this provision actually still originates from the product of patriarchal fiqh and cannot be separated from the developing cultural construction. However, this provision is well established and must be universally understood. Meanwhile, the circular letter from the Ministry of Health is not absolute. This policy must be understood in a certain context because it departs from cases that occurred in the field. The important point is that circumcision for women must be carried out in accordance with the correct methods and procedures, by not spending the entire labium minora on the female genitalia.  Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk menyelesaikan kontroversi masalah khitan bagi perempuan dalam perspektif hadis dan medis. Letak persoalannya yakni: perintah khitan bagi perempuan termuat jelas dalam hadis Rasul SAW. Anjuran hadis tersebut diyakini mengandung sejumlah kebaikan bagi perempuan. Tetapi dalil agama ini bertolak belakang dengan pandangan dunia kesehatan modern. Khitan justru dianggap sebagai praktik merugikan kelompok perempuan. Mempertegas masalah itu Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan surat edaran tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan dengan nomor: HK.00.07.1.3.1047a. pada 20 April 2006. Studi ini merupakan library research (kajian kepustakaan). Dalam menganalisis persoalan, studi ini menggunakan paradigma fiqh al-hadis dan teori kesehatan modern menyangkut sunat bagi perempuan. Kajian dalam tulisan ini menyimpulkan bahwa anjuran Islam tentang khitan bagi perempuan dan sikap Kementerian Kesehatan RI tidaklah bertentangan secara hakiki. Hadis-hadis yang menganjurkan perempuan berkhitan tidaklah bersifat mutlak. Dalam fiqih Islam juga diatur bagaimana tata cara khitan bagi perempuan. Misalnya, waktu yang tepat melakukan khitan dan proses aplikasinya. Ketentuan ini dirumuskan bertujuan untuk menjaga hak-hak perempuan sesuai dengan tujuan agama. Meskipun ketentuan ini sesungguhnya masih berasal dari produk fiqih patriarki dan tidak bisa dilepaskan dari kunstruksi budaya yang berkembang. Akan tetapi, ketentuan ini sudah mapan dan harus dipahami secara universal. Sedangkan surat edaran Kementerian Kesehatan juga bersifat tidak mutlak. Kebijakan ini mesti dipahami dengan konteks tertentu karena beranjak dari kasus-kasus yang terjadi di lapangan. Poin pentingnya bahwa pelaksanaan khitan bagi perempuan harus dilakukan sesuai dengan metode dan prosedur yang benar, dengan tidak menghabiskan seluruh labium minora pada alat kelamin wanita.
Kontestasi Penafsiran Ayat Teologi di Ruang Digital: Analisis Komparatif Tafsir Audiovisual Surat Al-Baqarah ayat 115 Oleh Musthafa Umar dan Firanda Andirja di Kanal YouTube Pramudia Ananta; Uliyatul Masruro; Safiratus Sholihah; Khobiru Amru
Al-Qudwah Vol 1, No 2 (2023): July - December
Publisher : UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/alqudwah.v1i2.26685

Abstract

The interpretation of theological verses in the context of digital space has become an interesting phenomenon to study, considering its challenges and risks, such as the potential for inaccurate or extreme interpretations to be disseminated. Therefore, it is crucial to remain critical and verify the sources of information used in the interpretation of theological verses. This research aims to conduct a comparative analysis of the audiovisual interpretation of Surah al-Baqarah verse 115 by Musthafa Umar and Firanda Andirja on YouTube channels. This verse holds significant relevance in Islamic teachings, particularly concerning the principle of Tawhid (the oneness of God) and the change of the Qiblah direction in prayer worship. The research uses a descriptive qualitative method with a comparative analysis approach. The focus of this research is on the differences and similarities in the approaches and explanations between Musthafa Umar and Firanda Andirja in interpreting the theological verse. Data sources were obtained from their respective audiovisual interpretations delivered through the YouTube channels "kajian Tafsir Al-Ma‘rifah-Ustadz Musthafa Umar" and "Firanda Andirja." The research results indicate significant differences in their interpretations. Musthafa Umar emphasizes the social aspects of the Quran, while Firanda Andirja focuses more on the concepts of prayer (salat) and the Qiblah direction. However, both interpretations encourage flexibility in the implementation of prayer and understanding of the verse. In terms of interpretative sources, Firanda Andirja relies on the Quran and Sunnah, while Musthafa Umar combines the Quran, Sunnah, and the reasoning of ijtihad. Firanda Andirja's interpretive methods include tahlili, muqaran, and al-naqli, while Musthafa Umar uses tahlili, maudhu'i, and al-‘aqli methods. Firanda Andirja's interpretation involves theological aspects, while Musthafa Umar combines theology and linguistics. Abstrak: Penafsiran ayat teologi dalam konteks ruang digital menjadi fenomena menarik untuk dikaji, mengingat penafsirannya memiliki tantangan dan risiko, seperti penyebaran penafsiran yang tidak akurat atau ekstrem. Oleh karena itu, penting untuk tetap kritis dan memverifikasi sumber informasi yang digunakan dalam penafsiran ayat-ayat teologi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis komparatif terhadap tafsir audiovisual Surah al-Baqarah ayat115 oleh Musthafa Umar dan Firanda Andirja di kanal YouTube. Ayat ini memiliki relevansi signifikan dalam ajaran Islam, terutama terkait dengan prinsip tauhid (keesaan Tuhan) dan perubahan arah kiblat dalam ibadah salat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan analisis komparatif. Fokus penelitian ini pada perbedaan dan persamaan terhadap pendekatan dan penjelasan antara Musthafa Umar dengan Firanda Andirja dalam menafsirkan ayat teologi tersebut. Sumber data diperoleh dari tafsir audiovisual keduanya yang disampaikan melalui kanal YouTube "kajian Tafsir Al-Ma‘rifah-Ustadz Musthafa Umar" dan "Firanda Andirja". Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam penafsiran keduanya, yaitu Musthafa Umar lebih menekankan aspek sosial Al-Qur'an, sementara Firanda Andirja lebih memfokuskan pada konsep salat dan arah kiblat. Namun, dalam perbedaan keduanya sama-sama mendorong fleksibilitas dalam pelaksanaan salat dan pemahaman ayat tersebut. Dalam konteks sumber penafsiran, Firanda Andirja mengandalkan Al-Qur'an dan Sunnah, sedangkan Musthafa Umar memadukan Al-Qur'an, Sunnah, dan nalar ijtihad. Metode penafsiran Firanda Andirja mencakup tahlili, muqaran, dan al-naqli, sedangkan Musthafa Umar menggunakan metode tahlili, maudhu'i, dan al-‘aqli. Corak penafsiran Firanda Andirja melibatkan aspek teologi, sementara Musthafa Umar menggabungkan teologi dan lughawi.
Mitologi Sedekah: Penerapan Semiotika Roland Barthes pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 271 Ilham Akbar Habibie
Al-Qudwah Vol 1, No 1 (2023): January - June
Publisher : UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/alqudwah.v1i1.23143

Abstract

This research discusses the meaning of charity in interpreting Surah Al-Baqarah [2]: 271 using Roland Barthes' semiotic approach. The article focuses on revealing both denotative and connotative meanings, as well as discussing the signs found in Surah Al-Baqarah [2]: 271. The method employed in this research is qualitative, utilizing primary and secondary source analysis. Primary sources include classical and contemporary interpretations and Roland Barthes' book titled "Mythologies." Classical interpretations refer to Al-Maraghi's, Marah Labid's, and Jalalain's interpretations, while contemporary interpretations refer to Al-Mishbah's interpretation discussing Surah Al-Baqarah [2]: 271. Secondary data include articles and books discussing the concept of charity, which are works of others but are still relevant to the interpretation of charity. The study concludes that there are denotative and connotative meanings in Surah Al-Baqarah [2]: 271 related to charity. The denotative meaning of Surah Al-Baqarah [2]: 271 is giving wealth to others based on alleviating the burden of those in need with the intention of drawing closer to Allah. Meanwhile, its connotative meaning includes doing good deeds, speaking kind words, uttering greetings, commanding good deeds, and forbidding wrongdoing. The mythological meaning of Surah Al-Baqarah [2]: 271 is derived from the most dominant connotative meaning, which encompasses the prohibition of wrongdoing to oneself and others. The significance of the meaning of Surah Al-Baqarah [2]: 271 in the contemporary context is manifested in organizations such as the United Nations (UN). The UN is an organization tasked with maintaining communication with other countries, preserving national security stability, ensuring economic stability, and safeguarding human rights stability.  Abstrak: Penelitian ini membahas makna sedekah dalam penafsiran Q.S. Al-Baqarah [2]: 271 dengan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes. Artikel ini berfokus untuk mengungkapkan makna denotatif dan konotatif, serta mendiskusikan tentang tanda yang terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 271. Metode dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan analisis sumber primer dan sekunder. Sumber primer berasal dari tafsir klasik, kontemporer, dan buku karya Roland Barthes. Adapun tafsir klasik dalam penelitian ini merujuk pada tafsir Al-Maraghi, tafsir Marah Labid, tafsir Jalalain, sedangkan tafsir kontemporer merujuk pada tafsir Al-Mishbah yang membahas Q.S. Al-Baqarah [2]: 271, adapun buku Barthes berjudul “mythologies”. Data sekunder adalah artikel dan buku yang membahas konsep sedekah dan merupakan karya orang lain namun masih bersinggungan dengan hasil penafsiran sedekah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat makna denotatif dan konotatif dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 271 yang berkaitan dengan sedekah. Makna denotatif Q.S. Al-Baqarah [2]: 271 adalah memberikan harta kepada orang lain atas dasar meringankan beban orang yang membutuhkan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan makna konotatifnya adalah berbuat baik, perkataan baik, mengucapkan salam, perintah melakukan perbuatan baik, dan larangan barbuat zalim. Adapun makna mitologi dari Q.S. Al-Baqarah [2]: 271 didapatkan dari makna konotatif yang paling dominan dan mencakup, yakni larangan berbuat zalim pada diri sendiri maupun orang lain. Signifikansi makna dari Q.S. Al-Baqarah [2]: 271 pada konteks kekinian terwujud dalam organisasi seperti “Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). PBB adalah organisasi yang bertugas untuk menjaga hubungan komunikasi dengan negara lain, menjaga stabilitas keamanan negara, menjaga stabilitas ekonomi, dan menjaga stabilitas hak asasi manusia.
Kemaslahatan Manusia Sebagai Puncak Maqāṣid al-Qur`ān: Tinjauan Terhadap Konsep Maqāṣid al-Qur`ān Abd al-Karīm Hāmidī M. Fahrian Noor; Yuni Wahyuni; Bisri Samsuri
Al-Qudwah Vol 1, No 1 (2023): January - June
Publisher : UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/alqudwah.v1i1.23249

Abstract

The article discusses the theory of maqāṣid al-Qurān conceptualized by Abd al-Karīm Hāmidī, which leads to the concept of human welfare (al-maṣlahah). There are several developments from the concepts of his predecessors, such as Rasyid Riḍa, Mahmūd Syaltūt, and Ibn Āsyūr, formulated in their concept of maqāṣid al-Qurān. Hāmidī extensively elaborates on the maqāṣid al-Qurān oriented towards the welfare of individuals, society, and nature. The discussion in this article will focus on answering two questions: first, what is the concept of maqāṣid al-Qurān according to Abd al-Karīm Hāmidī, and second, what is the purpose of maqāṣid al-Qurān in relation to maqāṣid al-syarīah. This research is a type of literature study using a descriptive-analytical method. The researcher will describe Hāmidī's thoughts on maqāṣid al-Qurān and then analyze the concept of al-maṣlahah he intended. The findings of this study show that maqāṣid al-Qurān has a hierarchy consisting of al-maqāṣid al-āmmah, which is the overall wisdom of the Qur’an covering: the goals of individual goodness, the goals of social and community welfare, and the goals of worldly goodness. Al-maqāṣid al-khāṣsah, specifically the shariah, which includes the goals of improving the mind, self, body, family, wealth, law, legislation, and politics. Then, al-maqāṣid al-juz’iyyah, meaning, and rules related to laws that stand alone, such as the goal of purification, facing the qibla, prayer times, and others. The three aspects of maqāṣid al-Qurān have one goal, which is to realize the welfare and goodness of humanity on this earth. Additionally, there is a continuity between the concept of maqāṣid al-Qur`ān proposed by Hāmidī and the concepts in maqāṣid al-syarīah formulated by Muslim scholars before him.  Abstrak: Tulisan ini membahas tentang teori maqāṣid al-Qur`ān yang dikonsepsi oleh Abd al-Karīm Hāmidī yang berujung kepada kemaslahatan manusia (al-maṣlahah). Ada beberapa pengembangan dari para konsep para pendahulunya seperti Rasyid Riḍa, Mahmūd Syaltūt dan Ibn `Āsyūr yang dirumuskan dalam konsep maqāṣid al-Qur`ān-nya. Hāmidīmenjelaskan panjang lebar tentang maqāṣid al-Qur`ān yang berorientasi kepada kemaslahatan manusia secara individu, masyarakat dan alam. Adapun pembahasan dalam tulisan ini akan terfokus untuk menjawab pertanyaan; pertama, bagaimana konsep maqāṣid al-Qur`ān menurut Abd al-Karīm Hāmidī; dan kedua, apa tujuan dari maqāṣid al-Qur`ān tersebut dalam kaitannya dengan maqāṣid al-syarīah. Penelitian ini merupakan jenis penelitian pustaka dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Peneliti akan mendeskripsikan pemikiran Hāmidī tentang maqāṣid al-Qur`ān kemudian menganalisis seperti apa konsep al-maṣlahah yang dimaksudkannya. Temuan dari penelitian ini memaparkan bahwa maqāṣid al-Qur`ān memiliki hierarki yang terdiri dari al-maqāṣid al-`āmmah, merupakan hikmah keseluruhan Al-Qur’an yang mencakup: tujuan kebaikan individu, tujuan memperoleh kebaikan sosial dan masyarakat dan tujuan memperoleh kebaikan dunia. Al-maqāṣid al-khāṣsah, syariat secara khusus yang mencakup tujuan memperbaiki pikiran, diri, jasad (badan), keluarga, harta, hukum, undang-undang, dan politik. Kemudian al-maqāṣid al-juz’iyyah, merupakan makna dan aturan yang terkait dengan hukum yang berdiri sendiri seperti tujuan bersuci, menghadap kiblat, waktu salat dan lain-lain. Ketiga aspek maqāṣid al-Qur`ān itu memiliki satu tujuan yaitu mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan manusia di muka bumi ini. Selain itu terdapat kesinambungan antara konsep maqāṣid al-Qur`ān yang digagas oleh Hāmidī dengan konsep-konsep dalam maqāṣid al-syarīah yang telah dirumuskan oleh cendekiawan muslim sebelumnya.
Ekspresi Dakwah Mahasiswi Ilmu Hadis UIN Sultan Syarif Kasim Riau di TikTok Perspektif Hadis Adynata Adynata; Sindy Aprianti; Salmaini Yeli; Dasman Yahya Ma'ali
Al-Qudwah Vol 1, No 2 (2023): July - December
Publisher : UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/alqudwah.v1i2.27992

Abstract

The popularity of the TikTok application has garnered attention due to its content, which has been proven to capture the interest of internet users. These contents are uploaded and widely disseminated in the online world, reaching thousands of internet users. TikTok, in addition to being entertainment, serves as a platform for various purposes such as self-expression, promotion, education, and religious propagation. The aim of this research is to understand the motivations of female students in creating TikTok content and the types of content they produce and to evaluate them from the perspective of hadith. The research question is how the hadith perspective views the expression content of female students at the State Islamic University Sultan Syarif Kasim Riau on TikTok on their respective accounts and what motivates them. This research involves field research and library research using a mixed-method approach. In data collection, the researcher uses observation, interviews, and documentation techniques. The findings of this research are as follows: First, there are various motivations among female students in the Hadith Studies Program at UIN Sultan Syarif Kasim Riau to create content, such as religious propagation, knowledge sharing, and leisure. Second, there are two types of content created by female students in the Hadith Studies Program, namely content that adheres to Sharia, such as Islamic propagation, education, and motivation. Additionally, there is content that contradicts Sharia, containing elements of revealing aurat (intimate parts) and tabarruj (excessive adornment), ikhtilath (intermingling of genders), and tasyabbuh (resembling a particular group). In the hadith perspective, content that adheres to Sharia is seen as promoting goodness and will be a continuous reward for the content creator. On the other hand, content that contradicts Sharia is considered to promote wrongdoing and will result in a continuous sin for the content creator. Abstrak: Popularitas aplikasi TikTok mendapat sorotan karena konten yang disajikan terbukti mampu menarik perhatian para pengguna internet. Konten-konten tersebut diupload dan tersebar luas di dunia maya sehingga disaksikan oleh ribuan pengguna internet. Tiktok, di samping sebagai hiburan juga menjadi media untuk berbagai kepentingan seperti berekpresi, promosi, pendidikan, dakwah dan lain sebagainya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui motivasi mahasiswi dalam pembuatan konten Tiktok, jenis-jenis konten yang dibuat dan tinjauannya dilihat dari perspektif hadis. Sedangkan rumusan masalah adalah bagaimana perspektif hadis terhadap konten ekspresi mahasiswi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau di Tiktok pada akun-akun mereka serta motivasinya. Jenis penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dan studi pustaka (library research) dengan menggunakan metode campuran. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Adapun hasil dari penelitian ini yaitu,  Pertama, terdapat beragam motivasi mahasiswi Program Studi Ilmu Hadis UIN Sultan Syarif Kasim Riau dalam pembuatan konten, seperti berdakwah, berbagi ilmu dan mengisi waktu luang. Kedua, terdapat dua jenis konten yang dibuat oleh mahasiswi Program Studi Ilmu Hadis yaitu konten yang sesuai dengan syari’at berupa konten dakwah Islam, edukasi dan motivasi. Selain itu ada juga konten yang bertentangan dengan syari’at berupa konten yang mengandung unsur menampakkan aurat dan tabarruj, ikhtilath (campur baur) serta tasyabbuh (menyerupai suatu kaum). Adapun dalam tinjauan hadis konten yang sesuai dengan syari’at berisi tentang kebaikan akan menjadikan pahala jariyah bagi pembuat konten, sedangkan konten yang bertentangan dengan syari’at berisi tentang keburukan akan menjadikan dosa jariyah bagi pembuat konten.
Bahasa Ilmiah Sebagai Sarana Berpikir Dalam Studi Islam Serta Implementasinya Pada Interpretasi Teks-teks Al-Qur’an Fadhilah Nur Khaerati; Muflihah Muflihah; Muh. Alwi HS
Al-Qudwah Vol 1, No 1 (2023): January - June
Publisher : UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/alqudwah.v1i1.22840

Abstract

This article aims to discuss the role of language as a scientific tool in Islamic Studies, focusing on the exploration of means of interpreting the texts of the Qur'an. As the sacred book of Islam, the Qur'an possesses profound meanings that require deep understanding and careful interpretation. In this article, one of the scholarly methods used in the interpretation of Qur'anic texts as religious language, namely scientific language, is elaborated. This research is significant in presenting the texts of the Qur'an, which constitute religious language, as objects of study in scientific thinking. To achieve this goal, library-based research is utilized with a descriptive-analytical method, which involves describing and analyzing the data found using a qualitative approach. Several aspects are outlined, including Islam as the object of study, language as a means of scientific thinking, and scientific language as a means of interpreting the texts of the Qur'an (religious language). The results of this research find that there are two methods commonly used in interpreting the Qur'an from a linguistic perspective: semantics and hermeneutics. The interpretations derived from both methods are inseparable from the basic meanings and historical context of the texts, as well as the surrounding context of the interpreted texts. Despite their methodological differences in interpreting the Qur'anic texts, both methods employ scientific language that maintains the relationship between text and context, thus producing contextual and applicable interpretations in the modern-contemporary era.  Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan peran bahasa sebagai sarana ilmiah dalam studi Islam, dengan fokus pada eksplorasi sarana interpretasi teks-teks Al-Qur’an. Sebagai kitab suci agama Islam, Al-Qur’an memiliki kedalaman makna yang membutuhkan pemahaman mendalam dan interpretasi yang cermat. Dalam artikel ini, diuraikan salah satu sarana berpikir ilmiah yang dapat digunakan dalam proses interpretasi teks Al-Qur’an sebagai bahasa agama, yaitu bahasa ilmiah. Penelitian ini signifikan dilakukan dalam rangka mengetengahkan teks-teks Al-Qur’an yang merupakan bahasa agama sebagai objek studi dalam berpikir ilmiah. Untuk mendapatkan hasil tersebut, digunakan penelitian berbasis kepustakaan (library research) dengan metode deskriptif-analisis, yakni mendeskripsikan data-data yang ditemukan sekaligus menganalisisnya, dengan mengunakan pendekatan kualitatif. Di dalamnya akan diuraikan beberapa hal, diantaranya Islam sebagai objek studi, bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah, serta bahasa ilmiah sebagai sarana dalam interpretasi teks-teks Al-Qur’an (bahasa agama). Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa ada dua metode yang banyak digunakan dalam penafsiran al-Qur’an jika ditinjau dari aspek bahasa, yaitu semantik dan hermeneutika. Hasil interpretasi dari keduanya tidak terlepas dari makna dasar dan makna historis teks, serta konteks yang mengelilingi keberadaan teks yang diinterpretasikan. Dengan kedua metode ini, meskipun berbeda pada langkah-langkah metodisnya dalam menginterpretasikan teks Al-Qur’an, terlihat bahwa keduanya memiliki kesamaan dalam penggunaan bahasa ilmiah yang tidak melepaskan fungsi relasi teks dan konteks sehingga dapat menghasilkan interpretasi yang kontekstual dan applicable dalam era modern-kontemporer saat ini.
Kaidah Rasm Dalam Manuskrip Mushaf Al-Qur'an Nagari Tuo Pariangan Elfira Rosa; Novizal Wendry; Muhammad Hanif
Al-Qudwah Vol 1, No 2 (2023): July - December
Publisher : UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/alqudwah.v1i2.25446

Abstract

West Sumatra is one of the regions that has a substantial collection of Quranic manuscript in the Nusantara. One notable location is Nagari Tuo Pariangan, which houses a number of Quranic manuscript that have been handed down through generations. This article investigates the scriptural aspects (rasm) of the Quranic manuscript preserved by Aswardi, specifically with the identification numbers or codes No. 019 NM and No. 029 NM. The analysis focuses on the origin of the manuscripts and the consistency of the rasm copying in utilizing the script. This research employs a qualitative method, specifically field research, which involves collecting data from the field using observation and documentation techniques on the Quranic manuscript and interviews with the owner or custodian of the manuscripts. The results of this study indicate that the Qur'anic manuscripts from Nagari Tuo Pariangan originate from Surau Tinggi. However, due to the non-functional status of the surau, the manuscripts were brought to a house for personal preservation and became an inherited legacy. Two manuscripts were discovered, both originating from the same source. The identification process of script usage in these manuscripts revealed the utilization of two different scripts: the 'Uthmani script and the Imla'i script. The use of rasm in these manuscripts tends to be inconsistent, as both script types are employed in different verses, with 'Uthmani script used in one verse and Imla'i script in another. This inconsistency in rasm usage indicates that the tradition of copying Qur'anic manuscripts in Nagari Tuo Paringan is motivated by a tradition of writing without incorporating sufficient knowledge of rasm rules. Abstrak: Sumatera Barat merupakan satu daerah yang memiliki koleksi manuskrip mushaf Al-Qur’an cukup banyak di Nusantara. Diantaranya yaitu Nagari Tuo Pariangan yang memiliki sejumlah manuskrip mushaf Al-Qur’an dan telah diwariskan secara turun temurun. Artikel ini bertujuan untuk menginvestigasi aspek rasm manuskrip mushaf Al-Qur’an yang disimpan oleh Aswardi dengan nomor atau kode mushaf dengan No. 019. NM dan No. 029 NM. Analisis difokus pada asal usul manuskrip serta konsistensi penyalin manuskrip dalam menggunakan rasm. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian field research, yaitu mengumpulkan data dari lapangan menggunakan teknik observasi dan dokumentasi terhadap manuskrip mushaf Al-Qur’an, serta wawancara dengan pemiliki atau pemelihara manuskrip. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manuskrip al-Qur’an Nagari Tuo Pariangan berasal dari Surau Tinggi, namun karena surau yang tidak lagi berfungsi maka naskah tersebut dibawa ke rumah untuk disimpan secara pribadi dan menjadi warisan turun temurun. Ada dua manuskrip yang ditemukan dan berasal dari sumber yang sama. Proses identifikasi penggunaan rasm dalam manuskrip tersebut menghasilkan adanya penggunaan dua rasm yang berbeda dalam penulisannya yaitu rasm ‘uṡmānī dan rasm imlā’i. Penggunaan rasm dalam manuskrip ini cenderung tidak konsisten karena dalam penulisannya menggunakan kedua jenis rasm ini, rasm ‘utṡmānī pada satu ayat dan rasm imlā’i pada ayat lain. Inkonsistensi penggunaan rasm ini menandakan tradisi penyalinan mushaf di Nagari Tuo Paringan tersebut termotivasi dari tradisi tulis menulis yang hidup tanpa diikutsertakan dengan pengetahuan yang cukup tentang kaidah penulisan rasm.
Dialog Ayah Dan Anak Dalam Al-Qur’an: Analisis Tafsir Maqashidi Terhadap Fenomena Fatherless Zahrotun Zahrotun
Al-Qudwah Vol 1, No 2 (2023): July - December
Publisher : UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/alqudwah.v1i2.27593

Abstract

This article aims to explore the forms of paternal parenting dialogues in Surah Luqman: 13 and Surah Ash-Shaffat: 102, along with the wisdom behind the use of the term 'father' (ayah). Additionally, the researcher aims to identify the maqashid values within these two verses to address the phenomenon of fatherlessness. Fatherlessness has become a hotly discussed issue in the context of parenting, considering the increasingly modern family conditions, economic pressures, and the marginalized role of fathers as primary educators. The research method employed is thematic (maudhu'i) exegesis with a maqashidi approach. The issues to be addressed include the forms of dialogue between fathers and children in the Qur'an and the phenomenon of fatherlessness from a maqashidi exegesis perspective. The research results indicate that the phenomenon of fatherlessness contradicts the ideal role of a father as explicitly depicted in the stories of Luqman and Prophet Ibrahim in the Qur'an. The paternal role consists of three levels: biological, material provision, and loyalty. However, various factors, including economic, social, and personal emotional aspects, may hinder optimal functionality. In alignment with the understanding of the paternal role, the fatherlessness phenomenon in millennial family life can be minimized. Fathers need to recognize that, in addition to their role in meeting material needs, they play a crucial part in shaping the character and future of their children. The maqashid from Surah Luqman 13 and Surah Ash-Shaffat 102, depicting paternal dialogue, emphasize his responsibility in parenting, addressing the fatherless phenomenon, encompassing six primary maqashid, especially hifzh ad-din (preservation of religion) and hifzh al-nasl (preservation of lineage). Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk untuk mengetahui bentuk-bentuk dialog pengasuhan ayah dalam QS. Luqman: 13 dan QS. Ash-Shaffat: 102 beserta hikmah di balik penggunaan diksi ayah. Selain itu peneliti juga ingin menemukan nilai-nilai maqashid dari kedua ayat tersebut dalam upaya menjawab adanya fenomena fatherless (ketidakhadiran atau kurangnya peran ayah). Fatherless menjadi isu yang hangat dibicarakan dalam konteks pengasuhan, mengingat kondisi keluarga yang makin modern, tekanan ekonomi dan peran ayah sebagai pendidik primer makin terpinggirkan. Metode yang digunakan dalam riset adalah tafsir tematik (maudhu’i) dengan pendekatan tafsir maqashidi. Adapun masalah yang hendak dijawab adalah, bagaimana bentuk-bentuk dialog antara ayah dan anak di dalam Al-Qur’an serta bagaimana fenomena fatherless perspektif tafsir maqashidi. Hasil riset ini menunjukkan bahwa fenomena fatherless tidak sesuai dengan bagaimana seharusnya seorang ayah berperan yang secara jelas dikisahkan oleh Luqman dan nabi Ibrahim dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Peran ayah terdiri dari tiga tingkatan; tingkat biologis, tingkat pemenuhan kebutuhan materi, dan tingkat kesetiaan. Akan tetapi beberapa faktor meliputi ekonomi, sosial, dan emosional personal menyebabkan ketidakberfungsian secara maksimal. Sejalan dengan pemahaman peran ayah, fenomena fatherless di kehidupan keluarga milenial bisa diminimalisir. Ayah harus menyadari bahwa selain perannya dalam memenuhi kebutuhan materi, ia memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter dan masa depan anak. Maqashid dari QS. Luqman 13 dan QS. Ash-Shaffat 102 tentang dialog ayah yang menggambarkan perannya sebagai tanggungjawab parenting di balik fenomena fatherless meliputi enam maqashid terutama hifzh ad-din dan hifzh al-nasl.
Resepsi Hadis dalam Sinetron Taqdir Ilahi: Ujian dari Allah Sherina Wijayanti
Al-Qudwah Vol 1, No 1 (2023): January - June
Publisher : UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/alqudwah.v1i1.22953

Abstract

  This research discusses a movie titled “Taqdir Ilahi Ujian dari Allah” whose content is from Prophet Muhammad PBUH hadith. This article tries to photograph the role of hadith meditation which is presented in religious movies, where the religious proselytizing of hadith through the movie attracts the society to reconsider the hadith until the functional which is illustrated by the actors and actresses involved. The development of technology takes place transforming hadith into a form of a movie as its development, however, on the other side, it becomes harder challenging when the hadith is only visualized textually. At this point, the hadith formed into a movie has not been entirely respresenting the reality of sequences there. It’s not without cause, this happens because the divergence between the reality of people in the past to this era is inapplicable. The movie presents the delivering of Prophet PBUH hadith effectively through the scenes with actually with the chronological background in Indonesia Archipelago. The purpose of this study is to provide the occurrence of digital hadith which has shaped into the visual domain presented in the form of religious movies. The research uses the qualitative method by directly having the observation through watching the movie titled “Taqdir Ilahi Ujian dari Allah” as the primary source, then together with this, the library study is used as the secondary source which correlates to this research. This research shows first, the scenes illustrate hadith tangibly by the actors and actresses so that the society can take the wisdom. Second, the movie “Taqdir Ilahi Ujian dari Allah” reflects hadith through exegetical, aesthetic, and functional. Third, even though the movie has tried to present hadith’s, it still does not reflect the hadith entirely, but it can become the alternative for society to understand hadith easily.  Abstrak: Kajian ini membahas Sinetron Taqdir Ilahi_Ujian dari Allah yang subtansinya bersumber dari sabda Nabi Muhammad SAW. Artikel ini berupaya memotret model mediatisasi hadis yang dikemas dalam bentuk sinetron religi, dimana penyajian dakwah hadis melalui sinetron menarik masyarakat untuk meresepsi hadis sampai tahap fungsional dengan diperagakan oleh para aktris dan aktor yang terlibat. Kemajuan teknologi turut mentransformasi hadis ke ranah mediatisasi sinetron sebagai kemajuan, namun disisi lain menjadi tantangan yang lebih berat ketika hadis tervisualisasi hanya secara tekstual. Pada titik  ini, mediatisasi hadis berupa sinetron belum sepenuhnya dapat mewakili realitas kronologis yang ada. Bukan tanpa sebab, hal ini dikarenakan kesenjangan realitas masyarakat masa dulu dengan masa kini yang tidak relevan. Potret sabda Nabi Muhammad SAW yang dikisahkan dalam sinetron disampaikan secara praktis, melalui adegan-adegan yang diperagakan secara aktual dengan latar kronologis Nusantara. Tujuan penelitian untuk menyajikan fenomenologi digital hadis yang sudah sampai ranah visual dengan dikemas dalam sinetron religi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan observasi langsung dalam menyaksikan film sinetron “Taqdir Ilahi_Ujian dari Allah” sebagai sumber primer, serta menggunakan pendekatan studi pustaka sebagai sumber sekunder terkait topik yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian ini menghasilkan pertama, adegan yang diperankan para pemain sinetron mengilustrasikan hadis secara konkrit sehingga dapat diambil hikmahnya oleh masyarakat luas. Kedua, sinetron “Taqdir Ilahi_Ujian dari Allah” meresepsi hadis secara eksegesis, estetis dan fungsional. Ketiga, hadis yang dikemas berupa sinetron tidak sepenuhnya mewakili realitas pada hadis, namun cukup menjadi alternatif bagi masyarakat untuk memahami hadis secara praktis.
Interpretasi Kontekstual Makna Qawwām Dalam Al-Qur’an QS. An-Nisa’ 34: Aplikasi Hermeneutika Abdullah Saeed Ade Rosi Siti Zakiah
Al-Qudwah Vol 1, No 2 (2023): July - December
Publisher : UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/alqudwah.v1i2.22972

Abstract

The phrase "arrijalu qawwāmuna ‘ala an-nisa’" from the excerpt of Surah An-Nisa' verse 34 in classical and medieval exegesis has been used as a justification for depicting the superiority of male leadership, later known as patriarchal culture. This culture has led to the perception that women are incapable of assuming roles equal to men, both in the domestic and public spheres. In fact, this verse has been used as an argument by many to prevent women from becoming leaders. The aim of this research is to understand the meaning of "qawwām" in the interpretation of Surah An-Nisa' verse 34 and to explore the contextualization and value hierarchy of this verse in contemporary times. This study falls into the category of library research with a normative-historical approach. The analytical theory used is the contextual hermeneutics of Abdullah Saeed. The findings of this study reveal that the intended leadership of men over women as desired by the Qur'an is a leadership that signifies protection, care, authority, and fulfilling the needs of women. The value hierarchy based on this verse emphasizes justice in the form of equal opportunities for men and women to be leaders in both the domestic and public spheres. Therefore, it is clear that female leadership is not prohibited or even forbidden. Women can assume leadership roles in any field without being hindered by patriarchal culture. The substantive meaning derived from the application of this contextual hermeneutical method can be applied in different times and places, such as when understanding this verse in the current context of Indonesian society. Abstrak: Kalimat arrijalu qawwāmuna ‘ala an-nisa’ pada penggalan surah an-Nisa’ ayat 34 dalam tafsir klasik dan abad pertengahan digunakan sebagai pembenaran untuk menggambarkan superioritas kepemimpinan laki-laki dan kemudian dikenal dengan budaya patriarki. Budaya ini menyebabkan perempuan dianggap tidak mampu menduduki peran laki-laki baik di ranah domestik maupun publik. Bahkan, ayat ini dijadikan dasar argumentasi oleh banyak pihak untuk mencegah perempuan menjadi pemimpin. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana makna qawwām dalam penafsiran surah An-Nisa’ ayat 34 dan bagaimana kontekstualisasi serta hierarki nilai surah an-Nisa’ ayat 34 di masa kini. Kajian ini termasuk pada kategori penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan normatif-historis. Teori analisis yang digunakan ialah hermeneutika kontekstual Abdullah Saeed. Adapun hasil dari kajian ini menemukan bahwa maksud kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan yang dikehendaki Al-Qur’an ialah kepemimpinan yang memiliki arti menjaga, melindungi, menguasai, dan mencukupi kebutuhan perempuan. Adapun hierarki nilai berdasarkan ayat ini adalah bentuk keadilan berupa kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin di ranah domestik maupun publik. Dengan demikian, jelaslah bahwa kepemimpinan perempuan itu tidaklah dilarang atau bahkan diharamkan. Perempuan dapat menjadi pemimpin dalam bidang apapun tanpa didorong oleh adanya budaya patriarki. Makna substansi yang didapatkan dari penerapan metode hermeneutika kontekstual ini dapat diaplikasikan dalam waktu dan tempat yang berbeda, seperti ketika ayat ini dipahami dengan konteks bangsa Indonesia saat ini.

Page 1 of 2 | Total Record : 14