Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUHAN Adnan Hamid
Jurnal Legal Reasoning Vol 3 No 2 (2021): Juni
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35814/jlr.v3i2.2410

Abstract

Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pekerja, pengusaha dan pemerintah. Sesungguhnya dari ketiga unsur yang ada tersebut, khususnya unsur pengusaha dan pekerja sangat rentan terjadi perselisihan. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) menjadi penting karena undang-undang tersebut menjadi pedoman dalam menyelesaikan sengketa perburuhan. Undang-undang ini telah mengakhiri keberadaan suatu panitia yang dibentuk (Adhoc) guna menyelesaikan suatu perselisihan atau yang dikenal dengan panitia penyelesaian perselisihan perburuhan, baik di tingkat daerah (P4D) atau di tingkat pusat (P4P) dan berdirinya pengadilan khusus yaitu Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Keberadaan PHI diharapkan dapat memberikan kemudahan dan kepastian, dalam menyelesaikan sengekta perburuhan yang terjadi, mengingat prinsip pengadilan yang cepat, murah, sederhana dan berkepastian hukum. Berdasarkan data yang ada, kecenderungan penyelesaian sengketa perburuhan melalui pengadilan terus meningkat, walaupun sebenarnya pengadilan bukanlah satu-satunya jalan guna menyelesaikan perselisihan yang terjadi. UUPPHI itu sendiri, mengatur 4 macam perselisihan yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja. Di samping penyelesaian perselisihan melalui jalur pengadilan, undang-undang ini memberikan alternatif penyelesaian di luar pengadilan melalui Arbitrase. Untuk penyelesaian perselisihan melalui Arbitrase ini, memang dibatasi yaitu hanya menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekeija di satu perusahaan. Namun UUPPHI ini, masih memberikan ruang untuk menyelesaikan sengketa perburuhan di luar pengadilan melalui jalan Arbitrase atau dengan kata lain Arbitrase sebagai alternatif dalam menyelesaikan sengketa perburuhan.
URGENSI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM PENGATURAN TENTANG PEMASYARAKATAN Myrna A. Safitri; Ricca Anggraeni; Adnan Hamid; Kunthi Tridewiyanti
Pancasila: Jurnal Keindonesiaan Vol. 1 No. 2 (2021): VOLUME 1 NOMOR 2 OKTOBER 2021
Publisher : Badan Pembinaan Ideologi Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52738/pjk.v1i2.19

Abstract

Sebagaimana diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, sistem pemasyarakatan di Indonesia telah mengubah konsep pemenjaraan pada era kolonial Belanda ke konsep pemasyarakatan. Perubahan konsep ini dimaksudkan untuk menerapkan program-program yang sifatnya menjerakan sekaligus merehabilitasi serta mereintegrasi narapidana secara sosial. Dengan demikian narapidana dapat kembali lagi menjadi warga masyarakat yang baik. Dalam praktiknya, tujuan ideal dari konsep pemasyarakatan ini tidak mudah terwujud. Persoalan-persoalan dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan ini sejatinya saling berkelindan, sehingga kebutuhan untuk mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 menjadi penting. Dalam kaitan dengan rencana perubahan hukum itu maka penting pula mempelajari bagaimana sistem pemasyarakatan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan bagaimana norma hukum baru yang akan dibentuk menguatkan nilai-nilai Pancasila. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, penelitian ini menyimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 masih berisikan norma-norma yang belum lengkap atau tidak dirumuskan dengan jelas dan kuat terkait dengan beberapa sila Pancasila, seperti untuk meningkatkan rasa cinta tanah khususnya bagi narapidana terorisme dan separatisme. Pun studi ini menemukan bahwa nilai-nilai Pancasila dalam filsafat pemidanaan berkait dengan kemanusiaan, edukasi dan keadilan. Konsep keadilan bergeser dari keadilan retributif dan restitutif menjadi keadilan restoratif.
The Existence of Identity Value and Image Protection on Legal Frameworks of United States of America (US) And United Kingdom (UK) Adnan Hamid; Adilla Meytiara Intan
Ius Positum Journal Of Law Theory And Law Enforcement Vol. 1 Issue. 2 (2022)
Publisher : jfpublshier

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (221.862 KB)

Abstract

This research aims to examine the existence of identity value and image protection along with their commercialization by comparing legal frameworks between the United States of America (the US) and the United Kingdom (the UK). The applied methodology is socio-legal approach: Primary sources, will be utilized to compare the Right of Publicity’s legal framework in each chosen country, as well as secondary sources, which will be used to develop this author’s understanding of the primary sources, will be crucial to answer the research question. The result of this research stated that The Right of Publicity is a subset of the Right to Privacy spesifically guarantee individual to control the commercialization of his identity while providing the remedy for unauthorized commercialization by a third party. English courts and law explicitly dismissed any personality right moreover a general free-standing Right of Publicity. The discussion of the Right of Publicity in the US behaves towards the natural aspect of the right, whether to label the right as property or as personal right. It can be concluded that, The United States approach overprotect the individual’s right to control his identity by banning any commercial use of any characteristics which the public can associate with. On the contrary, the UK still refuse to provide a name to protect the appropriation of one’s identity.
Attemption of Brand Protection from The Equality of Brand Infringement: A Case Study of Indonesian Supreme Court Decision No. 332K/Pdt.Sus-HKI/2021 Dian Puspito Rini; Adnan Hamid; Baried Dwi Sasongko
YurisJournal of Court and Justice Vol. 1 Issue. 2 (2022)
Publisher : jfpublisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.83 KB)

Abstract

The dispute of brand infringement from the use of word "Strong" by PT Unilever Indonesia, Tbk on their oral product, "Pepsodent Strong 12 Jam" has the same name as "Strong" on the product belonging to Hardwood Private Limited (holding company of orang tua group). Indonesian Supreme Court Decision on March 30,2021 No. 332K/Pdt.Sus-HKI/2021, they do not provide legal protection for the first registrant of "Strong" mark and legal certainty for registered brand owners and this is contrary to the passive judges pronciples in the KUHP (Criminal Procedure Code). The word of "Strong" has a distinguishing power with the brand "Pepsodent Strong 12 Jam." The brand naming "Strong" is formed from a descriptive word which is a common word in a foreign language which has a certain meaning and the owner of the registered brand cannot monopolize it. The TRIPS (Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights) agreement provides exceptions for brand protection based on fair use principles contained in brand dispute jurisprudence involving common words. This research method is normative research through a legal approach. The comprehension and regulation will be reviewed on Law No. 20/2016 concerning of Marks and Geographical Indications and HIR (Herzien Inlandsch Reglement). The word "Strong" is an adverb, which means "in a strong or forceful manner" that quoted from Merriem Webster. Therefore, using its word is public property and it can be used by everyone, but not for personal used 
“Role Model” Penanaman dan Pendidikan Nilai-Nilai Pancasila di Universitas Pancasila Hamid, Adnan
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : CV. Ridwan Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (233.485 KB) | DOI: 10.36418/syntax-literate.v6i2.5271

Abstract

Penanaman nilai-nilai Pancasila harus terus dilakukan. Berbagai upaya, dari hulu ke hilir tetap dilakukan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Mulai dari aktor pembentuk kebijakan, sampai dengan ke aktor pelaksana kebijakan itu. Pendidikan Tinggi menjadi sebuah sarana yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai itu kepada calon lulusan penerus generasi bangsa. Terlebih di tengah derasnya arus globalisasi yang tidak dapat dipungkiri telah membonceng paham radikalisme, terorisme, dan separatisme. Unggahan berbau SARA dapat dengan mudah ditemukan dalam konten media sosial. Universitas Pancasila sebagai Perguruan Tinggi yang mengemban nama Pancasila memiliki tanggung jawab penting, untuk terus-menerus mengupayakan langkah-langkah kebijakan strategis dalam hal penanaman nilai-nilai Pancasila untuk pembentukan karakter Mahasiswa. Kebijakan daro Dosen untuk menyampaikan dan menjelaskan dihadapan kelas, atas nilai-nilai kebaikan yang telah dilakukan dari berbagai tokoh selama 5 (lima) sampai dengan 10 (sepuluh) menit baik di awal, ditengah dan atau di akhir perkuliahan. Jadi diperlukan adanya pendekatan historical kepada Mahasiswa bahwa masih ada tokoh-tokoh bahkan dari kalangan milenial yang juga dalam kehidupnnyaupannya mencerminkan nilai-nilai Pancasila.