Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

TEPUNG KASAVA MODIFIKASI SEBAGAI BAHAN SUBSTITUSI TERIGU MENDUKUNG DIVERSIFIKASI PANGAN Rahmi Yulifianti; Erliana Ginting; Joko Susilo Utomo
Buletin Palawija No 23 (2012): Buletin Palawija No 23, 2012
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bulpa.v0n23.2012.p1-12

Abstract

Tepung kasava modifikasi (mocaf) potensial sebagai bahan substitusi tepung terigu dalam rangka mendukung diversifikasi pangan. Proses modifikasi pembuatan mocaf dengan fermentasi menggunakan inokulum bakteri asam laktat menyebabkan terjadinya perubahan sifat fisikokimia dan amilografi serta sifat organoleptik tepung. Mocaf bersifat lebih mudah larut di dalam air, lebih mudah mengembang ketika dipanaskan karena viskositas puncaknya meningkat, tidak beraroma khas ubikayu, berwarna lebih cerah/putih, dan lebih lunak tekstur produknya bila dibandingkan dengan tepung ubikayu tanpa fermentasi dan terigu. Proporsi mocaf sebagai bahan substitusi terigu bervariasi antara 30 – 40 % pada produk roti, pastry dan mie, 50 – 100 % pada produk kue basah (cakes), kue kering (cookies), aneka produk gorengan dan jajanan basah/pasar. Harga mocaf di pasaran berkisar antara Rp. 4.100 - 5.000 per kg, relatif lebih murah dibandingkan dengan tepung terigu yang harganya berkisar antara Rp. 5.220 - 7.250 per kg. Usaha agroindustri mocaf dapat diterapkan dengan model kemitraan antara petani/kelompok tani sebagai produsen sawut kering dengan industri besar yang memproduksi tepung sekaligus memasarkan. Peningkatan produksi ubikayu diperlukan untuk mendukung ketersediaan bahan baku yang melalui adopsi varietas unggul berpotensi hasil dan kadar pati tinggi, teknologi budidaya yang tepat serta pengaturan waktu tanam dan panen. Kebijakan pemerintah yang berpihak kepada pengembangan industri tepung lokal untuk mengurangi impor terigu serta sosialisasi dan promosi produk olahan mocaf yang tidak kalah citra dan citarasanya dibanding 100 % terigu juga perlu diintensifkan untuk mempercepat adopsinya oleh industri dan masyarakat.
Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku Industri Bioetanol Erliana Ginting; Titik Sundari; Nasir Saleh
Buletin Palawija No 17 (2009): Buletin Palawija No 17, 2009
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bul palawija.v0n17.2009.p1-10

Abstract

Ubi kayu sebagai bahan baku industri bioetanol. Penggunaan sumber energi alternatif terbarukan yang berasal dari hasil pertanian seperti bioetanol perlu dilakukan karena meningkatnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di pasaran dunia dan menipisnya cadangan fosil. Ubi kayu cukup berpotensi sebagai bahan baku industri etanol karena mampu memproduksi etanol sebanyak 2.000–7.000 l/ha/th. Kandungan pati yang tinggi pada ubi kayu merupakan substrat yang baik untuk menghasilkan glukosa sebagai produk antara pada pembuatan etanol. Proses pengolahan ubi kayu menjadi etanol meliputi gelatinisasi pati, diikuti hidrolisis pati secara enzimatis menjadi glukosa dengan menggunakan enzim amilase dan glukoamilase (likuifikasi dan sakarifikasi), lalu difermentasi menjadi etanol dan dilanjutkan dengan distilasi dan dehidrasi untuk mendapatkan bioetanol dengan kadar 99,5% (fuel grade). Berdasarkan kadar gula total, pati dan ratio fermentasinya, beberapa varietas/klon ubi kayu, di antaranya CMM 99008-3, MLG 0311, OMM 9908-4 dan UJ-5 sesuai untuk bahan baku industri etanol dengan nilai konversi 4–4,5 kg umbi kupas segar/liter etanol 96%. Departemen Pertanian melalui program Peningkatan Mutu Intensisifikasi (PMI) dan perluasan areal tanam, telah memproyeksikan secara bertahap pengembangan ubi kayu untuk mendukung industri bioetanol. Program tersebut perlu mendapat dukungan semua stake holder, termasuk pengusaha/industri serta kebijakan serius dari Pemerintah untuk mendorong realisasi substitusi 10% premium dengan bioetanol (Gasohol E-10).
CYANIDE REDUCTION IN CASSAVA ROOT PRODUCTS THROUGH PROCESSING AND SELECTION OF CULTIVARS IN RELATION TO FOOD SAFETY Erliana Ginting; yudi Widodo
Buletin Palawija No 25 (2013): Buletin Palawija No 25, 2012
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bulpa.v0n25.2013.p26-36

Abstract

About 47% of cassava production in Indonesia was used for human consumption, both as a staple food and snacks. In terms of food safety, the natural presence of cyanogenic glucosides in cassava roots is of concern as they may release free cyanide (HCN), which is highly toxic. At high levels, it may cause acute poisoning, leading to death as well as iodine deficiency and neurological disorders for long-term ingestion. The cyanogenic glucosides content in different cultivars of cassava varied from 1 up to >1,000 mg HCN/kg fresh weight, while 10 mg HCN/kg dry weight was considered to be the safe level for consumption. Various processing methods were reported to be effective in reducing the cyanide content in cassava products. A decrease of 25-50% was observed during overnight soaking, while it was much higher (81%) when subsequent drying and milling into flour was performed. During boiling, steaming, deep-frying, baking and fermentation, a reduction of 45-50%, 17%, 13%, 14% and 38-84% was noted, respectively. Crushing the fresh roots and subsequent sun-drying was the most effective method with >95% of HCN removal. It suggests that low cyanide content of cassava cultivars (mostly sweet/local varieties) are obviously required for direct consumption purposes. This is particularly important for traditional food processors to be selective in obtaining fresh cassava as raw material and choosing proper processing methods. While for gaplek, starch, flour, and mocaf purposes, where washing, soaking, shredding, fermentation, pressing, drying and milling were involved, the bitter cultivars (mostly improved varieties) with relatively high cyanide content can be used. Therefore, breeding selection for cassava cultivars with low cyanide content and high potential yield is essentially needed. Selected improved varieties and promising clones seem to meet this criteria. Regulation for food industries to provide information on cyanide level in cassava food labels would also protect the consumers and promote safe cassava foods.
RESPON PENGRAJIN TEMPE TERHADAP INTRODUKSI VARIETAS UNGGUL KEDELAI UNTUK PRODUKSI TEMPE Dian Adi Anggraeni Elisabeth; Erliana Ginting; Rahmi Yulifianti
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol 20, No 3 (2017): November 2017
Publisher : Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jpptp.v20n3.2017.p183-196

Abstract

ABSTRACT Response of Tempe SMEs Into Soybean Improved Varieties Introduction for Tempe Production. Intensive socialization and introduction of improved soybean varieties has been conducted along with the extension of soybean cropping area so that improved soybean varieties will be available abundantly in market. Therefore, socialization to soybean small and medium enterprises (SMEs) involving tempe producers particularly who live outside of soybean production center should be done due to they used to use imported soybean for the tempe processing. Study aimed to depict the introduction of Iletri’s soybean improved varieties for tempe production and to observe the producers’ responses on substitution of imported soybean. Study was conducted on September 2015 involving 122 respondents consisted of 39 tempe producers, 67 tempe chip producers, and 16 other soybean product producers. Primary data was obtained through interview method with semi-opened questionaire involving data of SME’s general characteristics, tempe sensory test result, and response of respondents. Data was equipped with physicochemical analysis of raw tempe made from improved soybean varieties with imported one as a comparison. The result showed that tempe made from Argomulyo, Anjasmoro, and Burangrang varieties had higher protein content than tempe form imported soybean. Tempe from Grobogan variety had no significantly different of weight and volume with imported one. For sensory atributes, the producers gave a positive response with standard of like to very like for tempe made from Anjasmorro variety. Information on physicochemical and sensory atributes of tempe showing that the qualities of tempe from improved soybean varieties were similar even better than imported soybean one depicted to the producers there is an opportunity for substitution of imported soybean. It is expected that the awareness will improve into adoption with the support of stakeholders including related local offices.  improved soybean varieties, imported soybean, substitution, tempe producers ABSTRAK Sosialisasi dan introduksi varietas unggul telah dilakukan secara intensif seiring dengan upaya perluasan areal tanam kedelai sehingga kedelai dari varietas unggul akan banyak tersedia di pasaran. Oleh karena itu, sosialisasi kepada industri pengolahan kedelai, terutama yang berdomisili di luar daerah sentra produksi kedelai termasuk Kota dan Kabupaten Malang perlu dilakukan karena selama ini mereka masih terbiasa menggunakan kedelai impor. Studi bertujuan memberikan gambaran mengenai hasil pembinaan berupa introduksi penggunaan varietas unggul kedelai Balitbangtan untuk produksi tempe dan melihat respon pengrajin. Studi dilaksanakan pada September 2015, melibatkan 122 orang responden, terdiri dari 39 pengrajin tempe, 67 pengrajin keripik tempe, dan 16 pengrajin olahan kedelai lain. Data primer didapatkan melalui metode wawancara dengan kuesioner semi-terbuka, meliputi data karakteristik umum usaha industri kecil menengah (IKM), uji sensoris tempe, dan respon pengrajin. Data dilengkapi dengan analisis fisik dan kimia tempe dari kedelai varietas unggul dan kedelai impor sebagai pembanding. Hasil menunjukkan tempe dari kedelai varietas Argomulyo, Anjasmoro, dan Burangrang memiliki kadar protein yang lebih tinggi dari tempe kedelai impor. Bobot dan volume tempe dari varietas Grobogan tidak berbeda nyata dengan tempe kedelai impor. Dari segi sensoris, pengrajin memberikan respon positif dengan tingkatan suka sampai sangat suka untuk tempe dari varietas Anjasmoro. Informasi mengenai mutu fisik, kimia, dan sensoris tempe yang menunjukkan bahwa mutu tempe yang dibuat dari kedelai varietas unggul tidak kalah bahkan melebihi mutu tempe dari kedelai impor memberikan gambaran pada pengrajin bahwa kedelai impor berpeluang disubstitusi oleh kedelai varietas unggul untuk produksi tempe. Kesadaran ini diharapkan dapat meningkat menjadi adopsi dengan dukungan berbagai pihak (stakeholders). kedelai varietas unggul, kedelai impor, substitusi, pengrajin tempe
Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku Industri Bioetanol Erliana Ginting; Titik Sundari; Nasir Saleh
Buletin Palawija No 17 (2009): Buletin Palawija No 17, 2009
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (56.849 KB) | DOI: 10.21082/bul palawija.v0n17.2009.p1-10

Abstract

Ubi kayu sebagai bahan baku industri bioetanol. Penggunaan sumber energi alternatif terbarukan yang berasal dari hasil pertanian seperti bioetanol perlu dilakukan karena meningkatnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di pasaran dunia dan menipisnya cadangan fosil. Ubi kayu cukup berpotensi sebagai bahan baku industri etanol karena mampu memproduksi etanol sebanyak 2.000–7.000 l/ha/th. Kandungan pati yang tinggi pada ubi kayu merupakan substrat yang baik untuk menghasilkan glukosa sebagai produk antara pada pembuatan etanol. Proses pengolahan ubi kayu menjadi etanol meliputi gelatinisasi pati, diikuti hidrolisis pati secara enzimatis menjadi glukosa dengan menggunakan enzim amilase dan glukoamilase (likuifikasi dan sakarifikasi), lalu difermentasi menjadi etanol dan dilanjutkan dengan distilasi dan dehidrasi untuk mendapatkan bioetanol dengan kadar 99,5% (fuel grade). Berdasarkan kadar gula total, pati dan ratio fermentasinya, beberapa varietas/klon ubi kayu, di antaranya CMM 99008-3, MLG 0311, OMM 9908-4 dan UJ-5 sesuai untuk bahan baku industri etanol dengan nilai konversi 4–4,5 kg umbi kupas segar/liter etanol 96%. Departemen Pertanian melalui program Peningkatan Mutu Intensisifikasi (PMI) dan perluasan areal tanam, telah memproyeksikan secara bertahap pengembangan ubi kayu untuk mendukung industri bioetanol. Program tersebut perlu mendapat dukungan semua stake holder, termasuk pengusaha/industri serta kebijakan serius dari Pemerintah untuk mendorong realisasi substitusi 10% premium dengan bioetanol (Gasohol E-10).
CYANIDE REDUCTION IN CASSAVA ROOT PRODUCTS THROUGH PROCESSING AND SELECTION OF CULTIVARS IN RELATION TO FOOD SAFETY Erliana Ginting; yudi Widodo
Buletin Palawija No 25 (2013): Buletin Palawija No 25, 2012
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1183.482 KB) | DOI: 10.21082/bulpa.v0n25.2013.p26-36

Abstract

About 47% of cassava production in Indonesia was used for human consumption, both as a staple food and snacks. In terms of food safety, the natural presence of cyanogenic glucosides in cassava roots is of concern as they may release free cyanide (HCN), which is highly toxic. At high levels, it may cause acute poisoning, leading to death as well as iodine deficiency and neurological disorders for long-term ingestion. The cyanogenic glucosides content in different cultivars of cassava varied from 1 up to >1,000 mg HCN/kg fresh weight, while 10 mg HCN/kg dry weight was considered to be the safe level for consumption. Various processing methods were reported to be effective in reducing the cyanide content in cassava products. A decrease of 25-50% was observed during overnight soaking, while it was much higher (81%) when subsequent drying and milling into flour was performed. During boiling, steaming, deep-frying, baking and fermentation, a reduction of 45-50%, 17%, 13%, 14% and 38-84% was noted, respectively. Crushing the fresh roots and subsequent sun-drying was the most effective method with >95% of HCN removal. It suggests that low cyanide content of cassava cultivars (mostly sweet/local varieties) are obviously required for direct consumption purposes. This is particularly important for traditional food processors to be selective in obtaining fresh cassava as raw material and choosing proper processing methods. While for gaplek, starch, flour, and mocaf purposes, where washing, soaking, shredding, fermentation, pressing, drying and milling were involved, the bitter cultivars (mostly improved varieties) with relatively high cyanide content can be used. Therefore, breeding selection for cassava cultivars with low cyanide content and high potential yield is essentially needed. Selected improved varieties and promising clones seem to meet this criteria. Regulation for food industries to provide information on cyanide level in cassava food labels would also protect the consumers and promote safe cassava foods.
TEPUNG KASAVA MODIFIKASI SEBAGAI BAHAN SUBSTITUSI TERIGU MENDUKUNG DIVERSIFIKASI PANGAN Rahmi Yulifianti; Erliana Ginting; Joko Susilo Utomo
Buletin Palawija No 23 (2012): Buletin Palawija No 23, 2012
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (377.725 KB) | DOI: 10.21082/bulpa.v0n23.2012.p1-12

Abstract

Tepung kasava modifikasi (mocaf) potensial sebagai bahan substitusi tepung terigu dalam rangka mendukung diversifikasi pangan. Proses modifikasi pembuatan mocaf dengan fermentasi menggunakan inokulum bakteri asam laktat menyebabkan terjadinya perubahan sifat fisikokimia dan amilografi serta sifat organoleptik tepung. Mocaf bersifat lebih mudah larut di dalam air, lebih mudah mengembang ketika dipanaskan karena viskositas puncaknya meningkat, tidak beraroma khas ubikayu, berwarna lebih cerah/putih, dan lebih lunak tekstur produknya bila dibandingkan dengan tepung ubikayu tanpa fermentasi dan terigu. Proporsi mocaf sebagai bahan substitusi terigu bervariasi antara 30 – 40 % pada produk roti, pastry dan mie, 50 – 100 % pada produk kue basah (cakes), kue kering (cookies), aneka produk gorengan dan jajanan basah/pasar. Harga mocaf di pasaran berkisar antara Rp. 4.100 - 5.000 per kg, relatif lebih murah dibandingkan dengan tepung terigu yang harganya berkisar antara Rp. 5.220 - 7.250 per kg. Usaha agroindustri mocaf dapat diterapkan dengan model kemitraan antara petani/kelompok tani sebagai produsen sawut kering dengan industri besar yang memproduksi tepung sekaligus memasarkan. Peningkatan produksi ubikayu diperlukan untuk mendukung ketersediaan bahan baku yang melalui adopsi varietas unggul berpotensi hasil dan kadar pati tinggi, teknologi budidaya yang tepat serta pengaturan waktu tanam dan panen. Kebijakan pemerintah yang berpihak kepada pengembangan industri tepung lokal untuk mengurangi impor terigu serta sosialisasi dan promosi produk olahan mocaf yang tidak kalah citra dan citarasanya dibanding 100 % terigu juga perlu diintensifkan untuk mempercepat adopsinya oleh industri dan masyarakat.