Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Subsidi Pupuk: Kebijakan, Pelaksanaan, dan Optimalisasi Pemanfaatannya Valeriana Darwis; nFN Supriyati
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 11, No 1 (2013): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v11n1.2013.45-60

Abstract

Pupuk merupakan salah satu input penting dalam meningkatkan produktivitas tanaman pangan, sehingga keberadaan dan pemanfaatannya memiliki posisi yang strategis. Salah satu kebijakan dalam pengadaan pupuk adalah subsidi pupuk. Subsidi pupuk sudah lama diterapkan dengan berbagai kebijakan yang mengikutinya seperti kebijakan pengadaan pupuk, distribusi pupuk dan pengawasan pupuk bersubsidi. Dalam pelaksanaannya kebijakan subsidi pupuk ini belum optimal sehingga diperlukan langkah perbaikan seperti: (i) pengalokasian pupuk (kuota) ditingkatkan dari kebutuhan untuk satu tahun menjadi rincian kebutuhan pupuk selama dua tahun, (ii) titik bagi terakhir berada di kelompok tani (lini v), (iii) penentuan kios pengecer sesuai dengan aturan yang semestinya dan (iv) pengalokasian dana yang cukup serta penetapan petugas yang tetap untuk operasional petugas PPNS dan KP3
Optimalisasi Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Sinergi Program PUAP dengan Desa Mandiri Pangan Valeriana Darwis; I Wayan Rusastra
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 2 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v9n2.2011.125-142

Abstract

Program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan di pedesaan pada prinsipnya memiliki banyak persamaan. Hal ini terlihat pada program PUAP dan Demapan. Adapun persamaannya antara lain : sama-sama berbasis desa, dilaksanakan oleh kelompok masyarakat, mendapatkan modal usaha pertanian dan non pertanian, terbentuknya lembaga keuangan mikro ditingkat desa, dan dibimbing oleh penyuluh dan tenaga pendamping. Dalam pelaksanaannya program tersebut masih banyak mengalami permasalahan dan untuk mengatasinya diperlukan koordinasi dengan cara mensinergikan program PUAP dengan Demapan. Sinergi dan integritasi kedua program mencakup beberapa aspek, yaitu : (1) diawali dengan sinergi data, pemilihan desa penerima program; (2) penataan internal kelembagaan program; (3) pemantapan pengembangan infrastruktur dengan sasaran akselerasi pengentasan kemiskinan; dan (4) antisipasi implementasi sinergi kedua program di lapangan. Dengan mengoptimalkan empat aspek tersebut, diharapkan akselerasi pembangunan pertanian dan ekonomi desa yang mengarah pada pengentasan kemiskinan dapat diwujudkan.
Sinergi Kegiatan Desa Mandiri Benih dan Kawasan Mandiri Benih untuk Mewujudkan Swasembada Benih Valeriana Darwis
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 16, No 1 (2018): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v16n1.2018.59-72

Abstract

Rice seed determines successful rice farming. Adopting quality seed will improve farm yield. Rice seed procurement programs implemented by Ministry of Agriculture (MoA) among others are Seed Self-Reliance Region Model coordinated by IAARD and Seed Self-Reliance Village managed by Directorate General of Food Crops. This paper aims to synthesize those two seed procurement programs into one program called as Seed Producer Center Village. Both programs have similarities, i.e. (a) both programs were carried out by MoA, (b) programs implementation involve Provincial and Regional Agriculture Offices, BPTP/UPBS, and BPSBTPH, and (c) encouraging seed growers to become seed producers. Requirements to integrate both programs are: (i) duties coordination of each involved agency; (ii) selection of seed growers to participate in the program; (iii) seed growers training carried out by BPSBTPH/UPBS, (iv) production inputs purchase prior to planting season, and (v) the government buys the seed produced in the program and distribute it to the rice production enhancement programs. AbstrakBenih menjadi penentu awal keberhasilan dalam budidaya tanaman. Penggunaan benih bermutu akan meningkatkan produktivitas. Program pengadaan benih yang sudah dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian antara lain adalah Model Kawasan Mandiri Benih di bawah koordinasi Balitbangtan dan Desa Mandiri Benih di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Tulisan ini menguraikan alasan dan cara mensinergikan dua program pengadaan benih ke dalam satu program dengan nama Desa Sentra Produsen Benih. Kedua program memiliki banyak kesamaan di antaranya adalah: (a) dilaksanakan dalam satu kementerian, (b) pada pelaksanaan di lapang melibatkan instansi yang sama yaitu Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten, BPTP/UPBS, BPSBTPH, dan (c) menjadikan penangkar sebagai produsen benih. Dalam pelaksanaannya, sinergi kedua program membutuhkan: (i) koordinasi dan tugas masing-masing lembaga yang terlibat; (ii) pemilihan penangkar yang mau dibina; (iii) pembinaan penangkar langsung oleh BPSBTPH/UPBS, (iv) pengadaan sarana produksi sebelum masuk musim tanam, dan (v) pemerintah ikut membeli benih yang dihasilkan oleh penangkar dan mengembalikan benih tersebut ke petani sekitarnya dalam bentuk program pemerintah lainnya yang berhubungan dengan benih.
Gerakan Kemandirian Pangan Melalui Program Desa Mandiri Pangan: Analisis Kinerja dan Kendala Valeriana Darwis
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 2 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v10n2.2012.159-179

Abstract

Program Desa Mandiri Pangan (Demapan) dilaksanakan tahun 2006 dan sampaisekarang masih berlanjut. Program dirancang dalam kurun waktu 4 tahun (tahap) dengan tujuan akhir mengurangi rawan pangan di perdesaan (mandiri). Sudah 158 desa masuk tahap kemandirian dan diharapkan desa yang sudah mandiri bisa membina 3 desa lainnya dalam program Gerakan Kemandirian Pangan. Tetapi dalam pelaksanaannya program ini tidak berhasil menjadikan seluruh desa mandiri menjadi desa inti, hal ini disebabkan kelembagaan Demapannya tidak aktif. Sementara kelembagaan tersebut akan menjadi narasumber dan tempat magang desa yang akan dibina (replikasi). Kelembagaan tersebut adalah Kelompok Afinitas (KA), Lembaga Keuangan Desa (LKD) dan Tim Pangan Desa (TPD). Bagi desa yang sudah tidak aktif kelembagaannya, maka program tidak perlu dilanjutkan. Sebaliknya bagi desa yang kelembagaannya kurang aktif, maka diperlukan kegiatan pemberdayaan kelembagaan. Selain itu diperlukan dana dari pemerintah untuk pengurus dalam menggerakkan lembaga TPD dan LKD. Dana itu diinisiasi dahulu dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian yang dimasukkan dalam dana kegiatan Gerakan Kemandirian Pangan. Tahun berikutnya dana tersebut diharapkan dari dana APBD Tk I dan APBD Tk II. Selanjutnya untuk mensukseskan kegiatan Demapan maka peranan BKP Provinsi perlu ditingkatkan lagi agar masalah kabupaten tidak melakukan monev kegiatan dengan baik dan seringnya pergantian SDM di tingkat kabupaten bisa diatasi.
Dinamika Kelembagaan Kemitraan Usaha Rantai Pasok Buah Tropika Berorientasi Ekspor nFN Saptana; Atika Dyah Perwita; Valeriana Darwis; Sri Hastuti Suhartini
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 36, No 1 (2018): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v36n1.2018.45-61

Abstract

The main problem faced in the development of Indonesia's tropical fruits are the lack of variety, quantity, quality and continuity of supply that is in line with market demand dynamics and consumer preferences. The purpose of this paper is to examine the performance of export-oriented tropical fruit business partnership institutions. The method of analysis is carried out by reviewing various literature studies, especially primary scientific journals and other data and information. Indonesia's main tropical fruits are mango, pineapple, papaya, and avocado, constituting 75% of global tropical fruit production. National fruit production sequentially from the largest are banana of 6,189,052 tons, mango 2,376,339 tons, papaya 906,312 tons, durian 888,130 tons, and mangosteen 190,294 tons. Fruit consumption level in 2000 had reached 36 kg/capita/year, increasing in 2005 to 45 kg/capita/year, in 2007 it had reached 47 kg/capita/year, but in 2011 it decreased to 34.55 kg/capita/year, and in 2014 it increased again to 43.33 kg/capita/year. In the period January to March 2018 the volume of Indonesian fruit exports amounted to 325,236 tons, while in the same period in 2017, the volume of Indonesian fruit exports was recorded at 306,441 tons, an increase of 6.13%. Institutional performance of supply chain partnerships in tropical fruits, both carried out through general trade patterns and contract farming has not been fully efficient. The strategy of developing export-oriented tropical fruits in the future needs to be carried out through integrated supply chain business partnership institutions. Operationally can be done by using seeds/superior clone seeds, cultivation technology based on Standard Operational Procedure (SOP) and the application of Good Agricultural Practices (GAP), the application of Good Handling Practices (GHP), and integrated supply chain business partnerships. AbstrakPermasalahan pokok yang dihadapi dalam pengembangan buah tropika Indonesia adalah belum terwujudnya ragam, kuantitas, kualitas, dan kesinambungan pasokan yang sesuai dengan dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen. Tujuan tulisan ini adalah untuk mengkaji kinerja kelembagan kemitraan usaha buah tropika berorientasi ekspor. Metode penulisan dengan melakukan review dari berbagai studi pustaka terutama jurnal ilmiah primer serta data dan informasi terkait. Buah tropika utama Indonesia adalah mangga, nenas, papaya, dan alpukat, merupakan 75% produksi buah tropika global. Produksi buah nasional secara berturut-turut adalah  pisang sebesar 6.189.052 ton, mangga 2.376.339 ton, pepaya 906.312 ton, durian 888.130 ton, dan manggis sebesar 190.294 ton. Tingkat konsumsi buah pada tahun 2000 sudah mencapai 36 kg/kapita/tahun, meningkat pada tahun 2005 menjadi 45 kg/kapita/tahun, tahun 2007 telah mencapai 47 kg/kapita/tahun, namun pada tahun 2011 mengalami penurunan menjadi sebesar 34,55 kg/kapita/tahun, dan tahun 2014 meningkat kembali mencapai 43.33 kg/kapita/tahun. Pada periode Januari hingga Maret 2018 volume ekspor buah Indonesia sebesar 325.236 ton, sedangkan periode yang sama pada tahun 2017, volume ekspor buah Indonesia tercatat sebesar 306.441 ton atau meningkat sebesar 6,13%. Kinerja kelembagaan kemitraan usaha rantai pasok pada buah tropika baik yang dilakukan melalui pola dagang umum maupun pertanian kontrak (contract farming) belum sepenuhnya efisen. Strategi pengembangan buah tropika berorientasi ekspor ke depan perlu dilakukan melalui kelembagaan kemitraan usaha rantai pasok secara terpadu. Secara operasional dapat dilakukan dengan menggunaan bibit/benih klon unggul, teknologi budidaya yang didasarkan Standar Prosedur Operasional (SOP) dan penerapan Good Agricultural Practices (GAP), penerapan Good Handling Practices (GHP), dan kelembagaan kemitraan usaha rantai pasok secara terpadu. 
POTENSI KEHILANGAN HASIL PANEN DAN PASCA PANEN JAGUNG DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN Valeriana Darwis
Journal of Food System & Agribusiness Volume 2 Nomor 1 Tahun 2018
Publisher : Politeknik Negeri Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25181/jofsa.v2i1.1110

Abstract

Poor harvest and post harvest handling can reduce corn production in terms of quantity and quality. Therefore, this paper aims to know the potential loss of maize crops and post-harvest through the habits of farming cultivation in South Lampung, especially during the activities of harvesting, shelling, drying and storing. The results of the study showed that corn farmers understand the importance of harvest and post harvest handling in producing quality corn production. However, not all farmers put their understanding into practice even if the technology for harvesting and post-harvest activities have been invented and implemented by the ministry of agriculture. In order to increase the income of corn farmers, the socialization and demonstration of the use of the tools or technology specific to harvest and post harvest location needs to be enhanced.Keywords: loss, harvest, post harvest and corn
Evaluasi Pelaksanaan LKMA Bentukan dari Kegiatan PUAP di Provinsi Lampung valeriana darwis
Journal of Food System & Agribusiness Volume 3 Nomor 1 Tahun 2019
Publisher : Politeknik Negeri Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25181/jofsa.v3i1.1549

Abstract

The PUAP program has been implemented since 2008 until 2015 in 52,186 villages and 6,887 LKMA have been formed. Of the 6,887 LKMA that have obtained OJK licenses as many as 115 LKMA and 6 LKMA are in Lampung Province. In implementing the PUAP program, many benefits have been obtained including: helping farmers in business capital loans, increasing income and farmers are used to borrowing money from the banking system. With the many benefits, this paper aims to evaluate the implementation of LKMA that has obtained permission from the FSA. Evaluating the implementation of LKMA uses a ranking method that produces LKMA Mekar Jaya as the best LKMA and this is represented by (i) institutional aspects that already have business legality both from the Ministry of Cooperatives and from OJK, work in the following offices with their devices, hire professional workers with monthly incentives ; (ii) implementation aspects that have given loans to various businesses and differentiate the amount of interest based on the type of business; each borrower is charged a provision fee in each time he borrows and the borrower is the surrounding community who may borrow as long as he follows the requirements and has a loan; (iii) aspects of business development where there was an increase in the number of borrowers and an increase in LKMA's business capital from Rp 150,000,000 to Rp 1,070,000,000
KERAGAAN DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOPI ROBUSTA DI PROVINSI LAMPUNG (Studi Kasus : Kab Tanggamus) valeriana darwis; Yonas Hangga Saputra; Chairul Muslim
Journal of Food System & Agribusiness Volume 4 Nomor 2 Tahun 2020
Publisher : Politeknik Negeri Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25181/jofsa.v4i2.1649

Abstract

Lampung Province is one of the Robusta coffee agribusiness centers that is included in the development area of ​​the coffee area contained in the Decree of the Minister of Agriculture No. 472 of 2018. Based on this stipulation, this paper aims to determine the production system, maintenance costs and supply chain in Lampung Province. The survey was conducted in July 2019 with data collection methods through FGD and direct interviews with farmers using a questionnaire. From the results of a qualitative descriptive analysis and maintenance cost, it was found that the Robusta coffee agribusiness in Lampung Province experienced positive growth. This is represented by an increase in coffee selling price of 0.39% / year, planting area of ​​0.33% / year and production of 0.09% / year. But in terms of productivity, respondents' farmers only produce 593 kg / year or still low compared to national productivity of 656 kg / year and Lampung province productivity of 800 kg / year. The low productivity of respondent farmers was caused by: (i) lack of motivation to maintain because the maintenance costs per kg (Rp. 4,013) were lower than the selling price of coffee (Rp. 18,000); (ii) the age of the plant is old and (iii) it is not the main crop. Coffee agribusiness in Lampung Province can still be improved by: (i) increasing productivity through the application of coffee-based cultivation; (ii) making demonstration plots at farmer locations as an effort to disseminate research results from the Ministry of Research and Development; (iii) rebuilding institutions especially in overcoming the problems of production, marketing and processing of products and (iv) making partnerships with traders or roasteries so that farmers no longer need to sell as origin seeds
TREATMENT AND USE OF PESTICIDES IN SHALLOT CULTIVATION IN CIREBON REGENCY: Key words: treat, pesticides, shallots Valeriana Darwis; Chairul Muslim; Iwan Setiaji Anugrah
Journal of Food System & Agribusiness Volume 5 Nomor 2 Tahun 2021
Publisher : Politeknik Negeri Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25181/jofsa.v5i2.2101

Abstract

Productivity of shallots is influenced by the use of production inputs, including the use of pesticides. This study aims to see a portrait of the behavior and use of pesticides in onion cultivation in Cirebon Regency. The location was purposely selected with consideration as the shallot producing center. The survey was conducted in the first week of September 2020. The primary data collection was carried out by direct interviews with respondents using a questionnaire. The selection of respondents employed a random sampling technique. The collected data were analyzed using quantitative descriptive analysis. From the results of the analysis, it can be seen that: (i) 25% of farming costs are used to buy pesticides, (ii) 64% of farmers buy pesticides for controlling pests and diseases attack, (iii) 36% of farmers read labels on pesticide packages and 45 % of farmers read the pesticide spraying manual. (iv) 68% of farmers use pesticides exceeding the recommended dose and 77% of farmers mix 2 to 3 brands in dealing with pests and diseases. In order to maintain the health of farmers, not to damage the environment, and to buy pesticides as needed, it is suggested that the Integrated Pest Control Field School Program needs to be re-implemented.
Sinergi Kegiatan Desa Mandiri Benih dan Kawasan Mandiri Benih untuk Mewujudkan Swasembada Benih Valeriana Darwis
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 16, No 1 (2018): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (483.548 KB) | DOI: 10.21082/akp.v16n1.2018.59-72

Abstract

Rice seed determines successful rice farming. Adopting quality seed will improve farm yield. Rice seed procurement programs implemented by Ministry of Agriculture (MoA) among others are Seed Self-Reliance Region Model coordinated by IAARD and Seed Self-Reliance Village managed by Directorate General of Food Crops. This paper aims to synthesize those two seed procurement programs into one program called as Seed Producer Center Village. Both programs have similarities, i.e. (a) both programs were carried out by MoA, (b) programs implementation involve Provincial and Regional Agriculture Offices, BPTP/UPBS, and BPSBTPH, and (c) encouraging seed growers to become seed producers. Requirements to integrate both programs are: (i) duties coordination of each involved agency; (ii) selection of seed growers to participate in the program; (iii) seed growers training carried out by BPSBTPH/UPBS, (iv) production inputs purchase prior to planting season, and (v) the government buys the seed produced in the program and distribute it to the rice production enhancement programs. AbstrakBenih menjadi penentu awal keberhasilan dalam budidaya tanaman. Penggunaan benih bermutu akan meningkatkan produktivitas. Program pengadaan benih yang sudah dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian antara lain adalah Model Kawasan Mandiri Benih di bawah koordinasi Balitbangtan dan Desa Mandiri Benih di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Tulisan ini menguraikan alasan dan cara mensinergikan dua program pengadaan benih ke dalam satu program dengan nama Desa Sentra Produsen Benih. Kedua program memiliki banyak kesamaan di antaranya adalah: (a) dilaksanakan dalam satu kementerian, (b) pada pelaksanaan di lapang melibatkan instansi yang sama yaitu Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten, BPTP/UPBS, BPSBTPH, dan (c) menjadikan penangkar sebagai produsen benih. Dalam pelaksanaannya, sinergi kedua program membutuhkan: (i) koordinasi dan tugas masing-masing lembaga yang terlibat; (ii) pemilihan penangkar yang mau dibina; (iii) pembinaan penangkar langsung oleh BPSBTPH/UPBS, (iv) pengadaan sarana produksi sebelum masuk musim tanam, dan (v) pemerintah ikut membeli benih yang dihasilkan oleh penangkar dan mengembalikan benih tersebut ke petani sekitarnya dalam bentuk program pemerintah lainnya yang berhubungan dengan benih.