Claim Missing Document
Check
Articles

Found 29 Documents
Search

PENDIDIKAN SEKS DALAM PERSPEKTIF ISLAM Mufid, Fathul
EDUKASIA Vol 9, No 1 (2012): Jurnal Edukasia
Publisher : EDUKASIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Among the important characteristics that God created in man is the physiological impulses. These impulses are divided into 2 (two) parts: fi rst, the need for individual survival. Second, it is the need for the survival of its kind. The fi rst impulses are such as eating, drinking, and so on, while the second included a sexual impulse. These impulses are given, so that the distribution also includes nature as well. Islam teaches that human beings are able to manage impulses and tendencies of the sexual instinct. Psychologists and education experts have stated that a teenager in the absence of activity in leisure time (the length), it will arise in his mind a variety of fantasy, especially fantasy about the sexual impulses of instinct. The last possibility is the most frequently attacked by the teenagers, because it is the conservative nature of instinct. It is said to be conservative because the goal is to restore someone to calm the situation existing before the shock. In some cases, especially in satisfying the sexual impulse, there is going to peak tension before the fi nal appeasement. Being the ultimate goal of the sexual impulse is the calmness of a stimulus, in which case it would be worse if the individual is more controlled by his “id” elements. Sexual drive was created solely as a means of attracting men gave the seeds and place women in a situation where he could do a process of reproduction, so they could get together gently in order to get a descent, as a hunter get his quarry, and this is achieved through a sexual intercourse . Allah SWT creates two sexes male and female, each completed by a certain anatomical allowing them to complement each other as the embodiment of His will. Keywords: Education, Sex, Islam, Men, Women, sexual intercourse, and offspring
Tipologi Tasawuf Falsafi Mufid, Fathul
ADDIN Vol 2, No 1 (2010)
Publisher : ADDIN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ada dua bentuk tasawuf atau mistisisme dalam Islam, yaitu bercorak religius dan bercorak filosofis. Tasawuf yang bercorak religius adalah semacam gejala yang sama dalam semua agama, baik agama-agama langit atau agama purba. Sedangkan tasawuf yang bercorak filosofis, sejak lama telah dikenal di Timur sebagai warisan filsafat Yunani, maupun di Eropa abad pertengahan ataupun modern. Tasawuf religius adakalanya berpadu dengan tasawuf filosofis, seperti yang dapat kita lihat dalam beberapa sufi muslim maupun mistikus Kristen. Oleh sebab itu, pada diri seorang filosof terjadinya kecenderungan intelektual dan mistik secara terpadu sudah merupakan sesuatu yang tidak asing. Perpaduan antara dua bentuk tasawuf inilah yang menjadi embrio lahirnya ”tasawuf falsafi” dalam sufisme. Tasawuf falsafi adalah pemaduan antara visi mistis dengan visi rasional atau perpaduan antara tasawuf dengan filsafat, sehingga ajaran-ajarannya bercampur dengan unsur-unsur dari luar Islam, seperti filsafat Yunani, Persi, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka, sejalan dengan ekspansi Islam pada waktu itu, tetap menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Para sufi falsafi memandang bahwa manusia mampu naik ke jenjang persatuan dengan Tuhan, yang kemudian melahirkan konsep mistik semi-filosofis ”ittihad” dan ”fana’baqa’” yang dibangun oleh Abu Yazid al-Busthami, konsep ”hulul” yang dialami oleh Husein bin Mansur al-Hallaj, maupun konsep tasawufnya Ibn ’Arabi yang dikenal dengan ”wahdat al-wujud”, konsep ”isyraqiyah” yang dirumuskan oleh Suhrawardi almaqtul, al-hikmah al-muta’aliyah yang digagas oleh Mulla Shadra, dan lain sebaginya.
Posisi Al-Quran Dalam Struktur Dan Sumber Ilmu Islam Mufid, Fathul
ADDIN Vol 2, No 2 (2010): Jurnal Addin
Publisher : ADDIN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam, termasuk di dalamnya sebagai dasar ilmu Islam. Ilmu yang terkandung di dalam Al-Qur’an tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan saja tetapi jugaterdapat ilmu-ilmu secara umum. Ilmu-ilmu Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an memang tidak dijelaskan secara rinci, tetapi bersifat universal, selalu berlaku untuk umum dan tidak terikat dengan ruang dan waktu. Jika di dalam Al-Qur’an hanya tertulis secara global, maka penjelasannya bisa dicari di dalam Sunnah atau lewat penelitian di lapangan, baik yang bersifat memperkokoh ataupun memerinci. Oleh sebab itu, Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai rumusan teori, dalam arti Al-Qur’an dijadikan sebagai paradigma. Paradigma Al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al-Qur’an memahaminya. Di dalam menguak keilmuan Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an, kita juga harus melihat konteks ayat saat turun, karena pada saat ayat tersebut turun pasti ada intervensi budaya, sehingga wahyu adalah Ijtihad Tuhan bagi manusia. Maksudnya adalah solusi yang sifatnya temporer yang tidak tunggal sebagai instrumen untuk membangun kebajikan di bumi. Al-Qur’an merupakan undang-undang abadi bagi umat manusia, tidak disimpangkan, diganti, dilompati dan tidak pula tercecer ketika diterapkan. Al-Qur’an senantiasa relevan untuk masa-masa keIslaman yang berbeda. Al-Qur’an memerlukan penjelasan, dia sangat butuh terhadap Sunnah Nabi SAW ketimbang kebutuhan Sunnah terhadap Al-Qur’an. Demikian pula untuk membuktikan grand concept dalam Al-Qur’an sangat dibutuhkan penelitian lapangan. Kata Kunci: Al-Qur’an, Ilmu Islam, Sumber Ilmu, Struktur Ilmu, Ilmu Pengetahuan.
LATAR BELAKANG INTELEKTUAL FILSAFAT MULLA SADRA Mufid, Fathul
ADDIN Vol 3, No 2 (2011): Jurnal Addin
Publisher : ADDIN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mullā Jadrā ( 1571- 1640 M ) adalah salah seorang filosof Muslim terbesar, karena memiliki keunggulan ilmu di bidang filsafat, tafsir, hadis, dan ‘irfan ( gnosis). Jadrā membangun “mazhab baru filsafat” dengan semangat mengintegrasikan sedikitnya enam sumber pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam, yaitu; 1) sumber tradisional, yaitu al-Qur’an, Hadis, dan ucapan para Imam, 2) sumber klasik filsafat Yunani-Ramawi, 3) tradisi klasik teologi dialektis (ilmu kalam) 4) pemikiran filsafat Aristotelian cum Neoplatonis yang diislamkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina yang dikenal dengan filsafat paripatetik, 5) filsafat iluminasi Suhrawardi, dan 6) pemikiran mistik (‘irfan ) Ibn ‘Arabi. Berangkat dari sumber-sumber tersebut Jadrā menemukan ide-ide baru yang segar, yang pada gilirannya membentuk mazhab filsafat baru di dunia Islam, yaitu al- Hikmah al- Muta’alyah. Oleh sebab itu, setelah mengkaji secara jeli semua karya berikut sumber-sumber rujukan Ṣadrā, seorang pembaca obyektif akan menemukan bahwa sistem dan susunan serta kaidah-kaidah dan landasan-landasan filsafatnya lebih banyak bersumber dari dirinya sendiri secara autentik, tidak dipinjam dari manapun dan sepenuhnya orisinil, meskipun tentu saja dia harus mencantumkan sederet bahan dari beragam tulisan orang lain. Mustahil sebuah sistem utuh dapat terlahir dari penggabungan sintesis berbagai sistem yang berbeda, tetapi mustahil pula seseorang mampu merumuskan sistem pemikiran tanpa memuat ungkapan-ungkapan yang telah diutarakan para pendahulunya di bidang yang sama. Sebagai seorang tokoh pemikir, logis apabila Jadrā tidak memulai dari nol, melainkan sangat dipengaruhi oleh horizon pemikiran yang melatar belakanginya. Dengan mencermati sejarah pendidikan dan para gurunya, secara tidak langsung dapat diketahui sumber-sumber yang melatar belakangi pemikiran Jadrā. Namun Jadrā berbeda dengan flgur lain yang secara umum cenderung sealur dengan para pendahulunya. Jadrā pemikirannya bersifat multi varian, integratif, dan sintesis. Kenyataan ini menyebabkan pemikirannya sangat terkait dengan varian wacana intelektual yang berkembang sebelumnya
INTEGRASI ILMU-ILMU ISLAM Mufid, Fathul
EQUILIBRIUM Vol 1, No 1 (2013): Jurnal Equilibrium
Publisher : EQUILIBRIUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The purpose of this article is to analyze how to integrate between science and religion. Islamic theology is based revelation, hadith and ijtihad while science is based on human thinking through research on empirical data. Both Islam and Science have different resources and areas which is separated from each other. The dichotomy mindset is still most Muslims today. There are many Muslims who believe that science and religion stand indifferent position , because science relies empirical data , while religion relying on dogma and also religion are not necessarily based on empirical data , but rather based on “ faith “ or belief . Some Muslim scholars have debated about the Islamization of knowledge such as: Ismail Raji al - Faruqi , Syed Muhammad Naquib Al - Attas , Fazlur Rahman , and Ziauddin Sardar . The idea of “ Islamization of knowledge “ is because of the disparities of achievement between science and religion.
PERKEMBANGAN ONTOLOGI DALAM FILSAFAT ISLAM Mufid, Fathul
JURNAL PENELITIAN Vol 7, No 2 (2013): Jurnal Penelitian
Publisher : JURNAL PENELITIAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

THE ONTOLOGY DEVELOPMENTS IN ISLAMIC PHILOSOPHY. The primary basis in the study of ontology is what it is, where it exists and, what the truth is. The fundamental and profound of these issues, so that people are faced with different answers. The first question, “what is there”, gives different answers according to their beliefs. Monism, which is only one and that one was spirit and ideas, then gave the flow of spiritualism and idealism. But if that one is full of material, then gave materialism. Dualism, that is round two, for example, body and soul, it gives the existentialism flow. Pluralism, that is composed of  many elements, there is something that cannot be known, then gave the flow of agnosticism. The second problem, “where it exists”, the answer is that dwells in the world of  ideas, abstract, fixed and immutable. That is living in the world of  ideas that are concrete and individual, so that the truth is limited and changeable. The third issue, “what the truth is”, if  the truth is eternal and immortal, then it is God. However, if the truth is capricious, then the problem is how to change it and what determines the change.Keywords: Ontology, Philosophy, Existence, Essence, Metaphysics.Dasar  utama  dalam  kajian  ontologi  adalah  apa  yang  ada,  di mana yang ada dan, apa itu kebenaran. Sedemikian mendasar dan mendalamnya persoalan-persoalan ini, sehingga manusia dihadapkan pada  jawaban-jawaban  yang  berbeda.  Persoalan  pertama,  “apa yang ada”, memberikan jawaban yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinan mereka. Monisme, yang ada hanya satu dan yang satu itu serba spirit dan ide, maka melahirkan aliran spiritualisme dan idealisme. Tetapi jika yang satu itu serba materi, maka melahirkan materialisme.  Dualisme,  yang  ada  serba  dua,  misalnya  jiwa  dan raga, maka lahirlah aliran eksistensialisme. Pluralisme, yang ada terdiri atas banyak unsur, yang ada adalah sesuatu yang tidak dapat diketahui, maka melahirkan aliran agnostisme. Persoalan kedua, “di mana yang ada”, jawabannya adalah yang bersemayam dalam dunia ide, bersifat abstrak, tetap, dan abadi. Yang ada bermukim di dunia ide yang bersifat kongkret dan individual, sehingga kebenarannya terbatas dan berubah-ubah. Persoalan ketiga, “apakah kebenaran itu”, jika yang dimaksud kebenara itu kekal dan abadi, maka itu adalah  Tuhan.  Akan  tetapi,  jika  kebenarannya  berubah-ubah, maka persoalannya adalah bagaimana perubahan itu dan apa yang menentukan perubahan itu.Kata Kunci: Ontologi, Filsafat, Ada, Hakikat, Metafisika.
INTEGRASI ILMU-ILMU ISLAM Mufid, Fathul
EQUILIBRIUM Vol 1, No 1 (2013): EQUILIBRIUM
Publisher : EQUILIBRIUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The purpose of this article is to analyze how to integrate between science and religion. Islamic theology is based revelation, hadith and ijtihad while science is based on human thinking through research on empirical data. Both Islam and Science have different resources and areas which is separated from each other. The dichotomy mindset is still most Muslims today. There are many Muslims who believe that science and religion stand indifferent position , because science relies empirical data , while religion relying on dogma and also religion are not necessarily based on empirical data , but rather based on “ faith “ or belief . Some Muslim scholars have debated about the Islamization of knowledge such as: Ismail Raji al - Faruqi , Syed Muhammad Naquib Al - Attas , Fazlur Rahman , and Ziauddin Sardar . The idea of “ Islamization of knowledge “ is because of the disparities of achievement between science and religion.
PERKEMBANGAN ONTOLOGI DALAM FILSAFAT ISLAM Mufid, Fathul
Jurnal Penelitian Vol 7, No 2 (2013): Jurnal Penelitian
Publisher : LP2M IAIN kUDUS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/jupe.v7i2.815

Abstract

THE ONTOLOGY DEVELOPMENTS IN ISLAMIC PHILOSOPHY. The primary basis in the study of ontology is what it is, where it exists and, what the truth is. The fundamental and profound of these issues, so that people are faced with different answers. The first question, “what is there”, gives different answers according to their beliefs. Monism, which is only one and that one was spirit and ideas, then gave the flow of spiritualism and idealism. But if that one is full of material, then gave materialism. Dualism, that is round two, for example, body and soul, it gives the existentialism flow. Pluralism, that is composed of  many elements, there is something that cannot be known, then gave the flow of agnosticism. The second problem, “where it exists”, the answer is that dwells in the world of  ideas, abstract, fixed and immutable. That is living in the world of  ideas that are concrete and individual, so that the truth is limited and changeable. The third issue, “what the truth is”, if  the truth is eternal and immortal, then it is God. However, if the truth is capricious, then the problem is how to change it and what determines the change.Keywords: Ontology, Philosophy, Existence, Essence, Metaphysics.Dasar  utama  dalam  kajian  ontologi  adalah  apa  yang  ada,  di mana yang ada dan, apa itu kebenaran. Sedemikian mendasar dan mendalamnya persoalan-persoalan ini, sehingga manusia dihadapkan pada  jawaban-jawaban  yang  berbeda.  Persoalan  pertama,  “apa yang ada”, memberikan jawaban yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinan mereka. Monisme, yang ada hanya satu dan yang satu itu serba spirit dan ide, maka melahirkan aliran spiritualisme dan idealisme. Tetapi jika yang satu itu serba materi, maka melahirkan materialisme.  Dualisme,  yang  ada  serba  dua,  misalnya  jiwa  dan raga, maka lahirlah aliran eksistensialisme. Pluralisme, yang ada terdiri atas banyak unsur, yang ada adalah sesuatu yang tidak dapat diketahui, maka melahirkan aliran agnostisme. Persoalan kedua, “di mana yang ada”, jawabannya adalah yang bersemayam dalam dunia ide, bersifat abstrak, tetap, dan abadi. Yang ada bermukim di dunia ide yang bersifat kongkret dan individual, sehingga kebenarannya terbatas dan berubah-ubah. Persoalan ketiga, “apakah kebenaran itu”, jika yang dimaksud kebenara itu kekal dan abadi, maka itu adalah  Tuhan.  Akan  tetapi,  jika  kebenarannya  berubah-ubah, maka persoalannya adalah bagaimana perubahan itu dan apa yang menentukan perubahan itu.Kata Kunci: Ontologi, Filsafat, Ada, Hakikat, Metafisika.
PENYERAPAN DAN MOTIVASI UMAT ISLAM MENGEMBANGKAN FILSAFAT Mufid, Fathul
Jurnal THEOLOGIA Vol 27, No 1 (2016): FILSAFAT ISLAM & ISU-ISU KONTEMPORER
Publisher : Fakulta Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/teo.2016.27.1.921

Abstract

Abstract: A touch of Hellenistic culture on Muslims was apparent in the first Umayyah caliph era, Mu'a>wiyah ibn Abi Sufya>n (41-60 H), who was kind to officially appoint high officers and his personal physician of the Roman scientists. At that very moment, the translation of books from Greco-Roman to Arabic had not been done, but the absorption of Greco-Roman culture was done by regular interaction or everyday conversation (social interaction). The aim of the paper is to track when the absorption of the Muslims started concerning on the Greco-Roman philosophy, because there is information that they, in first century of Hijriyah, had started copying Greek books into Arabic. According to historical data, at the time of the Umayah, the Caliph Kha>lid ibn Yazi>d had ordered a Greek scientist who lived in Alexandria to translate the Organon of Aristotle from Greek into Arabic. This paper is a literary study that particularly discusses the absorption process and the motivation of Muslims in developing a philosophy imported from the Greco-Roman, and some part of the world in general. Abstrak: Sentuhan budaya hellenistik pada umat Islam sebenarnya sudah nampak signalnya pada perilaku khalifah pertama Bani Umayyah, Mu’āwiyah ibn Abī Sufyān (41-60 H), yang dengan penuh toleran mengangkat pejabat tinggi dan dokter pribadinya dari ilmuan Romawi. Pada waktu itu memang kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani-Romawi ke dalam bahasa Arab belum dilakukan, tetapi penyerapan budaya Yunani-Romawi dilakukan dengan jalan pergaulan biasa atau percakapan sehari-hari (interaksi sosial). Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melacak sejak kapan penyerapan kaum Muslimin terhadap filsafat Yunani-Romawi, sebab ada informasi bahwa mereka sejak abad pertama Hijriyah telah memulai menyalin buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Menurut data sejarah, pada zaman Bani Umayyah, yaitu Khalifah Khālid ibn Yazī d telah memerintahkan seorang ilmuan Yunani yang berdomisili di Iskandariyah untuk menerjemahkan buku Organon karya Aristoteles dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Tulisan ini merupakan kajian literer yang membahas tentang proses penyerapan dan motivasi umat Islam mengembangkan filsafat yang diimport dari Yunani-Romawi khususnya, dan belahan dunia lain pada umumnya.
Dakwah Islamiyah dengan Pendekatan Sufistik Mufid, Fathul
AT-TABSYIR Vol 3, No 1 (2015)
Publisher : Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/at-tabsyir.v3i1.1658

Abstract

Dakwah Islamiyah yang semestinya diharapkan mampu memberikan solusi berbagai masalah hidup saat ini,   ternyata lebih dipahami hanya sekedar memenuhi perintah  secara normatif, sehingga  dirasa kurang menyentuh ajaran Islam secara substantif. Dakwah Islamiyah mengalami   reduksi sebagai pola pendekatan ritual, simbol-simbol, dan memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat, serta belum menyentuh pada ranah penghayatan agama. Akibatnya, nilai-nilai wahyu   terpisah dari pribadi umat Islam yang lebih mengandalkan kekuatan rasional semata. Keadaan ini menimbulkan kecenderungan keberagamaan yang tidak memiliki dimensi Ilahiyah. Oleh sebab itu, alternative dakwah sufistik  menjadi penting bagi dakwah Islamiyah untuk dilihat kembali sebagai bagian integral dari  ajaran Islam, karena dalam dakwah sufistik, ranah  IQ (żaka‘aqli), EQ (żaka żihni), dan SQ (żaka qolbi) merupakan komponen-komponen yang dikembangkan secara harmonis. Pengertian sufistik  adalah hal-hal yang berkenaan dengan ilmu tasawuf. Istilah sufistik mengacu kepada sifat, seperti pemikiran sufistik yang berarti pemikiran yang bernuansa tasawuf yang tujuan puncaknya adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menggunakan pendekatan hati, bukan logika. Hal ini karena tasawuf berpandangan bahwa kebenaran yang dihasilkan oleh akal dan penalaran adalah sangat terbatas, sedangkan kebenaran yang diperoleh melalui ma’rifah adalah segala-galanya, karena diperoleh melalui penglihatan mata hati yang mendapat sinar Ilahi. Dakwah sufistik adalah model dakwah yang bisa membuat mad’u memiliki sifat-sifat mulia, bukan sekedar kognisi, tetapi lebih pada ranah afeksi atau aspek kesadaran. Tujuan  dakwah sufistik tidak hanya sebatas kearifan individual atau melakukan ritual-ritual mistik dan cenderung lebih mengedepankan hubungan terhadap Tuhan dan Rasulnya, tetapi juga, yang terpenting, mengedepankan kesalehan secara universal atau sosial