Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMILU DAN PROSES PENYELESAIANNYA BERDASARKAN UU NO. 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM WILAYAH SUMATERA UTARA Nurita, Cut; Ridwan Lubis, Muhammad
Jurnal Ilmiah METADATA Vol. 1 No. 2 (2019): Edisi bulan Mei 2019
Publisher : LPPM YPITI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.10101/metadata.v1i2.2

Abstract

Dengan diaturnya masalah tindak pidana Pemilihan Umum baik dalam KUH. Pidana maupun dalam UU No. 8 Tahun 2012 menunjukkan bahwa Pemilihan Umum itu merupakan hal yang sangat penting  dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Juga disadari, bahwa yang yang sangat penting adalah jika Pemilihan Umum tersebut bebas dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan metode telaah pustaka (library research) untuk mentelaah data-data sekunder yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Berdasarkan pembahasan maka ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pemilu dalam KUHP adalah apabila melakukan ancaman kekerasan, merintangi seseorang melakukan hak pilihnya, melakukan penyuapan terhadap seseorang dengan maksud agar tidak menjalankan hak pilihnya, melakukan penipuan yang menyebabkan hak pilih seseorang menjadi tidak berharga, melakukan pemalsuan identitas dan melakukan penipuan yang menyebabkan hasil pemungutan suara menjadi lain seolah-olah suara-suara yang diberikan sah. Pertanggungjawaban dan penyelesaian tindak pidana kampanye di luar prosedur dalam UU No. 8 Tahun 2012 dan mekanisme penyelesaian dalam UU No. 8 Tahun 2012 yang dilakukan Yenny Pardede dan Ety Mulyati dinyatakan telah melakukan tindak pidana melanggar perkara kampanye Pemilu Pasal 270 dan Pasal 274 sebagaimana diatur dalam Pasal 137 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
TINJAUAN TERHADAP TINDAK PIDANA BERDASARKAN UU RI NO. 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN (Studi Kasus Perkara No. 54/Pid.B/2003/PN.Mdn) Nurita, Cut; Ridwan Lubis, Muhammad
Jurnal Ilmiah METADATA Vol. 1 No. 3 (2019): Edisi bulan September 2019
Publisher : LPPM YPITI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.10101/metadata.v1i3.9

Abstract

Kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan atau diperdagangkan harus memenuhi ketentuan tentang sanitasi pangan, bahan tambahan pangan, residu cemaran, dan kemasan pangan. Hal lain yang patut diperhatikan oleh setiap orang yang memproduksi pangan adalah penggunaan metode tertentu dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, seperti rekayasa genetika atau iradiasi, harus dilakukan berdasarkan persyaratan tertentu. Jenis penelitian penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan metode telaah pustaka (library research) untuk mentelaah data-data sekunder  dan penelitian lapangan (field research) dengan melakukan penelitian ke Pengadilan Negeri Klas I A Medan. Berdasarkan analisis data, maka diperoleh kesimpulan pengguna bahan pangan borax melampaui ambang batas sehingga membahayakan tindak pidana UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan Permenkes No. 722 Tahun 1988 adalah dengan menggunakan bahan borax untuk tambahan pangan yang dicampur dengan bakso dan setelah dicampur dengan borax lalu bakso dipasarkan atau dijual kepada konsumen. Pertanggungjawaban pelaku dalam perkara No. 54/Pid.B/PN.Mdn adalah dengan menjatuhkan hukum kepada pelaku yang menggunakan bahan pangan borax melampaui ambang batas karena perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur Pasal 10 ayat (1) Jo. Pasal 55 b UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan Jo. Pasal 3 ayat (1) Bab III Permenkes No. 722 Tahun 1988. Berdasarkan kesimpulan, maka disarankan memberantas atau mencegah mengedarkan bahan pangan yang mengandug zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan dengan cara menghukum pelaku kejahatan mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin dengan hukuman yang lebih berat. Masyarakat agar tidak segan-segan untuk melaporkan kepada kepolisian bila melihat adanya gejala-gejala tidak baik yang dapat menjurus kepada atau ke arah terjadinya kriminalitas seperti mengedarkan bahan pangan yang mengandung zat atau bahan tambahan makanan yang melampaui batas yang ditetapkan agar dapat secara cepat mencegah terjadinya kejahatan ditengah-tengah masyarakat.
TINJAUAN YURIDIS KASUS PENCABULAN TERHADAP ANAK DIWILAYAH KABUPATEN DELISERDANG (Studi Kasus No. 116/Pid.B/2011/PN.LP/PB) Ridwan Lubis, Muhammad; Nurita, Cut
Jurnal Ilmiah METADATA Vol. 2 No. 1 (2020): Edisi bulan Januari 2020
Publisher : LPPM YPITI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.10101/metadata.v2i1.18

Abstract

Perbuatan cabul pada masa sekarang ini semakin marak terjadi. Akibat perbuatan cabul akan membawa akibat  korban mengalami kegoncangan jiwa dan mengalami kemunduran mental. Dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan metode telaah pustaka (library research) untuk mentelaah data-data sekunder dan penelitian lapangan (field research) yaitu dengan melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Medan. Faktor terjadinya perbuatan cabul adalah karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti adanya kesempatan, kurangnya iman sehingga dapat membuat seseorang lupa mengenai apa yang dilarang oleh agama dan apa yang disuruh oleh agama, melihat atau mengakses situs-situs internet yang menampilkan adegan dan gambar-gamabr pornografi, sehingga internet yang menampilkan gambar dan adegan pornografi harus dihilangkan, karena dapat mempengaruhi cara berfikir seseorang, jika dibiarkan akan menjadi krisis dalam dirinya sehingga akan melakukan perbuatan yang melanggar hukum yaitu perbuatan cabul. Berdasarkan analisa data di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk menanggulangi perbuatan cabul adalah dengan penanggulangan secara preventif seperti memberikan pendidikan seks, pendidikan agama dan keharmonisan keluarga, serta peningkatan pengawasan masyarakat terhadap gejala-gejala sosial yang kurang baik yang timbul ditengah-tengah masyarakat. Usaha lain dengan cara represif yaitu dengan menjatuhkan hukuman yang berat kepada pelaku sehingga jera dalam melakukan perbuatan cabul. Sedangkan rehabilitatif adalah usaha pembinaan yang dilakukan terhadap orang yang melakukan perbuatan cabul sehingga tidak mengulangi perbuatannya tersebut.
TINJAUAN ATAS PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI ADANYA PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH MEDIA MASA Ridwan Lubis, Muhammad; Nurita, Cut
Jurnal Ilmiah METADATA Vol. 2 No. 2 (2020): Edisi bulan Mei 2020
Publisher : LPPM YPITI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.10101/metadata.v2i2.27

Abstract

Hingga saat ini sejauh mana kebebasan pers di Indonesia masih diperdebatkan. Pihak pers menganggap kebebasan pers masih kurang dan terlalu dibatasi oleh undang-undang. Masyarakat berpendapat sebaliknya. Menilik berbagai pelanggaran kode etik yang dilakukan pers, ada pendapat bahwa undang- undang yang mengatur kebebasan pers perlu direvisi kembali agar pihak pers tidak ‘kebablasan’. Namun kenyataannya, pemberitaan yang dianggap merugikan telah terkena kepada pimpinan redaksi dan wartawan SKM “OPOSISI” di Medan, yaitu Dahri Uhum alias Atok Ai dan Drs Daham Siregar, yang dihukum hakim Pengadilan Negeri Medan masing-masing selama 1 (satu) tahun penjara, karena terbukti telah sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama menista dengan tulisan. Putusan PN Medan tersebut telah dikuatkan sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah bilakah suatu pemberitaan dari redaksi  SKM dinyatakan menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam KUHPidana, bagaimana putusan pengadilan terhadap tindak pidana yang dibuat dalam pemberitaan media masa yang berindikasi adanya pencemaran nama baik dan pertanggungjawabannya. Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian yang di lakukan adalah melalui studi dokumen (library research). Sumber data yang dipergunakan adalah data sekunder yang diperoleh melalui kepustakaan. Hasil penelitian bahwa Penistaan dengan tulisan diatur dalam KUHP pada banyak pasal di antaranya terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317 ayat (1) dan Pasal 318 ayat (1) KUHP. Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan perkara pidana di dalam sidang-sidang pengadilan harus dijiwai oleh prinsip praduga tak bersalah, yaitu bahwa seseorang tersangka baru dianggap bersalah telah melakukan sesuatu tindak pidana apabila ia telah dinyatakan terbukti bersalah dalam keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan tetap.
Unsur Melawan Hukum Sebagai Suatu Sarana Dalam Delik Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tipikor Lubis, Muhammad Ridwan; Maryani, Halimatul; Nurita, Cut
YUSTISIA MERDEKA : Jurnal Ilmiah Hukum Vol 5, No 1 (2019): JURNAL YUSTISIA
Publisher : Universitas Merdeka Madiun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

In all of the regulations, unless the Act No. 24 / Prp / 1960, the definition of 'unlawful' means has a broad meaning, namely in terms of formal (formele wederrechtelijkheid) and in terms of material (materiele wederrechtelijkheid), without distinguishing function is positive or negative function. This can be seen in the general explanation of these various regulations, as well as according to general explanations PTPK the existing laws in addition to an explanation related to Article 2 paragraph (1), as disampaikansebelumnya.Dalam its development in the future, the interpretation of "lawful" in the sense of material with positive function, which expanded the scope of the formulation of the offense, questioned and denied. In the Decision of the Constitutional Court (MK) No. 003 / PUU-IV / 2006 dated July 25, 2006, The Court considered that the explanation of Article 2 (1) it is contrary to the 1945 Constitution, because it creates legal uncertainty. The Court held that Article 28 D of paragraph (1) to protect the constitutional rights of citizens to obtain insurance and legal protection in criminal law certainly is translated as the principle of legality. This principle requires that the formulation of an action, so it can be regarded as a criminal offense, shall be set forth in the written rules beforehand. The Court then stated that the interpretation of the meaning of 'unlawfully' in the explanation of Article 2 (1) was not legally binding. Since then, comes back the difference of perception between the law enforcement agencies in understanding the interpretation of the element of "lawful" in the sense of material as described above, so the application of Article 2 (1) that would lead to legal uncertainty and injustice. Although this provision is widely used, the interpretation of the element of "lawful" in the practice of handling corruption cases in court Corruption (corruption) turned out to show their inconsistency.
MEKANISME PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DALAM MASYARAKAT ACEH (MECHANISM FOR IMPLEMENTING CHILD ADOPTION IN THE ACEH COMMUNITY) Lubis, Muhammad Ridwan; Siregar, Gomgom TP; Ichsan, Reza Nurul; Lubis, Mhd Ansori; Nurita, Cut
PKM Maju UDA Vol 3 No 3 (2022): Edisi Bulan OKTOBER
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM) Universitas Darma Agung (UDA) Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/pkmmajuuda.v3i3.4008

Abstract

Pengangkatan anak akan menimbulkan akibat hukum baik terhadap anak yang diangkat maupun bagi orang yang mengangkat. Salah satu akibat hukum itu adalah terhadap harta waris orangtua yang mengangkat anak tersebut jika meninggal dunia. Kedudukan anak angkat tidak dapat disamakan dengan anak kandung karena pengangkatan anak menurut peraturan perundang-undangan maupun hukum Islam tidak memutuskan hubungan darah/nasab anak angkat dengan keluarga kandung, namun hanya terjadi peralihan tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat. Pengangkatan anak tidak merubah hubungan hukum, nasab, dan mahram antara anak angkat dengan orang tua kandung ataupun orang tua angkat. prosedur pengangkatan anak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah membuat surat permohonan pengangkatan anak yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya. Bagian harta warisan anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah tidak saling mewarisi antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.
Asas Beban Pembuktian Terbalik Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Di Indonesia Nurita, Cut
Jurnal Hukum Kaidah: Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat Vol 23, No 1 (2023): Edisi September 2023
Publisher : Universitas Islam Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30743/jhk.v23i1.8457

Abstract

The reverse system of evidence as regulated in as stipulated in Indonesian positive law, namely as stipulated in Law No. 31/1999 on the Eradication of Corruption. Law No. 31/1999 on the Eradication of Corruption. Then The next problem that arises is whether the application of the reversed system of evidence in proving corruption cases can prevent or prevent corruption. system in proving corruption cases can prevent or reduce and even eliminate corruption in Indonesia completely. reduce or even eliminate corruption in Indonesia completely. This research is based on the theoretical framework of Roscoe Pound argues that Law as a tool of social engineering, law as a tool of society reform. society renewal. This concept was reported by Muchtar Kusumaatmadja and adapted to the conditions of Indonesia into law as a means of social engineering. adapted to Indonesian conditions into law as a means of community renewal. society. Law must be used as a means to renew and solve all problems in society. solve all problems that exist in society, including the problem of corruption. corruption. The reverse proof system is a special rule established by the government through the issuance of the government through the issuance of the provisions of Law No. 31 of 1999, as amended by Law No. 20 of 2001 on the Eradication of Corruption. as amended in Law No. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption. Corruption. Because the evidentiary system applied in corruption crimes is different from that applied in corruption crimes. corruption is different from that applied in procedural law in general. procedural law in general. Keywords: Reverse proof, criminal offense crime, corruption
Efforts Of The Government's Cooperative And Small And Medium Enterprises Office Medan City In Saving Msmes In The Time Of The Covid 19 Pandemic Lubis, Muhammad Ridwan; Siregar, Gomgom TP; Ansori, Muhammad; Putra, Panca Sarjana; Nurita, Cut
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah Vol 4, No 4 (2023): Edisi Desember 2023
Publisher : universitas Islam Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30743/jhah.v4i4.8547

Abstract

Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat: Memahami Perbedaan Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan Ridwan Lubis, Muhammad; Siregar, Gomgom TP; Nurita, Cut; Fraya Hartin Nst, Venny; Lubis, Diana
Bulletin of Community Engagement Vol. 3 No. 2 (2023): Bulletin of Community Engagement
Publisher : CV. Creative Tugu Pena

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51278/bce.v3i2.900

Abstract

Embezzlement is the act of dishonestly hiding someone else's property without the owner's knowledge with the intention of transferring ownership, control or use for other purposes. This is considered a type of financial fraud and a violation of criminal law. The crime of fraud is broader than inclusion. Although embezzlement is limited to goods or money, fraud also includes granting debts or writing off receivables. Fraud and embezzlement are considered relative offenses and can be revoked. However, the case will continue to be examined at the investigation, prosecution and trial stages, even though compensation has been paid. Relative offenses are considered ordinary offenses related to the family. If the victim does not file a complaint, then the violation becomes a complaint offense and can only be prosecuted by complaint. Distinguishing between criminal acts of fraud and embezzlement can be determined by the elements of each. An act can be considered fraudulent if it meets the criteria as intended in Article 378 which contains elements of fraud. Conversely, fraud may involve debt or write-offs of receivables. This element is often carried out through repeated seduction or promises to deceive the victim. Fraud has a wider scope than participation which is limited to goods or money in accordance with Article 372 KUPIdana. Any individual or community making purchases must follow the correct payment methods and comply with legal guidelines. Keywords: Public Legal Awareness, Crimes of Fraud, Crime Embezzlement
Pengembangan Sistem Pendidikan Hukum Pidana untuk Masyarakat Ridwan Lubis, Muhammad; Nurita, Cut; Lubis, Diana; Novita, Rini; Armaini Ry, Agus
Bulletin of Community Engagement Vol. 4 No. 1 (2024): Bulletin of Community Engagement
Publisher : CV. Creative Tugu Pena

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51278/bce.v4i1.1068

Abstract

Questioning the existence of law that lives in society in reforming criminal law is an important challenge in developing a legal system that is in accordance with changing social dynamics. In this endeavor, it is important to consider two main perspectives: juridical and theoretical. From a legal theory perspective, the position of law as it exists in society in reforming criminal law can be seen as a reflection of the interaction between existing norms in society and norms produced by formal legal institutions. This legal theory emphasizes the importance of understanding how informal norms that exist in society, such as customs, values ??and traditions, can influence the development of criminal law. In this context, the law that lives in society is not something separate or independent, but is an integral part of the formation and renewal of criminal law. This research applies a normative juridical approach with a focus on descriptive analysis. The results of this research show that there is a contribution of law that lives in society in reforming criminal law, which has strong theoretical support. This shows that in developing or updating criminal law, it is important to consider not only the norms established by formal legal institutions, but also the social realities and values ??that live in society. In addition, justification for adopting these social rules in criminal law reform can be found not only in national law, but also in international law, which shows the relevance and importance of global norms in the local context. Keywords: Development Criminal Law Education System, Criminal Law Education System