Ardani, I Gusti Ayu Indah
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PERILAKU BUNUH DIRI: INJEKSI PESTISIDA PADA PASIEN ANAK DENGAN SKIZOFRENIA ANTIKA, SINDI; ARDANI, I GUSTI AYU INDAH; WINDIANI , I GUSTI AYU TRISNA; ADNYANA, GUSTI AGUNG NGURAH SUGITHA
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 4 No. 1 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v4i1.2864

Abstract

This research is qualitative research using a case study approach combining observational study and biographical study. A 13 year old girl, NTT domiciled in Bali, 2nd grade junior high school education, not married, not yet working. The patient was diagnosed with Paranoid Schizophrenia, AKI Stage Failure pro HD cito ec Paraquat Intoxication, Secondary hepatic injury, subcutaneous emphysema, electrolyte imbalance. complained of shortness of breath and it was getting worse, there were air bubbles under the skin on the patient's neck, the patient had had an intramuscular injection of pesticide on the right upper arm I week before entering the hospital. The parents did not know about this, so they were only taken to a health care center after 1 week after the patient injected himself with pesticide. Schizophrenia in children consists of early onset schizophrenia and childhood onset schizophrenia, which is a rare chronic neurodevelopmental disease, but can disrupt children's growth and development and cognitive function. The mechanism for the development of childhood schizophrenia is a combination of genetic, environmental and psychosocial factors. Diagnosis of schizophrenia in children requires careful history taking and evaluation of personal and family history because it is prone to misdiagnosis with autism or other developmental diseases. Until now, the criteria for diagnosing childhood schizophrenia use the same DSM-5 criteria as adult schizophrenia. Treatment for schizophrenia in children includes antipsychotics, ECT, and psychoeducation. It should be noted that children are at higher risk of experiencing side effects from antipsychotics, so periodic evaluations should be carried out to assess the effectiveness and side effects of the drug. In addition, child schizophrenia patients, especially those experiencing symptoms of psychosis, are at higher risk of attempting suicide compared to other age groups, so pharmacotherapy and non-pharmacotherapy support in the form of support from the surrounding environment is needed to support children's lives. ABSTRAKPenelitian ini merupakan penelitian kualitatif melalui pendekatan studi kasus menggabungkan antara studi observasi dan studi biografi. Seorang anak perempuan 13 Tahun, NTT domisili Bali, Pendidikan SMP kelas 2, belum menikah, belum bekerja. Pasien didiagnosa dengan Skizofrenia Paranoid, AKI Stage Failure pro HD cito ec Intoksikasi Paraquat, Secondary hepatic injury, emfisema subkutis, imbalance elektrolite. mengeluh sesak dan semakin memberat, terdapat gelembung udara di bawah kulit yang ada di leher pasien, pasien pernah melakukan injeksi pestisida secara intramuskur pada lengan atas bagian kanan I Minggu sebelum masuk Rumah Sakit. Kedua orang tua tidak mengetahui akan hal tersebut sehingga baru dibawa ke pusat pelayanan kesehatan setelah 1 minggu berselang sejak pasien menginjeksi dirinya dengan pestisida. Skizofrenia pada anak terdiri atas early onset schizophrenia dan childhood onset schizophrenia merupakan penyakit neurodevelopmental kronis langka, namun dapat mengganggu tumbuh kembang dan fungsi kognitif anak. Mekanisme perkembangan skizofrenia anak merupakan kombinasi antara faktor genetik, lingkungan, dan psikososial. Diagnosis skizofrenia pada anak memerlukan ketelitian dalam anamnesis dan evaluasi riwayat pribadi dan keluarga karena rentan terjadi kesalahan diagnosis dengan gangguan autisme atau penyakit perkembangan lainnya. Hingga saat ini, kriteria diagnosis skizofrenia anak menggunakan kriteria DSM-5 yang sama dengan skizofrenia dewasa. Terapi skizofrenia pada anak mencakup antipsikotik, ECT, dan psikoedukasi. Perlu diperhatikan bahwa anak-anak berisiko lebih tinggi untuk mengalami efek samping dari antipsikotik, sehingga evaluasi berkala sebaiknya dilakukan untuk menilai efektivitas dan efek samping obat. Selain itu, pasien skizofrenia anak, terutama yang mengalami gejala psikosis, berisiko tinggi untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan kelompok usia lainnya, sehingga dukungan farmakoterapi dan non-farmakoterapi berupa dukungan dari lingkungan sekitar diperlukan untuk menunjang kehidupan anak.
GANGGUAN KELEKATAN SEBAGAI PENCETUS TERJADINYA SKIZOFRENIA : TINJAUAN PUSTAKA SITANGGANG, AMITA ROULI PURNAMA; ARDANI, I GUSTI AYU INDAH; LESMANA, COKORDA BAGUS JAYA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 1 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i1.2867

Abstract

Schizophrenia is one of the non-fatal diseases that result in a heavy burden for patients, society, and the government, with a prevalence rate of 0.5-1% of the world's population, or more than 20 million people worldwide. In Indonesia, according to the Ministry of Health of the Republic of Indonesia in 2019, it is estimated that there are 450,000 people with mental disorders, including schizophrenia. Although the exact cause of schizophrenia is not yet known, several factors are suspected to influence the occurrence of schizophrenia, one of which is emotional trauma due to attachment disorders. Attachment theory offers a conceptualization of the formation of emotional bonds, social functions, and emotional regulation that can help explain the occurrence of mental disorders, including schizophrenia. A literature review was conducted through data sources such as PubMed, Google Scholar, Medline, and PsycINFO to search for data on attachment theory, attachment disorders, and schizophrenia. Attachment disorders are experienced in the early stages of development in the form of trauma. Trauma experienced in the early stages of development, such as negative events, neglect, or inadequate caregiving, is a factor that can affect brain development, leading to changes in neuroendocrine function, resulting in disturbances in emotional regulation and cognitive function. There is a decrease in the ability to identify and understand one's own and others' mental states, such as beliefs, emotions, and intentions, known as "mentalization" and "theory of mind." Emerging evidence regarding the role of attachment in the development of psychosis has implications for the prevention and treatment of psychosis. Trauma experienced in the early stages of development, such as negative events, neglect, or inadequate caregiving, is considered a factor that can affect brain development and neuroendocrine function. The discussion on the relationship between attachment disorders and schizophrenia still requires extensive review and research in the future. ABSTRAKSkizofrenia termasuk salah satu kelompok penyakit nonfatal yang mengakibatkan beban berat bagi penderita, masyarakat, dan pemerintah dengan kisaran prevalensi antara 0,5-1 % dari populasi dunia, atau lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia. Di Indonesia, menurut Kementerian Kesehatan RI tahun 2019 diperkirakan ada 450.000 orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) termasuk skizofrenia. Meskipun penyebab skizofrenia belum diketahui secara pasti, terdapat beberapa faktor yang diduga mempengaruhi terjadinya skizofrenia, salah satunya adalah trauma emosional akibat gangguan kelekatan. Teori kelekatan menawarkan konseptualisasi tentang pembentukan ikatan emosional, fungsi sosial, dan regulasi emosi yang dapat membantu menjelaskan terjadinya gangguan mental termasuk skizofrenia. Dilakukan tinjauan pustaka melalui sumber data yaitu PubMed, Google Scholar, Medline, dan PsycINFO untuk mencari data mengenai teori kelekatan, gangguan kelekatan dan skizofrenia. Gangguan kelekatan dialami pada tahap awal perkembangan dalam bentuk trauma. Trauma yang dialami pada tahap awal perkembangan, misalnya peristiwa negatif, pengabaian atau pengasuhan yang tidak memadai merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan otak, sehingga terjadi perubahan fungsi neuroendokrin sehingga terjadi gangguan regulasi emosi dan fungsi kognitif. Terdapat penurunan kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami kondisi mental diri sendiri dan orang lain, seperti keyakinan, emosi, dan niat, yang disebut sebagai “mentalisasi” dan “teori pikiran”. Bukti yang muncul mengenai peran keterikatan terhadap perkembangan psikosis mempunyai implikasi terhadap pencegahan dan pengobatan psikosis. Trauma yang dialami pada tahap awal perkembangan, misalnya peristiwa negatif, pengabaian atau pengasuhan yang tidak memadai dianggap sebagai faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan otak serta fungsi neuroendokrin. Diskusi mengenai hubungan gangguan kelekatan dan skizofrenia masih memerlukan banyak telaah dan penelitian di masa depan. 
COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY PADA REMAJA DENGAN PERCOBAAN BUNUH DIRI SUWANDI, NYOMAN DEFRIYANA; ARDANI, I GUSTI AYU INDAH; ADNYANA, I GUSTI AGUNG NGURAH SUGITHA; WINDIANI, I GUSTI AYU TRISNA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3153

Abstract

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) is a therapeutic approach that has been proven effective in treating various mental health problems, including suicide attempts in adolescents. The World Health Organization states that suicide is the second leading cause of death in the 15-29 year age group. In adolescents with suicide attempts, CBT can be used to help identify negative thoughts that drive suicidal thoughts and develop healthier coping strategies. It is important to note that CBT is not the only solution, but can be combined with other interventions, such as family support, psychoeducational education, and group therapy. This is a qualitative study using a case study approach combining observational studies and biographical studies. A 15-year-old girl, domiciled in Denpasar, junior high school education, unmarried, unemployed. The patient was diagnosed with a Major Depressive Episode without Psychotic Symptoms complaining of sadness since 1 month ago and felt even sadder when she had to go home. The patient felt more sensitive and felt that no one loved and understood her condition. The stressors felt were getting worse since she was suspended from school for not paying school fees and was reprimanded for dating. There are thoughts of drinking bleach and suddenly thinking about drinking the liquid. The patient also feels a loss of interest and joy, gets tired easily, and has difficulty concentrating. The patient is a stubborn and unruly child. When corrected, the patient will get angry and run away from home. Children with more severe depressive symptoms are more likely to benefit from antidepressants. The patient needs to be given pharmacotherapy and non-pharmacotherapy. Pharmacotherapy in this case is fluoxetine 5 milligrams intraorally every 24 hours (morning). Non-pharmacotherapy can be given supportive psychotherapy, CBT, and psychoeducation. Conflict management is not only done to the patient but also to the patient's family. Family conflict and parenting patterns can be one of the factors that aggravate the patient's current condition. ABSTRAKTerapi Perilaku Kognitif (CBT) merupakan pendekatan terapeutik yang telah terbukti efektif dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan mental, termasuk percobaan bunuh diri pada remaja. Organisasi Kesehatan Dunia mengungkapkan bunuh diri menjadi penyebab kematian terbanyak kedua pada kelompok usia 15-29 tahun. Pada remaja dengan percobaan bunuh diri, CBT dapat digunakan untuk membantu dalam identifikasi pemikiran negatif yang mendorong keinginan untuk bunuh diri serta mengembangkan strategi koping yang lebih sehat. Penting untuk dicatat bahwa CBT bukan menjadi solusi tunggal, namun dapat dikombinasikan dengan intervensi lain, seperti dukungan keluarga, pendidikan psikoedukatif, dan terapi kelompok. Merupakan penelitian kualitatif melalui pendekatan studi kasus menggabungkan antara studi observasi dan studi biografi. Seorang anak perempuan 15 Tahun, domisili Denpasar, Pendidikan SMP, belum menikah, belum bekerja. Pasien didiagnosa dengan Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik mengeluh sedih sejak 1 bulan yang lalu dan makin merasa sedih saat harus pulang ke rumah. Pasien merasa lebih sensitif serta merasa tidak ada yang menyayangi dan memahami kondisinya. Stressor yang dirasakan semakin memberat sejak mendapatkan skorsing dari sekolah karena belum membayar uang sekolah dan ditegur karena berpacaran. Terdapat pikiran terlintas untuk minum pemutih pakaian dan secara tiba-tiba berpikir untuk meminum cairan tersebut. Pasien juga merasa kehilangan minat dan kegembiraan, mudah lelah, dan sulit untuk konsentrasi. Pasien merupakan anak yang keras kepala dan sulit diatur. Bila dikoreksi, pasien akan marah dan kabur dari rumah. Anak-anak dengan gejala depresi yang lebih parah kemungkinan besar mendapatkan manfaat dari pemberian antidepresan. Pada pasien perlu untuk diberikan farmakoterapi dan nonfarmakoterapi. Farmakoterapi pada kasus ini berupa fluoxetine 5 miligram intraoral tiap 24 jam (pagi). Nonfarmakoterapi dapat diberikan psikoterapi supportif, CBT, serta psikoedukasi. Penanganan konflik tidak hanya dilakukan kepada pasien saja namun juga kepada keluarga pasien. Konflik keluarga dan pola asuh orang tua bisa menjadi salah satu factor yang memperberat kondisi pasien saat ini.