Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

After the reform era, forest management approaches tend to change from state-based to community-based.  Arising awareness about the importance of involving communities in forest management, it will not succed without support from the community.  Since 2001, Perhutani has implemented a partnership program in the form of CBFM (Joint Forest Management Society), designed to accommodate the dynamic and needs of the community.  This paper aims to study the perception of society, equality of status of Mukhlas Ansori; Endriatmo Soetarto; Dudung Darusman; Leti Sundawati
Forum Pasca Sarjana Vol. 34 No. 3 (2011): Forum Pascasarjana
Publisher : Forum Pasca Sarjana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

After the reform era, forest management approaches tend to change from state-based to community-based.  Arising awareness about the importance of involving communities in forest management, it will not succed without support from the community.  Since 2001, Perhutani has implemented a partnership program in the form of CBFM (Joint Forest Management Society), designed to accommodate the dynamic and needs of the community.  This paper aims to study the perception of society, equality of status of the community, and to formulate alternative forestry policy.  This research was quantitative and qualitative research. Sample were taken purposively.  Research location in Perhutani office (BKPH) of Parung Panjang, KPH Bogor.  Public perceptions of CBFM are positive and able to increase revenue, income, absorb labour, and grow productive business. Biophysical condition are better with the following: the fire and illegal logging are reduced, and the rehabilitation of forest is better.  However, it is difficult for the community to get water since Acacia mangium were planted.  The level of community participation in planning and evaluation is low but high in the implementation.  The pattern of partnership is asymmetrical because the decision-making is dominated by Perhutani officers.  In the cooperative agreement, there are many inequalities positions.  CBFM is derivative of developmentalist ideology contrary to the principles of community empowerment.  The partnership is focused more on corporate interests, and is used as reducer of conflict.  Policy scenarios of CBFM are institutional strengthening, acces to forest resources, equality in forest management partnership, and productive business.   Key words: community forestry, partnership, equality, institutional
Pemanfaatan tiga ruang belajar (cave, campfire, watering hole) dalam konteks pembelajaran BIPA Krishandini Krishandini; Renny Soelistiyowati; Mukhlas Ansori
Jurnal Salaka : Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia Vol 5, No 1 (2023): Volume 5 Nomor 1 Tahun 2023
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/jsalaka.v5i1.8476

Abstract

Era digital saat ini telah mendisrupsi berbagai profesi di dunia. Bahkan, tidak menutup kemungkinan profesi pengajar (dalam hal ini pengajar BIPA) akan tergantikan oleh berbagai aplikasi. Namun demikian, konsep society 5.0  tetap menempatkan sumber daya manusia sebagai komponen utamanya. Untuk tetap memiliki peran di era digital saat ini, pengajar BIPA harus mahir memanfaatkan berbagai ruang pembelajaran agar tidak monoton dalam penyampaian sehingga capaian pembelajaran dapat maksimal. Pemelajar akan memiliki pengalaman yang berbeda antara saat berhadapan (tatap muka) dengan pengajar dan saat berselancar di dunia maya mencari materi yang mereka butuhkan. Hal tersebut perlu dielaborasi agar menjadi pengalaman yang menarik bagi pemelajar. Untuk itu, penelitian ini akan mendeskripsikan hal yang terkait dengan tiga jenis ruang dalam konteks pembelajaran BIPA, yaitu campfire (lecture space), watering hole ( collaborative space), cave (reflective space). Bagaimana pengajar memanfaatkan tiga ruang pembelajaran ini dalam konteks pembelajaran BIPA? Apa saja materi yang dapat ditransfer kepada pemelajar melalui tiga ruang pembelajaran tersebut? Dengan demikian, pengajar dapat mengelaborasikan makna lingkungan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan pemelajar pada waktu dan tempat yang berbeda. Jadi, karakteristik pemelajar BIPA yang esensinya datang dari berbagai tempat di belahan dunia ini dan memiliki perbedaan waktu dapat menikmati pembelajaran dengan baik.
Pemanfaatan tiga ruang belajar (cave, campfire, watering hole) dalam konteks pembelajaran BIPA Krishandini Krishandini; Renny Soelistiyowati; Mukhlas Ansori
Jurnal Salaka : Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia Vol 5, No 1 (2023): Volume 5 Nomor 1 Tahun 2023
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/jsalaka.v5i1.8476

Abstract

Era digital saat ini telah mendisrupsi berbagai profesi di dunia. Bahkan, tidak menutup kemungkinan profesi pengajar (dalam hal ini pengajar BIPA) akan tergantikan oleh berbagai aplikasi. Namun demikian, konsep society 5.0  tetap menempatkan sumber daya manusia sebagai komponen utamanya. Untuk tetap memiliki peran di era digital saat ini, pengajar BIPA harus mahir memanfaatkan berbagai ruang pembelajaran agar tidak monoton dalam penyampaian sehingga capaian pembelajaran dapat maksimal. Pemelajar akan memiliki pengalaman yang berbeda antara saat berhadapan (tatap muka) dengan pengajar dan saat berselancar di dunia maya mencari materi yang mereka butuhkan. Hal tersebut perlu dielaborasi agar menjadi pengalaman yang menarik bagi pemelajar. Untuk itu, penelitian ini akan mendeskripsikan hal yang terkait dengan tiga jenis ruang dalam konteks pembelajaran BIPA, yaitu campfire (lecture space), watering hole ( collaborative space), cave (reflective space). Bagaimana pengajar memanfaatkan tiga ruang pembelajaran ini dalam konteks pembelajaran BIPA? Apa saja materi yang dapat ditransfer kepada pemelajar melalui tiga ruang pembelajaran tersebut? Dengan demikian, pengajar dapat mengelaborasikan makna lingkungan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan pemelajar pada waktu dan tempat yang berbeda. Jadi, karakteristik pemelajar BIPA yang esensinya datang dari berbagai tempat di belahan dunia ini dan memiliki perbedaan waktu dapat menikmati pembelajaran dengan baik.