Budi Suhariyanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA-RI

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

URGENSI PEMIDANAAN TERHADAP PENGENDALI KORPORASI YANG TIDAK TERCANTUM DALAM KEPENGURUSAN Budi Suhariyanto
Jurnal Yudisial Vol 10, No 3 (2017): ALIENI JURIS
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v10i3.240

Abstract

ABSTRAKKejahatan korporasi saat ini tidak hanya dapat dilakukan oleh orang yang berada dalam struktur organisasi, tetapi pengendalinya bisa dilakukan oleh orang yang tidak tercantum dalam kepengurusan. Perundang-undangan tidak mengatur secara jelas bahwa pengendali korporasi yang berada di luar struktur organisasi dapat dijerat pemidanaan. Putusan Nomor 1081 K/PID.SUS/2014 menjatuhkan pidana terhadap pengendali korporasi yang tidak tercantum dalam kepengurusan. Menarik dipermasalahkan yaitu bagaimana urgensi pemidanaan terhadap pengendali korporasi yang tidak tercantum dalam kepengurusan. Metode penelitian normatif digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut. Dari hasil pembahasan disimpulkan bahwa hanya undang-undang tentang pencucian uang dan undang-undang tentang pendanaan terorisme yang mengatur tentang pengendali korporasi, tetapi pengaturannya masih belum jelas dalam mengidentifikasi pengendali korporasi yang tidak tercantum dalam kepengurusan. Putusan Nomor 1081 K/PID.SUS/2014 memberikan penjelasan hukum bahwa termasuk personel pengendali korporasi adalah seseorang yang tidak tercantum dalam struktur kepengurusan tetapi mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Melalui kaidah hukum tersebut, Mahkamah Agung berhasil mengisi kekosongan hukum atas ruang lingkup personel pengendali korporasi di luar struktur kepengurusan. Putusan ini dapat dijadikan yurisprudensi dalam rangka efektivitas penanggulangan tindak pidana korporasi di Indonesia.Kata kunci: pemidanaan, pengendali, tindak pidana korporasi.ABSTRACT Corporate crime is now not only committed by the persons recorded in an organizational structure, but the controller can be done by people who are not recorded in the organization. The legislation does not set clearly that corporate controllers outside the organizational structure can be charged with criminal prosecution. Supreme Court Decision Number 1081 K/PID.SUS/2014 imposed a sentence against the corporate controllers that are not recorded in the organization. It is interesting to focus on the urgency of sentencing against unrecorded corporate controllers in the management of the organization. The normative research method is used in this analysis to see the sights of the problem. As of the discussion it is concluded that only Law on Money Laundering and Law on Terrorism regulating on the issue of corporate controller, yet still inexplicit in identifying the corporate controllers unrecorded in the management of organizational structure. The Court Decision Number 1081 K/PID.SUS/2014 provides the legal explanation stating that someone who is not included in the corporate governance structure but has the power and authority that is crucial in corporate decision-making is called the corporate controller. Through the rule of law, the Supreme Court has been successfully fills a legal vacuum on the scope of the corporate control of personnel outside the management structure. This ruling can be used as jurisprudence in the framework of effectiveness of the prevention of corporate crime in Indonesia.Keywords: sentencing, controller, corporate crime.
PUTUSAN PEMIDANAAN MELEBIHI TUNTUTAN DALAM PERKARA KORUPSI POLITIK Budi Suhariyanto
Jurnal Yudisial Vol 12, No 1 (2019): POLITIK DAN HUKUM
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v12i1.303

Abstract

ABSTRAKMemasuki masa pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah selalu muncul opini tentang korupsi politik, baik sebelum dan sesudahnya. Persoalan korupsi politik ini secara definitif dalam hukum positif tak diatur secara eksplisit sehingga dipertanyakan keberadaannya. Akan tetapi secara praktik penegakan hukum, terdapat putusan pemidanaan yang mengidentifikasi korupsi politik dan memperberat hukuman terhadap pelakunya. Bahkan pemidanaannya melebihi daripada pidana yang dituntutkan oleh jaksa. Menarik untuk dipermasalahkan yaitu: bagaimanakah eksistensi korupsi politik dalam perundang-undangan Indonesia; bagaimanakah praktik pemidanaan terhadap pelaku korupsi politik; dan bagaimanakah filosofi putusan pemidanaan melebihi tuntutan dalam perkara korupsi politik. Untuk menjawab ketiga permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Hasil pembahasan mengemukakan bahwa eksistensi korupsi politik tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, tetapi merupakan perluasan tafsir atas delik korupsi menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum yang dielaborasi dengan kejahatan politik. Putusan Nomor 1885K/PID.SUS/2015 menjatuhkan pemidanaan melebihi tuntutan atas tindak pidana korupsi politik. Melalui pemberatan pidana tersebut, majelis hakim hendak menjelaskan kualifikasi korupsi politik sebagai delik korupsi yang spesifik karena berdampak luar biasa bagi kerusakan tatanan penyelenggaraan pemerintahan.Kata kunci: pemidanaan, melebihi tuntutan, korupsi politik. ABSTRACT Entering the general or regional head elections period and afterward, opinions about political corruption often emerge. Definitively the existing political corruption problems are not set explicitly in the positive law which raises questions. But in applied law enforcement, there happens to be sentencing that identifies political corruption and aggravates the punishment for the offender. The thing is the sentence goes beyond the prosecutors' demands. It is interesting to question in what way the political corruption exists in Indonesian legislation, and just how applicable the sentencing against offenders of political corruption, as well as what philosophy lies in imposing sentence over the prosecutors' demands in cases of political corruption. Normative legal research method through the approach of legislation, cases, and concepts used to answer these three problems. The results of the analysis suggest that the political corruption has not been explicitly regulated in the law, but is an extended interpretation of a delict of corruption in abuse of power against the law elaborated with political crime. The decision of the Supreme Court Number 1885K/PID.SUS/2015 dropped a sentence over the demands of the prosecution of political corruption. Through the escalation of a sentence, the panel of judges attempts to explain the qualification of political corruption as a specific delict of corruption considering a tremendous negative impact it could cause to the governance system. Keywords: sentencing, over the prosecutor's demands, political corruption.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI BERDASARKAN CORPORATE CULTURE MODEL DAN IMPLIKASINYA BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Budi Suhariyanto
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 6, No 3 (2017): Desember 2017
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3297.667 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v6i3.198

Abstract

Iklim usaha yang sehat adalah kunci stabilitas perekonomian dan kesejahteraan suatu bangsa. Perilaku yang curang dalam persaingan usaha dengan cara menyuap atau korupsi, dapat dilakukan oleh dan atas nama serta untuk keuntungan korporasi. Dalam rangka efektivitas pemberantasan tindak pidana korporasi maka Perma Nomor 13 Tahun 2016 memberlakukan corporate culture model dimana korporasi dapat dipersalahkan jika tidak melakukan pencegahan atau memiliki kondisi budaya kerja yang tak menghindarkan terjadinya tindak pidana pengurusnya. Patut dipertanyakan bagaimanakah eksistensi pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku dalam peraturan perundang-undangan dan bagaimanakah pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan corporate culture model dan implikasinya bagi kesejahteraan masyarakat? Untuk menjawabnya maka digunakan metode penelitian hukum normatif. Disimpulkan bahwa ketidakjelasan perundang-undangan mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku korupsi menjadi kedala penegakan hukum. Penerbitan Perma Nomor 13 Tahun 2016 yang mengatur perluasan pertanggungjawaban korporasi merupakan upaya optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun pertanggungjawaban pidana berdasarkan corporate culture model harus diterapkan secara hati-hati karena akan berpengaruh bagi dunia usaha serta stabilitas kesejahteraan masyarakat.  
PENERAPAN PIDANA UANG PENGGANTI KEPADA KORPORASI DALAM PERKARA KORUPSI DEMI PEMULIHAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA Budi Suhariyanto
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 7, No 1 (2018): April 2018
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (441.751 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v7i1.213

Abstract

Muncul persoalan dalam praktik dimana korporasi tanpa dijadikan terdakwa tetapi turut dituntut dan dipidana untuk membayar uang pengganti akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan pengurusnya. Alasan turut dipidananya tersebut karena hasil korupsi masuk ke dalam kekayaan dan aset korporasi sehingga patut untuk dituntutkan uang pengganti agar kerugian keuangan Negara menjadi terpulihkan. Namun tidak semua hakim sependapat dengan alasan tersebut mengingat tidak terjadi due process of law dalam hal pembelaan korporasi. Menarik dipermasalahkan yaitu bagaimanakah eksistensi dan penerapan pidana uang pengganti kepada korporasi dalam perkara korupsi serta implikasinya bagi pemulihan kerugian keuangan Negara? Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Diaturnya pidana uang pengganti bertujuan untuk pemulihan kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi. Adalah tidak adil jika pidana uang pengganti dijatuhkan kepada pengurus bilamana hasil korupsi itu senyatanya ditampung oleh korporasinya. Diperlukan kesepakatan dan pedoman untuk mengakhiri polemik diantara hakim Pengadilan Tipikor tentang dapatnya pidana uang pengganti dijatuhkan kepada korporasi meskipun tanpa dijadikan Terdakwa demi pemulihan kerugian keuangan Negara.
RESTORATIF JUSTICE DALAM PEMIDANAAN KORPORASI PELAKU KORUPSI DEMI OPTIMALISASI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA Budi Suhariyanto
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 3 (2016): December 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i3.153

Abstract

Pengembalian kerugian keuangan negara merupakan salah satu tujuan dasar dari pemberantasan tindak pidana korupsi, termasuk pemidanaan terhadap korporasi Pelaku korupsi. Sistem pemidanaan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat primum remedium dan menggunakan pendekatan retributif justice, dalam praktiknya tidak berhasil secara optimal mengembalikan kerugian keuangan negara. Tulisan ini bermaksud untuk meneliti masalah eksistensi sistem pemidanaan terhadap korporasi Pelaku korupsi dan kendala dalam praktik pemidanaan korporasi Pelaku korupsi. Lebih jauh lagi, tulisan ini hendak menggali landasan pertimbangan penerapan restoratif justice dalam pemidanaan korporasi Pelaku korupsi sebagai upaya optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, diperoleh kesimpulan berdasarkan efektivitas dan efisiensi pengembalian kerugian keuangan negara serta menghindarkan dampak pemidanaan korporasi bagi buruh, stabilitas perekonomian dan perlindungan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka pembaruan kebijakan pemidanaan dengan mengembalikan sifat ultimum remedium dan menggunakan pendekatan restoratif justice adalah pilihan yang tepat. Berdasarkan artikel 26 UNCAC dan Pasal 52 RUU KUHP maka secara normatif penerapan restoratif justice pemidanaan korporasi memiliki landasan yang kuat dalam konteks efektivitas dan efisiensi pemberantasan korupsi.Return of financial loss to the state and criminal prosecution ot corporate that do corruption is one of the basic objectives of corruption eradication. Indonesia Criminal system in the Corruption Eradication Act which is set as primum remedium and use retributive justice approach has not optimally restore the country’s financial loss in practice. This paper intends to examine the existence of the criminal system towards corporate that do corruption and constraints faced in implementing penalty towards it. Moreover, this paper will examine the consideration to apply restorative justice on corporate corruption case as an effort to optimize the return of the country’s financial loss. By using normative legal research method, the conclusion shows that based on the effectiveness and efficiency of the return financial loss to the state and to avoid negative impact for the corporate workers, the stability, protection and development of public welfare, the reform of penal policy by returning it’s ultimum remedium character and the use restorative justice approach is the best choice. Based on article 26 of UNCAC and Article 52 of the Criminal Code Draft, the implementation of restorative justice in sentencing corporation has a strong ground in the context of the effectiveness and efficiency of corruption eradication effort.
KEDUDUKAN PERDAMAIAN SEBAGAI PENGHAPUS PEMIDANAAN GUNA MEWUJUDKAN KEADILAN DALAM PEMBARUAN HUKUM PIDANA Budi Suhariyanto
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 6, No 1 (2017): April 2017
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2955.451 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v6i1.127

Abstract

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berlaku saat ini merupakan warisan dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (Wetboek van Srafrecht). Filsafat pemidanaan yang dianutnya kurang selaras dengan prinsip hidup masyarakat, dimana perdamaian tidak dapat dijadikan dasar untuk melepaskan terdakwa dari pemidanaan. Pada praktiknya, hakim melakukan terobosan hukum dengan memutuskan pelepasan tuntutan pemidanaan bagi perkara yang telah diadakan perdamaian.  Tulisan ini bermaksud meneliti tentang kedudukan perdamaian dalam sistem pemidanaan yang dianut oleh hukum positif dan mengkaji putusan pengadilan yang melepaskan tuntutan pemidanaan berdasarkan perdamaian demi mewujudkan keadilan serta urgensi kedudukan perdamaian sebagai penghapus pemidanaan guna mewujudkan keadilan dalam pembaruan hukum pidana. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, diperoleh kesimpulan bahwa secara normatif, perdamaian antara Pelaku dan Korban tidak dapat menjadi alasan pelepasan tuntutan pemidanaan. Akan tetapi dalam praktiknya terdapat putusan pengadilan yang menjadikan bukti perdamaian sebagai alasan melepaskan tuntutan pemidanaan dan selanjutnya dijadikan sebagai yurisprudensi oleh Mahkamah Agung. Yurisprudensi ini perlu dijadikan rujukan untuk melakukan pengembalian filosofi pemidanaan nasional sesuai dengan nilai Pancasila yang mendasarkan perdamaian sebagai salah satu alasan penghapusan pemidanaan dalam Rancangan KUHP.     
PENERAPAN DIVERSI UNTUK MENANGANI PROBLEMA PENYELESAIAN PERKARA PELANGGARAN LALU LINTAS DI PENGADILAN Budi Suhariyanto
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/jhp.4.1.2015.153-170

Abstract

Basically cases of traffic violations is a matter of simple so categorized quick examination. However, when the volume of his case matters reach thousands of cases and should be heard in court within a day, in fact has given rise to problems. In addressing these problems, improvement of handling and settling disputes traffic violation in court is an absolute must do. But apart from that alternative settlement traffic violation outside the court, namely through the implementation of diversion should be used as an alternative way to reduce the caseload and problems in court. Functionally, the application of diversion used as part of the education and guidance systems and community protection systems (especially against children / Offenders under age).Keywords : Diversion, Traffic Violations, the Court
REKONSTRUKSI PENGEMBANGAN KARIER JABATAN FUNGSIONAL PANITERA PENGGANTI PERADILAN DI INDONESIA Budi Suhariyanto
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol 5, No 3 (2016)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/jhp.5.3.2016.391-406

Abstract

The functional position generally managed and fostered in a nationally integrated one employment system by the fostering institution of the functional position. Unfortunately, the differentiate management and employment building occurs in the functional position of registrar, along with its judicial institution namely Supreme Court, Constitutional Court and judiciary body below Supreme Court. The different status and functional position requirement from those three judicial institutions become one of the obstacles the registrar fostering system cannot be united. For example, Constitutional Court and judiciary body under Supreme Court require civil servant as a registrar meanwhile Supreme Court Registrar is a judge. The issue of less linear and synchronization employment system led to disproportional of the fostering of registrar functional position. The career development horizontally through the application of credit points is indeed needed to construct as an expertise functional position consequences. Hence the position and career pattern does not only lead vertically to chief and deputy chief of registrar. The reconstruction of the expertise functional position of registrar should also apply the same requirement and fostering system nationally, this will lead performance and professionalism upgrading. Keywords: reconstruction, functional, registrar
URGENSI HARMONISASI POLA PROMOSI DAN MUTASI KEPANITERAAN LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN AGAMA Budi Suhariyanto
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/jhp.3.2.2014.177-190

Abstract

There is a different registrar promotion pattern and mutation on general to religious court. Accordingly, important to get promotion pattern harmony and mutation to taking on this differences among of court (in particular general to religious court) under the supreme of court. Some efforts to consider are: (1). The equality of regulation or types of regulation on registrar promotion pattern and mutation (which is synchonized on the head desicion supreme of court. (2). The regulatory separation promotion pattern and judges mutation to registrar on the head desicion supreme of court. (3). Regulatory harmony on the registrar promotion and mutation. Keyword: function, career, registrar