Kristiawanto Kristiawanto
Universitas Jayabaya Jakarta

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Implementasi Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi Pada Lembaga Pemasyarakatan Nurlaila Nurlaila; Kristiawanto Kristiawanto; Mohamad Ismed
JOURNAL of LEGAL RESEARCH Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jlr.v4i1.24812

Abstract

Discussion of the Implementation of Guidance for Victims of Narcotics Abuse in Correctional Institutions via Rehabilitation. This legal research takes a normative juridical approach, which means that it examines still-in-force legal concepts and norms. According to Article 54 of Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics, addicts and victims of drug abuse must undergo medical and social rehabilitation. Additionally, pursuant to Law Number 12 of 1995 concerning Corrections, special narcotics prisons are provided for violators of narcotics crime laws. Fostering victims of drugs misuse in Correctional Institutions is accomplished in two ways: medical rehabilitation and social rehabilitation in accordance with court rulings. Where medical rehabilitation is provided to victims of narcotics misuse in accordance with the therapy plan established by the Doctor Team from the Integrated Assessment Team and in accordance with the program applicable to the rehabilitation institution. Meanwhile, a rehabilitation institute built by the Provincial National Narcotics Agency provides social rehabilitation for victims of narcotics usage.
Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perkebunan dan Terhadap Tindak Pidana Korporasi Terhadap Lingkungan Hidup Edy Prabudy; Tofik Yanuar Chandra; Kristiawanto Kristiawanto
JOURNAL of LEGAL RESEARCH Vol 3, No 3 (2021)
Publisher : Faculty of Sharia and Law State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jlr.v3i3.21675

Abstract

In the development of Indonesian criminal law, corporations can be burdened with criminal liability or can be said to be subject to criminal law. Plantation is one sector that is large enough to ensure the welfare of the people. The research method in this article uses qualitative research methods with a normative legal approach or what is known as legal research, which emphasizes the study of library documents related to the problems and objectives of this research. The results of the study state that criminal acts for corporations. Criminal acts can be imposed on corporations and their management and corporations are subject to a maximum fine plus a third.Keywords: Corporate Law; Plantation Law; Environmental law
Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Wilda Rizki; Santrawan T. Paparang; Kristiawanto Kristiawanto
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 8, No 5 (2021)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v8i6.23298

Abstract

Indonesia is a state of law (rechstaat) not based on mere power (machstaat), as stated in the preamble, body, and explanation of the 1945 Constitution. The state of the law has a nature where the equipment can only act according to and be bound by the rules which have been determined in advance, by the equipment which is authorized to enforce the regulation. In conducting the search for the truth of a criminal act, there is the principle of "presumption of innocence" which must be strictly applied by law enforcement officers and is one of the most important principles in criminal procedural law. This principle is contained in Article 8 of Law Number 48 of 2009 concerning the Basic Provisions of Judicial Power. In relation to the rights of the suspect, a new institution in the Criminal Procedure Code was born, called pretrial, the regulation of which is contained in Article 1 point 10 and reaffirmed in Articles 77 to 83 of the Criminal Procedure Code. In the development of law enforcement in Indonesia, recently there have been many cases of pretrial applications that have emerged. This shows that the wider community utilizes available facilities (pretrial institutions) to seek justice for unlawful acts from law enforcement officials.Keywords: Pretrial; Corruption; Criminal Justice System AbstrakIndonesia adalah negara hukum (rechstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat), seperti yang dicantumkan dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan Undang-undang Dasar 1945. Negara hukum mempunyai sifat di mana alat perlengkapannya hanya dapat bertindak menurut dan terikat pada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dulu, oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan aturan itu. Dalam melakukan pencarian kebenaran atas suatu tindak pidana, terdapat asas “praduga tak bersalah” yang harus benar-benar diterapkan oleh aparat penegak hukum dan merupakan salah satu asas terpenting dalam hukum acara pidana. Asas ini dimuat dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sehubungan dengan hak–hak tersangka, maka lahirlah lembaga baru dalam KUHAP yang disebut praperadilan, yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 1 butir 10 dan dipertegas lagi dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam perkembangan kehidupan penegakkan hukum di Indonesia akhir-akhir ini banyak terdapat kasus-kasus permohonan praperadilan yang muncul, hal ini menunjukan bahwa masyarakat luas memanfaatkan sarana yang tersedia (lembaga praperadilan) untuk mencari keadilan atas tindakan melawan hukum dari aparat penegak hukum.Kata Kunci: Praperadilan; Korupsi; Sistem Peradilan Pidana
Problematika Penerapan Pidana Di Bawah Minimum Khusus Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Muhamad Fuady; Kristiawanto Kristiawanto; Mohamad Ismed
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 9, No 3 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i3.26425

Abstract

Juridically, Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics is a legislative product produced in order to provide certainty in law enforcement for narcotics crime. The substance of this law regulates the criminal act of narcotics, which is about prohibited or permissible acts accompanied by criminal threats if the prohibition is violated. However, in the current practice of criminal justice there are problems related to legal certainty for the implementation of the narcotics law, because it turns out that the convictions made by judges against the accused of narcotics crime are not in line with the narcotics law. The imposition of crimes below the special minimum limit by the judge is very contrary to the provisions of Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics so that this creates legal uncertainty which has implications for the effectiveness of law enforcement on narcotics crime in Indonesia.Keywords: Special Minimum Crime, Narcotics Crime AbstrakSecara yuridis, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika merupakan produk legislatif yang dihasilkan dalam rangka memberikan kepastian dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika. Substansi undang-undang tersebut mengatur mengenai tindak pidana narkotika, yakni tentang perbuatan yang dilarang atau dibolehkan yang disertai ancaman pidana apabila larangan tersebut dilanggar. Namun dalam praktik peradilan pidana saat ini terdapat permasalahan terkait dengan kepastian hukum atas pelaksanaan undang-undang narkotika, karena ternyata putusan-putusan pemidanaan yang diputuskan oleh hakim kepada terdakwa tindak pidana narkotika tidak sejalan dengan undang-undang narkotika. Adanya penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus oleh hakim sangat bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sehingga hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang berimplikasi pada efektifitas penegakan hukum tindak pidana narkotika di Indonesia.Kata Kunci: Pidana Minimum Khusus, Tindak Pidana Narkotika
Peranan Jaksa Sebagai Dominus Liitis Dalam Menuntut Uang Pengganti Akibat Tindak Pidana Korupsi Yang Bersinggungan Dengan Tindak Pidana Perpajakan Himawan Himawan; Kristiawanto Kristiawanto; Mohamad Ismed
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 9, No 5 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i5.27506

Abstract

The criminal procedure law currently still has problems, because there are procedures that must be obeyed and obeyed by law enforcement officials in carrying out and enforcing the law which actually causes law enforcement itself to be useless. This is illustrated when the Prosecutor handles criminal acts of corruption, which in fact also intersects with tax crimes, and cannot carry out law enforcement simultaneously, because legally the current criminal procedure for tax crimes can only be investigated by the Directorate General of Taxes. This is a weakness in the current procedural law, because the redistribution of the findings will take a relatively long time and cost a relatively large amount of money to handle cases. The research method used is a qualitative method with an empirical normative approach. The results of the study state that efforts to overcome weaknesses in the Criminal Procedure Code require a response from law enforcement officials, especially prosecutors to make a breakthrough against the rigidity of the current criminal procedure law by prioritizing the benefits of law enforcement itself.Keywords: Replacement Money; Corruption Crimes; Tax Crime AbstrakHukum acara pidana saat ini masih memiliki permasalahan, karena adanya prosedur yang harus dipatuhi dan ditaati aparatur penegak hukum dalam menjalankan dan menengakkan hukum yang justru menyebabkan penegakan hukum itu sendiri menjadi tidak bermanfaat. Hal ini tergambar pada saat Jaksa menangani tindak pidana korupsi yang ternyata juga bersinggungan dengan tindak pidana perpajakan, dan tidak dapat melakukan penegakan hukumnya secara bersamaan, karena secara hukum acara pidana yang berlaku saat ini terhadap tindak pidana perpajakan hanya dapat disidik oleh Direktorat Jenderal Pajak. Hal inilah menjadi kelemahan dalam hukum acara saat ini, karena dengan dilimpahkannya kembali temuan tersebut akan memerlukan waktu yang relatif lama dan mengeluarkan uang penanganan perkara yang juga relatif tidak sedikit. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan normatif empiris. Hasil penelitian menyatakan bahwa upaya mengatasi kelemahan dalam KUHAP diperlukan respons para aparatur penegak hukum, terutama Jaksa untuk melakukan terobosan terhadap kekakuan hukum acara pidana saat ini dengan mengutamakan kemanfaatan dari penegakan hukum itu sendiri.Kata Kunci: Uang Pengganti; Tindak Pidana Korupsi; Tindak Pidana Perpajakan 
Urgensi Penerapan Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Zondrafia Zondrafia; Kristiawanto Kristiawanto; Mohamad Ismed
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 9, No 5 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i5.27685

Abstract

Retributive justice-focused law enforcement against criminals can be ineffective. Convictions tend to be useless since victims' losses, damages, and injuries are overlooked. To overcome this, criminal case settlement led to restorative justice. Several law enforcement authorities, including the Police, Attorney General's Office, and Supreme Court, have adopted internal regulations on restorative justice-based penal mediation. Restorative justice settlements are currently limited to select circumstances, and the worth of losses that can be remedied through restorative justice mediation is limited. In Indonesia's criminal justice system, it's difficult to implement a restorative justice-based penal mediation method. No concrete criminal procedural statute binds law enforcement officers to bring cases to mediation, hence the restorative justice-based penal mediation method cannot be administered with legal certainty. Criminal procedural law is fundamental for enforcing substantive criminal law.Keywords: Mediation Penal; Criminal Justice System AbstrakPenegakan hukum yang berfokus pada keadilan retributif terhadap pelaku kejahatan dapat menjadi tidak efektif. Hukuman cenderung tidak berguna karena kerugian, kerusakan, dan cedera korban diabaikan. Untuk mengatasi hal tersebut, penyelesaian perkara pidana bermuara pada keadilan restoratif. Beberapa aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung, telah mengadopsi peraturan internal tentang mediasi penal berbasis keadilan restoratif. Penyelesaian keadilan restoratif saat ini terbatas pada keadaan tertentu, dan nilai kerugian yang dapat diperbaiki melalui mediasi keadilan restoratif terbatas. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, sulit untuk menerapkan metode mediasi penal berbasis keadilan restoratif. Tidak ada undang-undang acara pidana yang konkrit mengikat aparat penegak hukum untuk membawa kasus ke mediasi, sehingga metode mediasi penal berbasis keadilan restoratif tidak dapat dijalankan dengan kepastian hukum. Hukum acara pidana merupakan dasar untuk menegakkan hukum pidana substantif.Kata Kunci : Mediasi Penal, Sistem Peradilan Pidana
Upaya Pemulihan Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi Guna Mengoptimalisasi Kerugian Keuangan Negara Frans Jomar Karinda; Kristiawanto Kristiawanto; Mohamad Ismed
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 9, No 6 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i5.27688

Abstract

Functionalization of criminal law in the context of law enforcement of criminal acts of corruption, both in terms of material criminal law, formal criminal law (criminal procedural law), as well as criminal implementation, still faces obstacles, especially regarding the asset recovery policy of perpetrators of corruption which has implications for execution of payment of replacement money in order to optimize the return of state financial losses. Through the evaluation stage, it is known at this time that the criminal law has not functioned properly in tackling corruption, such as in the case of executing the payment of replacement money, where the prosecutor as the executor often has difficulty in executing the convict's property to be confiscated and auctioned to cover all or the difference in state financial losses that must be paid by the convict. This is due to the fact that the current national law still has many weaknesses that create difficulties for law enforcers in recovering the assets of perpetrators of corruption, especially in terms of confiscation of assets of perpetrators of corruption, so that the return of state financial losses caused by criminal acts of corruption when this is not optimal.Keywords: Asset Recovery; State Financial Losses AbstrakFungsionalisasi hukum pidana dalam rangka penegakan hukum tindak pidana korupsi, baik ditinjau dari sudut hukum pidana materiil, hukum pidana formil (hukum acara pidana), maupun pelaksanaan pidana, masih menghadapi kendala-kendala, terutama berkenaan kebijakan pemulihan aset pelaku tindak pidana korupsi yang berimplikasi pada pelaksanaan eksekusi pembayaran uang pengganti guna optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara. Melalui tahap evaluasi, diketahui saat ini bahwa hukum pidana belum berfungsi dengan baik dalam menanggulangi tindak pidana korupsi, seperti dalam hal mengeksekusi pembayaran uang pengganti, di mana Jaksa sebagai eksekutor sering kali mengalami kesulitan dalam mengeksekusi harta benda terpidana untuk disita dan dilelang guna menutupi seluruh atau selisih kerugian keuangan negara yang harus dibayarkan oleh terpidana. Hal ini disebabkan, bahwa hukum nasional saat ini masih banyak kelemahan-kelemahan yang menimbulkan kesulitan bagi penegak hukum dalam melakukan pemulihan aset pelaku tindak pidana korupsi, terutama dalam hal perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi, sehingga pengembalian kerugian keuangan negara yang diakibatkan tindak pidana korupsi saat ini tidak optimal.Kata Kunci: Pemulihan Aset, Kerugian Keuangan Negara