DalamUndang-Undang Pokok Agraria dinyatakan bahwa akhir kegiatan pendaftaran tanah yang diadakan oleh Pemerintah adalah pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Undang-Undang Pokok Agraria tidak menyebut nama surat tanda bukti hak atas tanah yang didaftar, namun dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 dan PP Nomor 24 Tahun 1997 disebut sertifikat.Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut, maka dapat diringkas bahwa Kepastian Hukum mengenai hak-hak atas tanah sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria mengandung dua dimensi yaitu kepastian obyek hak atas tanah dan kepastian subyek hak atas tanah. Salah satu indikasi kepastian obyek hak atas tanah ditunjukkan oleh kepastian letak bidang tanah yang berkoordinat georeferensi dalam suatu peta pendaftaran tanah, sedangkan kepastian subyek diindikasikan dari nama pemegang hak atas tanah tercantum dalam buku pendaftaran tanah pada instansi pertanahan. Hal ini dianggap perlu karena kebutuhan akan tanah dan permintaannya pun akan semakin meningkat sementara persediaan yang terbatas dengan harga yang semakin meningkat sering menimbulkan benturan kepentingan, yang pada gilirannya menimbulkan sengketa.Peranan dari seluruh aparat mulai dari wilayah terkecil seperti Kepala kecamatan, Kepala desaa/lurah Peran sangat besar dalam turut mengurangi adanya sengketa tanah, karena selama ini apabila terdapat sengketa tanah yang selalu menjadi instansi yang tergugat pihak Badan Pertanahan Nasional selaku penerbit sertipikat. Penggugat tidak melihat dan tidak tahu bahwa dalam proses pendaftaran tanah banyak pihak yang berperan. Ketika terjadi sengketa tanah akibat dari data awal yang tidak benar, karena faktor kesengajaan atau tidak, ujung-ujungnya masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan akan menderita, karena sengketa tersebut memakan waktu lama.Ketentuan Pasal 55 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa segala masalah yang menyangkut hasil putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau kantor pertanahan harus tunduk pada putusan pengadilan. Seyogyanya setelah putusan pengadilan terkait sengketa pembatalan sertipikat hak atas tanah keluar para pihak dapat merasakan manfaat dari proses hukum tersebut dengan mendaftar di BPN, namun pada kenyatanya mekanisme pembatalan sertipikat setelah adanya putusan pengadilan juga tidak dapat berlangsung seketika dengan terbitnya Peraturan Kepala BPN RI No. 3 tahun 2011 jo Peraturan menteri Agraria dan Tata Ruang (Ka BPN No 11 tahun 2016) tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Birokrasi yang kurang tegas bagi pemenang di pengadilan menjadi menarik dikaji mengingat proses litigasi yang ditempuh untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum masih jauh panggang dari api prosedur selanjutnya apabila melihat pihak yang kalah sulit untuk mengembalikan kepada kantor Badan Pertanahan Nasional Sertipikat atau surat tanda bukti hak yang telah selesai diputus di Pengadilan.Seperti kasus yang terjadi di Medan, Sumatera Utara sebagaimana yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 102/K/TUN/1998 dilakukannya2pembatalan sertipikat Hak Guna Bangunan yang telah dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kota Medan pada tanah yang diterbitkan sertipikat Hak Guna Bangunan tersebut sebelumnya telah memiliki alas hak oleh orang lain yakni Syarifah Khadijah dan IR Muchtar Djaar berdasarkan Surat Keterangan No. 345/MT/1973 bulan September 1973 dan Surat Keterangan No. 346/MT/1973 tanggal 30 Oktober 1973.Tanah tersebut pernah diterbitkan Surat Keterangan oleh Camat Medan Timur, dan telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang amarnya telah mengabulkan gugatan Syarifah Khadijah dan IR Muchtar Djaar seluruhnya dan membatalkan Surat Keterangan oleh Camat Medan Timur atas nama T Mahmudin.1. Pada tahun 1995 Syarifah Khadijah dan IR Muchtar Djaar telah mencoba melakukan permohonan untuk memperoleh surat ukur dan gambar situasi atas tanah masing masing nomor persil 13 dan 14, 7, 20, 3, 32 dan 33 di Jalan Sidorukun Lorong XXVI, Kampung Brayan Darat, Kecamatan Medan Timur yang berasal dari pembagian kaveling perumahan (Hakim dan karyawan Pengadilan Tinggi Medan) kepada Badan Pertanahan Kota Medan, dan karenanya oleh Badan Pertanahan Kota Medan telah diadakan pengukuran. Dalam selang waktu satu tahun setelahnya diajukan kemudian permohonan dalam hal mendapatkan hak milik terhadap tanah yang telah diperoleh Surat Ukur dan Gambar situasi tersebut, kemudian di tahun 1997 Syarifah Khadijah dan IR Muchtar Djaar mendatangi Badan Pertanahan Kota Medan untuk menindaklanjuti permohonan di tahun 1996 tersebut, namun diketahui kemudian terhadap tanah tersebut telah diterbitkan sertipikat Hak Guna Bangunan No 218 oleh Badan Pertanahan Nasional atas nama Hadi Siswanto dengan pemberitahuan secara lisan. Atas terjadinya penerbitan sertipikat Hak Guna Bangunan tersebut Syarifah Khadijah dan IR Muchtar Djaar mengambil suatu tindakan tegas untuk menyelesaikan permasalahan ini melalui jalur litigasi berupa mengajukan gugatan kepada Badan Pertanahan Nasional di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan dengan register perkara No.02/G/1997/PTUN-MDN tanggal 22 Juli 1997, karena dalam penerbitan sertipikat Hak Guna Bangunan tersebut Badan Pertanahan Kota Medan dipandang telah menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan hukum yang berlaku dan Asas-asas Umum pemerintahan yang baik yaitu asas Kecermatan dan kejujuran, serta Pasal 53 ayat (2) Sub a, b, c Undang undang nomor 5 tahun 1986 Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap ditandai dengan keluarnya Surat Keterangan Inkracht no W2 D.AT.04-10-300/2005 tanggal 22 Juni 2005 ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasional No 12/Pbt/BPN.12/VII/2016 tanggal 20 Juli 2016 tentang Pembatalan Sertifikat hak Guna Bangunan No 218/Pulo Brayan Darat II terdaftar atas nama Hadi Siswanto atas Tanah Seluas 1618 terletak di jalan Damar, Kelurahan Pulo Brayan Darat II Kecamatan Medan Timur.Dengan demikian perbuatan Syarifah Khadijah dan IR Muchtar Djaar yang menempuh jalur litigasi sebagai alternatif penyelesaian masalah di atas dapat dibenarkan karena ternyata selain sertipikat hak atas tanah masih ada alat bukti lain dapat menggugurkannya. Seperti yang dikatakan oleh Moch.Isnaini bahwa1Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor.102 K/TUN/1998.3sertipikat hak atas tanah bukan merupakan satu-satunya alat bukti yang bersifat mutlak, justru sebaliknya baru merupakan alat bukti awal yang setiap saat dapat digugurkan pihak lain yang terbukti memang lebih berwenang.2 Analisis yuridis terhadap putusan perkara, menarik untuk diangkat sebagai judul penelitian, guna mencermati pada sistem pendaftaran yang masih dianut di Indonesia, serta bagaimana pemerintah dalam hal ini Badan pertanahan Nasional melakukan prosedur yang tepat dalam melakukan penerbitan sertifikat sehingga adanya jaminan kepastian hukum dapat dihasilkan dan melihat peranan pertimbangan hakim mengenai sengketa pertanahan untuk menjamin kepastian hukum bagi pihak yang merasa dirugikan atas terbitnya sertipikat hak atas tanah dan proses prosedural yang ditempuh di Kantor Badan Pertanahan Kota Medan setelah keluarnya putusan pengadilaan yang inkracht terhadaap status tanah tersebut. Oleh karena itu, judul yang diangkat adalah “Analisis Yuridis Pembatalan Sertipikat Hak Guna Bangunan yang Dianggap Cacat Administrasi (Studi Atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/TUN./1998)”.