Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Hubungan Penanda Infeksi, Penanda Oksigenasi, dan Faktor Risiko Lainnya terhadap Mortalitas Pasien COVID-19 dengan Pneumonia Saat Admisi di Unit Perawatan Intensif RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Andi Taufik Amiruddin; Haizah Nurdin; Syafri Kamsul Arif; Andi Muhammad Takdir Musba; Andi Salahuddin; Ari Santri Palinrungi
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 13, No 2 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v13i2.37050

Abstract

Latar Belakang: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan penyebaran dari coronavirus disease 2019 (COVID-19). Faktor risiko terhadap mortalitas pasien COVID-19 rawat intensive care unit (ICU) belum banyak diteliti.Tujuan: Mengetahui hubungan penanda infeksi, penanda oksigenasi dan faktor risiko lainnya terhadap mortalitas pasien COVID-19 dengan pneumonia.Metode: Penelitian retrospektif dilakukan di ICU Infection Centre RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar pada April – Agustus 2020. Sampel penelitian adalah data pasien COVID-19 dengan pneumonia yang dirawat di ICU. Pasien dibagi ke dalam dua kelompok survivor grup (SG) dan non-survivor (NSG). Variabel penelitian berupa penanda infeksi, penanda oksigenasi dan faktor risiko yang didapatkan dari rekam medis pasien. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan terhadap semua variabel penelitian.Hasil: Dari 92 pasien didapatkan 46 NSG dan 46 SG. Perbandingan jenis kelamin dan indeks massa tubuh antara kedua kelompok tidak signifikan bermakna secara statistik. Tidak didapatkan perbedaan signifikan secara statistik pada level c-reactive protein (CRP) antara kelompok NSG dengan median 91,1 (IQR 32,3-200,45) dan SG 88,95 (IQR 33,50-177,80), p= 0,899. Faktor risiko usia tua, diabetes mellitus (DM), dan peningkatan rasio neutrofil-limfosit (RNL) berdasarkan klasifikasi cut-off signifikan secara statistik pada mortalitas antar kedua kelompok.  Pada NSG didapatkan median usia 60,5 (IQR 53-67,25) vs SG 56 (IQR 35-61,25), p= 0.02. Komorbid DM SG 8 dari 46 pasien (17,4%) dan NSG 17 dari 46 pasien (37%), p = 0,035. Pemeriksaan kadar RNL berdasarkan klasifikasi cut-off > 3,4 NSG 42 dari 46 pasien (91,3%) dan NS 11 dari 46 (23,9%), p= 0,048.  Analisis multivariat regresi logistik didapatkan rasio P/F merupakan faktor risiko independen. Mortalitas pasien COVID-19 dengan pneumonia (OR 0,99 95% CI 0,988-1,00, p = 0,043).  Kesimpulan: Umur di atas 60 tahun, DM, RNL, dan indeks oksigenasi bermakna secara signifikan terhadap kejadian mortalitas pasien COVID-19 dengan pneumonia, dimana pada indeks oksigenasi yang rendah didapatkan kejadian mortalitas yang tinggi.
Penggunaan Fentanyl pada Pasien Sakit Kritis COVID-19 Andi Muhammad Takdir Musba; Haizah Nurdin
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 3 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v12i3.32872

Abstract

Latar Belakang: Nyeri merupakan salah satu masalah utama pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU). Kombinasi antara pressor response akibat nyeri dengan gangguan oksigenasi pada Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dapat berdampak negatif pada pasien, sehingga menghambat pemulihannya. Opioid sering digunakan untuk mengatasi nyeri di ICU. Namun, efek sampingnya, terutama efek imunosupresif pada pasien COVID-19 masih belum jelas. Opioid dianggap berpotensi memperburuk infeksi COVID-19 dan dapat menyebabkan efek depresi pernapasan pada pasien COVID-19 yang sakit kritis, namun masih kontroversial.Kasus: Wanita, 53 tahun dirawat di unit perawatan intensif dengan pneumonia bilateral yang terkonfirmasi COVID-19. Pasien diberikan fentanyl intravena secara kontinyu sebagai analgesia selama perawatan bantuan pernapasan dengan intubasi endotrakeal dan ventilator mekanis. Pasien menerima opioid fentanyl selama lebih dari seminggu sampai lepas dari ventilasi mekanis dan kemudian diekstubasi. Setelah ekstubasi, pasien mendapat terapi oksigen dengan high flow nasal cannula (HFNC) hingga tidak membutuhkan suplemen oksigen. Pasien keluar dari unit perawatan intensif setelah 14 hari perawatan.Pembahasan: Dengan menggunakan analgesia opioid fentanyl pada pasien ini, analgesia yang baik dapat tercapai. Penilaian analgesia selama ventilasi mekanis menggunakan behaviour pain scale dan terlihat respons yang baik pada pasien ini. Pasien tidak mengalami infeksi yang semakin parah seperti yang ditakutkan dengan penggunaan opioid pada pasien kritis, namun kemungkinan peran imunosupresif dari opioid masih perlu ditelusuri lebih lanjut.Kesimpulan: Penggunaan opioid fentanyl dapat memberikan analgesia yang baik pada pasien COVID-19 yang sakit kritis dengan luaran pasien yang baik.
Perbandingan Remifentanil Kontinu 0.15 Mcg/Kgbb dengan Fentanyl 3 Mcg/Kgbb pada Intubasi Endotrakeal Diukur Menggunakan Pupillometer (AlgiScan®) Fauzan Bachtiar Amin; Alamsyah A.A Husain; Andi Muhammad Takdir Musba; Muh Ramli Ahmad
Nusantara Medical Science Journal Volume 5 No. 2 Juli - Desember 2020
Publisher : Faculty of Medicine, Hasanuddin University.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20956/nmsj.v5i2.9912

Abstract

Introduction: All opioids have varying levels of sedative effects with increasing dosages, although with different strengths. Therefore, the opioid component as a sedative regiment is usually maintained at minimum dose for adequate analgesic with regard to patient comfort. Along with the progress of knowledge, parameters have been found to measure the level of analgesic and sedative. Methods: The principle of measurement is done by using the diameter of pupil and then analyzed through AlgiScan and compared to certain standards. The using of pupilometers AlgiScan in assessing the level of sedative analgesic will reduce the level of subjectivity and errors in measurement. Results: The use of Remifentanil has a faster effect of sedative as proven by lower “AlgiScan” score in the pre-intubation phase. In addition, the use of Remifentanil also provides a hemodynamic view of lower arterial pressure, both pre and post intubation condition. Conclussion: Both Remifentanil and fentanyl are able to provide analgesic with sedative and stable hemodynamics. Remifentanil is proven to be superior with better and faster effect and also faster substance elimination with lower doses.
Efektivitas Lidokain Intravena Kontinyu Perioperatif Terhadap Intensitas Nyeri Dan Total Konsumsi Opioid Pasca Bedah Dekompresi Dan Stabilisasi Posterior Vertebra Fadli Rachman; Ratnawati R; Andi Muhammad Takdir Musba
Nusantara Medical Science Journal Volume 5 No. 1 Januari - Juni 2020
Publisher : Faculty of Medicine, Hasanuddin University.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20956/nmsj.v5i1.10154

Abstract

introduction: Intravenous lidocaine had been used as multimodal analgesia strategy in treating acute postoperative pain. This study aimed to examine the effectivity of perioperative intravenous lidocaine infusion on pain intensity and total opioid requirements postoperative. Methods:  This study was  a double blind randomized control trial on ASA physical status I-II, aged 18-60, BMI 18-30 kg/m2 underwent to spine decompression and stabilisation surgery in Wahidin Sudirohusodo general hosputal, Makassar. Results:   The samples were randomly devided into lidocaine group ( n=28) received lidocaine 1,5 mg/kg before intubation, followed by 1,5 mg/kg/hour intraoperative and 1 mg/kg/hour untl 12 hour postoperative, and the control group (n=28) received placebo NaCl 0,9%. The data were analyzed with Chi-square test, independent-t test, and Mann-Whitney test, and considered significant if the p value <0,05. The study result showed that compared to the control group, the pain intensity of lidocaine group were lower in measurement time 6 (p=0,05),12 (p=0,045) and 24 (p=0,031) hour postoperative but not in 2 (p=148) and 4 (p=0,472)  hour postoperative. Total fentanyl consumption 24 hour postoperative  were lower in lidocaine group ( 418,32±146,45 vs 579,86±145,29 ; p=0,000). Conclusions:  This study concluded that administration of intravenous lidocaine infusion perioperative able to reduce pain intensity dan total opioid requirements after spine decompression and stabilisation surgery.
Efek Pemberian Lidokain Intravena Kontinu Intraoperasi terhadap Kebutuhan Isofluran dan Pemakaian Fentanil pada Operasi Dekompresi dan Stabilisasi Posterior Vertebra Taufik Anshori; Andi Muhammad Takdir Musba; Ratnawati
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 39 No 1 (2021): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (786.422 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v39i1.208

Abstract

Latar Belakang: Mual muntah dan nyeri pasca operasi menyebabkan ketidaknyamanan dan ketidakpuasan pasien setelah menjalani pembedahan dengan anestesi umum. Kejadian ini meningkat dengan penggunaan gas anestesi dan opioid dosis tinggi. Lidokain intravena perioperatif pada hewan dapat mengurangi minimum alveolar concentration (MAC) gas anestesi dan konsumsi opioid intraoperatif. Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai pengaruh pemberian infus Lidokain kontinyu selama operasi terhadap penggunaan gas anestesi Isoflurane dan total konsumsi opioid intraoperatif pada operasi orthopedi. Tujuan: Menilai pengaruh pemberian bolus lidokain intravena 1,5 mg/kgBB sebelum intubasi endotrakeal diikuti dengan infus lidokain intravena 1,5 mg/kgBB/jam selama operasi dengan anestesi umum, terhadap jumlah penggunaan gas anestesi Isoflurane dan total konsumsi opioid intraoperasi dekompresi dan stabilisasi posterior vertebra. Metode: Penelitian uji klinis acak terkontrol secara acak tersamar ganda. Sebanyak 40 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi dua kelompok: kelompok Lidokain, yaitu kelompok yang mendapatkan bolus Lidokain 2% intravena 1,5 mg/kgBB pada 1 menit sebelum intubasi endotrakeal dan diikuti dengan infus Lidokain intravena 1,5 mg/kgBB/jam/syringe pump secara kontinyu selama operasi; kelompok kontrol, yaitu kelompok yang mendapatkan plasebo NaCl 0,9%. Selama operasi dilakukan pemantauan tekanan darah, laju jantung, elektrokardioram, dan saturasi oksigen dan nilai qNOX-qCON pada monitor. Tekanan arteri rata-rata dan laju jantung diukur setiap 3 menit. Hasil: Laju jantung tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna kecuali pada menit ke 60. Tekanan darah sistolik, diastolik, dan tekanan arteri rata-rata tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Terdapat perbedaan bermakna pada nilai qNOX dan qCON. Jumlah total penggunaan gas Isoflurane dan Fentanyl pada kelompok Lidokain secara signifikan lebih rendah dibandingkan pada kelompok kontrol. Simpulan: Lidokain intravena 1,5 mg/kgBB sebelum intubasi dilanjutkan infus Lidokain 1,5 mg/kgBB/jam menurunkan kebutuhan gas Isoflurane serta opioid intraoperatif selama operasi dekompresi dan stabilisasi posterior vertebra.
Perbandingan Efek Kombinasi Levobupivakain 0,1% 2 mg Fentanyl 25 μg dengan Bupivakain 0,1% 2 mg Fentanyl 25 μg Intratekal Terhadap Hemodinamik, Intensitas Nyeri dan Durasi Persalinan pada Persalinan Normal Albert Winata; Alamsyah Ambo Ala Husain; Andi Muhammad Takdir Musba
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 39 No 1 (2021): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (314.924 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v39i1.211

Abstract

Latar Belakang: Nyeri pada proses persalinan merupakan masalah yang kompleks. Respons fisiologis ibu terhadap nyeri persalinan dapat memengaruhi kesejahteraan ibu dan janin serta kemajuan persalinan. Regional analgesia dengan menggunakan kombinasi anestesi lokal dan opioid merupakan teknik yang paling populer. Penggunaan levobupivakain intratekal untuk manajemen nyeri persalinan mulai mengalami peningkatan karena memiliki efek samping minimal terhadap sistem saraf pusat, kardiovaskular dan blok motorik, namun efeknya masih kontroversial. Metode: Penelitian uji klinis tersamar tunggal. Sebanyak 38 subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok bupi1 yang mendapatkan analgesia persalinan intratekal dengan bupivakain 0.1% + fentanyl 25 µg dan kelompok levo1 yang mendapatkan levobupivakain 0.1% + fentanyl 25 µg. Penilaian hemodinamik (tekanan arteri rerata dan laju nadi), nyeri dengan menggunakan visual analogue scale (VAS), dan blok motorik dengan menggunakan skala bromage dilakukan sesaat sebelum diberikan analgesia intratekal dan 30 menit setelah diberikan analgesia intratekal. Pada kedua kelompok dilakukan pencatatan waktu lama persalinan yang dimulai dari sesaat dilakukan analgesia spinal hingga bayi lahir. Hasil: Perubahan tekanan arteri rerata tidak berbeda secara signifikan antara kedua kelompok. Pada kedua kelompok terjadi penurunan signifikan pada nilai rerata VAS, dimana perubahan VAS pada kelompok levo1 lebih besar secara signifikan dibandingkan pada kelompok bupi1. Bromage akhir 1 hanya ditemukan pada kelompok bupi1, sedangkan bromage akhir 0 ditemukan lebih banyak pada kelompok levo1, perbedaan ini signifikan secara statistik. Durasi persalinan tidak berbeda secara signifikan antara kedua kelompok. Simpulan: Levobupivakain 0,1% 2 mg dan fentanyl 25 µg intratekal dapat menjadi alternatif bupivakain pada analgesia persalinan karena memiliki efek perubahan hemodinamik yang sama, analgesia yang baik dengan blok motorik yang lebih rendah.
Perbandingan Efektivitas antara Dexmedetomidine dengan Fentanil Intravena dalam Menekan Respons Kardiovaskular pada Tindakan Laringoskopi dan Intubasi Dengan Panduan Bispectral Index Tekad Ariffianto; Hisbullah; Syafri Arif; Syamsul Salam; Andi Muhammad Takdir Musba; Andi Adil
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 40 No 2 (2022): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (409.132 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v40i2.261

Abstract

Latar Belakang: Berbagai cara telah digunakan untuk mengurangi gejolak hemodinamik saat laringoskopi dan intubasi. salah satunya dengan menggunakan fentanil. Pengadaan fentanil memiliki masalah karena digolongkan sebagai obat narkotika sehingga ketersediaannya terbatas. Alternatif lainnya yaitu dexmedetomidine. Penelitian ini menggunakan bispectral index untuk mengontrol kedalaman hipnotif sedatif. Monitoring BIS bertujuan untuk memastikan peningkatan hemodinamik yang terjadi bukan karena proses pulih sadar akibat dangkalnya hipnotif sedatif, sehingga peningkatan hemodinamik yang terjadi merupakan akibat dari respon nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas pemberian dexmedetomidine 0,5 mcg/kgBB dengan fentanil 2 mcg/kgBB dalam menekan respon kardiovaskular pada tindakan laringoskopi dan intubasi. Metode: Penelitian ini menggunakan metode randomized clinical trial secara tersamar tunggal yang dilakukan di instalasi kamar operasi pusat RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar pada periode Februari - Maret 2022. Pasien dibagi kedalam dua kelompok: kelompok D (mendapatkan dexmedetomidine) dan kelompok F (mendapatkan fentanil). Karakteristik pasien dan indikator hemodinamik pasien sebelum dan beberapa menit setelah intubasi dicatat dan dianalisis untuk melihat perbandingan antar kelompok Hasil: Total terdapat 40 pasien yang dialokasikan ke tiap kelompok secara acak. Terdapat perbedaan perubahan tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD), tekanan arteri rerata (TAR), dan laju jantung (LJ) yang bermakna (p < 0,05) antar kelompok pada selisih waktu tertentu. Dexmedetomidine 0,5 mcg/kgBB pada penelitian ini efektif untuk menjaga hemodinamik selama tindakan laringoskopi dan intubasi dengan peningkatan TDS 16%, TDD 14%, TAR 15 % dan LJ 17 %. Kesimpulan: Dexmedetomidin lebih efektif menekan respon kardiovaskuler pada laringoskopi dan intubasi dibandingkan dengan fentanil. Dengan demikian, dexmedetomidin dapat digunakan menggantikan fentanil untuk laringoskopi dan intubasi
Pharmacological Therapy in Sub-Acute Postherpetic Neuralgia Patients: A Case Report Alamsyah Irwan; Andi Muhammad Takdir Musba
Journal of Anesthesiology and Clinical Research Vol. 3 No. 2 (2022): Journal of Anesthesiology and Clinical Research
Publisher : HM Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37275/jacr.v3i2.248

Abstract

Introduction: Herpes zoster is caused by the reactivation of the varicella-zoster virus. Post-herpetic neuralgia (PHN) is pain due to a zoster that persists 1 month after vesicle development. Usually, the prognosis is good, but some patients continue to suffer from long-term pain. The goal of PHN therapy is to reduce pain and improve quality of life. Antiepileptic drugs and tricyclic antidepressants are the first choices. Case presentation: A 32-year-old man presented with complaints of left-sided headache radiating like electricity to the left eyelid for ± 6 weeks, sudden spikes of nails, numbness/cramping sensation, and pain when touched (allodynia), and hypoesthesia. His previous medical history was herpes zoster, and he received acyclovir and symptomatic therapy such as paracetamol, mefenamic acid, dexamethasone, and cetirizine. The patient presented with a 6-7/10 visual analog scale (VAS) and was diagnosed with subacute post-herpetic neuralgia. The patient received Lyrica (Pregabalin) 50 mg 2 times a day 1 tablet, amitriptyline 10 mg once a day 1 tablet, Ultracet (Tramadol 37.5 mg + paracetamol 375 mg) 3 times a day 1 tablet. After the 14th day, the patient's VAS was reduced to 2/10, but side effects occurred in the form of dry lips and frequent sleepiness, and continued treatment with only Amitriptyline 10 mg/day. Conclusion: Rapid therapy for PHN provides prevention of refractory pain, making it difficult to provide adequate therapy. Giving first-line therapy in subacute PHN using amitriptyline, pregabalin, and tramadol agents have a very good effect in overcoming pain in subacute PHN, but it is necessary to monitor the side effects that occur due to potentiation of these three drugs.
Terapi Farmakologis pada Pasien Sub Acute Postherpetic Neuralgia: Sebuah Laporan Kasus Alamsyah Irwan; Andi Muhammad Takdir Musba
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.278

Abstract

ABSTRAK Pendahuluan : Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster. Post Herpetic Neuralgia (PHN) ialah nyeri akibat zoster yang masih ada 1 bulan setelah perkembangan vesikel. Biasanya prognosisnya baik, namun beberapa pasien tetap menderita nyeri jangka panjang. Tujuan terapi PHN adalah mengurangi nyeri dan meningkatkan kualitas hidup. Obat antiepilepsi dan antidepresan trisiklik adalah pilihan pertama. Ilustrasi Kasus : Pada laporan kasus ini, dilakukan pengamatan pada pasien laki-laki berusia 32 tahun dengan nyeri kepala sebelah kiri menjalar seperti listrik hingga kelopak mata kiri selama ± 6 minggu, rasa tertusuk-tusuk paku secara tiba-tiba, terasa kebas/kram, terdapat nyeri saat disentuh (allodynia), dan hipoestesia. Riwayat penyakit sebelumnya ialah herpes zoster dan mendapatkan terapi acyclovir dan simpotamis seperti paracetamol, asam mefenamat, dexamethasone, dan cetirizine. Pasien datang dengan Visua Analog Scale (VAS) 6-7/10 dan didiagnosis dengan Sub Acute Post Herpetic Neuralgia. Pasien mendapatkan terapi Lyrica (Pregabalin) 50 mg 2 kali sehari 1 tablet, Amitriptyline 10 mg sekali sehari 1 tablet, Ultracet (Tramadol 37,5 mg + paracetamol 375 mg) 3 kali sehari 1 tablet. Setelah hari ke-14 VAS pasien berkurang menjadi 2/10, namun timbul efek samping berupa bibir kering dan sering ngantuk dan pengobatan yang berlanjut hanya Amitriptyline 10 mg/hari. Simpulan : Pemberian terapi yang cepat pada PHN memberikan pencegahan terjadinya nyeri yang refrakter, sehingga sulit memberikan terapi yang adekuat. Pemberian terapi lini pertama pada PHN subakut menggunakan agen amitriptyline, pregabalin, dan tramadol memberikan efek yang sangat baik dalam mengatasi nyeri pada subacute PHN, akan tetapi perlu adanya pemantauan tentang efek samping yang terjadi dikarenakan potensiasi pada ketiga obat tersebut. Kata Kunci : amitriptyline, pregabalin, subacute post herpetic neuralgia, tramadol, visual analog scale