Nurmiati Amir
Department of Psychiatry, Universitas Indonesia, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

SNP8NRG433E1006 NEUREGULIN-1 GENETIC VARIATION IN BATAKS ETHNIC WITH SCHIZOPHRENIA PARANOID AND HEALTHY CONTROL Effendy, Elmeida; Loebis, Bahagia; Amir, Nurmiati; Siregar, Yahwardiah
BALI MEDICAL JOURNAL Vol 3 No 2 (2014)
Publisher : BALI MEDICAL JOURNAL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (332.257 KB)

Abstract

The neuregulin 1 (NRG1) gene which influences the development of white matterconnectivity has been associated with schizophrenia. It influences neuronal migration, synaptogenesis,gliogenesis, neuron-glia communication, myelination, and neurotransmission in the brain and others.NRG1 is located in 8p13, and it is frequently replicated in schizphrenia. SNP8NRG433E1006 geneNRG1 is one of core at risk haplotype of schizphrenia. This study looked forward differencesSNP8NRG433E1006 neuregulin 1 between Bataks ethnic with schizophrenia paranoid and Bataksethnic healthy control. Methods: Batak ethnic with schizophrenia paranoid were recruited andinterviewed with semi-structured MINI ICD-X to establish the diagnosis. All the eligible subjectswere requested their permission for blood sampling. Healthy Batak ethnic were also recruited bymathcing the age and gender. The blood samples went through DNA isolation, Nested PCR, and DNAsequencing. Results: Ninety three subjects were recruited, but only 74 blood samples weresuccesfully sequenced. We found three types of polymorphisms, i.e. G/A allele at base pair (bp) 76,G/T allele at bp 112, and deletion at bp 110 in Batak ethnic with schizophrenia. There were two kindsequences at bp 113-116 in Batak ethnics, and Batak ethnics with ATCG were at higher risk forhaving schizophrenia. This study support that NRG1 is a schizophrenia-susceptibility gene.
KOMORBIDITAS FISIK PADA GANGGUAN BIPOLAR DI RS. DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR Tinambunan, Iriawan Rembak; Amir, Nurmiati; Budiman, Richard; Kusumaningrum, Profitasari
Majalah Kedokteran Indonesia Vol 68 No 8 (2018): Journal of the Indonesian Medical Association Majalah Kedokteran Indonesia Volum
Publisher : PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA (PB IDI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendahuluan: Gangguan bipolar dikenal memiliki kaitan dengan berbagai komorbiditas klinis yang memengaruhi pekerjaan, kehidupan berkeluarga, dan fungsi interpersonal. Duapertiga pasien dengan gangguan bipolar memiliki komorbid yang akan memperburuk luaran gangguan bipolar dan dapat menganggu penatalaksanaan terhadap penyakitnya. Belum ada penelitian yang menggambarkan frekuensi komorbiditas fisik yang terjadi pada penderita bipolar di Indonesia. Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi sebagai rumah sakit jiwa tertua di Indonesia juga belum memiliki data mengenai jenis dan frekuensi komorbid fisik, mengingat bahwa rumah sakit ini juga menangani rawat inap umum di samping rawat inap psikiatri. Metode: Penelitian menggunakan rancangan potong lintang pada 100 orang dengan Gangguan Bipolar di Poliklinik Jiwa Dewasa dan Bangsal Psikiatri R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Penelitian ini menggunakan instrument Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders untuk menentukan Gangguan Bipolar, dan kriteria diagnostik sepuluh komorbid fisik yang mengacu pada kriteria diagnostik masing-masing komorbid fisik. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna antara umur dengan terjadinya komorbid fisik yaitu p= 0.001(p di bawah 0.005). Pada analisis tambahan didapatkan adanya hubungan bermakna antara pemberian obat polifarmasi/monoterapi dengan terjadinya komobid fisik terbanyak yakni hipertensi (nilai p= 0,0001). Pada sepuluh komorbid fisik yang dinilai, migrain, hipertensi dan dermatitis merupakan yang paling banyak. Kesimpulan: Hipertensi, migrain dan dermatitis merupakan tiga besar komorbid fisik di R.S. Dr. Marzoeki Mahdi Bogor. Terdapat hubungan bermakna antara umur dengan terjadinya komorbid fisik. Pemberian obat polifarmasi/monoterapi juga bermakna dalam terjadinya hipertensi. Diperlukan kewaspadaan psikiater dalam mengawasi terjadinya komorbid fisik pada gangguan bipolar di layanan psikiatri. 
HUBUNGAN ANTARA SIKAP HIGIENE TIDUR DAN FAKTOR LAIN DENGAN ANGKA KEJADIAN INSOMNIA PADA SATUAN PENGAMANAN (SATPAM) DENGAN KERJA GILIR DI PT. X H, Intan Vindalia Dian Sari; Roestam, Ambar W.; Amir, Nurmiati
Majalah Kedokteran Indonesia Vol 68 No 1 (2018): Journal of the Indonesian Medical Association Majalah Kedokteran Indonesia Volum
Publisher : PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA (PB IDI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendahuluan: Satpam dengan kerja gilir berisiko mengalami insomnia. Berdasarkan studi oleh Didi Purwanto tahun 2005 pada pekerja pabrik semen Citeureup?Bogor, prevalensi insomnia mencakup 48,1% pada pekerja gilir dan mencapai hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan pekerja non gilir. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi insomnia dan faktor?faktor yang meningkatkan risiko kejadian insomnia pada satpam dengan kerja gilir di PT. X. Metode: Desain penelitian menggunakan potong lintang yang dianalisis secara analitik, melibatkan 107 satpam dengan kerja gilir. Pengambilan data menggunakan beberapa kuesioner, yaitu kuesioner Sleep Hygiene Index, kuesioner Stress Diagnostic Survey, kuesioner Insomnia Rating Scale-KSPBJ, serta wawancara menggunakan instrumen MINI. Hasil: Prevalensi insomnia pada satpam dengan kerja gilir di PT. X adalah 81,9%. Hasil analisis statistik menunjukkan sikap higiene tidur buruk meningkatkan risiko terjadinya insomnia hampir 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan sikap higiene tidur baik (OR=9,820, 95%IK=1,185?81,413). Usia lebih tua, masa kerja lebih lama, pola kerja gilir iregular dan stres kerja sedang-tinggi tidak terbukti meningkatkan risiko kejadian insomnia pada satpam dengan kerja gilir (p>0,05). Diskusi: Saran bagi satpam yang menjalani kerja gilir yaitu dapat menerapkan sikap higiene tidur dengan baik. Bagi manajemen PT. X, disarankan penyuluhan berkala setiap tiga bulan sekali mengenai gangguan kesehatan akibat kerja gilir terutama insomnia dan evaluasi kesehatan pada satpam yang mengalami insomnia setiap satu hingga tiga bulan sekali.
Preventive Treatment on Sexual Abuse Survivor with Mental Retardation Brisma, Sinta; Amir, Nurmiati
Archives of The Medicine and Case Reports Vol. 1 No. 1 (2020): Archives of The Medicine and Case Reports
Publisher : Hanif Medisiana Publisher - Faculty of Medicine Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37275/amcr.v1i1.3

Abstract

The existence of limitations for children with mental retardation causes an inability to protect themselves so that they often become victims of sexual harassment. Preventive efforts are something that needs to be improved for prevention, considering the worse risks to children. The importance of an effort to prevent sexual abuse of children with mental retardation in connection with the lack of knowledge about sexual abuse and the inability of children to face the dangers that threaten themselves. From the results of research conducted in the United States in 1994, nearly 90% of children with mental retardation disorders had experienced sexual abuse, as many as 49% had experienced sexual abuse more than ten times. The high incidence of sexual abuse experienced by children with mental retardation is due to various factors, namely the condition of children's limitations, lack of supervision and protection of children by parents and the environment. Efforts that can be made are increasing knowledge about sexual abuse and self-protection skills through the Behavioral Skills Training Group Program, where children are trained to recognize threatening objects and situations (sexual abuse). Increasing knowledge about sexual abuse and providing training (self-protection skills) is a significant primary preventive measure to reduce the risk of sexual abuse in children with mental retardation.
Tatalaksana Gangguan Afektif Bipolar pada Ibu Hamil Oktaria Safitri, Dian; Amir, Nurmiati
Cermin Dunia Kedokteran Vol 46, No 1 (2019): Obstetri - Ginekologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (113.345 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v46i1.535

Abstract

Sekitar 25%-30% pasien gangguan bipolar yang hamil gejalanya menjadi lebih berat. Gangguan jiwa pada periode perinatal dapat menyebabkan distres signifikan, dapat mengganggu perkembangan ibu dan anak, dan jangka panjang mempengaruhi kesejahteraan ibu, bayi, keluarganya, dan masyarakat luas. Dokter seyogyanya memiliki pengetahuan lebih mengenai tatalaksana komprehensif gangguan bipolar selama kehamilan.Around 25-30% bipolar disorder patients show worsening symptoms during pregnancy. Mental disorders in perinatal period can cause significant distress that will interfere maternal and child development, and the long-term implication can affect the mother, infant, family, and community. Doctors should have more knowledge on comprehensive management of bipolar disorder during pregnancy.Â