Zakiyah Mustafa Husba
Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

MAKNA NARASI PERSONA DALAM LIRIK KABANTI KULISUSU Zakiyah Mustafa Husba
Aksara Vol 30, No 2 (2018): Aksara, Edisi Desember 2018
Publisher : Balai Bahasa Provinsi Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (554.041 KB) | DOI: 10.29255/aksara.v30i2.201.189-204

Abstract

Fenomena laut yang terkandung di dalam sebuah puisi bukan suatu hal yang baru bagi masyarakat pesisir. Sastra dan laut bagi masyarakat pesisir adalah sebuah kenyataan. Semua yang terkandung dalam puisi pada dasarnya merupakan sebuah re eksi dari kebiasaan dan kehidupan sehari-hari masyarakat penuturnya. Kabanti merupakan salah satu jenis puisi lisan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di Buton Utara. Kegiatan bertutur menjadi salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh nelayan di Desa Lantagi, Kulisusu, khususnya sebelum melakukan kegiatan melaut. Salah satu cara untuk mengungkapkan berbagai pengalaman hidup suatu masyarakat dapat dilakukan dengan menganalisis karya-karyanya. Pengungkapan ini tentunya untuk mengetahui cara masyarakat pesisir bersastra, berseni, berkreasi tentang berbagai hal, mengabarkan sebuah peristiwa, menceritakan sebuah pengalaman, dapat diketahui melalui cara-cara penggunaan bahasa penciptanya. Penelitian ini difokuskan pada tanda dan makna yang dianalisis melalui pendekatan semiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan berbagai hal tentang kehidupan nelayan melalui pengalaman persona penyair kabanti. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam Kabanti Kulisusu terdapat sebuah hubungan harmonis antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Hubungan ini khususnya ditandai dengan adanya penggunaan simbol dan motif yang menunjukkan ekspresi dan kecintaan manusia pada laut, ungkapan perasaan cinta antara sesame manusia, dan perjuangan hidup manusia dalam memperoleh kebahagiaan. 
ANALISIS PEMAKAIAN BAHASA DALAM SURAT DINAS DI BADAN PUBLIK SULAWESI TENGGARA Firman A.D.; Zakiyah Mustafa Husba
TELAGA BAHASA Vol 8, No 1 (2020): TELAGA BAHASA VOL.8 NO.1 TAHUN 2020
Publisher : Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36843/tb.v8i1.76

Abstract

Penelitian ini menguraikan penggunaan bahasa surat di badan publik yang ada di Sulawesi Tenggara. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif. Untuk menganalisis data surat dinas, digunakan analisis kesalahan berbahasa. Dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasi data, digunakan teknik baca markah. Kesalahan-kesalahan penggunaan bahasa diidentifikasi menurut jenis, diklasifikasikan menurut tipe-tipe kesalahan, dan yang terakhir adalah dikoreksi menurut kesalahan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan bahasa dalam surat dinas di intansi pemerintah daerah di Sulawesi Tenggara masih banyak kekeliruan. Kekeliruan itu dapat dilihat dalam ketidakseragaman penulisan dalam instansi yang sama. Kesalahan penggunaan ejaan banyak ditemukan dalam ketidaktepatan penggunaan huruf kapital. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Kesalahan juga ditemukan dalam pemakaian huruf tebal yang seharusnya tidak digunakan pada bagian hal surat, penulisan nama pejabat, dan penulisan nama jabatan serta  ditambah lagi dengan penggunaan garis bawah. Kesalahan penulisan kata dasar umumnya terjadi pada kata serapan. Penulisan antara imbuhan {di-}dan kata depan di masih belum dapat dibedakan pemakaiannya. Selain itu, bentuk dan fungsi tanda hubung (-) dan tanda pisah (–) belum dapat dibedakan.Kesalahan lain yang umum terjadi dalam pemakaian tanda baca adalah ketidaktepatan penggunaan tanda titik (.), titik dua (:), tanda koma (,), tanda garis bawah (_), tanda kurung ((…)), dan tanda titik koma (;).Katakunci: surat dinas, badan publik, analisis kesalahan, Sulawesi Tenggara
MOTIF GENDER DALAM TIGA CERITA RAKYAT TOLAKI (Gender Motif in Three Tolakinese Folktales) Zakiyah Mustafa Husba; Heksa Biopsi Puji Hastuti; NFN Rahmawati; NFN Uniawati
Kandai Vol 16, No 2 (2020): KANDAI
Publisher : Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jk.v16i2.2104

Abstract

Cerita yang melibatkan tokoh perempuan ini memuat motif gender baik sebagai motif utama maupun motif bawahan. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini ialah bagaimana motif gender yang terkandung dalam tiga cerita rakyat Tolaki dan bertujuan mengungkap motif gender yang terdapat di dalam cerita “Wekoila”, “Haluoleo”, dan “Pasaeno”. Data berupa cerita rakyat Tolaki diperoleh melalui teknik wawancara dan penelusuran pustaka. Data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan analisis struktural Levi-Straus dengan mengurai mitem-mitem cerita. Selanjutnya, analisis motif dilakukan dengan fokus motif gender. Dari hasil analisis diketahui bahwa cerita “Wekoila” menunjukkan bahwa tokoh perempuan diposisikan superior. Cerita “Haluoleo” memuat bahwa tidak ada konsep baku bagi pemosisian perempuan. Sementara itu, cerita “Pasaeno” menunjukkan tokoh perempuan yang ditempatkan sebagai pihak yang diabaikan hak-haknya. Dengan demikian, motif gender dalam ketiga cerita rakyat Tolaki ini disimpulkan tidak memiliki keseragaman.Stories that involve female characters contain both genders as the primary motive and subordinate motives. The problem raised in this study was how the gender motives were contained in the three Tolaki folktales and aimed to uncover the gender motives contained in the "Wekoila", "Haluoleo", and "Pasaeno" stories. Tolaki folklore was obtained through interview techniques and library research. Data were analyzed qualitatively by using  Levi-Strauss structural analysis approach by breaking down myths. Then motive analysis was carried out with a focus on gender motives. The results of the analysis were known that the Wekoila story showed the gender motive in which female character was placed in the superior position. Haluoleo's story contained the gender motive in which there were no fixed concepts for women positioning. Meanwhile, Pasaeno's story showed the gender motive in which female characters were placed as whose rights were ignored. Thus it was concluded that the gender motives in the three Tolakinese folktales were lack of uniformity.