Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Tingkat Dukungan Domestik untuk Sektor Pertanian Indonesia Tahlim Sudaryanto; Mohammad Iqbal; Reni Kustiari; Saktyanu K. Dermoredjo; Chairul Muslim; Yonas H. Saputra
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 14, No 1 (2016): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v14n1.2016.73-82

Abstract

There is common perception that domestic support to agriculture in Indonesia is relatively small. Therefore, the level, composition, and trend of support to agriculture require an in-depth analysis.  Some types of commonly used indicators on support to agriculture are Producer Support Estimate (PSE), Total Support Estimate (TSE), and General Services Support Estimate (GSSE). These indicators are analyzed for Indonesian agriculture covering the period of 1995–2014, and consist of 15 commodities. The PSE estimate indicates an increasing trend from 3.9% in 1995–1997 to 20.6% in 2012–2014. In 2012–2014 the PSE of Indonesian agriculture was slightly higher than that of China (19.2%) but larger compared to that of OECD average (17.9%). The TSE estimate (% to GDP) significantly increased from 0.8% in 1995–1997 to 3.6% in 2012–2014. In 2012–2014 the TSE of agriculture in Indonesia was the largest. Agricultural support in term of market price support has caused an increased price at the consumer level which ultimately reduces food nutrition intake. In the long run, more effective policy is to promote agricultural production and productivity through innovation, investment on infrastructures, and easing private sector investment. The largest part of government budget is spent on fertilizer subsidy which proportionately benefits large-scale farmers and fertilizer industry. More efficient scheme is to convert this subsidy into direct payment targeted to small-scale farmers. AbstrakSelama ini ada anggapan umum bahwa dukungan domestik (domestic supports) terhadap sektor pertanian Indonesia masih relatif rendah. Sehubungan itu, besaran dan komposisi dukungan serta bagaimana perubahannya antarwaktu, perlu dianalisis dengan seksama. Beberapa indikator yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat dukungan tersebut adalah Producer Support Estimate (PSE), Total Support Estimate (TSE), dan (General Services Support Estimate (GSSE). Berbagai indikator tersebut telah dianalisis untuk sektor pertanian Indonesia meliputi periode tahun 1995–2014 dan mencakup 15 komoditas. Nilai PSE menunjukkan tren peningkatan dari 3,9% tahun 1995–1997 menjadi 20,6% tahun 2012–2014. Pada tahun 2012–2014 nilai PSE sektor pertanian Indonesia sedikit lebih tinggi dari Tiongkok (19,2%), namun lebih tinggi dari negara-negara OECD (17,9%). Nilai TSE sektor pertanian Indonesia (% terhadap PDB) meningkat secara signifikan dari 0,8% tahun 1995–1997 menjadi 3,6% tahun 2012–2014. Pada tahun 2012–2014 nilai TSE Indonesia adalah yang tertinggi. Hasil analisis ini menolak anggapan umum bahwa perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian relatif kurang. Dukungan terhadap sektor pertanian dalam bentuk perlindungan harga akan berdampak pada peningkatan harga pangan di tingkat konsumen yang pada akhirnya menurunkan asupan gizi masyarakat.  Dalam jangka panjang, prioritas kebijakan yang lebih efektif adalah peningkatan produksi dan produktivitas melalui sistem inovasi, pembangunan infrastruktur, dan mempermudah investasi swasta. Sebagian besar transfer anggaran pemerintah untuk sektor pertanian adalah subsidi pupuk yang secara kumulatif lebih banyak dinikmati oleh para petani luas dan produsen pupuk.  Skema yang lebih efisien adalah mengonversi subsidi tersebut ke dalam sistem transfer pendapatan dan dibatasi hanya untuk petani kecil.
Perkembangan Pasar Kopi Dunia dan Implikasinya bagi Indonesia Reni Kustiari
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 25, No 1 (2007): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v25n1.2007.43-55

Abstract

EnglishThe fast growing trend of world coffee production in the world creates an excess of its supply, encouraging a more intense of competition among the exporting countries.  This situation leads to a decreasing trend of fluctuate price of world coffee. The objective of this paper is to assess the world coffee market behavior in order to make an appropriate strategy and direction of coffee industry policies. Indonesia’s market share in traditional market tends to decrease, and therefore, it is necessary to diversify market destination and commodity composition, in addition to efforts to increase the export of processed coffee.IndonesianPesatnya perkembangan produksi kopi dunia telah menyebabkan terjadinya kelebihan pasokan kopi dunia sehingga mengakibatkan persaingan antar negara produsen menjadi semakin ketat dan pada akhirnya harga cenderung tertekan. Tulisan ini bertujuan mengkaji perkembangan pasar kopi dunia agar dapat menjadi pertimbangan dalam menyusun strategi dan arah kebijakan komoditas kopi Indonesia. Pangsa pasar kopi Indonesia di pasar-pasar tradisional cenderung menurun, oleh karena itu diperlukan upaya-upaya antara lain mendiversifikasi pasar tujuan dan produk kopi serta meningkatkan ekspor kopi olahan.
Tingkat Dukungan Domestik untuk Sektor Pertanian Indonesia Tahlim Sudaryanto; Mohammad Iqbal; Reni Kustiari; Saktyanu K. Dermoredjo; Chairul Muslim; Yonas H. Saputra
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 14, No 1 (2016): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (329.236 KB) | DOI: 10.21082/akp.v14n1.2016.73-82

Abstract

There is common perception that domestic support to agriculture in Indonesia is relatively small. Therefore, the level, composition, and trend of support to agriculture require an in-depth analysis.  Some types of commonly used indicators on support to agriculture are Producer Support Estimate (PSE), Total Support Estimate (TSE), and General Services Support Estimate (GSSE). These indicators are analyzed for Indonesian agriculture covering the period of 1995–2014, and consist of 15 commodities. The PSE estimate indicates an increasing trend from 3.9% in 1995–1997 to 20.6% in 2012–2014. In 2012–2014 the PSE of Indonesian agriculture was slightly higher than that of China (19.2%) but larger compared to that of OECD average (17.9%). The TSE estimate (% to GDP) significantly increased from 0.8% in 1995–1997 to 3.6% in 2012–2014. In 2012–2014 the TSE of agriculture in Indonesia was the largest. Agricultural support in term of market price support has caused an increased price at the consumer level which ultimately reduces food nutrition intake. In the long run, more effective policy is to promote agricultural production and productivity through innovation, investment on infrastructures, and easing private sector investment. The largest part of government budget is spent on fertilizer subsidy which proportionately benefits large-scale farmers and fertilizer industry. More efficient scheme is to convert this subsidy into direct payment targeted to small-scale farmers. AbstrakSelama ini ada anggapan umum bahwa dukungan domestik (domestic supports) terhadap sektor pertanian Indonesia masih relatif rendah. Sehubungan itu, besaran dan komposisi dukungan serta bagaimana perubahannya antarwaktu, perlu dianalisis dengan seksama. Beberapa indikator yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat dukungan tersebut adalah Producer Support Estimate (PSE), Total Support Estimate (TSE), dan (General Services Support Estimate (GSSE). Berbagai indikator tersebut telah dianalisis untuk sektor pertanian Indonesia meliputi periode tahun 1995–2014 dan mencakup 15 komoditas. Nilai PSE menunjukkan tren peningkatan dari 3,9% tahun 1995–1997 menjadi 20,6% tahun 2012–2014. Pada tahun 2012–2014 nilai PSE sektor pertanian Indonesia sedikit lebih tinggi dari Tiongkok (19,2%), namun lebih tinggi dari negara-negara OECD (17,9%). Nilai TSE sektor pertanian Indonesia (% terhadap PDB) meningkat secara signifikan dari 0,8% tahun 1995–1997 menjadi 3,6% tahun 2012–2014. Pada tahun 2012–2014 nilai TSE Indonesia adalah yang tertinggi. Hasil analisis ini menolak anggapan umum bahwa perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian relatif kurang. Dukungan terhadap sektor pertanian dalam bentuk perlindungan harga akan berdampak pada peningkatan harga pangan di tingkat konsumen yang pada akhirnya menurunkan asupan gizi masyarakat.  Dalam jangka panjang, prioritas kebijakan yang lebih efektif adalah peningkatan produksi dan produktivitas melalui sistem inovasi, pembangunan infrastruktur, dan mempermudah investasi swasta. Sebagian besar transfer anggaran pemerintah untuk sektor pertanian adalah subsidi pupuk yang secara kumulatif lebih banyak dinikmati oleh para petani luas dan produsen pupuk.  Skema yang lebih efisien adalah mengonversi subsidi tersebut ke dalam sistem transfer pendapatan dan dibatasi hanya untuk petani kecil.
PROTEKSI TARIF OPTIMAL UNTUK KEDELAI DI INDONESIA Reni Kustiari; Saktyanu K. Dermoredjo
Agros Journal of Agriculture Science Vol 15, No 1: Edisi Januari 2013
Publisher : Fakultas Pertanian, Universitas Janabadra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (264.842 KB)

Abstract

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan utama setelah padi dan jagung yang memiliki keunggulan yang kaya protein dan memiliki sumber protein nabati yang beragam. Konsumsi kedelai nasional tahun 2011 sebesar 2,95 juta ton, sementara produksi dalam negeri telah mencapai 851.000 ton, harus mengimpor sekitar 2,1 juta ton atau sekitar 71 persen dari total konsumsi nasional. Dukungan kebijakan pemerintah (benih, pupuk, dan mekanisasi subsidi) telah meningkatkan keuntungan petani. Namun, kebijakan perlindungan seperti tarif impor sekitar 15,8 persen, 27,7 persen atau 41,4 persen harus dipertimbangkan, agar petani mencapai keuntungan sekitar 25 persen, 30 persen atau 35 persen dari total pendapatan. Tarif impor di atas 27 persen tidak dapat diterapkan karena baound rate kedelai impor adalah 27 persen. Saat ini, keuntungan pertanian kedelai sekitar 16,5 persen dari total pendapatan. Tujuan utama dari makalah ini adalah: (a) untuk menganalisis keuntungan sistem usaha tani kedelai; (b) untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah (tarif impor) terhadap perekonomian secara umum, dan (d) merumuskan rekomendasi kebijakan untuk pengembangan industri kedelai dan pendapatan petani. Kata kunci: proteksi, tarif; keuntungan.
Prospek Penawaran dan Permintaaan Pangan Nasional Menghadapi Tantangan (Global Prospects of National Food Supply and Demand Facing Global Challenges) Handewi Purwanti Saliem; Reni Kustiari
JURNAL PANGAN Vol. 21 No. 1 (2012): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v21i1.88

Abstract

Penyediaan pangan ke depan dihadapkan pada tantangan global berikut: populasi dunia tumbuh sekitar 3,4 persen dan berjumlah 9,1 miliar pada 2050, urbanisasi meningkat dengan laju yang semakin tinggi dan sekitar 70 persen dari populasi dunia akan berada di urban area, dan tingkat pendapatan penduduk yang beberapa kali lipat dari saat ini. Menghadapi tantangan global tersebut produksi pangan (termasuk untuk bahan baku energi) harus meningkat sekitar 70 persen. Produksi serealia harus meningkat sekitar 3 miliar ton dari 2,1 miliar pada 2009 dan produksi daging per tahun harus meningkat sebesar 200 juta ton agar mencapai 470 juta ton. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 diproyeksikan sekitar 294,3 juta orang. Pada kondisi tersebut, permintaan beras, jagung, kedelai dan ubi kayu diproyeksikan meningkat masing-masing menjadi 46,9 juta ton, 13,8 juta ton, 1,7 juta ton dan 13,3 juta ton. Sementara itu, produksi diproyeksikan meningkat menjadi 58,1 juta ton, 32,7 juta ton, 1,1 juta ton dan 39,4 juta ton masing-masing untuk beras, jagung, kedelai dan ubi kayu. Dengan demikian akan terjadi defisit pada beberapa komoditas pertanian terutama untuk kedelai. Perubahan iklim dan peningkatan produksi biofuel merepresentasikan resiko utama ketahanan pangan pada jangka panjang. Pertanian harus beradaptasi terhadap perubahan iklim, tetapi pertanian dapat juga digunakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Peningkatan penggunaan tanaman pangan untuk produksi biofuel akan mempunyai implikasi yang serius untuk ketahanan pangan. Oleh karenanya diperlukan upaya keras untuk menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran di pasar domestik. Hal ini karena Indonesia tidak dapat sepenuhnya bergantung kepada pasar internasional mengingat dampak perubahan iklim telah melanda seluruh negara di dunia yang berarti ketersediaan pangan di pasar internasional akan terbatas.In the future, provision of food for all face global challenging issues, such as theworld's population is growing at about 34 percent and is predicted to be 9.1 billion by 2050, urbanization is increasing at a higher rate, and income levels are several times higher than today. Challenges facing the global food production (including for energy raw materials) must be increased by around 70 percent. Production of cereals should be increased by approximately 3 billion tons from 2.1 billion in 2009 and production of meat per year should be increased by 200 million tons to reach 470 million tons. Indonesia's population in 2025 isprojected around 294.3 million people. In such conditions,demand for rice, corn, soybeans and cassava is projected to increase each to 29.1 million tons, 8.6 million tons, 1.7 million tons and 13.3 million tons. Meanwhile, production is projected to increase to 58.1 million tons, 20.3 million tons, 1.1 million tons and 24.5 million tons for rice, corn, soybeans and cassava. Thus there will be a deficit on a few agricultural commodities especially for soybeans. Climate change and increased production of bio-fuels represents major food security risk in the long run. Agriculture must adapt to climate change, but agriculture can also be used to reduce the impacts of climate change. An increase in the use of food crops for the production of bio-fuels will have serious implications for food security. Therefore, it is required hard efforts to maintain the balance of supply and demand in the domestic market. This is because Indonesia cannot entirely depend on international food market given the impacts of climate change has hit the whole country in the world which means the availability of food in the international market will be limited.