Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

IMPLEMENTASI ASAS RECHSTVERWERKING DALAM MEMPEROLEH HAK ATAS TANAH DALAM SISTEM PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA. Nara Rebrisat; Kahar Lahae; Sri Susyanti Nur
JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora Vol 8, No 5 (2021): JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.22 KB) | DOI: 10.31604/justitia.v8i5.1201-1213

Abstract

Tipe Penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum normatif (normative legal research) penelitian untuk menguji suatu norma atau ketentuan yang berlaku. Juga dapat dikatakan sebagai penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.[1] Penelitian hukum doktrinal. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan konseptual (conseptualical). Sistem publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah di Indonesia berdasarkan PP No. 24 tahun 1997 adalah sistem negatif bertendens positif. Pengertian sistem negatif bahwa keterangan-keterangan yang ada pada sertifikat/ buku tanah jika tidak benar dapat diubah, oleh karena itu sertipikat bukan satu-satunya alat bukti, dan kekuatan sertipikat bisa dilumpuhkan oleh alat bukti lain sepanjang bisa dibuktikan sebaliknya di persidangan. Hal itu hanya  bisa dilakukan sebelum 5 tahun pasca terbitnya sertipikat. Sedangkan bertendensi positif berarti adanya peran aktif dari pelaksanaan pendaftaran tanah untuk secara saksama mengadakan penelitian terhadap riwayat bidang tanahSehingga untuk pendaftaran tanah diperluakan pengumuman yang cukup lama (30 hari untuk pendaftaran tanah secara sistematik dan 60 hari untuk pendaftaran tanah secara sporadik, agar memberikan kesempatan kepada semua pihak yang merasa berkepentingan untuk memberikan sanggahan. Hal ini ditempuh untuk mencegah timbulnya kekeliruan dan mendapatkan keadaan yang sesuai dengan yang sebenarnya. Selain itu, pengertian bertendens positif juga terlihat secara eksplisitdalam pasal 32 ayat 2 PP No. 24 tahun 1997 yaitu jika sudah berlangsung 5 tahun sejak terbitnya sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan etikad baik maka pemegang sertipikat tidak dapat diganggu gugat. Ketentuan ini adalah perwujudan diakomodirnya konsep lembaga “rechtsverwerking” yang dikenal dalam hukum tanah adat.
PENGAKUAN HAK ULAYAT TERHADAP HAK ATAS TANAH YANG DIKUASAI MASYARAKAT LONG ISUN SERTA EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM UPAYA PENGAKUAN ATAS PENGUASAAN HUTAN ADAT Rita Junita; Kahar Lahae; Muh Hasrul
JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora Vol 8, No 4 (2021): JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.803 KB) | DOI: 10.31604/justitia.v8i4.494-504

Abstract

Masyarakat  Long Isun telah berupaya mendapat pengakuan  hutan adat mereka melalui penyerahan dokumen pengusulan Masyarakat Hukum Adat Kampung Long Isun secara resmi pada 19 September 2018, yang didampingi Koalisi Kemanusiaan untuk Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat. Namun hingga saat ini belum ada perkembangan mengenai usulan pengakuan dan perlindungan masyarakat Hukum Adat Long Isun tersebut. Ditinjau dari beberapa payung hukum yang telah ada yakni, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan Timur, Peraturan Daerah Kabupaten Mahakam Ulu Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pengakuan, Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Lembaga, dan Keputusan Bupati Mahakam Ulu Nomor 800.05.140.436.1/K.185d/2017. Seharusnya tidak ada lagi alasan bagi pemerintah daerah untuk tidak mengakui masyarakat Long Isun sebagai Masayarakat Hukum Adat. Telah terjadi pertemuan Pada tanggal 6 Februari 2018 dan telah ditandatangani perjanjian antara masyarakat Long Isun, pemerintah Kabupaten Mahulu, Ketua DPRD Mahulu, serta perusahaan untuk menyelesaikan konflik, terdapat kesepakatan yang dihasilkan dari pertemuaan tersebut salah satunya  kampung Long Isun ditetapkan status quo dan akan diproses menjadi hutan adat. Namun dalam kenyataannya kesepakatan itu belum terealisasi dengan baik hingga sekarang. Pemerintah kabupaten  dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat DPRD) Mahulu belum mengakui masyarakat Long Isun sebagai Masyarakat Hukum Adat sehingga  belum dapat menetapkan hutan tersebut menjadi hutan adat.
KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN SEBAGAI ANAK TUNGGAL DALAM SISTEM PEWARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BALI ( The Position Of Daughter As The Only Children In The Inheritance System In Balinese Society ) Wayan Jordi; Kahar Lahae; Sri Susyanti
Jurnal Ilmiah Advokasi Vol 10, No 1 (2022): Jurnal Ilmiah Advokasi
Publisher : FH Universitas Labuhanbatu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/jiad.v10i1.2270

Abstract

Inheritance customary law is the rule of customary law that regulates how the inheritance or inheritance is passed on or divided from the heir to the heirs from generation to generation. Indigenous Balinese people with a patrilineal family system, causing only descendants with the status of kapurusa (male) are considered to be able to take care of and carry on family responsibilities. The problem in this research is "What is the position of a single girl in the inheritance system in Balinese indigenous peoples, and what efforts can be made for single unmarried girls to get their rights to inheritance in the inheritance system of Balinese indigenous peoples".This study aims: (1) analyze how the position of an only daughter in the Balinese traditional inheritance system is currently still in accordance with the development of Balinese indigenous peoples and the development of Balinese customary law which does not give inheritance rights to daughter. (2) Analyzing whether there are other efforts that can be made for single and unmarried girls to get a share of the inheritance of their parents. This study uses empirical legal research methods by focusing on the relationship between legal aspects and empirical reality.The results of the research show that (1) Inheritance rights for daughter in Balinese customary law are basically daughter are not heirs according to the Balinese Inheritance Law, but girls are entitled to a share of the inheritance from their parents, the procedure for granting inheritance rights for single girls to Inheritance property can become heirs by way of status changes, namely from pradana status to purusa status and marriage in the form of nyeburin. (2) For a daughter, it is possible to make various efforts in order to inherit or get a part of the inheritance from their parents, where in practice the gift is used with various terms such as tetadan treasure, grant, provision of life, pengupa jiwa and jiwa dana.Keywords: Daughter, Inheritance Rights, Balinese Customary Law.
Pelepasan Hak atas Tanah Masyarakat Adat Suku Hatam: Tantangan dan Perkembangan Kontemporer Atang Suryana; A. Suriyaman M. Pide; Kahar Lahae
Al-Azhar Islamic Law Review VOLUME 3 NOMOR 1, JANUARI 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Azhar Gowa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37146/ailrev.v3i1.66

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pelepasan hak atas tanah adat suku hatam terkait dengan penertiban sertifikat hak atas tanah oleh badan pertanahan nasional. Penelitian ini adalah penelitian hukum empirik (sociolegal research), dilakukan dengan pendekatan pada realitas dalam masyarakat adat. Penelitian dilakukan di Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses kepemilikan sertifikat hak atas tanah terhadap peralihan hak atas tanah masih sangat lemah. Hal ini disebabkan karena adanya pemahaman masyarakat adat terhadap pengakan, perlindungan, penghormatan terhadap hak-hak dasar masyarakat adat, termasuk menyelesaikan berbagai tuntutan masyarakat adat sebagai wujud perlindungan hak asasi penduduk asli Papua secara damai. Bagi masyarakat adat Papua, hak atas tanah adat selamanya merupakan milik masyarakat adat, jika dialihkan kepada pihak lain dalam hal ini masyarakat di luar masyarakat adat, harus mendapatkan persetujuan masyarakat adat, dan jika lagi tidak dimanfaatkan atau di lepaskan oleh masyarakat di luar masyarakat adat, maka tanah tersebut kembali lagi menjadi milik masyarakat adat. Surat pelepasan tanah adat, secara formal memiliki kekuatan hukum sebagai dasar adanya peralihan hak atas tanah adat, termasuk dalam hal peralihan hak atas tanah.
AKIBAT HUKUM TERHADAP PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ADAT BATAK TOBA Romauli Sihombing; Andi Suriyaman M.Pide; Kahar Lahae
JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora Vol 9, No 5 (2022): JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (174.845 KB) | DOI: 10.31604/justitia.v9i5.2161-2169

Abstract

Penelitian ini mengkaji tentang Bagaimana akibat hukum terhadap perkawinan kedua menurut hukum adat batak toba. Tipe Penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum normatif (normative legal research) penelitian untuk menguji suatu norma atau ketentuan yang berlaku. Juga dapat dikatakan sebagai penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum doktrinal. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan konseptual.Berdasarkan apa yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut Akibat hukum terhadap perkawinan yang tidak tercatat dalam pencatatan sipil menurut hukum adat Batak Toba adalah hak-hak sebagai istri dianggap tidak ada karena dalam masyarakat Batak Toba dalam perkembangannya, apabila perkawinan telah dilakukan secara adat dan agama, maka harus diikuti dengan pencatatan perkawinan pada pencatatan sipil agar status perkawinan menjadi sah dimata masyarakat dan resmi dihadapan Negara. Dari sudut pandang lain, apabila perkawinan  dilakukan oleh laki-laki lebih dari satu kali dalam waktu yang bersamaan (poligami), sebagaimana diketahui masyarakat Batak Toba yang mayoritas beragama Kristen tidak mengenal sistem perkawinan poligami, maka bisa dikatakan perkawinan poligami dalam masyarakat Batak Toba adalah tidak sah.
PENINGKATAN PEMAHAMAN MASYARAKAT DI DESA LAPAUKKE, KABUPATEN WAJO TERKAIT PERATURAN MENTERI AGRARIA NO. 11 TAHUN 2016 Farida Patittingi; Kahar Lahae; Amaliyah Amaliyah; Andi Kurniawati; Muhammad Yusril; Hendri Hendri
HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 5, No 1 (2021): HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Sekolah Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33603/hermeneutika.v5i1.4896

Abstract

Peraturan Menteri Agraria No.11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertahanan merupakan aturan terbaru yang dikeluarkan Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk menyelesaikan dan mengurangi terjadinya konflik pertanahan di masyarakat. Berdasarkan pendataan awal sebelum dilakukannya workshop menunjukkan bahwa, masih kurangnya pemahaman masyarakat terkait aturan tersebut. Program pengabdian masyarakat ini bertujuan untuk melakukan edukasi dini kepada masyarakat untuk mengurangi peningkatan kasus pertanahan yang ada di Kabupaten Wajo. Dipilihnya Desa Lapaukke Kabupaten Wajo sebagai kelompok sasaran dalam kegiatan pengabdian kepada masyararakat ini adalah karena lokasi yang strategis dan terdapat lahan yang cukup luas yang belum memiliki sertifikat sehingga sering tejadi sengketa pertanahan. Hasil kegiatan menunjukkan antusiasme masyarakat dalam mengikuti kegiatan dengan menerapkan protocol Covid-19. Melalui hasil pre-test dan post test terdapat peningkatan pemahaman masyarakat terkait pentingnya untuk melakukan pendaftaran tanah sebagai bukti kepemilikan yang sah dan upaya yang dapat ditempuh ketika terjadi sengketa pertanahan berdasarkan Permen Agraria No 11 Tahun 2016. Hasil kegiatan pengabdian ini ialah kegiatan diskusi yang dilakukan oleh masyarakat dan narasumber yang berkompeten di bidangnya serta disepakati bersama warga masyarakat untuk menindaklanjuti sistem pendaftaran sertifikat tanah lengkap secara serentak di kantor BPN Kabupaten Wajo dan membuat buku saku sebagai media edukasi untuk menyelesaikan konflik pertanahan.
Problematika Sertifikasi Tanah Adat Tongkonan di Toraja Utara Sri Susyanti; Marwati Riza; Kahar Lahae
Pamulang Law Review Vol 5, No 2 (2022): November 2022
Publisher : Prodi Hukum S1 - Fakultas Hukum - Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32493/palrev.v5i2.25527

Abstract

Tanah Adat Tongkonan adalah hak bersama yang dikuasai oleh masyarakat suku Toraja, dimana semua warga tongkonan memiliki atau mempunyai hak yang sama terhadap tanah adat  tongkonan berdasarkan suatu pertalian keturunan. Hubungan keluarga didasarkan pada hubungan kerabat dari satu sumber (kinship) yang disebut Marga/clan sehingga masyarakat suku toraja mempunyai kelompok-kelompok yang didasarkan pada satu nenek moyang. Keberadaan masyarakat suku toraja dalam kehidupan berkelompok menguasai, dan memanfaatkan wilayah adat yang terdiri dari permukiman, sawah, pekuburan, pekarangan, hutan bamboo, dan lain-lain di atas tanah adat tongkonan secara bersama-sama atau disebut Hak Komunal. Metode penelitian hukum empiris dan sifat penelitian adalah penelitian deskriptif. Hasil penelitian bahwa: 1) Tanah Tongkonan merupakan wilayah adat yang merupakan asal-usul seseorang atau tempat  lahir, tempat pembinaan keluarga dalam persatuan keturunan, dan merupakan harta warisan bersama keluarga, sehingga eksistensi wilayah adat tongkonan sangat bergantung pada keaktifan anggota masyarakat adat tongkonan serta sumbangsihnya; 2) bahwa eksistensi tanah adat tongkonan sebagai harta Bersama dalam wilayah adat belum sepenuhnya terdaftar dan terdata melalui kegiatan Pendaftaran Tanah, sehingga keberlangsungannya sebagai.