cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
JOGED
ISSN : 18583989     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
JOGED merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke masyarakat luas.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 18, No 2 (2021): OKTOBER 2021" : 7 Documents clear
MANTODEA: KOREOGRAFI VISUALISASI SIKLUS HIDUP BELALANG SEMBAH Agung Yunandi Kristianto; Raja Alfirafindra; Erlina Pantja Sulistijaningtijas
Joged Vol 18, No 2 (2021): OKTOBER 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v17i2.6336

Abstract

RINGKASANMANTODEA merupakan karya tari yang memvisualisasikan siklus hidup dan gerak-gerik Belalang Sembah dewasa hingga Nimfa (bayi Belalang Sembah). Kata MANTODEA diambil dari ordo mantodea, yang dalam bahasa Yunani berarti satu jenis Belalang Sembah. Gerak-gerik yang dihadirkan dalam karya tari ini adalah simbolisasi sikap Belalang Sembah disaat diam, gerakan merangkak dan gerakan ngoyok kanan dan kiri (badan seperti tertiup angin). Ide koreografi MANTODEA mempunyai keunikan tersendiri. Keunikan tersebut terdapat pada postur tubuh penata tari sendiri yang ternyata mirip Belalang Sembah. Selain kemiripan postur tubuh, penata juga tertarik pada kehidupan Belalang Sembah yang mandiri dan memiliki cinta sejati. Kemandirian disaat menjalani kehidupan. Cinta sejati disaat Belalang Sembah jantan rela mati demi membuahi sel telur. Melalui karya tari ini diharapkan memberikan inspirasi untuk belajar mandiri dan rela berkorban untuk kehidupan selanjutnya.ABSTRACTMANTODEA is the title of this dance work. The concept presented is a visualization of the life cycle and movements of Praying Mantis. The word MANTODEA is taken from the order of mantodea. The order of mantodea adapted from Greek which means one type of praying Mantis. The life cycle that is visualized in this dance work is from adult Mantiss to nymphs (Praying Mantis baby). The movements that are presented in this dance work are symbolic of the attitude of the Praying Mantis while still, crawling movements and movements of the right and left (body like blowing in the wind). The compilation of the MANTODEA choreography is unique. The uniqueness is found in the posture of the dance stylist himself who turns out to be like the Praying Mantis as the main object. Besides the similarity of the same posture the stylist is also interested in his life. The interest of the dance stylist in the life of Praying Mantis is independence and true love. Independence while living life. True love when male locusts are willing to die to fertilize an egg. Through this dance work is expected to be able to learn independently and be willing to sacrifice.
ABHILLANI ABHA’: KOREOGRAFI YANG TERILHAMI DARI NILAI HARGA DIRI DI MADURA Fatmawati Sugiono Putri; Maria Heni Winahyuningsih; Darmawan Dadijono
Joged Vol 18, No 2 (2021): OKTOBER 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v17i2.6350

Abstract

RINGKASANAbhillani Abha’ merupakan judul karya penciptaan tari Abhillani merupakan istilah bahasa Madura yang berarti membela, dan Abha’ merupakan istilah bahasa Madura yang berarti diri (harga diri). Karya ini bersumber dari kebiasaan masyarakat Madura khususnya di daerah Bangkalan, dengan kasus carok yang dilakukan oleh laki-laki untuk melindungi atau mempertahankan harga dirinya. Secara signifikan carok dijadikan sumber materi dramatik dan sumber materi artistik pada penciptaan karya tari ini. Pelecehan dijadikan tema pada penciptaan karya tari. Berangkat dari pengalaman menyaksikan peristiwa carok, dan mengamati gerak pelaku carok dalam melakukan gerak silat serta ketrampilannya memainkan clurit, memicu ide gagasan dan ide kinestetik dalam proses penciptaan karya tari. Karya Tari ini merupakan karya koreografi kelompok, maka dipilih metode penciptaan tari dengan menggunakan konsep yang diutarakan oleh Jacqueline Smith dalam bukunya Dance Compotitions: A Practical Guide for Teacher (1976), tentang metode konstruksi tari yang terdiri dari 5 tahap, yaitu tahap 1 tentang rangsang awal, tahap 2 tentang memilih motif menjadi komposisi, tahap 3 tentang menjadikan motif menuju komposisi kelompok, tahap 4 tentang bentuk tari, dan tahap 5 tentang elemen konstruksi. Properti celurit, motif Tari jawatimuran (Surabayan, Madura), gerak dasar silat, dan pola iringan jawatimuran (Surabayan, Madura) menjadi bahan- bahan untuk melakukan proses kreatif penciptaan Abhillani Abha’.ABSTRACTAbhillani Abha' is the title of a dance creation work. This work originated from the custom of the Madurese community, especially in the Bangkalan area, with the carok case committed by men to protect or maintain their dignity. Carok was significantly used as a source of dramatic material and a source of artistic material for the creation of this dance work. Harassment was used as a theme in the creation of dance work. Departing from the experience of witnessing the carok event, and observing the carok actor's movements in performing silat movements and his skills in playing clurit, triggering kinesthetic ideas and ideas in the process of creating dance works.This dance work is a group choreography, then the method of creating dance using the concept expressed by Jacqueline Smith in his book Dance Compotitions: A Practical Guide for Teachers (1976), about the dance construction method consisting of 5 stages, namely stage 1 about excitement beginning, stage 2 about choosing motifs into compositions, stage 3 about making motifs towards group composition, stage 4 about dance forms, and stage 5 about construction elements. The sickle property, the Jawatimuran dance motif (Surabayan, Madura), the basic movements of silat, and the Jawatimuran accompaniment pattern (Surabayan, Madura) became the materials to carry out the creative process of creating Abhillani Abha'.
MARHAROAN BOLON: KOREOGRAFI YANG TERINSPIRASI DARI PESTA ADAT MASYARAKAT BATAK SIMALUNGUN Sri Hastuti; Desy Wulan Pita Sari Damanik; Dindin Heryadi
Joged Vol 18, No 2 (2021): OKTOBER 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v17i2.6346

Abstract

RINGKASANMarharoan Bolon diambil dari bahasa Batak Simalungun yaitu Marharoan yang berarti bekerja, kata Bolon adalah besar. Jika diartikan keduanya Marharoan Bolon berarti bekerjasama atau gotong royong. “Marharoan Bolon” merupakan karya tari yang terinspirasi dari pesta Rondang Bittang, yaitu Pesta adat masyarakat Simalungun setelah musim panen untuk mengungkapkan rasa syukur atas keberhasilan panen raya dengan menggunakan berbagai tata cara ritual sebelum pesta dimulai. Pesta Rondang Bittang memiliki nilai kerja sama dan saling gotong royong. Sama seperti halnya makna yang terkandung dalam motif gerak mangunje mangodak, dan nahei kaki yaitu gerak yang menyilangkan tangan dan kaki. Silang memiliki makna persatuan, kerjasama dan saling gotong royong. Karya Marharoan Bolon merupakan koreografi kelompok yang terdiri dari delapan orang penari perempuan, jumlah delapan penari kerena akan tetap genap jika dibagi menjadi dua kelompok. Busana dalam koreografi ini menggunakan bahan Hiou dan pilihan warna lebih pada warna merah, hitam dan putih, ketiganya merupakan warna yang digunakan dalam setiap kegiatan adat Batak. Musik tari diformat MIDI dengan pola-pola hasil pengembangan Gondrang parrahot dan Gondrang Sipitu-pitu Batak Simalungun. Metode penciptaan dalam karya ini menggunakan metode eksplorasi sebagai bagian awal dalam pengembangan kreativitas proses penciptaan, improvisasi untuk menemuan gerak secara kebetulan atau spontan, komposisi untuk melakukan penyusunan gerak gerak yang telah didapat, serta evaluasi mengoreksi secara berkala terhadap proses. Pesan yang ingin disampaikan dalam karya ini adalah sebagai manusia yang hidup di jaman sekarang tetaplah mempertahankan rasa saling membantu dan bekerja sama terhadap orang lain. ABSTRACTMarharoan Bolon is a term of Batak Simalungun’s language, Marharoan means work and Bolon means big. So Marharoan Bolon has a meaning of work together or cooperate. "Marharoan Bolon" is a works of dance inspired by the Rondang Bittang party, the traditional thanks giving party of Simalungun’s indigenous to the god on successed in harvest season, and it requires some kind of rituals before be held. The Rondang Bittang party has the value of mutual cooperation. As well as it is contained in mangunje mangodak and nahei kaki motion motive, the motion of of cross the legs and arms. The cross motion has the meaning of union and cooperation. This meaning was raised to be dance a performance based on Batak Simalungun’s tradition. Marharoan Bolon is the choreography in a group from consists of eight female dancers. It will be still even when divided into two groups. The costume is made by Hiou material in red, black and white, as dominant selected colour. Those three of colour are always used in any Batak Simalungun’s tradition. The music is made by MIDI programe with the development Gondrang parrahot and Gondrang Sipitu-pitu patterns. The method of this creation is using an exploration method as the beginning part creativity development of the creation process, the improvisations for discovering motions spontaneously, and the composition for arranging the discovered. The message motions of this dance performance remind us as human being for preserving the value of mutual cooperate in nowadays era.
MUTUAL: KOREOGRAFI YANG TERINSPIRASI DARI PERUBAHAN SOSIAL SUATU PERKAMPUNGAN Putri Lestari; Setyastuti Setyastuti; Yohanes Subowo
Joged Vol 18, No 2 (2021): OKTOBER 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v17i2.6351

Abstract

RINGKASANKarya tari berjudul “Mutual” ini digarap dalam bentuk koreografi kelompok, ditarikan oleh satu penari putra dan dua penari putri. “Mutual” berasal dari kata mutualisme yang merupakan salah satu bentuk simbiosis dan mempunyai arti hubungan saling menguntungkan. Karya ini berlandaskan pada perubahan sosial yang terjadi di kampung halaman penata. Perkampungan yang dulu dinilai sebagai lingkungan yang kurang baik karena banyaknya permasalahan yang terjadi, kini sudah menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu dan adanya imigrasi. Terjadinya imigrasi memisahkan karakter dan suasana antara perumahan dan perkampungan. Meski terdapat perbedaan gaya hidup namun tetap menjunjung tinggi rasa kebersamaan. Suasana dalam perkampungan ini yang menjadi acuan penata dalam proses kreatif penciptaan tari. Karya ini menggunakan bahasa simbol yang diharapkan mampu menyampaikan maksud dan pesan yang terkandung didalamnya kepada penonton, sehingga karya ini tidak hanya menjadi tontonan atau hiburan semata melainkan mampu menginspirasi dan juga sebagai sarana refleksi bagaimana harus bersikap di lingkungan sosial. Dalam hidup bersosialisasi kita membutuhkan bantuan orang lain ataupun sebaliknya, sehingga kebersamaan dan keseimbangan dapat terwujud.ABSTRACTThe dance work entitled “Mutual” is composed in the form of group choreography, danced by one male dancer and two female dancers. "Mutual" comes from the word mutualism which is a form of symbiosis and means a mutually beneficial relationship. This work is based on the social changes that have occurred in the choreographer’s hometown. The settlement that used to be rated as an unfavorable environment due to many issues that occurred, is now getting better over time but also because of the immigration. Immigration separates the characters and the atmosphere between housing and settlement. Even though there are differences in lifestyle, they still uphold a sense of togetherness. The atmosphere in this settlement is the reference for the choreographer in the creative process of dance.This work uses symbolic language which is expected to be able to convey the meaning and the message to the audience, so that this work is not only as a performance or an entertainment, but it is able to inspire and also as a means of reflection on how to behave in a social environment. In social life we need the support of other people and vice versa, so that the solidarity and the balance can be materialized.
KESENIAN BANGILUN SAMIGALUH : KAJIAN KEHADIRAN DAN PERUBAHAN BENTUK PENYAJIANNYA Yohanes Surojo; Bayu Puji Santosa; Winarsi Lies Apriani
Joged Vol 18, No 2 (2021): OKTOBER 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v17i2.6347

Abstract

RINGKASANPenelitian dengan judul “Kesenian Bangilun Samigaluh Kajian Perubahan Bentuk Penyajiannya" ini menganalisis bentuk perubahan seni pertunjukan khususnya kesenian Bangilun. Mengapa “perubahan bentuk” perlu diteliti, sebab kesenian tari ini unik sekali koreografinya berbeda dengan tarian lainnya. Keunikan tarian ini terletak pada konsep dasar gerak tari yang didasarkan syairnya. Gerakan tari muncul setelah ada apa syair lagunya. Sesuai dengan fungsinya dahulu syair lagu yang disusun untuk kepentingan dakwah dan isinya ajaran hidup manusia telah lebih dulu ada dari pada gerak tarinya. Dalam penelitian ini ditemukan perubahan sistim dan bentuk sajian yang dijiwai dengan jiwa zaman sekarang di mana durasi waktu garapan antara 1 sampai 2 jam, sudah jarang ditampilkan 7-8 jam (semalam suntuk) seperti pada masa kehadiran di masa lalunya. Perbedaan zaman masyarakat pendukungnya yaitu masyarakat Samigaluh sekarang ini sudah berada di kategori masyarakat maju namun tetap menjunjung tinggi budaya gotong royong di pedesaan. Hal ini menjadi kekuatan budaya yang menempatkan kesenian Bangilun tetap pada seni tontonan dan seni tuntunan di tengah masyarakatnya. Di samping itu perubahan bentuk penyajiannya yang tetap unik adalah koreografi gerak tidak bisa lepas dari bentuk syair lagunya. Berubahnya koreografi geraknya sebatas panjang pendeknya lagu dan cara menyambungkannya, sehingga sampai saat ini belum pernah terjadi antara gerak dan musik berjalan sendiri, mereka masih saling ketergantungan.ABSTRACTThe research with the title: "The Art of Bangilun Samigaluh, a Study of Changes in the Form of Presentation" is a study that analyzes the changing forms of performing arts, especially Bangilun art. Why "changes in form" need to be investigated, because this dance art is unique, the choreography is different from other dances. The uniqueness of this dance lies in on the basic concept of dance movements based on their poetry. Dance movements appear first because of what the lyrics of the song look like. In accordance with their function, the song lyrics that were composed for the benefit of da'wah and the contents of the teachings of human life have existed before the dance movements. In this study, it was found that the changes in the system and form of the dish were imbued with the spirit of today where the duration of cultivation was between 1 and 2 hours, it was rarely shown 7-8 hours (all night) as in the past. The difference in the times of the supporting community is that the Samigaluh community is now in the category of advanced society but still upholds the culture of gotong royong in rural areas. This has become a strong cultural force that places Bangilin art in the art of spectacle and art of guidance among its people. Besides that, the change in the form of presentation that remains unique is that the motion choreography cannot be separated from the form of the song's lyrics. The changes in the choreography of the movement are limited to the length of the song and the way to connect it, so that until now it has never happened between motion and music that runs alone, they are still interdependent
I WILL SURVIVE: PERWUJUDAN ADAPTASI DI MASA PANDEMI MELALUI KARYA TARI VIDEO Galih Suci Manganti
Joged Vol 18, No 2 (2021): OKTOBER 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v17i2.6348

Abstract

ABSTRAK“I Will Survive” adalah sebuah karya tari video yang merupakan gambaran upaya seseorang beradaptasi di masa pandemi. Saat ini dunia sedang menghadapi masalah besar. Munculnya wabah penyakit yang disebabkan oleh virus, yaitu virus corona yang akrab disebut dengan covid 19. Dampak pandemi terhadap perekonomian sungguh sangatlah besar, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Banyak yang diberhentikan dari pekerjaan, kehilangan lapak pekerjaan ataupun menjadi banting setir ke usaha lainnya. Kondisi krisis yang sedang melanda dijadikan momentum untuk berkarya yang melahirkan estetika baru. Peristiwa pandemi Covid-19 mendorong munculnya karya-karya virtual para seniman. Koreografer berupaya untuk mencoba dan mengeksplorasi pembuatan karya tari video yang tentunya mempunyai tantangan dan tahap tersendiri dalam proses pembuatannya. Sehingga karya ini merupakan wujud eksperimentasi bagi koreografer dalam merespon kondisi sosial saat ini dalam bentuk karya video atau tari video. Pembuatan karya yang berjudul “I Will Survive” ini mencoba menerapkan teknik pembuatan tari video berdasar step yang digunakan oleh Katrina McPherson dalam bukunya yang berjudul Making Video Dance. Karya ini merupakan karya tari video dengan durasi 7 menit. Melalui karya ini, koreografer berharap agar penonton dapat terinspirasi untuk tetap survive, aktif dan produktif di masa pandemi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.ABSTRACT"I Will Survive" is a video dance work that is a picture of a person's efforts to adapt in times of pandemic. The world is facing a big problem right now. The emergence of disease outbreaks caused by viruses, namely the corona virus that is familiarly called covid 19. The impact of pandemics on the economy is huge, especially for the lower middle class. Many are dismissed from work, lose their jobs or become slammed to other businesses. The condition of the crisis that is being hit is used as a momentum for work that gives birth to a new aesthetic. The Covid-19 pandemic event prompted the emergence of virtual works by artists. Choreographers strive to try and explore the creation of video dance works that certainly have their own challenges and stages in the manufacturing process. So this work is a form of experimentation for choreographers in response to current social conditions in the form of video works or video dance. The creation of the work entitled "I Will Survive" tried to apply the technique of making step-based video dance used by Katrina McPherson in her book entitled Making Video Dance. This work is a video dance work with a duration of 7 minutes. Through this work, the choreographer hopes that audiences can be inspired to survive, be active and productive in pandemic times while adhering to health protocols.
FENOMENA PERKEMBANGAN TARI NIRBAYA KARYA SETYASTUTI Kurnia Rahmadhani; Rina Martiara; Budi Astuti
Joged Vol 18, No 2 (2021): OKTOBER 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v17i2.6349

Abstract

ABSTRAKTari Nirbaya karya Setyastuti, merupakan sebuah karya tari yang terinspirasi dari ‘edan-edanan’. ‘Edan-edanan’ merupakan rangkaian upacara yang harus ada saat ritual upacara temanten agung di Kraton Yogyakarta. Proses terciptanya tari Nirbaya diawali saat Setyastuti melihat secara langsung rangkaian upacara perkawinan yaitu ‘edan-edanan’ dalam prosesi pernikahan GBPH Cokroningrat, yaitu putra Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Keberadaan ‘edan-edanan’ dalam upacara temanten agung Kraton Yogyakarta merupakan sebuah ritual adat yang berfungsi sebagai penolak bala. Figur yang unik yang bertugas sebagai cucuk lampah dan diperankan oleh abdi dalem khusus yang dipercayai dapat mengusir hal-hal gaib yang dapat menganggu acara. Nirbaya dalam bahasa Jawa yang artinya ora ana alangan; ora ana bebaya (tidak ada halangan; tidak ada bahaya), sehingga kata Nirbaya dapat diterjemahkan sebagai sesuatu untuk menolak bahaya atau menghalau dari yang sifatnya negatif. Ditarikan oleh sepasang penari laki-laki dan perempuan, dengan tidak melupakan esensi gerak tari gaya Yogyakarta yang dirancang dengan nuansa komikal yang diwarnai gerak-gerak improvisasi.Terinspirasi dari tradisi itulah, tari Nirbaya diciptakan untuk mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta dalam rangka Festival Tari Nusantara pada tanggal 31 Desember 1989. Dalam perspektif fenomenologi penelitian ini menampakkan sebuah fenomena kondisi faktual di masyarakat, setelah tari Nirbaya dipentaskan di Jakarta menampakkan tari Nirbaya tetap difungsikan untuk keperluan upacara pernikahan dan berkembang sampai sekarang. Dalam berbagai peristiwa tersebut menampakkan unsur gerak improvisasi, menyebabkan terjadinya perubahan sesuai dengan kreativitas penarinya. Perubahan yang mencolok adalah pada gerak improvisasi, pelaku, pola lantai, penari, rias dan busana sehingga bentuk penyajiannya mengalami perubahan.ABSTRACTNirbaya dance by Setyastuti, is a new dance work inspired by 'edan-edanan'. 'edan-edanan' is a series of ceremonies that must be present during the ritual of the temanten agung ceremony, especially at the Yogyakarta Palace. The creation process of the Nirbaya dance began when Setyastuti saw firsthand the series of wedding ceremonies, namely 'edan-edanan' in the wedding procession of GBPH Cokroningrat, the son of Sri Sultan Hamengkubuwana IX. The existence of 'edan-edanan’ in the ceremony of temanten agung Kraton Yogyakarta is a traditional ritual that functions as a repellent to disaster. The unique figure who serves as a cucuk lampah and is played by the abdi dalem, specifically becomes the figure of a lunatic who is often called 'edan-edanan' '. This figure portrays a figure as ‘edan-edanan’ just acting, but not crazy. It is the form of a madman that is believed to be able to ward off magical things that can interfere with the event. According to Setyastuti, 'edan-edanan' is a unique figure, when a dance is made it looks interesting without forgetting the nuances of classical dance in Yogyakarta style and the nuances of the rituals of the great temanten ritual in the Yogyakarta Palace. Inspired by this tradition, Setyastuti finally created the Nirbaya dance in the framework of the Festival Tari Nusantara in Jakarta representing the Special Region of Yogyakarta on December 31, 1989. Nirbaya is in Javanese which means ora ana alangan; ora ana bebaya (no obstruction; no danger), so that the word Nirbaya can be translated as something to reject danger or drive away from negative things. Danced by a pair of male and female dancers, not forgetting the essence of Yogyakarta-style dance movements designed with comical nuances tinged with improvised movements. In a phenomenological perspective, this research shows a phenomenon of factual conditions in society, after the Nirbaya dance was staged in Jakarta, it shows that the Nirbaya dance is still used for the purposes of wedding ceremonies and is developing until now. In various events, the elements of improvisational motion are seen, causing changes to occur according to the creativity of the dancers. The striking changes are in the improvisation movement, actors, floor patterns, dancers, make-up and clothing so that the form of presentation changes.

Page 1 of 1 | Total Record : 7