Ricky Aditya
Departemen Anestesia Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Perbandingan Sevofluran dengan Propofol Target Controlled Infusion (TCI) sebagai Rumatan Anestesi terhadap Waktu pulih Sadar dan Komplikasi Mual Muntah pada Operasi Timpanoplasti Desvita Rosana; Dedi Fitri Yadi; Ricky Aditya
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (644.603 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1620

Abstract

Praktik anestesi membutuhkan kualitas anestesi yang baik, efek samping minimal, serta pemulihan cepat. Propofol dan sevofluran memiliki efek farmakologis pemulihan pascaanestesi yang cepat. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbandingan sevofluran dengan propofol target controlled infusion (TCI) sebagai rumatan anestesi terhadap waktu pulih sadar dan komplikasi mual muntah pada operasi timpanoplasti. Penelitian  dilakukan periode Agustus–November 2018 di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian merupakan prospektif eksperimental menggunakan uji klinis acak buta tunggal terhadap 44 subjek yang dibagi acak menjadi dua kelompok, yaitu kelompok propofol TCI  (kelompok P, n=22) dan kelompok  sevofluran (kelompok S, n=22). Selama operasi dicatat lama operasi, jumlah opioid, waktu pulih sadar, dan komplikasi mual muntah. Analisis statistik data numerik dengan uji t tidak berpasangan dan Mann Whitney, data kategorik dengan uji chi square. Hasil penelitian tidak ada perbedaan signifikan (p>0,05) untuk karakteristik pasien, lama operasi, dan jumlah opioid perioperatif. Waktu pulih sadar kelompok sevofluran lebih cepat signifikan dibanding dengan propofol TCI (10,26±1,91 menit dan 13,36±1,72 menit; p<0,05). Komplikasi mual muntah pascaoperasi kelompok sevofluran lebih besar signifikan dibanding dengan propofol TCI (15 dan 1; p<0,05). Simpulan, sevofluran memiliki waktu pulih sadar lebih cepat dibanding dengan propofol TCI, namun komplikasi mual muntah sevofluran lebih besar. Comparison between Effect of Sevoflurane with Propofol Target Controlled Infusion (TCI) as Maintenance of Anesthesia on Emergence Time and Nausea-Vomiting Complication in Timpanoplasty SurgeryCurrent modern anesthesia practice requires good anesthetic quality, minimum side effect, and early recovery. Propofol and sevoflurane have pharmacological properties that include fast recovery after anesthesia. The aim of this study was to evaluate the comparative effects of sevoflurane versus propofol target controlled infusion (TCI) for maintenance of anesthesia with respect to emergence time and postoperative nausea and vomiting (PONV) complication in patients undergoing timpanoplasty surgery. The study was carried out from August–November 2018 in Dr. Hasan Sadikin Bandung Hospital. It was a prospective single blind experimental study conducted on 44 subjects who were randomly divided to receive either propofol TCI (group P, n=22) or sevoflurane (group S, n=22). Duration of surgery, total ammount of opioid used, emergence time, and postoperative nausea and vomiting complication were recorded. Numerical data were tested by unpaired t test and Mann Whitney while categorical data were tested by chi-square. The results showed that patient characteristics, duration of surgery, and total amount of opioid used were not significantly different (p>0.05). Emergence time of the sevoflurane (S) group was significantly faster than the propofol (P) group (10.26+1.91 and 13.36+1.72, respectively; p<0.05). The complication of postoperative nausea and vomiting in group S was significantly higher compared to group P (15 and 1, respectively; p<0.05). It is concluded that sevoflurane has faster emergence time compared to propofol TCI, but PONV complication of sevoflurane is higher.
Perbandingan Angka Keberhasilan, Waktu Dan Kenyamanan Intubasi Endotrakea Antara Operator Posisi Berdiri Dan Duduk Pada Pasien Posisi Sniffing Naftalena Naftalena; Ezra Oktaliansah; Ricky Aditya
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 9, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v9n2.2424

Abstract

Kemampuan untuk visualisasi glotis saat melakukan tindakan laringoskopi direk merupakan kunci untuk melakukan tindakan intubasi endotrakea. Posisi sniffing dan ketinggian meja berpengaruh pada visualisasi glotis dan kenyamanan operator saat intubasi endotrakea. Namun, meja operasi sering ditemukan tidak berfungsi dengan baik. Ketersediaan kursi ergonomis diharapkan sebagai alternatif untuk menjawab permasalahan yang terjadi. Tujuan penelitian ini mengetahui perbandingan keberhasilan, waktu, dan kenyamanan operator pada intubasi endotrakea dengan pasien posisi sniffing menggunakan bantal kepala antara operator posisi berdiri dan duduk. Penelitian ini merupakan penelitian prospective randomized paralel trial, dilakukan pada 44 pasien yang menjalani operasi elektif dan emergensi dengan anestesi umum yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi. Penelitian dilakukan di ruang operasi elektif dan emergensi RSUP Dr. Hasan Sadikin pada bulan Oktober 2020. Analisis statistik menggunakan t independent test untuk lama intubasi dan kenyamanan pasien, sedangkan untuk data kategorik dengan uji chi-square. Keberhasilan dan lama waktu intubasi endotrakea pada pasien posisi sniffing menggunakan bantal dengan operator posisi berdiri dan duduk tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05). Pada variabel skor kenyamanan intubasi endotrakea pada pasien posisi sniffing menggunakan bantal dengan operator posisi berdiri dan duduk terdapat perbedaan rerata yang sangat signifikan (p<0,01). Skor kenyamanan intubasi endotrakea posisi duduk lebih baik dibanding dengan posisi berdiri. Comparison of Success Rate, Time and Comfort of Endotracheal Intubation between Operator Standing and Sitting Position with Patient Sniffing Position The ability to visualize the glottis during direct laryngoscopy is the key to perform endotracheal intubation. Sniffing position and table height affect visualization of glottis and comfort of the operator. However, the operating table often does not function properly. This study aims to determine the correlation of intubation success rate, intubation time, and operator’s comfort in performing endotracheal intubation on a patient in a sniffing position using a head cushion between standing and sitting position of the operator. This was a prospective randomized trial. The study was conducted on 44 patients who underwent elective and emergency surgery under general anesthesia who qualified the inclusion criteria and did not include the exclusion criteria. The research was conducted in the elective operating room and emergency Dr. Hasan Sadikin Hospital in October 2020. Statistical analysis used the independent t test for intubation time and patient comfort, while for categorical data using the chi-square test. There was no significant difference (p>0.05) in intubation time and success rate of endotracheal intubation on patients in sniffing position using a head cushion between sitting and standing position of the operator. There was a significant mean difference (p<0.01) in operator’s comfort in performing endotracheal intubation on patients in sniffing position using a head cushion between sitting and standing position of the operator. The operator’s comfort score in performing endotracheal intubation was higher in sitting position compared to standing position. 
Perbandingan Numeric Rating Scale Nyeri Pascaoperasi Kolesistektomi Laparoskopik Antara Blokade Erector Spinae Plane Dan Pethidine Intravena Arrys Prabowo; Reza Widianto Sudjud; Ricky Aditya
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 9, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v9n2.2405

Abstract

Nyeri pascaoperasi harus diatasi dengan baik. Berbagai metode analgetik dilakukan untuk mengatasi nyeri pascaoperasi kolesistektomi laparoskopik, namun tidak ada yang ideal dalam menangani nyeri pascaoperasi. Blokade erector spinae plane adalah teknik baru untuk penanganan nyeri pascaoperasi kolesistektomi laparoskopik. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan nyeri pascaoperasi kolesistektomi laparoskopik yang dinilai dengan NRS nyeri antara pasien yang menggunakan blokade erector spinae plane dan petidin intravena. Penelitian dilakukan pada periode Juni–Oktober 2020 di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak terkontrol buta tunggal terhadap 30 pasien. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, kelompok petidine intravena (kelompok A, n=15) dan kelompok blokade erector spinae plane (kelompok B, n=15). Nyeri pascaoperasi dinilai dengan NRS pada 0–1 jam, 1–6 jam, 6–12 jam, dan 12–24 jam. Analisis data numerik dengan uji T tidak berpasangan dan Mann Whitney. Data kategorik dengan uji chi square. Skor NRS pada kelompok blokade erector spinae plane lebih rendah dibanding dengan kelompok petidin intravena pada 6–12 jam pascaoperasi (p=0,002) dan kebutuhan rescue analgetik pada 6–12 jam lebih rendah pada kelompok blokade. Metode analgetik blokade erector spinae plane pada pasien pascaoperasi kolesistektomi laparoskopik lebih baik daripada petidin intravena. Comparison of Pain Numeric Rating Scale between Erector Spinae Plane Block and Intravenous Pethidine Post-Laparoscopic Cholecystectomy Postoperative pain is a complaint that must be properly managed. Various analgesic methods are implemented to alleviate laparoscopic cholecystectomy postoperative pain, but none are ideal in managing postoperative pain. Erector spinae plane block is a new technique in laparoscopic cholecystectomy postoperative pain.  This study aims to discover the difference in post laparoscopic cholecystectomy pain measured using the NRS pain scale in patients with erector spinae plane block and intravenous pethidine. The study was conducted between June–October 2020 in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This was a single blind control trial in 30 patients. Patients were divided into two groups, an intravenous pethidine group (group A, n=15) and an erector spinae plane block group (group B, n=15). Postoperative pain was measured using the NRS pain scale on hour 0–1, 1–6, 6–12, and 12–24. Numerical data was analyzed using the unpaired T test and the Mann Whitney test. Categorical data using the chi square test. NRS measurements in the erector spinae plane block group were lower compared to the intravenous pethidine group in hour 6–12 postoperation (p=0.002) and the need for a rescue analgesic in hour 6–12 lower in the blokade group. The analgesic method erector spinae plane block in patients post laparoscopic cholecystectomy is better than intravenous pethidine. 
Evaluasi Kepatuhan Pelaksanaan Standar Prosedur Operasional Manajemen Nyeri pada Pasien Luka Bakar di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Yudhanarko Yudhanarko; Suwarman Suwarman; Ricky Aditya
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (810.529 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n2.1713

Abstract

Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Manajemen nyeri pada luka bakar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari terapi luka bakar. Nyeri pada luka bakar merupakan nyeri akut, penanganan yang tidak baik akan menyebabkan komplikasi, salah satunya nyeri kronik. Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin Bandung telah membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) manajemen nyeri yang berguna untuk meningkatkan kepatuhan dalam pelaksanaan manajemen nyeri. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kesesuaian teknik pengkajian, tindak lanjut dan evaluasi ulang nyeri pada pasien luka bakar dengan SPO manajemen nyeri. Penelitian menggunakan metode deskriptif observasional retrospektif terhadap 99 rekam medis pasien luka bakar yang memenuhi kriteria inklusi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2018. Hasil penelitian didapatkankan bahwa pengkajian nyeri yang dilakukan sesuai dengan SPO menggunakan numeric rating scale atau Wong Baker faces pain scale ditemukan pada 99 pasien (100%). Tindak lanjut hasil pengkajian nyeri luka bakar yang dilakukan sesuai dengan SPO sebanyak 71 pasien (72%). Evaluasi ulang setelah tindak lanjut pengkajian nyeri yang sesuai SPO pada 93 pasien (94%). Simpulan, pengkajian nyeri di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung sudah sesuai dengan SPO manajemen nyeri, namun tindak lanjut dan evaluasi ulang pada nyeri luka bakar belum sesuai dengan SPO manajemen nyeri.Evaluation of Compliance to Standard Operating Procedures for Pain Management in Patients with Burns in Dr. Hasan Sadikin General Hospital BandungPain is defined as an unpleasant sensory and emotional experience related to actual or potential tissue damage. Pain management for burns is an integral part of burn therapy. Pain in burns is an acute pain and poor management will lead to health complications including chronic pain. Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung has made a standard operating procedure (SOP) for pain management to improve compliance to pain management standard. This study aimed to evaluate the compliance to the standards in assessment techniques, follow-up, and re-evaluation of pain in patients with burn according to the applicable pain management SOP. This was a retrospective descriptive observational study on 99 medical records of burn patients who met the inclusion criteria in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in 2018. The results of the study revealed that the pain assessment for these patient was carried out according to the SOP which refers to the use of a numeric rating scale or Wong Baker face pain scale in 99 patients (100%). In the follow-up, 71 were performed according to the SOP (72%) while the re-evaluation was performed in compliance with the SOP in 93 patients (94%). In conclusion, pain assessment in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung is performed in accordance with SOP on pain management but not all patients receive follow-up and re-evaluation of burn pain in accordance with the SOP on pain management. 
Efektivitas oksigenasi dan ventilasi saat induksi anestesi umum menggunakan masker bedah dinilai berdasarkan SpO2 dan EtCO2 Linggih Panji Nugraha; Ezra Oktaliansah; Ricky Aditya
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 9, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v9n2.2401

Abstract

Anestesiolog memiliki risiko tinggi terpapar aerosol pada saat melakukan tindakan ventilasi maupun intubasi. Anestesiolog harus dapat melakukan ventilasi dengan baik selama induksi anestesi umum. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas oksigenasi dan ventilasi saat induksi anestesi umum pada pasien yang menggunakan masker bedah dinilai berdasar atas SpO2 dan EtCO2. Penelitian ini merupakan penelitian analisis numerik berpasangan dengan rancangan eksperimental pada pasien yang dilakukan operasi elektif dengan anestesi umum di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan November–Desember 2020. Selama induksi anestesi, pasien menggunakan masker bedah kemudian dilakukan penilaian SpO2 dan EtCO2 pada saat sebelum induksi dan selama induksi menit ke-1, 2, dan 3. Hasil penelitian mengungkapkan nilai SpO2 dan EtCO2  preinduksi dan pada menit ke-1, 2, dan 3 diperoleh nilai rerata SpO2 dan EtCO2 induksi menit ke-1, ke-2, dan ke-3 tidak lebih inferior dibanding dengan nilai pra induksi (p<0,05) dengan nilai rerata SpO2 dan EtCO2 dalam batas normal.Simpulan penelitian adalah penggunaan masker bedah selama induksi tidak mengurangi efektivitas oksigenasi dan ventilasipada pasien yang dilakukan anestesi umum dinilai berdasar atas SpO2 dan EtCO2. Effectiveness of Oxygenation and Ventilation During General Anesthesia Induction Using Surgical Mask Assessed by SpO2 and EtCO2 Anesthesiologist have high risk for exposure of aerosol during ventilation or intubation. They must do ventilation during induction of general anesthesia effectively. The study was aimed to know how effective the oxygenation and ventilation during induction of general anesthesia while using surgical mask assessed by SpO2 and EtCO2. The research was a numerical analytic with experimental design performed on elective surgery patients done by general anesthesia in central operating theatre Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in November–December 2020. During induction of anesthesia, patient were using surgical mask and assessment of SpO2 and EtCO2 was done before induction and during induction in the 1st, 2nd, and 3rd minute induction. The result of the study revealed SpO2 and EtCO2  preinduction and 1st, 2nd, and 3rd minute induction had SpO2 and EtCO2 value in 1st, 2nd, and 3rd minute induction not inferior to pre induction value, with SpO2 and EtCO2 value within normal limit.The study has concluded that using surgical mask during induction does not decrease the effectiveness of oxygenation and ventilation in patient with general anesthesia assessed by SpO2 and EtCO2.
Hubungan Volume Cairan dengan Cardiac Output dan Venous Return pada Pasien Kritis Listiana Dewi Sartika; Erwin Pradian; Nurita Dian; Reza W Sudjud; Ricky Aditya
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 3 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (139.024 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i3.25251

Abstract

Pemberian cairan merupakan salah satu intervensi medis yang sering dilakukan pada pasien kritis di intensif care unit (ICU). Perkembangan ilmu mengenai cairan tubuh dulu lebih menitikberatkan pada fisiologi jantung kiri. Cardiac output, pada mulanya lebih dikenal sebagai fungsi jantung kiri dimana cardiac output ditentukan oleh jumlah darah yang dipompa dari ventrikel kiri dalam semenit (stroke volume) dan heart rate. Namun demikian, ternyata pemahaman fisiologi kardiovaskular tidak sesederhana itu. Menurut Starling, jantung hanya akan memompa darah yang masuk ke dalam jantung kanan. Dengan demikian, jumlah darah yang masuk ke jantung kanan harus sama dengan jumlah darah yang dipompa oleh jantung kiri, dimana keduanya adalah cardiac output. Ini kemudian diteliti lagi oleh Guyton. Guyton mencoba memandang cardiac output sebagai darah yang masuk ke jantung kanan (venous return). Terdapat banyak faktor yang menentukan kembalinya cairan ke jantung kanan. Faktor perbedaan tekanan antara mean systemic filling pressure (MSFP) dengan tekanan atrium kanan, serta faktor resistensi vena merupakan faktor penentu dalam fungsi venous return. Guyton juga mencari hubungan antara fungsi jantung dengan fungsi venous return. Pemahaman cardiac output secara utuh baik sebagai fungsi jantung dan sebagai venous return ini dapat menjelaskan banyak hal yang berhubungan dengan disfungsi kardiovaskular maupun gangguan ekstra kardiak pada pasien kritis dengan kondisi syok. Oleh karena itu, sangat penting bagi klinisi untuk memahami hubungan antara cairan tubuh dengan cardiac output dan venous return.
Penggunaan Vasopressin Awal pada Kasus Syok Sepsis Ec. Peritonitis Difus Donny Prasetyo Priyatmoko; Ricky Aditya
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 38 No 1 (2020): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (274.663 KB)

Abstract

Vasopressin merupakan salah satu obat suportif yang digunakan untuk kasus syok sepsis. Penggunaan diberikan pada keadaan syok sepsis refrakter atau bahkan pada kondisi yang sudah terlambat. Pengambilan keputusan mengenai waktu dimulainya vasopressin dalam menangani syok sepsis refrakter penting untuk mendapatkan kondisi yang optimal. Pada kasus ini, seorang laki-laki 18 tahun datang ke IGD RS Dr. Hasan Sadikin dengan diagnosis syok sepsis ec. peritonitis difus ec. perforasi gaster. Dilakukan tindakan sepsis bundle dengan kadar laktat awal 4,4mmol/L. Kondisi hemodinamik pasien mengalami perburukan serta terjadi gagal napas dengan kadar laktat naik menjadi 6,8mmol/L. Diputuskan pemberian obat suportif norepinefrin mulai 0,05mcg/kgBB/menit dan vasopressin 0,04IU/menit serta dilakukan intubasi dan bantuan ventilasi mekanik. Setelah kondisi hemodinamik pasien optimal, dilakukan tindakan source control laparostomi di IGD dan tindakan definitif laparotomi eksplorasi di kamar operasi. Empat hari perawatan pasca operasi di ICU, kondisi pasien mengalami perbaikan. Penggunaan obat suportif hemodinamik dan bantuan ventilasi mekanik dapat dihentikan. Penanganan syok sepsis yang adekuat sesuai sepsis bundle Surviving Sepsis Control (SSC) 2018 dan pengambilan keputusan yang tepat dalam pemberian obat suportif serta bantuan ventilasi mekanik akan memberikan hasil akhir optimal pada pasien.
ANESTESI KAUDAL PADA NEONATUS DENGAN SUSPEK SINDORM DOWN DAN HIPOTIROID KONGENITAL YANG DILAKUKAN TINDAKAN ANOPLASTI Ricky Aditya; Yazid Bustomi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 10, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v10n2.3051

Abstract

Dokter anestesi menghadapi beberapa tantangan dalam manajemen anestesi untuk neonatus yang menjalani operasi di bawah anestesi umum karena ketidakmatangan berbagai organ, toleransi terhadap agen anestesi, dan cadangan oksigen rendah. Tindakan regional neuroaksial kaudal dapat digunakan sebagai alternatif yang aman pada neonatus yang dilakukan tindakan anoplasti. Laporan kasus ini bertujuan memaparkan keberhasilan penatalaksanaan anestesi pada neonatus yang menjalani operasi anoplasti dengan anestesi kaudal. Seorang bayi baru lahir aterm dengan usia 3 hari dan BB 2.800 gram disertai dengan suspek sindrom Down dan hipotiroid kongenital dikonsulkan untuk menjalani anoplasti. Pada pemeriksaan fisis didapatkan wajah tampak mongolid dengan abdomen yang distensi dan produksi orogastric tube kehijauan sebanyak 10 mL. Pada preoperatif, pasien dipuasakan dan diberikan maintenance cairan. Operasi dilakukan dengan tindakan regional kaudal menggunakan bupivakain 0,25% sebanyak 0,5 mL/kgBB. Untuk menjaga pasien tetap tenang saat intraoperatif, pasien diberikan dot. Efektivitas blok diperiksa menggunakan tes pinprick di bawah umbilikal. Tidak diberikan sedasi saat intraoperasi. Saat intaoperasi didapatkan bayi tenang dan operasi dapat diselesaikan dengan baik. Tindakan kaudal anestesi pada anoplasti dapat dilakukan dengan aman terutma pada pasien neonatus yang memiliki risiko tinggi untuk dilakukan tindakan general anestesi. Caudal Anesthesia for Anoplasty in Neonates with Suspected Down Syndrome and Congenital HypothyroidAnesthesiologists face several challenges in anesthetic management for neonates undergoing surgery under general anesthesia due to the immaturity of various organs, tolerance to anesthetic agents, and low oxygen reserves. Caudal anesthesia can be used as a safe alternative in neonates undergoing anoplasty. This case report aimed to describe the success of anesthetic management in neonates who underwent anoplasty surgery under caudal anesthesia. A term newborn baby aged three days and weighing 2800 grams with suspected Down syndrome and congenital hypothyroidism was consulted for anoplasty. On physical examination, the face appeared Mongolian, with a distended abdomen and ten ccs of greenish orogastric tube production. Preoperatively, the patient fasted and was given fluid maintenance. The operation was performed by caudal regional action using 0.25% bupivacaine as much as 0.5 mL/kgBW. The patient needed to be calm intraoperatively, so the patient was given a pacifier. The effectiveness of the block was checked using the pinprick test below the umbilical. No intraoperative sedation was given. At the intraoperative time, the baby was calm, and the operation was completed. Caudal anesthesia in anoplasty can be performed safely, especially in neonates who are at high risk for general anesthesia.