cover
Contact Name
Shita Dewi
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
jkki.fk@ugm.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
ISSN : 2089 2624     EISSN : 2620 4703     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 4, No 2 (2015)" : 6 Documents clear
Kebijakan Penggunaan Batas Wilayah Epidemiologi dalam Pengendalian Penyakit Malaria (Studi Kasus di Puskesmas Kokap II Kabupaten Kulon Progo, DIY) Sutjipto Sutjipto; Hari Kusnanto; Laksono Trisnantoro; Lutfan Lazuardi; Indwiani Astuti
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1586.302 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v4i2.36100

Abstract

Background: There are 396 endemic districts from the total of 495 districts in Indonesia, with an estimated 45% of the population live in the areas that are at risk of infected malaria disease. Kulon Progo Regency is one of regencies in Yogyakarta (DIY), which until now has not declared elimination of malaria. PHC Kokap II located in Kokap sub-district, is the largest contributor of positive malaria cases in Kulon Progo regency due to the potential for outbreaks of malaria, during the period 1997-2004, when the number of malaria positive patients in the PHC Kokap II ranged between 26% - 55% of patients of the total positive malaria cases in Kulon Progo. This study aims to produce epidemiological information that is important in the region of PHC Kokap II associated with the distribution and determinants of malaria that affects the possibility of local transmission. Methods: The study design was a descriptive study, to get an overview of the distribution and determinants of malaria. The observation unit is the population in the form of correlation studies population and a time series. To determine the pattern of malaria transmission we use secondary data between 2009- 2012 malaria cases. Malaria incidence patterns were analyzed by person, place and time. To determine the clusters of malaria we use clustering analysis with the data of malaria cases in the region PHC Kokap II year 2012. To determine the spread of malaria in the cross-border area between PHC Kokap II and PHC Kaligesing we use secondary data year 2010-2012. Results: In the area of PHC Kokap II, we found import cases every year. Even more, in the year 2009 the proportion of import cases was 82% compared with all patients that were found malaria positive. Clusters of malaria is in the west region of PHC Kokap II, which is bordering to the Subdistrict Kaligesing, Purworejo, Central Java Province. Region PHC Kokap II is an area of high vulnerability, the potential to get the risk of transmission of imported cases of malaria is due to the entry of patients or infective vectors from high transmission areas to low transmission. Conclusion: The focus of malaria transmission in the area of PHC Kokap II is at the western part bordering the sub-district Kaligesing, Purworejo. PHC Kokap II is the region of high vulnerability. Policies need to be made use of epidemiological boundaries in the malaria control program in the cross-border region. Latar belakang: Di Indonesia masih terdapat 396 Kabupaten endemis dari 495 Kabupaten yang ada, dengan perkiraan seki- tar 45% penduduk berdomisili di daerah yang berisiko tertular malaria. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu kabupa- ten di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang sampai saat ini belum dinyatakan eliminasi. Wilayah Puskesmas Kokap II yang berada di Kecamatan Kokap, merupakan penyumbang terbesar penderita positip malaria untuk wilayah Kabupaten Kulon Progo diantaranya karena potensi terjadinya KLB malaria, selama periode tahun 1997-2004, range jumlah penderita positip ma- laria di wilayah Puskesmas Kokap II berkisar antara 26% - 55% penderita positip malaria di Kabupaten Kulon Progo. Pe- nelitian ini bertujuan untuk menghasilkan informasi epidemiologi yang penting di wilayah Puskesmas Kokap II terkait dengan distribusi dan determinan penyakit malaria yang sangat berpe- ngaruh terhadap kemungkinan terjadinya penularan setempat. Metode: Rancangan penelitian ini adalah studi deskriptif untuk mendapatkan gambaran distribusi dan determinan penyakit malaria, unit pengamatan adalah populasi dalam bentuk studi korelasi populasi dan rangkaian berkala. Untuk mengetahui pola penularan malaria digunakan data sekunder kasus ma- laria tahun 2009-2012, dianalisis pola kejadian malaria menurut orang, tempat dan waktu. Untuk mengetahui kluster penderita malaria dilakukan analisis klustering menggunakan data kasus malaria di wilayah Puskesmas Kokap II tahun 2012. Untuk mengetahui penyebaran penderita malaria di daerah lintas batas antara Puskesmas Kokap II Kabupaten Kulon Progo dan Pus- kesmas Kaligesing Kabupaten Purworejo digunakan data sekunder tahun 2010-2012. Hasil: Di wilayah Puskesmas Kokap II setiap tahun selalu dike- temukan kasus import, bahkan dalam tahun 2009 kasus import proporsinya adalah 82% dibandingkan dengan seluruh pen- derita positif malaria yang diketemukan. Kluster penderita ma- laria berada di bagian barat wilayah Puskesmas Kokap II, yaitu berbatasan langsung dengan Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Wilayah Puskesmas Kokap II merupakan daerah vulnerebilitas tinggi, potensial untuk menda- patkan risiko penularan kasus import karena masuknya pende- rita malaria atau vektor yang infektif dari daerah penularan tinggi ke penularan rendah. Kesimpulan: Fokus penularan penyakit malaria di wilayah Puskesmas Kokap II berada pada wilayah bagian barat berba- tasan dengan wilayah administratif Kecamatan Kaligesing, Ka- bupaten Purworejo. Puskesmas Kokap II adalah wilayah vulnerabilitas tinggi, perlu dibuat kebijakan penggunaan batas wilayah epidemiologi dalam program penanggulangan malaria di wilayah lintas batas.
Berbagai Usulan Kebijakan sebagai Upaya Perbaikan Jaminan Kesehatan Nasional Shita Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jkki.v4i2.36091

Abstract

Setelah satu tahun lebih berjalan, sistem Ja- minan Kesehatan Nasional banyak disorot dari ber- bagai segi. Beberapa upaya inovasi dilakukan misal- nya membuat kamus data yang disebut “Kata Hat-I” yang menjadi acuan bagi pengguna, sistem analis, perancang dan pengembang dalam mengelola Sis- tem Informasi Kesehatan sehingga data kesehatan mudah untuk dipertukarkan, dikonsolidasi, dan di- baca antar Sistem Informasi Kesehatan yang bera- gam. Kata Hat-I ini merupakan kamus data kesehat- an Indonesia versi 1.0 yang terdiri atasset data orang sebagai pasien, sistem jaminan kesehatan nasional serta berbagai penyakit prioritas. Namun beberapa tantangan tetap dirasakan. Pada tahun 2014 lalu, PKMK bekerjasama dengan 12 perguruan tinggi di Indonesia melakukan penelitian pemantauan pelak- sanaan JKN di daerah. Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan, didapatkan hasil bahwa propinsi sampel tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: 1) kelompok propinsi yang sudah maju dan 2) kelompok yang belum maju. Pembagian ini teruta- ma didasarkan pada ketersediaan tenaga dokter dan dokter spesialis sebagai tulang punggung pelayanan kesehatan. Hasil yang diperoleh cukup mengejutkan, karena ternyata ada perbedaan yang ekstrim antara kedua kelompok tersebut. Setelah menyimak kon- teks latar belakang ini, maka dilakukan analisis ske- nario mengenai pencapaian Cakupan Kesehatan Semesta yang dicita-citakan pada tahun 2019.Untuk sementara ini, skenario optimis untuk pencapaian Universal Coverage di tahun 2019 dinya- takan oleh para peneliti di DKI, DIY, Sumatera Sela- tan, Sumatera Barat, serta sebagian Kabupaten/Kota di Jawa Barat, sebagian Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dan sebagian di Sulawesi Selatan. Semen- tara itu, skenario pesimis ringan dan berat untuk tercapainya Cakupan Kesehatan Semesta melalui JKN pada tahun 2019 dinyatakan oleh peneliti di NTT, Kalimatan Timur, sebagian Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara.Apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki situasi ini, agar pencapaian Cakupan Kesehatan Semesta dapat memiliki gambaran yang lebih men- janjikan? Banyak ahli dan pemerhatai sepakat bahwa salah satu langkah kunci adalah dengan memper- hatikan aspek preventif dan promotif secara lebih kuat. Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan perlu meningkatkan kegiatan preventif dan promotif. Perlu dicatat bahwa usaha preventif dan promotif se- bagian besar berada di luar wewenang Kementerian Kesehatan, atau menjadi tanggung jawab kemen- terian lainnya. Untuk itu, diharapkan ada kebijakan meningkatkan upaya yang mendukung pencegah- an dan promosi kesehatan lintas Kementerian. Ke- mentrian Kesehatan sebagai pimpinan sektor kese- hatan perlu mengambil inisiatif untuk berdialog dan mengangkat isu ini dalam pembicaraan antar kemen- trian terkait. Langkah kedua adalah memperbaiki berbagai kebijakan di JKN. Berdasarkan konsep pem- biayaan kesehatan, diharapkan ada kebijakan yang memperhatikan berbagai titik kritis di dalam sistem, salah satunya adalah peningkatan dana untuk pro- gram kesehatan dari APBN dan APBD serta dana masyarakat. Peningkatan dana ini berwujud anggar- an investasi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mampu untuk memperluasakses terha- dap pelayanan kesehatan dan pemenuhan kecukup- an tenaga kesehatan khususnya di daerah sulit. Ino- vasi-inovasi terkait hal ini perlu diujicobakan di ber- bagai daerah dengan berbagai sifat keterbatasan dan profil epidemiologis yang berbeda untuk memberikan landasan yang cukup bagi sebuah kebijakan yang bersifat menyeluruh. Realokasi dana subsidi BBM, cukai pajak, dan sebagainya perlu menjadi topik lob- bying untuk memperluas kemampuan fiscal sektor kesehatan. Perlu pula penguatan kebijakan manaje- men dana BPJS dengan misalnya mengkaitkan pem- bayaran (reimbursement) dengan outcomes kesehat- an, mutu, dan upaya peningkatan pelayanan kese- hatan. Terutama, perlu ada kebijakan untuk memper- baiki aspek pemberi pelayanan (supply) kesehatan. Penguatan juga diperlukan untuk membangun sistem verifikator dan investigator yang lebih baik di pelayan- an primer dan rujukan untuk mencegah fraud dan penggunaan dana yang tidak efisien. Kami yakin ber- bagai macam usulan kebijakan lain perlu disampai- kan kepada pemerintah, dan untuk itu kami mengun- dang para peneliti sektor kebijakan kesehatan untuk membuat kajian-kajian yang menyediakan bukti- bukti bagi kebijakan yang diusulkan. Shita Listya DewiPusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan.
Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) Pada Program Kesehatan Jiwa Masyarakat Puskesmas di Kabupaten Sleman Karmijono Pontjo Widianto; Laksono Trisnantoro; Ratna Siwi Padmawati
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.711 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v4i2.36093

Abstract

Background: The decision of the Minister of Home Affairs No. 61 of 2007 on Technical Guidelines for Financial Manage- ment of Public Service Board seems to bring another option in the management of health centers which have existed as a Technical Implementation Unit (UPT) oh health department. The entire budget for health centers through the health departmen is able to follow the system of Financial Management of Re- gional Public Service Agency (PPK-BLUD) that provides flex- ibility in the implementation of the budget, including the revenue and expenditure management, cash management, and pro- curement of goods / services, and gives opportunity to hire a professional/non-civil servants and gives the opportunity for a performance based remuneration. Promotive and preventive health centers functions to encourage community empower- ment. That function is realized in each program activity called Public Health Efforts (SMEs); one of which is the Community Mental Health program (Keswamas). Objective: To describe the impact of the financial manage- ment of health centers using PPK-BLUD in the implementation of the SME program, in this case the community mental health program. Methods: This study used a case study design and descrip- tive analysis. Results: (1). There is no difference in principle on program management Keswamas before and after the BLUD. (2) The type of community mental health program activities carried out by the health center after BLUD status is the same as before the status as BLUD (3). Budgeting activities of community mental health programs in health centers after the BLUD status is the same as before the BLUD status (4). Human resources in- volved in the implementation of community mental health pro- grams in health centers after the BLUD status is as the same as before the BLUD status (5). The involvement of members of the management team is not specifically for community mental health program, but also other programs at the health center. Conclusion: There is no difference in the management of health centers in Sleman after PPK-BLUD, because not all of the flexibility or independence as PPK-BLUD is utilized by health centers and health authorities to create activities / new, more innovative programs and to solve existing health problems. An understanding of the PPK-BLUD is adequate but not encour- age health authorities and health centers to create a more innovative activities in solving the problems that occur. Knowl- edge and understanding of the PPK-BLUD supported by the courage to innovate is essential for health centers and health department leaders in order to take advantage of being PPK-BLUD to improve the quality of public services in order to improve the health of society. Management of health centers with PPK-BLUD is needed to provide flexibility of budget man- agement in the era of the National Health Insurance. Latar Belakang: Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah yang seolah-olah memunculkan pilihan lain dalam hal pengelolaan puskesmas yang selama ini berstatus sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dinas kesehatan. Seluruh penganggaran puskesmas yang selama ini melalui dinas kesehatan, menjadi dapat mengikuti sistem Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) yang memberikan fleksibilitas dalam rangka pelaksanaan anggaran, termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa serta diberikan kesempatan untuk mempekerjakan tenaga profesional non PNS dan kesem- patan pemberian imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan kontribusinya. Fungsi puskesmas promotif dan preventif yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Fungsi tersebut diwujudkan dalam setiap kegiatan program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM); salah satunya adalah program Kesehatan Jiwa Masyarakat (Keswamas). Tujuan: Menggambarkan dampak pengelolaan keuangan pus- kesmas dengan PPK-BLUD pada pelaksanaan program UKM dalam hal ini program kesehatan jiwa masyarakat Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus dan analisis deskriptif. Hasil: (1). Belum ada perbedaan pada pengelolaan program Keswamas sebelum dan setelah Era BLUD. (2) Jenis kegiatan program kesehatan jiwa masyarakat yang dilaksanakan oleh puskesmas setelah berstatus BLUD bertambah dibanding sebelum berstatus sebagai BLUD (3). Penganggaran kegiatan program kesehatan jiwa masyarakat di puskesmas setelah berstatus BLUD sama seperti sebelum berstatus BLUD (4). SDM yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan program kese- hatan jiwa masyarakat pada puskesmas setelah berstatus BLUD sama seperti sebelum berstatus BLUD (5). Keterlibatan anggota Tim sebagai pengelola kesehatan jiwa masyarakat tidak secara khusus menangani program namun juga menjalan- kan program lain di puskesmas. Kesimpulan: Belum ada perbedaan pengelolaan puskesmas di Kabupaten Sleman setelah diterapkan PPK-BLUD, karena belum semua keleluasaan atau kemandirian yang diberikan se- bagai PPK-BLUD dimanfaatkan oleh puskesmas maupun dinas kesehatan untuk menciptakan kegiatan/program baru yang lebih inovatif dan dapat menyelesaikan permasalahan kesehatan yang ada. Pemahaman tentang PPK-BLUD telah cukup namun belum mendorong dinas kesehatan dan puskesmas untuk berani menciptakan kegiatan yang lebih inovatif dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Pengetahuan dan pemahaman tentang PPK-BLUD yang didukung dengan keberanian berino- vasi sangat penting bagi pimpinan puskesmas dan dinas kese- hatan sebagai pembina puskesmas, agar dapat memanfaatkan status sebagai PPK-BLUD untuk meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pengelolaan puskesmas dengan PPK-BLUD sa- ngat dibutuhkan untuk memberikan kemudahan pada puskes- mas dalam pengelolaan anggaran dalam era Jaminan Kesehat- an Nasional.
Asuransi Kesehatan Sosial dan Biaya Out of Pocket di Indonesia Timur Isak Iskandar Radja; Hari Kusnanto; Mubasysyir Hasanbasri
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (259.033 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v4i2.36095

Abstract

Background: Social health insurance in Indonesia is carried by social insurance mechanism aims to provide social security protection to the community so their basic health needs can be met adequately. Social insurance is expected to increase access and utilization of health services as well as reducing the risk of out-of-pocket expenditure (OOP) that resulting in catastrophic expenditures and poverty. Objective: To analyze the utilization of inpatient care, health insurance and hospitalization OOP expense ratio based on living area, type of health facility and type of social health insurance in Eastern Indonesia. Methods: This study uses secondary data analysis using Indonesian Family Life Survey East 2012 data. This is a quantitative approach using cross-sectional design, and multivariate analysis using linear regression at 95% confidence level. Results: The use of hospitalization in Eastern Indonesia by insurance users is 54.6%, while those who do not use insurance is 45.4%. A total of 24.6% insurance owner do not use insurance at the time of hospitalization. Multivariate analysis showed no significant difference in the cost of hospitalization OOP based living area and type of health facility. OOP costs of hospitalization for Jamsostek/other members were higher than Askes and Jamkesmas members. Conclusion: The government needs to implement a social health insurance system that is of a better quality and comprehensive in order to protect users from the burden of high health care cost. Latar belakang: Jaminan kesehatan sosial di Indonesia dilakukan dengan mekanisme asuransi sosial bertujuan untuk memberi jaminan perlindungan sosial kepada masyarakat agar dapat terpenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak, khususnya di bidang kesehatan. Asuransi sosial diharapkan dapat meningkatkan akses dan utilisasi pelayanan kesehatan serta mengurangi resiko pengeluaran biaya out of pocket (OOP) yang bisa berdampak pada pengeluaran katastropik serta kemiskinan. Tujuan: Menganalisis pemanfaatan rawat inap, asuransi kesehatan dan perbandingan biaya OOP rawat inap berdasarkan area tinggal, jenis fasilitas kesehatan dan jenis asuransi kesehatan sosial di Indonesia Timur. Metode: Penelitian ini menggunakan metode analisis data sekunder dengan sumber data Indonesian Family Life Survey East 2012. Pendekatan kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Analisis multivariat menggunakan regresi linier pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil: Pemanfaatan rawat inap di Indonesia Timur oleh pengguna asuransi sebesar 54,6% sedangkan yang tidak menggunakan asuransi sebesar 45,4%. Sebanyak 24,6% pemilik asuransi tidak menggunakan asuransinya pada saat kunjungan rawat inap. Hasil analisis multivariat menunjukkan tidak ada perbedaan biaya OOP rawat inap yang signifikan berdasarkan area tinggal dan jenis fasilitas kesehatan. Biaya OOP rawat inap pengguna Jamsostek/lainnya ternyata lebih tinggi dari pengguna Askes dan Jamkesmas. Kesimpulan: Pemerintah perlu menerapkan sistem asuransi kesehatan sosial yang lebih bermutu dan komprehensif agar dapat melindungi penggunanya dari beban biaya kesehatan yang tinggi, agar utilisasi asuransi kesehatan lebih berkualitas di masa mendatang.
Peran Stakeholder Kunci dalam Kebijakan Penanggulangan dan Pencegahan HIV/AIDS Studi Kasus di Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat Mitsel Mitsel; Yodi Mahendradhata; Retna Siwi Padmawati
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (245.286 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v4i2.36096

Abstract

Background.: The problem of HIV in Indonesia today has become a major problem not only in health but also has led to problems of social, culture, economic and politic. Cases of HIV in Sorong District in 2007 reached 16 cases, but on 1 July 2014 at increased to 1.029 cases. Data from Sorong KPAD showed a huge increase in the periode of 7 years. Increase in the number of cases should be a considered serious concern by the local goverment in make commitments and allocating budgets particularly in reduction and prevention of HIV in Sorong. Objective: To determine the role of key stakeholders in the policy of reduction and prevention of HIV in District of Sorong, West Papua. Method: This is a qualitative research with case study de- sign. Case study approach is used for the purpose of techni- cal research, in principle is to answer “why there is no spe- cific policy of the local goverment in the response to HIV pre- vention and how the role of the key stakeholders in the reduc- tion and HIV prevention policy in health district of Sorong.This research is carried out in District Sorong, West Papua. The subjects of this study were BAPPEDA, DPRD,Sub-Dinas PP&PL, Health Office of Distrist Sorong and KPAD as the key stakeholders in policy making at the local level. Result : The result showed that the advocacy of the key stakeholders in prevention and reduction of HIV/AIDS by KPAD and Health Department has not gone well, which there are no reports to the key stakeholders as an policy makers, resulting in weak support for the allocation of funds in prevention and reduction of HIV /AIDS in Sorong District, West Papua. Until now there is no local regulation on HIV/AIDS. Conclusion. Advocacy of the key stakeholder in this regard KPAD and Health district of Sorong should be more active as a key policymakers to both the executive (BAPPEDA) and legis- lative (DPRD) so that the response to HIV/AIDS in Distrist Sorong can run optimally. Latar Belakang : Permasalahan HIV/AIDS pada saat ini telah menjadi masalah besar di Indonesia. Peningkatan Kasus HIV/ AIDS di Kabupaten Sorong mencapai 16 kasus tahun 2007 namun meningkat menjadi 1.029 per Juli tahun 2014. Data dari KPAD Kabupaten Sorong ini menunjukkan peningkatan yang sangat besar dalam periode 7 tahun terakhir. Peningkatan jumlah kasus ini merupakan masalah yang seharusnya menjadi perhatian serius oleh Pemda Kabupaten Sorong dalam membuat komitmen dan mengalokasikan anggaran dari APBD secara khusus dalam Kebijkan Penanggulangan dan Pencegahan HIV/ AIDS. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui peran Stakeholder Kunci dalam kebijakan penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat. Metode Penelitian : Jenis penelitian adalah penelitian kulaitatif dengan rancangan studi kasus. Pendekatan studi kasus digunakan karena tujuan penelitian ini pada prinsipnya adalah untuk menjawab mengapa (why) belum ada kebijakan secara khusus dalam kebijakan Pemerintah Kabupaten Sorong dalam upaya Penanggulangan dan Pencegahan HIV/AIDS dan bagaimana (how) Peran advokasi Stakeholder Kunci dalam Kebijakan Penanggulangan dan Pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Sorong. Penelitian dilakukan di Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat, subyek penelitian ini adalah BAPPEDA, DPRD, Subdin P2&PL Dinas Kesehatan, dan KPAD sebagai Stakeholder Kunci dalam membuat kebijakan di tingkat daerah Kabupaten Sorong. Hasil . Hasil penelitian menunjukkan bahwa advokasi dari stakeholder kunci dalam penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS oleh KPAD dan Dinas Kesahatan belum berjalan dengan baik, belum ada laporan ke stakeholder kunci pembuat kebijakan, membuat lemahnya dukungan alokasi dana dalam upaya pencegahan dan penangulangan HIV/AIDS di Kabupaten Sorong. Sampai saat ini belum ada Perda HIV/AIDS. Kesimpulan dan saran. Advokasi dari stakeholder kunci yaitu KPAD dan Dinas Kesahatan harus lebih giat dilakukan terhadap stakeholder kunci yang membuat kebijakan baik kepada eksekutif (BAPPEDA) maupun legislatif (DPRD) agar upaya penanggulangn dan pencegahan HIV/AIDS di kabuapen Sorong bisa berjalan dengan maksimal,
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Indonesia Analisa Data SUSENAS – Modul Kesehatan dan Perumahan Triwulan IV Tahun 2013 Wan Aisyiah Baros
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (208.57 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v4i2.36104

Abstract

Utilization of health services is a demand for consumption based on the needs of the illness, discomfort, and desire to prevent diseases. Utilization of health services will certainly have an impact on health care costs, sources of funding, as well as access to health facilities. The purpose of the research is to see an overview of health care utilization of patients experience in outpatient, inpatient and health expenditure, sources of funding, health care expenditures in the use of outpatient and inpatient care and access to health facilities. The method is descriptive analysis to see a picture of health service utilization of the characteristics of the respondents, access, the source of funds and health expenditure from Susenas module of health and housing. Most respondents utilize health facilities for outpatient at the health center/auxiliary health center and hospitalization in government hospitals. The average cost for outpatient is Rp27.219,00, while hospitalization costs an average of Rp122.777,00. Sources of funds are their own expenditure (OOP) for outpatient and inpatient. It is the largest percentage compared to other sources of funding. Health centers and polyclinics are health facilities that have the shortest distance from the house. Pemanfaatan pelayanan kesehatan menjadi suatu permintaan bagi konsumen berdasarkan kebutuhan dari rasa sakit, ketidak- nyamanan maupun keinginan untuk pencegahan akan suatu penyakit. Pemanfaatan pelayanan kesehatan tentunya akan berdampak pada biaya pelayanan kesehatan, sumber dana biaya kesehatan serta akses ke fasilitas kesehatan. Tujuan penelitian untuk melihat gambaran pemanfaatan pelayanan kesehatan dari pengalaman pasien berobat jalan, rawat inap serta pengeluaran biaya kesehatan, sumber dana biaya kese- hatan pada kontak layanan di rawat jalan dan rawat inap maupun akses ke fasilitas kesehatan. Metode yang digunakan analisa deskriptif melihat gambaran pemanfaatan pelayanan kesehatan dari sisi karakteristik responden, akses, sumber dana maupun biaya kesehatan dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul Kesehatan dan Perumahan Triwulan IV Tahun 2013 dengan total responden sebanyak 274.839 anggota rumah tangga dan 71.454 rumah tangga. Sebagian besar responden memanfaat- kan fasilitas kesehatan untuk berobat jalan di Puskesmas/Pus- kesmas pembantu dan rawat inap di RS Pemerintah. Rata-rata biaya kesehatan untuk berobat jalan sebesar Rp27.219,00, sedangkan biaya rawat inap rata-rata sebesar Rp122.777,00. Sumber dana dengan biaya sendiri untuk berobat jalan dan rawat inap memiliki persentase yang terbesar dibandingkan dengan sumber dana yang lain dan fasilitas kesehatan di Puskesmas dan Poliklinik merupakan fasilitas kesehatan yang memiliki jarak terdekat dari rumah.

Page 1 of 1 | Total Record : 6