cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur´an dan Tafsir
ISSN : 25281054     EISSN : 25408461     DOI : -
Core Subject : Religion,
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Tafsir [2528-1054] is peer-reviewed journal dedicated to publish the scholarly study of Qur’an from many different perspectives. Particular attention is paid to the works dealing with: Qur’anic Studies, Qur’anic sciences, Living Qur'an, Qur’anic Stuides accros different areas in the world (The Middle East, The West, Archipelago and other areas), Methodology of Qur’an and Tafsir studies. publishes twice in the year (June and December) by Qur’anic and Tafsir studies Programme at Ushuluddin Faculty UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 3, No 1 (2018)" : 8 Documents clear
KETENANGAN JIWA MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZĪ DALAM TAFSĪR MAFĀTIH AL-GHAYB Abd Jalaluddin
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Tafsir Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Qur’anic and Tafsir studies Programme at Ushuluddin Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (389.735 KB) | DOI: 10.15575/al-bayan.v3i1.2288

Abstract

Tulisan ini mendiskusikan ketenangan jiwa ditinjau dari pandangan Al-Rāzī, sebagai respon terhadap permasalahan psikologi yang banyak dialami masyarakat modern saat ini, seperti data WHO menyebutkan bahwa 154 juta orang yang mengalami depresi secara global pada tahun 2002. Ishaq Husaini juga menyebutkan dalam penelitiannya yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat, 26/9 persen laki-laki dan 12/5 persen perempuan yang mengalami tekanan jiwa  seperti depresi. Dari problem tersebut, ditemukan dalam pandangan al-Rāzī bahwa faktor penyebabnya adalah khauf, ḥazn, hulu’, ḥubbu al-Dunyā, ḥasad, al-Tafākhur, dan al-Takathūr. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan tafsir tematik tokoh.  
Analisa Gender dan Prinsip Prinsip Penafsiran Husein Muhammad pada Ayat-Ayat Relasi Gender Eni Zulaiha
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Tafsir Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Qur’anic and Tafsir studies Programme at Ushuluddin Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (193.535 KB) | DOI: 10.15575/al-bayan.v3i1.3125

Abstract

Selama ini mayoritas mufasir telah melakukan upaya pemahaman penafsiran terhadap Alquran dengan pendekatan literal-skriptural. Hasil pendekatan ini dinilai telah melahirkan penafsiran yang bias gender. Dewasa ini ulama kontemporer hususnya feminis telah menggunakan analisa gender dan pendekatan kontekstual-filosofis dalam penafsirannya, hasil penafsiran mereka berhasil dinilai adil gender. Husein Muhammad sebagai salah satu mufasir feminis Indonesia juga  telah berhasil melakukan pendekatan kontekstual-filosofis dan memasukan analisa gender dalam penafsirannya, metodologi tafsir feminis yang dibangunnya cukup menarik. epistemologi penafsirannya beririsan dengan epistemologi tafsir kontemporer yang tentunya berbeda dengan tafsir klasik. Prinsip penafsirannya telah memadukan analisa gender yang berasal dari Barat itu menjadi kajian yang tidak bersebrangan dengan pendapat ulama-ulama klasik sekalipun. Ia tetap menggunakan pendekatan hermeneutika dalam tafsirnya namun tidak meninggalkan logika- logika hukum Islam yang selama ini populer di kalangan sarjana muslim. Pokok bahasan dalam tulisan ini dikaji dengan metode deskriptif analitis dan tehnik pencarian data menggunakan book survey dan wawancara. Hasil dari penelitian ini menemukan sembilan prinsip penafsiran Husein Muhammad. Kesimpulan dalam tulisan ini, sebenarnya penafsiran Husein Muhammad berkonsentrasi pada kajian historisitas teks Alquran juga pola pemahaman teks yang memfokuskan pada relasi teks, konteks dan pengarangnya 
WAHYU DALAM PANDANGAN NASR HAMID ABU ZAID Miftah Miftah; Irma Riyani
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Tafsir Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Qur’anic and Tafsir studies Programme at Ushuluddin Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (242.493 KB) | DOI: 10.15575/al-bayan.v3i1.3127

Abstract

Wahyu merupakan suatu perkara yang sangat penting dalam agama Islam bahkan menjadi asas kepada kewujudan Islam itu sendiri. Begitu pula tema wahyu dalam khazanah ‘‘ulūm al-Qur’ān. Oleh sebab itu, berbagai kajian tentang wahyu banyak dilakukan oleh para pemikir Muslim, ia sentiasa dijadikan sasaran musuh Islam untuk melemahkan Islam dan umatnya. Nasr Hamid Abu Zaid adalah satu nama besar dalam dunia Pemikiran Islam yang mencoba menawarkan gagasan baru mengenai wahyu tersebut.Dalam mengkaji tradisi (turath) di bidang pemikiran terutama pada kajian‘ulūm al-Qur’ān, Nasr Hamid Abu Zaid berbeda dengan para pendahulunya. Jika para pendahulunya lebih cendrung mengekor atau taqlīd dengan pemikiran yang sudah ada, justru Nasr Hamid Abu Zaid lebih memilih untuk mengkritisi pemikiran- pemikiran tersebut,. Bahkan lebih jauh lagi Ia  bukan sekedar mengkritisi, tetapi tidak segan-segan untuk menolaknya. Sikap kritis Abu Zaid diwujudkan dengan menggiring, ‘‘ulūm al-Qur’ān sebagaii objek kajiannya menuju taraf ilmiah rasional. Karena kajian ini  masih dianggap jalan di tempat, yakni masih berada pada wilayah teologis-mitologis. Sehingga belum ada upaya-upaya untuk menuju ke taraf yang lebih tinggi, yaitu taraf ilmiah-rasional.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan Nasr Hamid Abu Zaid tentang wahyu. Metode yang digunakan dalam penulisan adalah deskriptif analisis. langkah awal yang ditempuh adalah dengan mengumpulkan data-data primer dan sekunder kemudian mengklasifikasikan, mendeskripsikan dan selanjutnya menganalisis.Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Abu Zaid mengkaji wahyu dengan analisis unsur budaya sehingga yang membedakannya dengan penafsir lainnya adalah antara wahyu dan budaya,. budaya-sosial sangat berperan dan berpengaruh penting terhadap munculnya sebuah teks. Abu Zaid menjelaskan proses  pewahyuan Alquran dengan meminjam teori model komunikasi Roman Jakobson, meskipun tidak sama persis.“Proses pewahyuan menurutnya adalah sebuah tindak komunikasi yang secara natural terdiri dari pembicara, yaitu Allah, seorang penerima, yakni Nabi Muhammad, sebuah kode komunikasi, yakni bahasa Arab, dan sebuah canel, yakni Ruh Suci (Jibril). Nasr Hamid Abu Zaid juga dipengaruhi oleh Toshihiko Izutsu, dan  al-Jurjani.
PROBLEMA NASKH DALAM ALQURAN (KRITIK HASBI ASH-SHIDDIQIEY TERHADAP KAJIAN NASKH) Thoriq Aziz
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Tafsir Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Qur’anic and Tafsir studies Programme at Ushuluddin Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (400.801 KB) | DOI: 10.15575/al-bayan.v3i1.2286

Abstract

Naskh-mansūkh merupakan salah satu ilmu dari beberapa ilmu Alquran yang dapat dijadikan sebagai ‘alat’ untuk memahami pesan-pesan wahyu Alquran. Naskh-mansūkh merupakan salah satu kajian yang sudah lama menjadi bahan perbincangan para ulama terdahulu. Akan tetapi, pembahasan terkait naskh-mansūkh ini masih menyisakan problem oleh sebagian ulama’ lain sehingga terdapat pro-kontra dalam menanggapi naskh-mansūkh itu sendiri. Selain problem pemahaman atas makna naskh, sebenarnya masih ada lagi problem yang oleh sementara ulama masih mempertanyakan akan “keberadaan” naskh-mansūkh dalam Alquran. Sebagian besar (jumhur) ulama’ meyakini adanya naskh dalam Alquran sementara sebagian kecil lainnya masih mempertanyakan keberadaanya. Sarjana Indonesia tampak ada yang ikut meramaikan perdebatan kajian naskh tersebut, sarjana itu ialah Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Dalam menanggapi pro-kontra tersebut dengan tegas Hasbi menempatkan posisinya pada kelompok kedua. Lalu pertanyaanya bagaimanakah Hasbi, dalam pemikirannya terkait naskh dapat berkesimpulan seperti itu? Lalu bagaimanakah upaya Hasbi dalam ‘mendamaikan’ ayat-ayat Alquran yang oleh sebagian ulama mengklaim terdapat naskh dalam Alquran? Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (literer). Penelitian ini menemukan kritik Hasbi yang menolak keras akan adanya naskh dalam Alquran. Hasbi mengemukakan argumen-argumen untuk menolak ulama yang mengakui adanya naskh, baik argumen yang berasal dari aql (rasio) maupun naql (teks). Tidak sebatas itu, Hasbi mengkompromikan ayat-ayat Alquran yang dinilai oleh sebagian ulama’ mengandung nask-mansūkh dengan metode tafsir dan takhsis. Sehingga Hasbi menegaskan tidak ada ayat yang naskh atau mansūkh di dalam Alquran.
ANALISIS SEMANTIK KATA SYUKŪR DALAM ALQURAN Mila Fatmawati; Dadang Darmawan; Ahmad Izzan
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Tafsir Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Qur’anic and Tafsir studies Programme at Ushuluddin Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (244.991 KB) | DOI: 10.15575/al-bayan.v3i1.3129

Abstract

Terdapat banyak istilah dalam Alquran yang berkaitan dengan kata syukūr. Orang lazim mengartikan kata syukūr dengan makna pujian, memuji dan berterimakasih. Kata syukūr di dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak  75 kali tersebar dalam 69 ayat dan 37 surat, terbagi ke dalam 18 bentuk (derivasi). Kata syukūr menjadi kata yang menarik untuk dikaji lebih dalam untuk mengungkap makna syukūr yang sesuai dengan makna yang disebutkan dalam Alquran. kata tersebut akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan semantik, yaitu teori semantik Toshihiko Izutsu. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, yang berbentuk library reseach (penelitian kepustakaan) dengan menggunakan metode analisis isi untuk memperoleh sebuah kesimpulan. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa Allah memberi balasan yang baik kepada orang-orang yang bersyukur dan balasan yang buruk kepada mereka yang tidak mau bersyukur. Balasan bagi orang yang besyukur yaitu berupa pahala yang berlipat, Allah memberikan pahala yang berlipat dari ketaatan hamba-Nya yang sedikit. Kemudian membalas ketaatan yang sedikit dengan derajat yang tinggi di sisi-Nya, dan balasan yang paling utama bagi orang-orang yang bersyukur adalah Surga dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya. Dan balasan yang buruk bagi orang-orang yang tidak mau bersyukur kepada Allah yaitu berupa azab yang pedih.
MAKNA FAHSYA’ DALAM AL-QUR’AN (kajian Ayat-ayat Fahsya’ dalam al-Qur’an) Ahmad Fauzan
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Tafsir Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Qur’anic and Tafsir studies Programme at Ushuluddin Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (437.183 KB) | DOI: 10.15575/al-bayan.v3i1.2571

Abstract

Di dalam al-Qur’an, bahasa yang menegaskan mengenai konsep keburukan sangat beragam, adakalanya term keburukan itu menggunakan kata su’, qabih, fasad, fahsya’, dan lain sebagainya. Semua penjelasan konsep keburukan dengan bahasa kata yang bervariasi ini adalah wujud agar hakikat dari keburukan dapat diketahui, sehingga akan dapat dibedakan mana itu jalan yang benar dan mana itu jalan yang salah. Secara umum, term keburukan dengan bahasa fahsya’ beserta kata jadiannya adalah gambaran bahwa konsep kata ini diperuntukkan pada segela hal yang mengindikasikan pada wilayah keburukan, kemaksiatan, dosa yang keluar pada wilayah batas kewajaran, serta dipandang sangat hina oleh akal sehat manusia dan syariat Islam.
Poligami Perspektif Kitab al-Tafsīr al-Wasīt li al-Qur’ān al-Karīm Ali Hendri
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Tafsir Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Qur’anic and Tafsir studies Programme at Ushuluddin Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (271.778 KB) | DOI: 10.15575/al-bayan.v3i1.3128

Abstract

Artikel ini membahas tentang poligami menurut sudut pandang kitab al-Tafsīr al-Wasīt Li al-Qur’ān al-Karīm karya Muhammad Sayyid Tāntāwī dengan menggunakan metode analisa deskriptif dan teori gender. Dalam penelitian ini, penulis menemukan bahwa kitab al-Tafsīr al-Wasīt Li al-Qur’ān al-Karīm ini membahas poligami dari berbagai aspek. Dari segi sababun nuzul, kitab ini hanya menggambarkan secara umum sejarah turunnya ayat poligami. Sementara dari segi historisnya, kitab ini menjelaskan tentang praktik poligami yang terjadi pada beberapa bangsa. Menurut kitab ini hukum poligami adalah boleh dengan syarat mampu berlaku adil. Namun, dalam keadaan tertentu (darurat) poligami bahkan menjadi wajib untuk dilakukan. Kebolehan poligami ini hanyalah merupakan despensasi yang diberikan oleh al-Qur’an untuk menghindari zina. Di bagian tertentu dari tafsir ini, penulis menemukan adanya keadilan gender, akan tetapi di sisi lain, kitab ini tidak terlepas dari bias gender.
PENGETAHUAN AL-QURAN DAN HADIS MELACAK KERANGKA DASAR INTEGRASI TEOLOGI DAN AGAMA Komarudin, Didin
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Quran dan Tafsir Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Qur’anic and Tafsir studies Programme at Ushuluddin Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/al-bayan.v3i1.3126

Abstract

This essay is aim at tracing the root of scientific philosophy in Islamic perspective, without overlook at the concept of the knowledge of philosophy before it is molded as the branch of philosophy. The objective is finding out the basic framework for the integration of science and Islamic knowledge. It is based on two reasons: first, based on the thesis that says that there is no dichotomous thinking in knowledge. Second, Al-Qur’an as the revelation of God is mostly considered as the source of the knowledge. Basically, the concept of knowledge in Islam is comprehensively-deeply considered, even more comprehensive than the concept of knowledge in western point of view. Thus, it is no exaggeration to say that if the contemporary science is compared with the concept of knowledge in Islam, the contemporary knowledge will be in a lower level than knowledge in Islamic concept as it is considered by modern civilization. In short, the development of knowledge in tauhid1 framework is a sine qua non to transform Moslems to be the clever and wise people. Tauhid can transform Muslims to be a person who are able to give an original, exclusive and Islamic contribution to the exiting body of knowledge, who are able to offer a solution of the humanity problem for the sake of the creation of the life that is more humane. It is also including Muslims who are able to be intellectual leadership and, at the same time be solid foundations of the construction of culture and Islamic civilization.

Page 1 of 1 | Total Record : 8