Haizah Nurdin
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin-RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Management of Septic Shock with Complications of Acute Renal Failure in Patients with Secondary Peritonitis Masriani Najamuddin; Haizah Nurdin; Faisal Muchtar
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 8, No 3 (2020)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v8n3.2174

Abstract

Peritonitis akibat infeksi intraabdominal, khususnya peritonitis sekunder merupakan salah satu penyebab syok sepsis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Perkembangan dalam pemahaman fisiologi, pemantauan, dan tunjangan sistem kardiopulmonal, serta penggunaan obat-obat baru secara rasional membuat mortalitas stabil pada kisaran 30%. Kasus ini mengenai seorang pasien perempuan usia 67 tahun masuk rumah sakit dengan diagnosis peritonitis generalisata karena suspek perforasi Hollow viscous. Setelah menjalani operasi laparatomi untuk source control, pasien dirawat di ICU selama 5 hari. Selama perawatan pasien mengalami edema paru, sepsis, anemia, hipokalemia, hipoalbuminemia, serta acute kidney injury (AKI). Pada pasien dilakukan tindakan ventilasi mekanik selama 4 hari yang diiringi dengan pemantauan analisis gas darah arteri dan furosemid untuk tata laksana edema paru dan fluid overload. Resusitasi dan pemeliharaan cairan sambil memantau hemodinamik konvensional dan melalui ICON, balance kumulatif, fluid overload, tekanan vena sentral, serta urine output. Terapi antimikrob diberikan berdasar atas pedoman terapi infeksi intraabdominal dan antibiogram ICU rumah sakit. Kondisi perfusi dipantau dengan kadar laktat dan SCVO2. Respons antibiotik dan perbaikan sepsis dipantau dengan pemeriksaan prokalsitonin dan leukosit. Perbaikan AKI dipantau dengan produksi urine serta kadar ureum dan kreatinin. Penatalaksanaan peritonitis sekunder dengan komplikasi sepsis dengan penyulit AKI telah berhasil dilakukan di ICU. Peritonitis sekunder memiliki tingkat mortalitas yang cukup tinggi, namun dengan source control yang adekuat dan manajemen di ICU yang agresif maka diperoleh hasil yang baik seperti pada kasus ini.Management of Septic Shock with Acute Renal Failure Complications in Secondary Peritonitis PatientsPeritonitis due to intraabdominal infection, especially secondary peritonitis is one of the major causes of septic shock with high morbidity and mortality. Developments in understanding the physiology, monitoring and supportive therapy for cardiopulmonary system and rational use of new drugs, make mortality stable at around 30%. A 67-year-old female patient was hospitalized with generalized peritonitis due to suspected Hollow Viscous perforation. After undergoing laparotomy for source control, the patient was treated in the ICU for five days. During treatment, the patient experiences pulmonary edema, sepsis, anemia, hypokalaemia, and hypoalbuminemia, and acute kidney injury (AKI). The patient received mechanical ventilation intervention for four days accompanied by monitoring of arterial blood gas analysis and furosemide administration for pulmonary edema and fluid overload management. Fluid resuscitation and maintenance are monitored by conventional hemodynamic monitoring and through ICON, and by cumulative balance calculation, fluid overload calculation, central venous pressure, and urine output. Antimicrobial therapy is given based on guidelines for intraabdominal infection therapy and antibiogram at the hospital ICU. The condition of perfusion is monitored by examination of lactate and SCVO2 levels. Antibiotic response and improvement in sepsis are monitored by examination of procalcitonin and leukocytes. AKI improvement is monitored by urine production, and urea and creatinine levels. Management of secondary peritonitis with complications of sepsis and AKI has been successfully carried out in the ICU. Secondary peritonitis has a fairly high mortality rate, but with adequate source control and aggressive management in the ICU, good results are obtained as in this case.
Hubungan Penanda Infeksi, Penanda Oksigenasi, dan Faktor Risiko Lainnya terhadap Mortalitas Pasien COVID-19 dengan Pneumonia Saat Admisi di Unit Perawatan Intensif RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Andi Taufik Amiruddin; Haizah Nurdin; Syafri Kamsul Arif; Andi Muhammad Takdir Musba; Andi Salahuddin; Ari Santri Palinrungi
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 13, No 2 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v13i2.37050

Abstract

Latar Belakang: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan penyebaran dari coronavirus disease 2019 (COVID-19). Faktor risiko terhadap mortalitas pasien COVID-19 rawat intensive care unit (ICU) belum banyak diteliti.Tujuan: Mengetahui hubungan penanda infeksi, penanda oksigenasi dan faktor risiko lainnya terhadap mortalitas pasien COVID-19 dengan pneumonia.Metode: Penelitian retrospektif dilakukan di ICU Infection Centre RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar pada April – Agustus 2020. Sampel penelitian adalah data pasien COVID-19 dengan pneumonia yang dirawat di ICU. Pasien dibagi ke dalam dua kelompok survivor grup (SG) dan non-survivor (NSG). Variabel penelitian berupa penanda infeksi, penanda oksigenasi dan faktor risiko yang didapatkan dari rekam medis pasien. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan terhadap semua variabel penelitian.Hasil: Dari 92 pasien didapatkan 46 NSG dan 46 SG. Perbandingan jenis kelamin dan indeks massa tubuh antara kedua kelompok tidak signifikan bermakna secara statistik. Tidak didapatkan perbedaan signifikan secara statistik pada level c-reactive protein (CRP) antara kelompok NSG dengan median 91,1 (IQR 32,3-200,45) dan SG 88,95 (IQR 33,50-177,80), p= 0,899. Faktor risiko usia tua, diabetes mellitus (DM), dan peningkatan rasio neutrofil-limfosit (RNL) berdasarkan klasifikasi cut-off signifikan secara statistik pada mortalitas antar kedua kelompok.  Pada NSG didapatkan median usia 60,5 (IQR 53-67,25) vs SG 56 (IQR 35-61,25), p= 0.02. Komorbid DM SG 8 dari 46 pasien (17,4%) dan NSG 17 dari 46 pasien (37%), p = 0,035. Pemeriksaan kadar RNL berdasarkan klasifikasi cut-off > 3,4 NSG 42 dari 46 pasien (91,3%) dan NS 11 dari 46 (23,9%), p= 0,048.  Analisis multivariat regresi logistik didapatkan rasio P/F merupakan faktor risiko independen. Mortalitas pasien COVID-19 dengan pneumonia (OR 0,99 95% CI 0,988-1,00, p = 0,043).  Kesimpulan: Umur di atas 60 tahun, DM, RNL, dan indeks oksigenasi bermakna secara signifikan terhadap kejadian mortalitas pasien COVID-19 dengan pneumonia, dimana pada indeks oksigenasi yang rendah didapatkan kejadian mortalitas yang tinggi.
Penggunaan Fentanyl pada Pasien Sakit Kritis COVID-19 Andi Muhammad Takdir Musba; Haizah Nurdin
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 3 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v12i3.32872

Abstract

Latar Belakang: Nyeri merupakan salah satu masalah utama pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU). Kombinasi antara pressor response akibat nyeri dengan gangguan oksigenasi pada Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dapat berdampak negatif pada pasien, sehingga menghambat pemulihannya. Opioid sering digunakan untuk mengatasi nyeri di ICU. Namun, efek sampingnya, terutama efek imunosupresif pada pasien COVID-19 masih belum jelas. Opioid dianggap berpotensi memperburuk infeksi COVID-19 dan dapat menyebabkan efek depresi pernapasan pada pasien COVID-19 yang sakit kritis, namun masih kontroversial.Kasus: Wanita, 53 tahun dirawat di unit perawatan intensif dengan pneumonia bilateral yang terkonfirmasi COVID-19. Pasien diberikan fentanyl intravena secara kontinyu sebagai analgesia selama perawatan bantuan pernapasan dengan intubasi endotrakeal dan ventilator mekanis. Pasien menerima opioid fentanyl selama lebih dari seminggu sampai lepas dari ventilasi mekanis dan kemudian diekstubasi. Setelah ekstubasi, pasien mendapat terapi oksigen dengan high flow nasal cannula (HFNC) hingga tidak membutuhkan suplemen oksigen. Pasien keluar dari unit perawatan intensif setelah 14 hari perawatan.Pembahasan: Dengan menggunakan analgesia opioid fentanyl pada pasien ini, analgesia yang baik dapat tercapai. Penilaian analgesia selama ventilasi mekanis menggunakan behaviour pain scale dan terlihat respons yang baik pada pasien ini. Pasien tidak mengalami infeksi yang semakin parah seperti yang ditakutkan dengan penggunaan opioid pada pasien kritis, namun kemungkinan peran imunosupresif dari opioid masih perlu ditelusuri lebih lanjut.Kesimpulan: Penggunaan opioid fentanyl dapat memberikan analgesia yang baik pada pasien COVID-19 yang sakit kritis dengan luaran pasien yang baik.
The Correlation of Transaminase Enzymes on the Prognosis of Covid-19 Patients in the ICU Infection Center Dr. Wahidin Sudirohusodo General Hospital Makassar Dominiques Reggy Marfilan; Hisbullah; A. M. Takdir Musba; Syamsul Hilal Salam; Faisal Muchtar; Haizah Nurdin
Britain International of Exact Sciences (BIoEx) Journal Vol 3 No 3 (2021): Britain International of Exact Sciences Journal, September
Publisher : Britain International for Academic Research (BIAR) Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33258/bioex.v3i3.501

Abstract

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) is an infectious disease that has been designated as a worldwide pandemic. Symptoms of Covid-19 are not only respiratory symptoms but also extrapulmonary symptoms, including the discovery of impaired liver function in the form of increased transaminase enzymes. Therefore, this study was conducted to see the correlation of transaminase enzymes with the prognosis of COVID-19 patients treated in the Intensive Care Unit (ICU) Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital. The study was conducted on June to August 2021. The cross-sectional analytical research method used retrospective medical record data for the period from July to December 2020 with a sample of 137 patients with COVID-19 confirmed. From the results of the Pearson test, patients with increased SGOT were associated with a mortality prognosis (p=0.000, p<0.05) with a correlation coefficient (r) of -0.383 and an increase in SGPT were associated with a mortality prognosis (p=0.013, p<0.05) with a correlation coefficient (r) of -0.211. From the results of the Kruskal Wallis test, there were differences in prognosis in patients with increased SGOT and SGPT grades 1,2,3, and 4 (p = 0.000 and p = 0.028). There is a correlation between the increased transaminase enzymes with the prognosis of the patient's mortality. Patients with severe elevated SGOT and SGPT enzymes had a greater prognosis of mortality than those with mild enzyme elevations. Extrapulmonary symptoms of stroke were associated with increased SGOT and myocardial infarction symptoms, and nephropathy was associated with increased SGOT and SGPT. Comorbid coronary artery disease and hepatitis were associated with increased SGOT and SGPT.
Kejang Post Partum di Rumah Sakit Tipe B: sebuah Manajemen Kasus Multidisiplin Ketut Mahendera Barata; Mariza Fitriati; Hisbullah Hisbullah; Faisal Faisal; Haizah Nurdin
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 4 No 2 (2021): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v4i2.79

Abstract

Kejang post partum masih merupakan kasus utama penyebab morbiditas dan mortalitas maternal diseluruh dunia. Diagnosis banding penyebab kejang antara lain kejang akut, gangguan metabolik, hipoglikemi dan hipo/hipernatremia, jejas otak traumatik, iskemia otak sesaat ataupun cerebrovasculair accident, perdarahan intrakranial, perdarahan subarachnoid, meningitis, ensefalitis, eklampsia, gejala akut kecanduan alkohol, gejala akut kecanduan benzodiazepine atau barbiturate, dural puncture, dan posterior reversible encephalopathy syndrome (PRES). Pada pasien ini terjadi kejang pada hari kedelapan post partum, dengan penyebab utama kejang berasal dari masalah kardiovaskular. Manajemen kejang pada pasien ini dimulai dengan upaya resusitasi cairan, dilanjutkan pengelolaan dukungan airway-breathing-circulation, dan kemudian penyingkiran kandidat diagnosis terhadap infeksi Covid-19, Mendelson syndrome, infeksi lain, gangguan keseimbangan elektrolit, dll. Kerjasama multidisiplin dokter spesialis sangat membantu pencapaian kesembuhan, meskipun masih perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan terutama bila ada perencanaan kehamilan berikutnya.