Jayanti puspitaningrum
Universitas Yapis Papua

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah Melalui Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Jayanti puspitaningrum
Jurnal Konstitusi Vol 17, No 3 (2020)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (427.969 KB) | DOI: 10.31078/jk1737

Abstract

This research discusses the interpretation of the Constitutional Court in reviewing laws regarding the formation of regions whose decisions grant the petitioner’s petition which have implications for changes in territorial boundaries, namely the Constitutional Court Decision No. 127 / PUU-VII / 2009. There are two problems examined in this research, namely (1) How is the interpretation of the Constitutional Court in resolving territorial boundary disputes through testing the laws in review of the 1945 Constitution; (2) How the design of territorial boundary dispute resolution constitutionally. The research method used is normative juridical research using a conceptual approach. In addition, it is reviewed with case studies related to the material being studied. The results of this study are (1) Based on the review of the Constitutional Court decision no. 127 / PUU-VII / 2009 which granted the request for judicial review of Law No. 56 of 2008 concerning the Establishment of Tambrauw Regency, the Constitutional Court stated that the legislators had ignored the aspirations of the people of Tambrauw Regency who had divided its territory from 10 (ten) districts into 5 (five) districts. This decision implied that 5 districts were re-entered into Law no. 56 of 2008 added 1 (one) district namely Fef District so that Tambrauw Regency has 11 (eleven) districts. Second, the design for the settlement of territorial boundaries is regulated in Permendagri Number 141 of 2017 and Law Number 23 of 2014, namely through Administrative (nonlegal) settlement by the Governor and the Minister of Home Affairs. In addition, legal dispute resolution is carried out through the Minister of Home Affairs’ judicial review rights at the Supreme Court and the Constitutional Court through judicial review of regional formation laws.
Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah Melalui Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Jayanti puspitaningrum
Jurnal Konstitusi Vol 17, No 3 (2020)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (427.969 KB) | DOI: 10.31078/jk1737

Abstract

This research discusses the interpretation of the Constitutional Court in reviewing laws regarding the formation of regions whose decisions grant the petitioner’s petition which have implications for changes in territorial boundaries, namely the Constitutional Court Decision No. 127 / PUU-VII / 2009. There are two problems examined in this research, namely (1) How is the interpretation of the Constitutional Court in resolving territorial boundary disputes through testing the laws in review of the 1945 Constitution; (2) How the design of territorial boundary dispute resolution constitutionally. The research method used is normative juridical research using a conceptual approach. In addition, it is reviewed with case studies related to the material being studied. The results of this study are (1) Based on the review of the Constitutional Court decision no. 127 / PUU-VII / 2009 which granted the request for judicial review of Law No. 56 of 2008 concerning the Establishment of Tambrauw Regency, the Constitutional Court stated that the legislators had ignored the aspirations of the people of Tambrauw Regency who had divided its territory from 10 (ten) districts into 5 (five) districts. This decision implied that 5 districts were re-entered into Law no. 56 of 2008 added 1 (one) district namely Fef District so that Tambrauw Regency has 11 (eleven) districts. Second, the design for the settlement of territorial boundaries is regulated in Permendagri Number 141 of 2017 and Law Number 23 of 2014, namely through Administrative (nonlegal) settlement by the Governor and the Minister of Home Affairs. In addition, legal dispute resolution is carried out through the Minister of Home Affairs’ judicial review rights at the Supreme Court and the Constitutional Court through judicial review of regional formation laws.
DUALISME (RANGKAP) JABATAN WAKIL MENTERI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 80/PUU-XVII/2019 TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA Ika Fitrianita; Jayanti Puspitaningrum; Suwito
Journal of Law Review Vol. 1 No. 1 (2022): Journal of Law Review
Publisher : Program Pascasarjana Universitas Yapis Papua

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55098/jolr.1.1.11-24

Abstract

Kekuasaan salah satu masalah sentral di suatu negara, Presiden memiliki kewenangan dalam mengangkat serta memberhentikan para menteri yang bertanggung jawab kepadanya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 dan Pasal 17 UUD NRI 1945, untuk membantu beban kerja di beberapa Kementerian Presiden mengangkat Wakil Menteri sebagai hak Prerogeratif. Penunjukan Wakil Menteri menjadi sorotan dalam kebijakan guna menjamin terselenggaranya penyelenggaraan negara pemerintahan yang baik karena munculnya Wakil Menteri rangkap jabatan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 80/PUU/XVII/2019 dalam memutuskan perkara pengujian Undang-undang nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara serta mengetahui kedudukan dan wewenang jabatan Wakil Menteri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Hasil penelitian, mengatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 80/PUU/XVII/2019 tidak adanya larangan untuk merangkap jabatan. Hal ini dikarenakan Mahkamah Konstitusi tidak menemukan adanya bukti-bukti yang mendukung alasan kerugian konstitusional. Wakil Menteri membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian. Wakil menteri dapat menjalankan perannya yang ideal serta dapat melaksanakan tugas dengan baik dan tanggungjawab dengan beban kerja yang berat sehingga perlu diangkatnya wakil menteri, maka perlu adanya : (a) Peraturan secara khusus yang mengatur tentang Wakil Menteri (b) Jabatan Wakil Menteri di berikan pada kalangan birokrat dan professional, (c) Apabila ada pengangkatan Wakil Menteri dapat sementara melepas jabatan sebelumnya sesuai yang tercantum dalam pasal 7 Perpres Nomor 60 Tahun 2014)
Perlindungan Warga Negara Melaksanakan Ibadah Haji Pasca Covid-19 Jayanti Puspitaningrum; Burhan Abdullah; Muslim; Zonita Zirhani Ramalean; Anwar Roem
Journal of Law Review Vol. 1 No. 2 (2022): Journal of Law Review
Publisher : Program Pascasarjana Universitas Yapis Papua

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55098/jolr.1.2.97-111

Abstract

Situasi darurat Pandemi Covid-19 ini semakin dirasakan oleh masyarakat, karena pada dasarnya sudah ada aturan tentang karantina, sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Arab Saudi adalah negara yang terkenal dengan tradisi sosial dan agama yang kental dalam masyarakatnya, masyarakat negara ini terkenal cukup konservatif dalam beragama terlihat dari masih kentalnya agama Islam dan tradisi leluhur dinegara ini, banyak kegiatan keagamaan seperti shalat jamaah dan tabligh sering dilakukan secara berjamaah, serta Arab Saudi menjadi negara yang menjadi tujuan bagi umat muslim untuk melakukan kegiatan ibadah seperti ibadah umrah yang tentunya akan menimbulkan keramaian dalam melakukan ibadah tersebut. Namun demikian kegiatankegiatan tersebut harus segera ditutup dengan dikeluarkannya kebijakan penutupan akses ibadah oleh otoritas Arab Saudi karena maraknya penyabaran Covid-19 yang belum tau kapan dapat ditangani
Perjanjian Kredit Macet Pemilikan Rumah (KPR) Terhadap Kebijakan Rumah Subsidi Pada Bank Papua Jayanti Puspitaningrum; Paskali Pangabean; Wahyudi BR
Journal of Law Review Vol. 2 No. 1 (2023): Journal of Law Review
Publisher : Program Pascasarjana Universitas Yapis Papua

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55098/jolr.2.1.1-12

Abstract

Pada prinsipnya penyelesaian kredit bermasalah di Bank Papua jayapura dilakukan dengan dua cara yaitu diluar pengadilan dan melalui pengadilan. Penyelesaian kredit bermasalah diluar pengadilan dapat dilakukan dengan pemanggilan debitur untuk melakukan penjadwalan kembali. Penagihan secara langsung terhadap debitur merupakan cara penyelesaian kredit bermasalah diluar proses pengadilan selain pencarian benda jaminan kredit melalui penjualan dibawah tangan. Adapun kendala-kendala yang sering timbul dalam perjanjian kredit ini yaitu wanprestasi dari debitur, untuk mengatasi masalah tersebut pihak Bank Papua melakukan cara-cara yaitu dengan musyawarah, dengan cara ini diharapkan masalah tersebut dapat terselesaikan dengan cara kekeluargaan. Dengan melalui Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) dan yang terakhir dapat melalui pengadilan, hal ini dapat ditempuh apabila pihak PT Bank Papua merasa dirugikan oleh debitur dapat mengajukan permohonan ganti kerugian melalui pengadilan, tentu saja memerlukan proses waktu yang panjang dan memakan biaya yang banyak