cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
JOGED
ISSN : 18583989     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
JOGED merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke masyarakat luas.
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 9, No 2 (2018): OKTOBER 2018" : 8 Documents clear
MAKNA IKINSAI DALAM MIEMPU BUYUK SUKU DAYAK MA’ANYAN Emma Tianna Riantri
Joged Vol 9, No 2 (2018): OKTOBER 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (291.899 KB) | DOI: 10.24821/joged.v9i2.2542

Abstract

Miempu Buyuk merupakan istilah untuk menyebut upacara ritual pengobatan suku Dayak Ma‟anyan. Miempu Buyuk dipimpin oleh Wadian Dadas. Miempu Buyuk tidak dapat dilaksanakan tanpa ada seseorang yang sakit, yang datang juga hadir dalam ritual ini. Salah satu elemen terpenting, yaitu gerak yang dilakukan oleh Wadian Dadas disebut dengan ikinsai. Ikinsai dapat disebut tari, karena gerak-gerak yang dilakukan menunjukkan gerak extraordinary. Wadian Dadas mengalami itun alah (kerasukan roh leluhur) untuk mengambil tumbuhan sebagai obat bagi yang sakit.Proses pengobatan dalam Miempu Buyuk mencerminkan sebuah ritus peralihan. Meminjam konsep dari Victor Turner, ritus peralihan dibagi ke dalam tiga bagian, yakni separation (pemisahan), transition (liminal), dan reintegration (penyatuan kembali). Ritus peralihan akan membawa ke persoalan liminoid. Pelaksanaan Miempu Buyuk akan mengubah seseorang dari satu situasi ke situasi lainnya. Proses ini akan membawa pelaku, perlengkapan, dan tempat ritual untuk mengalami kebaruan. Elemen-elemen ini akan mengalami masa pemisah, dan berada dalam situasi ambang saat Wadian Dadas melakukan proses penyembuhan. Setelah orang sakit berhasil disembuhkan, semua elemen akan kembali pada posisi awal. Ketika proses penyembuhan, Wadian Dadas selalu ikinsai.Miempu Buyuk suku Dayak Ma‟anyan membuktikan adanya peralihan yang dialami pada ritual itu sendiri dan elemen-elemennya. Peralihan yang dialami Miempu Buyuk menjadi bukti bahwa ada ikinsai yang dimaknai sebagai liminoid. Pada setiap tahapan dari Miempu Buyuk, ikinsai oleh Wadian Dadas berbeda-beda, tetapi ada kesamaan pada pemanfaatan properti. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang ikinsai dalam Miempu Buyuk.
Kibas Rumbai Nabila Triyani
Joged Vol 9, No 2 (2018): OKTOBER 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (415.736 KB) | DOI: 10.24821/joged.v9i2.2547

Abstract

Kibas Rumbai merupakan karya tari yang terinspirasi dari gerak kibas dan efek rumbai pada kostum. Kibas adalah gerakan yang dilakukan dengan mengayun-ayunkan beberapa anggota tubuh seperti kepala, badan, tangan, dan kaki yang digerakkan secara bergantian tetapi tidak dilakukan berurutan. sedangkan Rumbai ialah kostum yang pada tarian aslinya terbuat dari daun pisang yang dipotong kurang lebih dua atau tiga jari tangan. Pada karya ini daun yang digunakan adalah daun Gajeh. Daun gajeh memiliki tekstur yang ringan dan menghasilkan suara ketika digerakkan para penari sesuai dengan apa yang diharapakan penata.Kibas Rumbai terisnpirasi dari tari Hudoq Kayoq pada masyarakat Dayak Bahau di Kalimantan Timur. Tari Hudoq Kayoq bertujuan meminta perlindungan Tuhan Yang Maha Esa agar tanaman padi terlindung dari serangan binatang yang dianggap sebagai hama berbahaya seperti monyet, babi, tikus, serta binatang perusak lainnya. Tari Hudoq biasanya digelar di lapangan atau sawah yang akan ditanami padi. Tari ini menggunakan ritme musik yang cepat dengan gerakan Nyidok dan Ngedok.Pada karya tari ini, Nyidok dan Ngedok menjadi sumber dasar gerak yang akan di gunakan sebagai langkah awal ekplorasi penemuan gerak yang akan di kembangkan dari pola ruang, waktu, dan tenaga. Karya tari ini bertipe studi yang artinya memfokuskan pada gerak berbatas dan spesifik karena tari studi menekankan pada terwujudnya sebuah kompleksitas gerak yang khas. Koreografi tari kelompok dengan jumlah penari 6 orang, dengan pembagian 3 orang penari laki-laki dan 3 orang penari perempuan.
MEDOMBO Enggar Trisnawati Yudhiono
Joged Vol 9, No 2 (2018): OKTOBER 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (372.186 KB) | DOI: 10.24821/joged.v9i2.2543

Abstract

Medombo adalah judul dari karya yang diwujudkan ke dalam sebuah koreografi kelompok, menunjuk pada konsep dasar prosesi ritual Mamang. Medombo diambil dari bahasa asli suku Paser yang artinya menaikkan. Medombo yang dimaksudkan adalah rangkaian awal pada elemen penting yang terdapat pada ritual Mamang yaitu ritual mengawinkan bibit padi guna menghasilkan bibit padi unggul dengan meminta jasa Mulung dan Penggading mengawinkan padi layaknya sepasang pengantin.Karya tari ini menggunakan tipe tari dramatik dengan mengangkat suasana prosesi dalam ritual Mamang. Berkaitan dengan konsep, pilihan bentuk karya dan tema yang dipilih adalah prosesi ritual Mamang, merupakan upacara yang dilaksanakan pada penggarapan padi dalam sistem ladang berpindah. Koreografer memvisualisasikan sebuah karya koreografi kelompok dengan penari yang berjumlah sepuluh orang penari terdiri dari lima penari laki-laki terbagi menjadi tiga orang penari laki-laki sebagai peladang laki-laki dan dua orang penari laki-laki sebagai simbolisasi padi dan Mulung atau dukun, serta lima penari perempuan terdiri dari tiga orang penari perempuan sebagai peladang perempuan dan dua orang penari perempuan sebagai Dewi Sri lambang kesuburan atau simbolisasi padi dan Penggading/Itak Pare atau pembantu dukun.Bentuk penyajian dalam karya ini adalah simbolis representasional dengan menggunakan properti tari berupa gelang atau gitang sebagai pendukung suasana sakral dan penyampaian pesan pada ritual tersebut. Penggunaan properti gitang dikomposisikan dengan memperhatikan aspek ruang, waktu dan tenaga pada karya ini. Keberhasilan karya ini didukung oleh banyak pihak dan elemen-elemen yang mempengaruhi diantaranya musik, artistik, pencahayaan, tata suara serta rias dan busana.
MAKNA SIMBOLIK TARI ASMARADANA KARYA PRAGINA GONG YOGYAKARTA Nana Noviana
Joged Vol 9, No 2 (2018): OKTOBER 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (131.853 KB) | DOI: 10.24821/joged.v9i2.2548

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna simbolik tari Asmaradana karya Pragina Gong Yogyakarta. Pragina Gong adalah sebuah komunitas tari yang dibentuk sejak 3 Desember 2005 oleh mahasiswa Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta angkatan tahun 2004. Grup ini lahir dari peserta grand finaslis ajang pencarian bakat Indonesia’s got Talent yang diadakan oleh salah satu stasiun TV swasta Indonesia.Karya tari Praginagong berangkat dari unsur tradisional hingga kontemporer. Karya-karya tari yang diciptakan semua berangkat dari ide kreatif yang berpijak pada unsur tradisi, namun telah dikemas menjadi suatu sajian yang lebih inovatif dan bersifat entertainment (seni sebagai hiburan). Salah satu karya terbaiknya adalah tari Asmaradana.Teori yang digunakan adalah teori semiotika dari Ferdinad de Saussure. Data yang digunakan dikumpulkan dengan teknik observasi non partisipan melalui melihat pertunjukan, mengamati anggota grup Pragina Gong berlatih serta dengan wawancara. Berdasarkan pengamatan tersebut dapat disimpulkan tari Asmaradana merupakan tari kreasi yang seringkali ditampilkan oleh grup pragina Gong. Tari tersebut selau dikembangkan sesuai dengan kebutuhannya. Konten dalam tari Asmaradana ini memiliki konsep yang menggambarkan tentang cinta kasih, keberagaman antar sesama manusia, bangsa dan tanah air yang diwujudkan dalam bentuk gerak, properti tari, iringan musik dan kostum.
MAKNA DAN SIMBOL TARI DEWA MEMANAH DALAM UPACARA ADAT ERAU DI KERATON KUTAI KARTANEGARA Auliana Rizka Luthfitasari
Joged Vol 9, No 2 (2018): OKTOBER 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (337.035 KB) | DOI: 10.24821/joged.v9i2.2544

Abstract

Penelitian ini menganalisis makna dan simbol tari Dewa Memanah yang merupakan salah satu tari dalam ritual perayaan adat Erau Erau di Keraton Kutai Kartanegara. Tari Dewa Memanah merupakan tarian yang wajib ada dalam upacara ritual Bepelas dan ditarikan oleh seorang penari perempuan yang disebut Dewa Belian dengan properti sebuah busur dan anak panah yang ujungnya bercabang tujuh dan berapi.Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, dengan pendekatan semiotika Pierce. Bagi Pierce tanda dan pemaknaan bukan merupakan sebuah struktur melainkan suatu proses yang berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang disebutnya semiosis. Proses semiosis ini melalui tiga tahap yaitu tahap pertama adalah penyerapan aspek representamen tanda melalui panca indra, kedua mengaitkan secara spontan dengan pengalaman dalam kognisi manusia yang memaknai representament itu (disebut object), dan ketiga menafsirkan object sesuai dengan keinginannya, tahap ketiga ini disebut interpretant.Hasil dari penelitian ini adalah tari Dewa Memanah merupakan penggambaran seorang dewa yang sedang memanah dengan maksud untuk mengusir roh-roh jahat agar tercipta ketentraman, keselamatan, dan keamanan selama prosesi ritual Bepelas berlangsung.
BASIR BELIAN Harianto Harianto
Joged Vol 9, No 2 (2018): OKTOBER 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (254.301 KB) | DOI: 10.24821/joged.v9i2.2545

Abstract

Basir Belian merupakan judul karya tari yang terinspirasi dari upacara Berayah, yaitu sebuah ritual pengobatan suku Dayak Jalai yang menganut kepercayaan Kaharingan yang dipimpin oleh seorang Belian. Basir berarti laki-laki yang menjadi seorang Belian. Jadi, Basir Belian dipilih sebagai judul karya agar dapat mewakili rangkaian dari upacara ritual itu sendiri, serta sosok pemimpin atau Belian Bancir yang juga diartikan sebagai seorang Basir, juga seorang Belian dalam ritual pengobatan. Karya Basir Belian menyampaikan beberapa hal yaitu fenomena keperempuanan dalam sebuah upacara ritual yang dilakukan oleh Belian Bancir dan aktivitas yang dilakukan Belian Bancir dalam upacara ritual.Gerak dasar dalam karya tari ini banyak terinspirasi dari gerak-gerak tradisi Kalimantan Tengah dengan kualitas gerak keras sebagai penggambaran sisi maskulin laki-laki Dayak dan kualitas gerak lembut visual dari roh gaib yang memiliki sifat feminin. Motif vibrasi dan stakato yang dipadukan dengan beberapa gerak tradisi Kalimantan Tengah menghasilkan beragam motif gerak baru yang memperkaya garapan ini. Selain itu aktivitas yang terjadi dalam sebuah upacara ritual melengkapi dramatisasi yang dibangun dari awal hingga akhir tarian.Karya tari Basir Belian disajikan dalam garap koreografi kelompok besar, sembilan penari laki-laki dengan format musik live music dipentaskan di proscenium stage Jurusan Tari ISI Yogyakarta. Tata rias dan busana merupakan hasil kreasi penata yang tetap mengacu pada bentuk asli dari tata rias dan busana yang dikenakan Belian Bancir pada saat upacara ritual.
“TITIS TUTUS” Budi Jaya Habibi
Joged Vol 9, No 2 (2018): OKTOBER 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (597.6 KB) | DOI: 10.24821/joged.v9i2.2541

Abstract

Wadian Dadas merupakan ritual pengobatan suku Dayak Ma‟anyan yang dipimpin oleh seorang wanita. Konon dalam pertapaannya untuk menjadi seorang Wadian, Ineh Payung Gunting mendapatkan ilham dari pertarungan burung elang dengan ular tedung, dan macan, sehingga teciptalah sebuah tarian ritual yang mengadopsi gerak ketiga binatang tersebut. Dewasa ini muncul fenomena perubahan pelaku ritual yang semula seorang wanita menjadi laki-laki yang bersifat keperempuanan yang biasanya masih memiliki hubungan darah.Fenomena perubahan pelaku ritual Wadian Dadas dalam karya ini disebut sebagai Wadian Liminal. Wadian Liminal diartikan sebagai manusia netral yang berada pada posisi di ambang atau di antara. Posisi liminal ini adalah sebuah fase penghilangan jati diri untuk membentuk sebuah citra imaji baru dalam ritual. Analisis berikutnya, ketiga binatang yang menjadi sumber gerak tari ritual Wadian Dadas, sesungguhnya adalah perlambangan tiga dunia. Burung elang sebagai penguasa alam atas, ular tedung sebagai penguasa alam bawah, dan macan sebagai penguasa alam tengah.Titis Tutus dipilih sebagai judul karya tari yang berorientasi pada sejarah, esensi tari ritual, dan perubahan pelaku Wadian. Titis diartikan sebagai darah keturunan, dan Tutus berarti anak keturunan. Karya tari dengan kekuatan sebelas penari ini dikemas dalam bentuk fragmen. Penari akan hadir menjadi titik fokus utama di proscenium stage dengan balutan busana bernuansa Dayak vintage. Karakter penari laki-laki yang feminin merupakan gambaran liminalitas pelaku ritual Wadian Dadas. Materi gerak tari mengadopsi gerak nginsai’, juga akan dihadirkan gerak-gerak hasil pencarian tentang esensi gerak ular tedung, burung elang, dan macan, sebagai bentuk inti dari tarian ritual Wadian Dadas. Musiknya bersumber dari irama Palu Dadas dan Saranginging dengan pola garap orchestra untuk menguatkan setiap fragmen.
FUNGSI TARI BELIAN NAMANG PADA MASYARAKAT KEDANG IPIL DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR Dwi Ariyanti
Joged Vol 9, No 2 (2018): OKTOBER 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (234.538 KB) | DOI: 10.24821/joged.v9i2.2546

Abstract

Tari Belian Namang merupakan tari tradisi yang disakralkan yang hidup di masyarakat desa Kedang Ipil Kalimantan Timur. Tari Belian Namang menjadi bagian dari beberapa upacara adat yang dimiliki masyarakat Kedang Ipil, yang merupakan gambaran perjalanan yang sangat jauh dari masyarakat untuk bertemu dengan Dewa. Perjalanan itu dilakukan untuk memberitahu dan momohon izin kepada Dewa, bahwa mereka akan melakukan kegiatan. Mereka berharap agar kegiatan yang akan dilaksanakan dapat berjalan dengan lancar dan terhindar dari roh-roh jahat.Untuk membantu menemukan jawaban dari permasalahan, maka dipakai teori Struktural Fungsional Radcliffe Brown. Menurut Brown fungsi lebih mengacu dalam struktur sosial yang di dalamnya memiliki relasi antar sistem yang saling berkaitan.Hasil penelitian tari Belian Namang memiliki tiga fungsi yaitu, fungsi ritual, fungsi sosial, dan fungsi estetis. Fungsi ritual merupakan salah satu wadah yang memposisikan tari Belian Namang menjadi hal yang penting. Salah satu contohnya dalam setiap pelaksanaan upacara ritual, tari Belian Namang selalu dipentaskan dengan tujuan agar apa yang diinginkan oleh para pelaku upacara dapat terlaksana. Fungsi yang kedua yaitu fungsi social, yang menempatkan tari Belian Namang sebagai wadah untuk hidup saling bersosialisasi antar sesama. Pada pementasan tari Belian Namang seluruh lapisan masyarakat turut serta membantu demi kelancaran pementasan. Fungsi ketiga adalah fungsi estetis, yang terlihat dari beberapa gerakan tari Belian Namang. Gerak tari ini membutuhkan kerja sama antar penari. Sikap kebersamaan ini menggambarkan juga sikap keseharian masyarakat Kedang Ipil.

Page 1 of 1 | Total Record : 8