AbstrakCorak dalam membaca teks idealnya melalui tiga tahapan yaitu qiraâah salafiyyah, qiraâah taâwiliyyah, dan qiraâah maqashidiyyah. Sementara dalam wilayah al-waqiâ (kenyataan) ada beberapa disiplin ilmu yang digunakan dalam memahami fenomena sosial, politik, dan sains. Dengan demikian ketika melakukan pembacaan teks kemudian dikontekkan pada fenomena sains seharusnya tidak boleh meninggalkan disiplin ilmu yang ada pada wilayah al-waqiâ. Jika tidak maka pemahaman atas teks tersebut akan out of date, sehingga tidak aplicable. Oleh karenanya ijtihad harus selalu digelorakan dan pintu ijtihad tidak pernah ditutup. Dalam kontek menggelorakan ijtihad, ilmu ushul fiqh merupakan perangkat metodologi baku yang telah dibuktikan perannya oleh para pemikir Islam semisal Imam mazhab dalam menggali hukum Islam dari sumber aslinya (al-qurâan dan as-Sunnah). Namun dewasa ini fiqh Islam dianggap mandul karena peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer. Oleh karenanya, banyak tawaran model ijtihad dengan  metodologi baru dari para pakar Islam kontemporer dalam usaha menggali hukum Islam dari sumber aslinya untuk disesuaikan dengan dinamika kemajuan zaman, salah satunya model ijtihad saintifik dalam penentuan waktu ibadah shalat. Hal ini merupakan pekerjaan besar yang harus dilakukan dalam rangka membangun cita diri Islam (self image of Islam) di tengah kehidupan modern yang senantiasa berubah dan berkembang. Di Indonesia pada dasawarsa terakhir telah muncul perkembangan pemikiran hukum Islam yang disesuaikan dengan kondisi riil kehidupan di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa fiqh klasik dengan perangkat metodologinya sudah tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer, sehingga perlu sebuah model ijtihad saintifik. Kata kunci : Ijtihad, waktu, shalat, mahkum fih, mahkum alaih AbstractThe style of reading text is ideally through three stages, they are âqiraah salafiyyaâ, âqiraah tawiliyyahâ, and âqiraah maqashidiyyahâ. While in the area of âal-waqiâ (the fact) there are several disciplines of knowledge that are used in understanding social phenomena, politics, and science. Therefore, when we are reading the text that will be focus on science phenomenon, the context should be interrelated to the existing disciplines of knowledge in the area of âal-waqiâ. If we do not apply it, the understanding of the text will be out of date, so it is not aplicable. Therefore the âijtihadâ must be always inflamed and the door of âijtihadâ will never be closed. In the context of inflaming âijtihadâ, the knowledge of âusul fiqhâ is known as a set of standard methodology that its role has been proven by Islamic thinkers such as Imam madzhab in digging an Islamic law from its original source (al-Quran and Sunnah). But today, the âfiqhâ of Islam is considered barren because the role of theoretical framework of âusul fiqhâ is less relevant to answer the contemporary problems. Therefore, there are many models of âijtihadâ with a new methodology from contemporary Islamic experts in an attempt to dig Islamic law from its original source to suit the dynamics of the progress of time, one of the models of âijtihadâ scientific is timing of prayers. This is a big job to be done in order to establish Islamic ideals themselves (self image of Islam) in the midst of modern life that it is constantly changing and evolving. In Indonesia, the last decade has emerged the development of Islamic law which is adapted to the real conditions of life in Indonesia. This is motivated by the realization that the classical âfiqhâ with its methodology device are not able to answer the contemporary issues, so we need a scintific model of âijtihadâ. Keywords: Ijtihad, time, prayer, mahkum fih, mahkum alaih