cover
Contact Name
-
Contact Email
aljamiah@uin-suka.ac.id
Phone
+62274-558186
Journal Mail Official
aljamiah@uin-suka.ac.id
Editorial Address
Gedung Wahab Hasbullah UIN Sunan Kalijaga Jln. Marsda Adisucipto No 1
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies
ISSN : 0126012X     EISSN : 2338557X     DOI : 10.14421
Al-Jamiah invites scholars, researchers, and students to contribute the result of their studies and researches in the areas related to Islam, Muslim society, and other religions which covers textual and fieldwork investigation with various perspectives of law, philosophy, mysticism, history, art, theology, sociology, anthropology, political science and others.
Articles 8 Documents
Search results for , issue "No 53 (1993)" : 8 Documents clear
Studi Islam Oleh Para Orientalis William Montgomery Watt
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies No 53 (1993)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.1993.053.34-46

Abstract

Suatu sisi penting dari saling hubungan dan interaksi dua agama adalah studi tentang agama yang dilakukan oleh ilmuwan agama yang bukan-penganut agama yang bersangkutan. Pada abad Pertengahan, ilmuwan baik Islam maupun Kristen sangat konsen untuk menunjukkan kesalahan dan kelemahan agama lain; namun kalangan Kristiani akan mengklaim bahwa selama dua ratus tahun yang lalu· ilmuwan Kristiani telah bergeser dan bahkan lebih maju lagi. Mereka memiliki apresiasi positif terhadap Islam dan klaim mereka ini dikuatkan oleh fakta bahwa beberapa Muslim dapat mengambil manfaat dan terbantu oleh ilmuwan Barat untuk dapat memahami agama mereka -Islam- secara lebih mendalam lagi.
Kearah Islamologi Terapan Mohammed Arkoun
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies No 53 (1993)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.1993.053.65-80

Abstract

Mengolah suatu konsep berarti meragamkan jangkauan dan pemahamannya, menjeneralisasikannya dengan mengintegrasikan ciri-ciri istimewa, membawanya keluar dari kawasan aslinya, dan menjadikannya sebagai model, singkatnya, memberinya – secara berangsur-angsur melalui perubahan-perubahan teratur – fungsi suatu bentuk.  G. CANGUILHEMUntuk mendefinisikan pengertian dan tugas-tugas Islamologi Terapan, perlulah kiranya mengingat secara singkat pilihan-pilihan, batas-batas dan andil-andil dari apa yang kita namakan Islamolog KIasik.*** 
Paradigma Pemikiran Islam dan Penelitian Agama Abdul Munir Mulkhan
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies No 53 (1993)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.1993.053.47-64

Abstract

Problem pemikiran Islam dan penelitian agama (selanjutnya pemikiran Islam) dapat dibedakan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama, berkaitan dengan obyek pemikiran dan penelitian, dan yang kedua, batasan mengenai kebenaran. Jawaban atau penjelasan terhadap problem pertama akan menentukan jawaban problem kedua. Problem mengenai obyek pemikiran Islam meliputi berbagai hal yang berhubungan dengan ke-berada-an Tuhan, alam serta manusia. Termasuk di dalamnya, agama sebagai aktivitas manusia. Mengenai masalah ini sejak mula  muncul pertanyaan; apakah pemikiran Islam meliputi dimensi ke-gaib-an terutama Tuhan. Sementara masalah agama sebagai aktivitas manusia berkaitan dengan ukuran-ukuran obyektif dari kualitas keberagamaan antara lain seperti; takwa, ikhlas dan iman. Selanjutnya, persoalan kebenaran pemikiran Islam berkaitan dengan absolusitas dan relativitas serta ukuran dan bukti-bukti obyektifnya apakah bersifat sepekulatif ataukah empirik. Persoalan ini berhubungan dengan keyakinan mengenai letak absolusitas kebenaran wahyu yang muncul dari pengkutub-an Tuhan dan segala hal yang berkaitan dengan-Nya pada satu sisi. Sementara manusia memiliki sisi obyektif dan empirik maupun sisi spekulatif ditempatkan dalam suatu kutub lain yang seolah berlawanan.
Majid Fakhry Tentang Fundamentalisme dan Oksidentalisme Alef Theria Wasim
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies No 53 (1993)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.1993.053.81-92

Abstract

Kesan dan kekaguman umat Islam terhadap teknologi dan pengetahuan diantaranya telah melahirkan gerakan pembaharuan baik dalam bentuk modernisasi, reformasi, sekularisasi, maupun revivalisasi dan revitalisasi. Disamping itu fundamentalisme dan oksidentalisme juga muncul sebagai tesa lain. Issu fundamentalisme --yang sebenamya tidak hanya ada dalam Islam saja akan tetapi juga terdapat di beberapa agama besar lain semacam Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha dan bahkan dalam agama Kong Hu Cu -- juga telah menimbulkan rasa gelisah dunia Barat sehingga Barat menaruh perhatian yang cukup serius dan kemudian issu fundamentalisme ditulis oleh beberapa intelektual 1). Diantaranya adalah seorang intelektual Libanon yang berkiprah di dunia Barat, Arab dan Islam yang telah mengemukakan pokok-pokok pikirannya. Dalam kesempatan ini akan dicoba memahami bagaimana pokok-pokok pikiran Majid Fakhry tentang fundamentalisme dan oksidentalisme, yang tertuang dalam artikelnya yang berjudul "The Search for Cultural Identity: Fundamentalism and Occidentalism" dalam Islam The Perenniality of Values, CULTURES, IV, no.1 (The Unesco Press and Ia Baconniere). Menurut Majid Fakhry, pencarian identitas budaya dalam Islam sudah sejak lama dilakukan oleh para pemikir Islam. Dalam pencarian identitas budaya ini mereka melakukan pengisolasian beberapa unsur penting untuk membatasi sikap terhadap masa silam dan terhadap pewarisan budaya (turath)Iain terutama budaya Barat. Ia melihat ada tiga macam sikap dalam menghadapi warisan Islam dan budaya Barat kontemporer yaitu:1. yang dapat digolongkan sebagai "fundamentalisme” 2. yang disebutnya dengan "modernisme", dan 3. yang dimaksudkannya dengan "oksidentalisme". Majid Fakhry memberi komentar terhadap tiga sikap ini; sikap pertama dan kedua bersifat desisif, menentukan dan meyakinkan; dan sikap ketiga seringkali bersifat "sekularis", politis dan teologis. Kecenderungan sekularis ini dipandang bertentangan dengan etos fundamental. Apa, mengapa dan bagaimana "sekularis" dimaksudkan tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Majid Fakhry. Ia menyajikan sikap-sikap tadi secara berurutan dan dengan tekanan-tekanan tertentu.
Benturan Kebudayaan? Samuel P. Huntington
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies No 53 (1993)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.1993.053.1-26

Abstract

Perilaku dunia politik sedang memasuki suatu tahapan baru, dan para, cendekiawan tidak ragu-ragu mengobral pandangan tentang apa yang akan terjadi --berakhirnya sejarah, kembalinya permusuhan tradisional antara negara-negara bangsa dan runtuhnya negara bangsa antara lain-lain karena konflik tarik-menarik antara gagasan kesukuan dan gagasan globa masing-masing pandangan ini mengandung aspek-aspek realitas yang akan muncul. Tetapi pandangan-pandangan itu kehilangan aspek utama yang sangat penting tentang kira-kira seperti apa perilaku politik global itu pada tahun-tahun yang akan datang. Saya berhipotesa bahwa sumber konflik yang terpenting di dunia baru ini bukanlah terutama bersifat ideologis atau bersifat ekonomi. Perbedaan-perbedaan terbesar antar umat manusia dan sumber konflik yang paling dominan adalah kultural. Negara-negara bangsa akan tetap menjadi pelaku paling berjaya dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia, tetapi konflik pokok dari perilaku politik global akan terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan. Benturan kebudayaan akan menguasai perilaku politik global. Garis rawan antara kebudayaan-kebudayaan akan menjadi ajang peperangan masa depan.
Occidentalisme Burhanuddin Daya
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies No 53 (1993)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.1993.053.93-107

Abstract

Kemampuan orang Timur mengenal Barat, mestinya, sama dengan kemampuan orang Barat mengenal Timur. Saling memahami secara timbal-balik, adalah konsekwensi langsung dari terjadinya globalisasi masa kini. Perjumpaan Timur dan Barat, atau menurut Djamaluddin al­Afghani, Islam dan Barat, sudah sangat lama prosesnya. Hubungan budaya antara keduanya dapat diringkas menjadi tiga tingkat. Pertama, adalah hubungan semasa Timur berada di abad keemasannya, dengan kebudayaan atau peradaban Islamnya, ia berhasil memberikan pengaruh yang sangat kuat kepada Barat, sehingga Barat menjadi berbudaya. Semenjak dinasti Abbasi, kaum muslimin sudah mengembangkan sikap yang sangat terbuka terhadap kebudayaan-kebudayaan di luar lingkungan mereka. Ibn Rusyd, umpamanya saja, pernah mengemukakan pendapatnya, bahwa adalah kewajiban islamis bagi kaum muslimin untuk mempelajari buku-buku antik, klasik. Bila orang-orang Islam membaca buku-buku karya pemikir-pemikir yang lebih awal (Yunani) akan terdapatlah pemikiran-pemikiran para penulisnya secara menyeluruh. Jika di dalamnya ada sesuatu pemikiran yang berhubungan dengan kebenaran (mengandung kebenaran) kita harus mempertimbangkannya untuk diterima dan dikembangkan. Dan jika di dalamnya ada pemikiran­pemikiran yang tidak mencerminkan kebenaran (bertentangan dengan kebenaran) kita himbau supaya berhati-hati terhadapnya, dan kalau perlu, kita tantang atau kita bantah.
Orientalisme dan Oksidentalisme (Suatu Agenda Masalah) M Muzairi
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies No 53 (1993)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.1993.053.27-33

Abstract

Diskusi tentang Orientalisme dan Oksidentalisme dikalangan intelektual Islam bukan suatu yang asing akan tetapi segera akan terasakan, bahwa Orientalisme dan Oksidentalisme tidak selalu dihayati dalam citra yang sama, dipahami menurut pengertian yang sama, atau dibicarakan dengan memakai idiom-idiom yang sama. Perbedaan­perbedaan ini selain menyangkut variasi dalam aksentuasi juga melibatkan perbedaan logika, baik yang menyangkut kerangka konseptual, maupun berkenaan dengan lingkup minat dan kepentingan masing-masing. Persoalan akan timbul dan perbedaan akan terasa jika Orientalisme dan Oksidentalisme tidak sekedar dipandang sebagai suatu kajian ilmiah, tetapi dihadapkan sebagai "objektif'. Orientalisme dan Oksidentalisme sebagai kenyataan objektif, bagaimana keduanya didefinisikan? Adakah prasangka yang membayangi? Perlu dikemukakan terlebih dahulu, bahwa tulisan ini ingin mengambil posisi problematis, dan yang diusahakan disini adalah mencari agenda persoalan. Siapa tabu, posisi yang demikian itu akan lebih mengacu respons dan kritik yang akan berguna bagi kita. Pada jaman mutakhir ini Iiteratur keislaman dibanjiri oleh bahan-bahan dalam berbagai bahasa Barat yang kaya. Negeri-negeri Muslim bekas jajahan Inggris misalnya, kini sangat produktif dengan karya-karya penting. Ini merupakan keuntungan tersendiri bagi kaum Muslim yang tidak mengenal bahasa Inggris, dan bisa menjadi sebab semakin melebamya jurang intelektual antara yang tersebut terakhir ini dengan yang pertama. Jadi merupakan tantangan metodologis tersendiri bagi mereka dalam kajian keislaman.
Dialog Peradaban menghadapi Era Postmodernisme Sebuah Tinjauan Filosofis-Religius M. Amin Abdullah
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies No 53 (1993)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.1993.053.108-126

Abstract

Ketika wilayah perenungan dan pemikiran filosof tentang alam semesta telah diambil alih para ilmuan dalam cabang ilmu-ilmu kealaman 'empiris', juga ketika renungan para tilosof dalam bidang kemanusiaan telah diambil oper oleh para ilmuan sosial, maka orang bertanya-tanya apa manfaat dan jasa yang dapat diberikan oleh "filsafat". Orang meragukan apakah filsafat masih dapat menyumbangkan jasanya dalam era "dominasi" ilmu pengetahuan empiris baik dalam wilayah ilmu-ilmu kealaman maupun dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan. Bahkan dikalangan pemikiran keagamaan yang tipikal "konservatif', sudah lama filsafat dianggap sebagai suatu hal yang kurang berharga, sehingga tidak lagi patut untuk dipertimbangkan dalam proses pematangan dalam wilayah diskursus keagamaan. Menurut doktrin agama-agama besar di dunia, khususnya yang bersifat monoteistik, "kebenaran" hanya dapat diperoleh lewat "wahyu". Sejauh mana peran akal dalam memahami wahyu, apakah pemahaman dan campuran tangan historisitas kemanusiaan dalam memahami wahyu masuk dalam katagori wahyu itu sendiri ataukah masuk dalam wilayah historisitas pemahaman manusia, kadang diketepikan begitu saja. Ketika peran filsafat --baik dalam hal yang menyangkut Epestimologi, Etika maupun Metafisika-- ditepikan sebegitu rupa, tiba-tiba dalam dasa warsa ke 90-an masyarakat indonesia khususnya dikejutkan dengan istilah "baru" yang disebut-sebut dengan postmodernisme. Ditilik dari segi peristilahan yang muncul kepermukaan, jelas tampak bahwa istilah tersebut erat terkait dengan khazanah filsafat, tidak beda dari istilah-istilah seperti naturalisme, supernaturalisme, determinisme, modernisme, historisisme dan lain sebagainya. Jika peristilahan filsafat pada umumnya, hanya terbatas pada dataran kognitif, yang sering kali terlampau abstrak, sehingga sulit untuk dicerna dan dipahami oleh masyarakat luas, maka lain halnya dengan istilah postmodernisme. Istilah postmodernisme, yang sebenarnya juga ada pada dataran kognitif-abstrak, namun kemunculannya pada masa sekarang ini disertai dengan bukti sejarah yang kongkrit, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat luas.

Page 1 of 1 | Total Record : 8


Filter by Year

1993 1993


Filter By Issues
All Issue Vol 61, No 1 (2023) Vol 60, No 2 (2022) Vol 60, No 1 (2022) Vol 59, No 2 (2021) Vol 59, No 1 (2021) Vol 58, No 2 (2020) Vol 58, No 1 (2020) Vol 57, No 2 (2019) Vol 57, No 1 (2019) Vol 56, No 2 (2018) Vol 56, No 1 (2018) Vol 56, No 1 (2018) Vol 55, No 2 (2017) Vol 55, No 2 (2017) Vol 55, No 1 (2017) Vol 55, No 1 (2017) Vol 54, No 2 (2016) Vol 54, No 2 (2016) Vol 54, No 1 (2016) Vol 54, No 1 (2016) Vol 53, No 2 (2015) Vol 53, No 2 (2015) Vol 53, No 1 (2015) Vol 53, No 1 (2015) Vol 52, No 2 (2014) Vol 52, No 2 (2014) Vol 52, No 1 (2014) Vol 52, No 1 (2014) Vol 51, No 2 (2013) Vol 51, No 2 (2013) Vol 51, No 1 (2013) Vol 51, No 1 (2013) Vol 50, No 2 (2012) Vol 50, No 2 (2012) Vol 50, No 1 (2012) Vol 50, No 1 (2012) Vol 49, No 2 (2011) Vol 49, No 2 (2011) Vol 49, No 1 (2011) Vol 49, No 1 (2011) Vol 48, No 2 (2010) Vol 48, No 2 (2010) Vol 48, No 1 (2010) Vol 48, No 1 (2010) Vol 47, No 2 (2009) Vol 47, No 2 (2009) Vol 47, No 1 (2009) Vol 47, No 1 (2009) Vol 46, No 2 (2008) Vol 46, No 2 (2008) Vol 46, No 1 (2008) Vol 46, No 1 (2008) Vol 45, No 2 (2007) Vol 45, No 2 (2007) Vol 45, No 1 (2007) Vol 45, No 1 (2007) Vol 44, No 2 (2006) Vol 44, No 2 (2006) Vol 44, No 1 (2006) Vol 44, No 1 (2006) Vol 43, No 2 (2005) Vol 43, No 2 (2005) Vol 43, No 1 (2005) Vol 43, No 1 (2005) Vol 42, No 2 (2004) Vol 42, No 2 (2004) Vol 42, No 1 (2004) Vol 42, No 1 (2004) Vol 41, No 2 (2003) Vol 41, No 1 (2003) Vol 41, No 1 (2003) Vol 40, No 2 (2002) Vol 40, No 1 (2002) Vol 39, No 2 (2001) Vol 39, No 1 (2001) Vol 38, No 2 (2000) Vol 38, No 1 (2000) No 64 (1999) No 63 (1999) No 62 (1998) No 61 (1998) No 60 (1997) No 59 (1996) No 58 (1995) No 57 (1994) No 56 (1994) No 55 (1994) No 54 (1994) No 53 (1993) No 52 (1993) No 51 (1993) No 50 (1992) No 49 (1992) No 48 (1992) No 47 (1991) No 46 (1991) No 45 (1991) No 44 (1991) No 43 (1990) No 42 (1990) No 41 (1990) No 40 (1990) No 39 (1989) No 37 (1989) More Issue