Selama ini poligami dipahami sebagai bagian dari perbuatan yang dianjurkan karena disebut sebagai sunnah rasul. Tidak sedikit penceramah yang menganjurkan pelaksanaan poligami dan kerapkali-baik sengaja ataupun tidak-memojokkan wanita untuk menerima dimadu oleh suaminya. Paham ini hidup dan secara tidak sadar diterima sebagai nilai yang hidup (living law) dalam masyarakat muslim Indonesia. Padahal terdapat pendapat lain yang menempatkan poligami sebagai perbuatan mubah belaka. Beberapa madzhab bahkan mensunnahkan agar suami cukup menikahi satu orang istri saja, karena poligami cenderung akan menyakiti perempuan. Pendapat fiqh inilah yang melatarbelakangi Mahkamah Agung menerbitkan petunjuk teknis dan sejumlah Sema berkaitan dengan praktik poligami. Melalui medium tersebut, diberikan jaminan kepastian hukum bagi istri untuk bersuara di depan sidang serta mempertahankan hak-haknya atas harta dalam perkawinan. Poligami liar juga telah dilarang untuk disahkan serta sejumlah hak keperdataan antara suami dan istri tidak diakui di depan hukum. Mahkamah Agung tengah menggunakan hukum (law as tool of social engineering) untuk menghidupkan pendapat-pendapat fiqh yang berpihak pada perlindungan perempuan dan sedikit demi sedikit diharapkan dapat mengikis pemahaman fiqh yang cenderung menegasikan kedudukan perempuan.