M. Andy Prihartono
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Perbandingan Pemberian Morfin 15 mg Topikal dengan Bupivakain 0,25% Topikal pada Luka Operasi Modified Radical Mastectomy terhadap Waktu Bebas Nyeri dan Jumlah Kebutuhan Opioid Pascaoperasi Irwan Setiadi; M. Andy Prihartono; Erwin Pradian
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 8, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v8n2.2038

Abstract

Berbagai macam analgetik dapat diberikan untuk mengatasi nyeri pascaoperasi mastektomi, namun tidak ada yang ideal dalam menangani nyeri pascaoperasi. Teknik pemberian topikal adalah teknik terbaru untuk penanganan nyeri akut pascaoperasi modified radical mastectomy. Penelitian ini bertujuan membandingkan waktu bebas nyeri dan jumlah kebutuhan opioid pascaoperasi modified radical mastectomy. Penelitian menggunakan metode uji klinis acak terkontrol buta ganda melibatkan 38 pasien yang menjalani operasi modified radical mastectomy di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan November 2019–Februari 2020. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, kelompok morfin 15 mg topikal (kelompok M, n=19) dan kelompok bupivakain 0,25% topikal (kelompok B, n=19). Analisis data menggunakan Uji  Mann Whitney karena distribusi data tidak normal berdasar hasil Uji Shapiro-Wilk. Hasil penelitian didapatkan bahwa waktu bebas nyeri lebih lama pada kelompok M (846,78±411,80 menit) dibanding dengan kelompok B (401,52±123,19 menit) dengan perbedaan yang signifikan (p<0,05). Total kebutuhan opioid kelompok M lebih sedikit, yaitu sebesar 1,15±0,60 gram dibanding dengan kelompok B sebesar 3,84±0,89 gram dengan perbedaan yang signifikan (p<0,05). Simpulan penelitian adalah pemberian morfin topikal memberikan waktu bebas nyeri lebih lama dan jumlah kebutuhan opioid pascaoperasi lebih sedikit dibanding dengan pemberian bupivakain topikal untuk nyeri pascaoperasi modified radical mastectomy.Comparison of Postoperative Pain Free Duration and Amount of Opioid Need between Topical 15 mg Morphine and 0.25% Bupivacaine Applications on Modified Radical Mastectomy Surgical Wound Various analgesic methods are implemented for reducing postoperative mastectomy pain, but none of them are ideal. Topical administration is the latest technic for managing postoperative pain in modified-radical mastectomy. This study aimed to compare pain free duration and the amount of opioid needed to manage pain after modified-radical mastectomy. This randomized double-blind clinical trial study with 38 patients underwent modified radical mastectomy in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, Indonesia, was performed from November 2019 to February 2020. Subjects were divided into two groups, with one group received topical 15 mg morphine group (group M, n=19) and another received topical 0.25% bupivacaine group (group B, n=19). Data were analyzed using Mann Whitney test after they were proven to be non-normally distributed based on the results of the Shapiro-Wilk test. Results showed that the pain free duration was significantly longer in group M (846.78±411.80 minutes) when compared to group B (401.52±123.19 minutes) (p<0.05). The total dose needed for group M was 1,15±0,60 grams, which was significantly less than the dose needed in group B (384±0.89 grams) (p<0.05). In conclusion, topical morphine administration is associated with a longer pain free duration before the first onset of pain requiring opioid with less total amount of opioid needed when compared to bupivacaine for modified radical mastectomy postoperative pain.
Survei Penggunaan, Jenis, Teknik, serta Obat Blok Saraf Perifer di Jawa Barat Tahun 2016 Ayu Puji Lestari; Suwarman Suwarman; M. Andy Prihartono
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (817.911 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n3.1346

Abstract

Blok saraf perifer merupakan salah satu teknik regional anestesi yang memiliki banyak manfaat. Penggunaan blok saraf perifer di Asia, Eropa, Amerika, dan Australia sudah mulai meningkat. Data yang ada saat ini menunjukan bahwa penggunaan, jenis, teknik, dan obat untuk blok saraf perifer di negara lain sangat bervariasi. Di Indonesia khususnya wilayah Jawa Barat belum terdapat data mengenai penggunaan, jenis, teknik, dan obat blok saraf perifer. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui penggunaan, jenis, teknik, dan obat yang digunakan untuk blok saraf perifer di Jawa Barat. Penelitian dilakukan selama bulan Maret 2018. Penelitian bersifat deskriptif dengan  menggunakan kuesioner yang dikirimkan kepada 120 dokter spesialis anestesi di Jawa Barat, 66 melalui  jasa pos dan 54 kuesioner diberikan langsung kepada dokter spesialis anestesi yang bekerja di Bandung. Angka respons yang didapatkan sebesar 51,3%. Dari penelitian ini didapatkan dokter spesialis anestesi yang melakukan blok saraf perifer pada tahun 2016 sebesar 44%, blok ankle sebanyak 56%, blok wrist sebanyak 53%, 71% menggunakan blind technique, serta obat paling banyak digunakan adalah bupivakain sebesar 91%. Permasalahan dokter spesialis anestesi di Jawa Barat yang berkaitan dalam pelaksanaan tindakan blok saraf perifer pada tahun 2016 paling banyak disebabkan dokter anestesi yang tidak familiar dengan tindakan blok saraf perifer sebesar 45%.Kata kunci: Blok saraf perifer, Jawa Barat, surveySurvey on Use, Type, Technique, and Drugs Used for Peripheral Nerve Block in West JavaPeripheral nerve block is a beneficial regional anesthesia technique. The use of peripheral nerve block across Asia, Europe, America and Australia has been increasing. Current data have shown a wide variety in the use, technique, and drugs selected for peripheral nerve block. In Indonesia, especially in West Java, no data available yet on the use, technique and drugs selected for peripheral nerve block. This study aimed to explore the use, technique, and drugs selected for peripheral nerve block in West Java. This was a descriptive study using a questionnaire as data collection tool to collect data on peripheral nerve block done in 2016. One hundred and twenty questionnaires were distributed to anesthesiologists in West Java area with 66 were sent via air mail and 54 were given directly to the anesthesiologists who work in Bandung area during the month of March 2018. The response rate was 51.3%. Result shown that in 2016, 44% anesthesiologists performed peripheral nerve blocks. Of these,56% were ankle block and 53% were wrist block with 71% of the respondents chose to usethe blind technique. The most widely used agent was bupivacaine, which was used in 91% of the procedures. The main challengeof peripheral nerve block implementation in West Java is unfamiliarity with the approach that 45% anesthesiologist are not used to use this technique.Key words: Peripheral nerve block, survey, West Java 
Perbandingan Laringoskopi Indirek Kaca Laring dengan Laringoskopi Indirek Video Smartphone dalam Menilai Visualisasi Laring dan Kenyamanan Pasien Paulus Sulistiono; M. Andy Prihartono; Dedi Fitri Yadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (628.75 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n2.1254

Abstract

Salah satu pemeriksaan preoperatif yang dapat digunakan sebagai prediktor kesulitan intubasi adalah laringoskopi indirek.  Penelitian ini bertujuan menilai visualisasi laring dan kenyamanan pasien antara laringoskopi indirek kaca laring dan laringoskopi indirek video smartphone. Penelitian menggunakan  metode prospective randomized parallel trial, dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung pada bulan November–Desember 2017. Pasien dibagi menjadi kelompok laringoskopi indirek kaca laring (kelompok LIKL, n=22) dan kelompok laringoskopi indirek video smartphone (kelompok LIVS, n=22). Uji statistik menggunakan Uji Mann-Whitney. Hasil penelitian mengungkapkan visualisasi laring lebih jelas pada kelompok LIVS (1,73 SD±0,77) dibanding dengan kelompok LIKL (2,50 SD±0,86) dengan perbedaan signifikan (p<0,05). Kenyamanan yang lebih baik pada kelompok LIVS (skala di atas 5) dibanding dengan kelompok LIKL (skala di atas 5) dengan perbedaan signifikan (p<0,05). Simpulan penelitian ini adalah visualisasi laring dan kenyamanan pasien pada laringoskopi indirek dengan video smartphone lebih baik bila dibanding dengan laringoskopi indirek kaca laring.Kata kunci: Kaca laring, kesulitan intubasi, laringoskopi indirek, video smartphone  Comparison between Indirect Laryngoscopy Laryngeal Mirror and Indirect Laryngoscopy Smartphone Video in Evaluating Laryngeal Visualization and Patient ComfortIndirect laryngoscopy is an examination modality which can be performed during pre-operative phase as a predictor of difficult intubation. The purpose of this study was to compare indirect laryngoscopy using laryngeal mirror and indirect laryngoscopy using smartphone video in evaluating laryngeal visualization and providing convenience to patients during the examination procedure. This prospective randomized parallel trial was conducted at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from November to December 2017. Patients were assigned to two study groups: those who underwent indirect laryngoscopy using laryngeal mirror (LIKL group, n=22) and those who underwent indirect laryngoscopy using smartphone video (LIVS group, n=22). Mann-Whitney test was utilized as the statistical test method. Result of this study showed that laryngeal visualization was significantly superior in LIVS group compared to LIKL group (1.73 SD±0.77 vs 2.50 SD±0.86, respectively, p value<0.05). Patient comfort was significantly superior in LIVS group compared to LIKL group (comfort score above 5 vs comfort score above 5, respectively, p value <0.05). Therefore, it is concluded that laryngeal visualization using indirect langryngoscopy with smartphone video is more comfortable than the one that uses direct laryngoscopy with laryngeal mirror.Key words: Difficult intubation, indirect laryngoscopy, laryngeal mirror, smartphone video
Perbandingan Letak Garis Interkrista Iliaka terhadap Vertebra antara Gravida dan Non Gravida dengan Teknik Pencitraan Ultrasonografi Ni Wayan Pratiwi Wijaya; Budiana Rismawan; M. Andy Prihartono
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (161.358 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1582

Abstract

Teknik blokade neuroaksial merupakan teknik anestesi yang sering digunakan untuk memfasilitasi tindakan sectio caesaria. Teknik anestesi ini membutuhkan penanda anatomis yang salah satunya adalah garis interkrista iliaka atau garis Tuffier’s yang didefinisikan sebagai garis bayang horizontal yang menghubungkan bagian superior dari kedua krista iliaka. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan letak garis interkrista iliaka terhadap vertebra antara gravida dan nongravida dengan teknik pencitraan ultrasonografi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental pada 30 subjek penelitian yang dilakukan pada bulan Mei–Juli 2018 yang menjalani operasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Secara palpasi ditentukan letak perpotongan garis interkrista iliaka dengan prosesus transversum, kemudian dilakukan identifikasi menggunakan ultrasonografi. Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah Uji Mann Whitney. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa garis interkrista iliaka pada gravida terletak lebih tinggi, yaitu pada L3-4 jika dibanding dengan nongravida yang terletak pada L4-5 dengan perbedaan signifikan (p˂0,05). Pada gravida bertambah berat badan saat hamil mengakibatkan bertambah body mass index (BMI), pembesaran uterus pada kehamilan akan memengaruhi bentuk tubuh dan kelengkungan tulang belakang (hiperlordosis) sehingga terletak lebih ke arah cefalad. Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa letak garis interkrista iliaka pada vertebra gravida lebih tinggi dibanding dengan vertebra nongravida yang diproyeksikan dengan teknik ultrasonografi.Comparison of Intercristal Line Position to the Vertebra between Pregnant and Non-Pregnant Women using Ultrasonography Imaging Anesthesia using neuraxial blockade technique can be used to facilitate cesarean sections in pregnant patients. This technique of anesthesia requires an anatomical marker, one of which is the intercristal line or Tuffier’s line, defined as an imaginary horizontal line connecting the superior parts of both iliac crests. This study aims to compare the position of intercristal line to the vertebra in pregnant and non-pregnant women using ultrasonography imaging. This study was an experimental study on 30 research subjects who underwent surgery in Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung, during the period of May until July 2018. The location of the intersection between the intercristal line and the transversal process was identified using ultrasonography. Data were then analyzed statistically using Mann Whitney test. Results of the study showed that the intercristal line in pregnant women was located higher, on L3-4, when compared to non-pregnant women, on L4-5, and the difference was significant (p<0.05). In pregnant women, the weight increase contributes to an increase in BMI while the enlarging uterus affects body shape and vertebral arch (hyperlordosis), making it more cephalad. Therefore, the location of the intercristal line required for neuraxial blockade on the vertebra of pregnant women is higher compared to non-pregnant women, as projected through ultrasonography.
perbandingan indeks massa tubuh tenaga kesehatan terhadap kedalaman kompresi jantung luar pada manekin Mahathir Harry Permana; Ruli Herman Sitanggang; M. Andy Prihartono
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 10, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v10n2.2402

Abstract

Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan intervensi utama dalam kegawatdaruratan henti jantung. Respons dan kualitas RJP secara signifikan memengaruhi keberhasilan penanganan pasien dengan henti jantung dan merupakan prosedur yang bersifat life-saving. Kualitas kompresi dinding dada pada RJP ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kedalaman kompresi dinding dada. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbandingan kedalaman dinding dada pada manekin berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) penolong. Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juli–September 2020. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian potong lintang (cross sectional) komparatif yang dilakukan secara prospektif mengenai hubungan IMT dengan kualitas kompresi jantung luar pada manekin. Subjek penelitian dikelompokkan berdasarkan IMT underweight, normal, dan overweight. Kedalaman kompresi dinding dada saat melakukan RJP dicatat dan dianalisis sesuai dengan kategori kelompok IMT. Data dianalisis menggunakan uji one way ANOVA bila berdistribusi normal dan Uji Kruskal Wallis bila berdistribusi tidak normal, nilai p<0,05 dianggap bermakna. Hasil penelitian menunjukan peningkatan angka kedalaman kompresi dada yang berbanding lurus dengan IMT dilihat dari rerata kedalaman kompresi sebesar 4,83±0,428 cm pada kelompok IMT underweight, 5,64±0,301 cm pada kelompok IMT normal, dan 6,39±0,327 cm pada kelompok IMT overweight (p<0,05). Dapat disimpulkan bahwa penolong dengan kategori IMT normal adalah kelompok yang paling sesuai dengan rekomendasi BLS & ACLS oleh AHA. Comparison of Healthcare Worker's Body Mass Index with External Chest Compression Depth on MannequinsCardiopulmonary resuscitation (CPR) is the primary intervention in cardiac arrest. The response and quality of CPR significantly contribute to the successful management of patients with cardiac arrest and are life-saving procedures. Several factors determine the quality of chest compression in CPR, one of which is the depth of chest wall compression. This study aimed to compare the chest compression depth on the mannequin based on the helper's body mass index (BMI). This study was conducted at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from July to September 2020. This study used an analytical observational method with a comparative cross-sectional study design that was carried out prospectively regarding the relationship of BMI to the quality of external cardiac compression on mannequins. Research subjects were grouped based on BMI underweight, normal, and overweight. The depth of chest wall compressions during CPR was recorded and analyzed by the BMI group category. Data analysis using a one-way ANOVA test if the distribution was normal and a Kruskal Wallis test if the distribution was not normal, p-value <0.05 was considered significant. The results showed an increase in chest compression depth, which was directly proportional to BMI as seen from the mean compression depth of 4.83 ± 0.428 cm in the underweight group, 5.64 ± 0.301 cm in the normal group, and 6.39 ± 0.327 cm in the overweight group (p < 0.05). In conclusion, rescuers with the normal BMI category are the most suitable group according to the BLS & ACLS recommendations by the AHA.