Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Potensi Beberapa Isolat Bakteri Pelarut Fosfat Asal Lahan Tebu di Jawa Timur Berdasarkan Aktivitas Enzim Fosfatase Farida Rahayu; . Mastur; Budi Santoso
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 6, No 1 (2014): April 2014
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bultas.v6n1.2014.23-31

Abstract

 Fosfor (P) merupakan hara esensial untuk pertumbuhan tanaman karena P berperan penting dalam banyak ak-tivitas metabolisme tanaman. Tanaman memperoleh P dari larutan tanah dalam bentuk anion. Namun, anion P sangat reaktif dan dapat mudah terikat oleh unsur Al, Fe, Mg, dan Ca. Dalam bentuk tersebut, P sangat tidak terlarut sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) berperan penting dalam meningkatkan ketersediaan P dalam tanah sehingga potensi BPF yang diisolasi dari lahan tebu perlu diidentifikasi. Kegiatan identifikasi potensi bakteri pelarut fosfat dilakukan mulai Januari–Desember 2012 di Laboratorium Bioprosesing Balai Penelitan Tanaman Pemanis dan Serat, Malang. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan eksplorasi bakteri pelarut fosfat dan seleksi berdasarkan kemampuan bakteri dalam melarutkan fosfat. Isolat dieksplorasi dari lahan tebu di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Sidoarjo, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Bondowoso dan Situbondo. Dari 65 isolat bakteri yang berhasil diisolasi, 22 isolat bakteri diantaranya berpotensi sebagai bakteri pelarut fosfat (BPF). Setelah dilakukan uji lebih lanjut, diperoleh 9 isolat unggul bakteri pelarut fosfat yaitu SD-10, Bl-1, KD-5, ML-2, LJ II-3 yang menunjukkan aktivitas fosfatase tinggi di hari pertama, sedangkan LJ I -3 dan BD-2 menunjukkan aktivitas fosfatase pada hari kedua dan SD-7 serta BL-4 termasuk dalam 9 besar isolat dengan diameter zona bening terbesar. Luas daerah zona bening secara kualitatif menunjukkan besar kecilnya kemampuan bakteri dalam melarutkan fosfat. Isolat BPF tersebut diharapkan dapat membantu memperbaiki ketersediaan P di tanah dan mampu memperbaiki kualitas pertumbuhan dan perkembangan tanaman tebu. Phosphorus (P) is an essential nutrient for plant growth, because it plays an important role in many metabolisms activities. Plants obtain P from soil solution as anion. However, phosphate anions are very reactive and can be immobilized through precipitation with Al, Fe, Mg, and Ca. In these form, phosphate is insoluble and unavailable to plants. Phosphate solubilizing bacteria (PSB) plays important role in dynamics and availability of P in soil. So, the potency of PSB isolates which were explored from sugarcane soil of East Java might be important to be identified. Identification based on activity of phosphatase enzyme was conducted from January–December 2012 in Bioprocessing Laboratory Indonesian Sweetener and Fiber Crops Research Institute, Malang. The aim was to explore and select PSB based on their ability to dissolve of P. Isolation of PSB was collected from sugar cane land of East Java included Sidoarjo, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Bondowoso and Situbondo. Among 65 bacterial isolates, 22 bacterial isolates were potentially as PSB. After a further test, we obtained 9 isolate had high enzyme activities, ie. SD-10, BL-1, KD-5, ML-2 and LJ II-3 had phosphatase activity on the first day, whereas LJ I-3 dan BD-2 had an activity at the second day, while SD-7 and BL-4 had largest diameter of clear zones. Phosphate solubilizing bacteria isolate is expected to increase improve availability of P in the soil, quality and development of plants.
Studi Kelayakan Pengembangan Usaha Tani Tebu di Kabupaten Sampang Kuntoro Boga Andri; Prima Diarini Riajaya; Fitriningdyah Tri Kadarwati; Budi Santoso; Suminar Diyah Nugraheni
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 7, No 1 (2015): April 2015
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bultas.v7n1.2015.15-27

Abstract

Dalam mendukung pencapaian swasembada gula, Pulau Madura menjadi salah satu sasaran lokasi pengembangan tebu. Di Kabupaten Sampang pengembangan usaha tani tebu dimulai sejak tahun 2009. Program inididukung oleh masuknya perusahaan perkebunan serta bantuan penganggaran dari APBN. Penelitian bertujuan mengetahui kelayakan secara sosial dan ekonomi serta potensi pengembangan usaha tani tebu ke depan dan untuk mengetahui peluang dari usaha tani tebu ini bagi masyarakat di Pulau Madura secara umum.  Penelitian dilaksanakan mulai September sampai Desember 2013 di lokasi-lokasi kecamatan pengembangan tebu Kabupaten Sampang. Informasi dikumpulkan dengan memanfaatkan data sekunder dan data primer melalui wawancara dengan individu maupun grup/kelompok masyarakat, dinas/institusi terkait. Data dianalisa menggunakan analisis deskriptif untuk memperoleh gambaran kondisi yang dihadapi dan pemecahan dari masalah yang dihadapi di wilayah yang diamati. Analisis aspek usaha tani meliputi data input-output komoditas existing dengan analisis finansial. Untuk melihat kelayakan usaha tani digunakan R/C Ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kelayakan usaha tani tebu adalah kepemilikan lahan, insentif rangsangan dana bantuan sosial (Bansos) APBN dan subsidi pengembangan Tebu Madura (Dinas Perkebunan Provinsi), serta kerja sama kemitraaan dengan pabrik gula (PTPN X) yang menawarkan bantuan modal, subsidi saprotan, alat/mesin pertanian, serta jaminan pasar. Kemitraan yang telah ada antara PTPN X dengan petani tebu di Sampang dapat dikategorikan dalam tipe kemitraan subkontrak dan layak diteruskan.  Skema yang sudah diterapkan dalam kontrak ini adalah pola kemitraan antara pemerintah daerah, swasta (PTPN X), dan petani tebu. Usaha tani tebu dengan R/C ratio sebesar 1,05 dan 1,68 dan pendapatan bersih Rp1.358.920,00/ha dan Rp14.024.360,00/ha pada usaha tani tebu awal dan tebu kepras I, membuktikan usaha tani tebu di lokasi penelitian sangat layak untuk diusahakan dan menguntungkan. Selain peluang bagi masyarakat memanfaatkan potensi lahan tidur dan sub-optimal untuk pengembangan usaha tani tebu yang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat di Kabupaten Sampang. In order to achieve self-sufficient in sugar consumption, the Madura Island became one of the targets of sugar cane development area. In Sampang Regency, the development of sugar cane agribusiness have been started since 2009. This program was supported by the companies as well as financial supported from national budget (APBN). The study aims to determine the feasibility of social and economic as well as the potentialfor future development of sugar cane farming and to understand the opportunities of the farming for community in Madura Island on the whole. The study was conducted from September to December 2013 at 14 districts of sugar cane developing area in Sampang. Information was collected by using secondary data and primary data through interviews with individual and group/community groups, agencies/institutions concerned.  Data were analyzed using descriptive analysis to obtain a description of the conditions encountered and the solving of problems encountered in the observed region. The analysis covers aspects of farm commodity input-output data with the existing financial analysis. To look at the feasibility of farming used the R/C ratio. The results of the study showed that some factors which influenced the farmer to plant the cane were: land ownership; the stimuli of incentives from social grants (Bansos) from APBN and subsidy from projectdevelopment (from Provincial Agricultural office); the cooperation of partners through sugar company (PTPN X) which offered grants, input subsidy, equipments/agriculture machinery as well as market assurance. The partnership among PTPN X and the sugar cane farmers in Sampang was feasible and categorized a subcontract partnership type. Meanwhile, the scheme that had been implemented in this type of contract was thepartnership pattern between local government, private (PTPN X) and the sugar cane farmers. The sugar cane farming with R/C ratio of 1.05 and 1.68, or net income recieved of Rp1,358,920/ha and Rp14,024,360/ha atthe first harvested and second period harvested, proving that the farming in the study area is feasible to carry on and profitable. In addition, it is the opportunities to develop the potential of the unused and suboptialland for sugar cane agribusiness development that provides economic benefits to the community in Sampang Regency.
Respon Pemberian Paclobutrazol pada Beberapa Varietas Kapas (Gossypium hirsutum L.) di Lahan Sawah Sesudah Padi Budi Santoso; Fitriningdyah Tri Kadarwati
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 3, No 1 (2011): April 2011
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bultas.v3n1.2011.30-37

Abstract

Kapas (Gossypium hirsutum L.) merupakan penghasil serat alam yang digunakan untuk bahan baku tekstil. Pengembangan kapas diarahkan ke lahan-lahan marginal, walaupun sebagian ada yang ditanam pada sawah sesudah padi. Tingkat produktivitas serat kapas, saat ini masih rendah sekitar 0,8 sampai dengan 1 ton per hektar. Usaha peningkatan produksi kapas antara lain dengan pemberian zat stimulan (paclobutrazol), teruta-ma untuk memacu pertumbuhan vegetatif dan generatif seperti tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah bu-nga, dan jumlah buah. Kedua komponen tersebut menjadi penentu hasil serat. Paclobutrazol adalah zat stimu-lan bagi tanaman. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sumberrejo, Bojonegoro pada bulan Mei sam-pai dengan Oktober 2010, pada lahan sawah sesudah padi. Perlakuan disusun secara faktorial dengan meng-gunakan rancangan acak kelompok yang diulang sebanyak empat kali. Sebagai faktor pertama adalah 4 varietas kapas yang terdiri atas 1) Kanesia 8, 2) Kanesia 13, 3) Kanesia 14, dan 4) Kanesia 15. Faktor kedua adalah pemberian paclobutrazol melalui penyemprotan pada tanaman dengan dosis: a) 0; b) 1,50 l/ha diberikan sekali pada umur 60 hari; dan c) 1,50 l/ha diberikan dua kali umur 60 hari dan 75 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapas varietas Kanesia 8 dan 13 yang ditanam di lahan sawah sesudah padi mempunyai pertumbuhan vegetatif dan generatif optimal, kemudian disusul dengan Kanesia 13, Kanesia 14, dan Ka-nesia 15. Paclobutrazol yang disemprotkan pada tanaman kapas, tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan baik vegetatif maupun generatif. Hasil kapas berbiji untuk varietas kapas Kanesia 8 dan Kanesia 13 sama, masing-masing sebesar 1.643 kg/ha dan 1.686 kg/ha. Cotton is a natural fibre crop for some textile raw material. The development of cotton is directed mainly to marginal lands, although few of it is planted in paddy fields after rice harvested. The productivity level of cotton fibre, is still low, about 0.8 to 1 ton per hectare. Effort to increase cotton production is done through the application of growth regulator aiming at enhancing to the growth of plant height, number of branches, number of flower, and boll. These components are fibre determinans. Research conducted at Sumberrejo Ex-perimental Garden, Bojonegoro from May to October 2010, in paddy fields after rice harvested. Factorial treat-ment arranged using randomized block design repeated four times. The first factor consisting of four cotton varieties: 1) Kanesia 8, 2) Kanesia 13, 3) Kanesia 14, and 4) Kanesia 15. The second factor is application of pa-clobutrazol by spraying the plants with usage of: a) 0, b) 1.50 l/ha given once at age 60 days, and c) 1.50 l/ ha given twice at the age of 60 days and 75 days. The research showed that Kanesia 8 and Kanesia 13 varie-ties gave optimum vegetative and generative growth followed with Kanesia 13, Kanesia 14, and Kanesia 15. Paclobutrazol did not contribute significant effect on the growth of both vegetative and generative of cotton. The productivity of seed cotton of Kanesia 8 and Kanesia 13, 1,643 kg/ha and 1,686 kg/ha, respectively.
Improvement of Cane Yield and Sugar Yield of Sugarcane (Sacharrum officinarum) Through Maintaining Ratoon FITRININGDYAH TRI KADARWATI; BUDI SANTOSO; AHMAD DHIAUL KHULUQ
Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol 21, No 4 (2015): Desember 2015
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/littri.v21n4.2015.199-205

Abstract

ABSTRACTThe level of sugarcane yield in dry land or rainfed generally still low at 40 to 50 tons per hectare. Farmers prefer maintenance of sugarcane than unloading ratoon cane (RC). This can be understood because unloading RC requires high cost, especially in the purchase of seed cane and tillage. Approach through maintaining ratoon techniques are expected to increase production and sugar yield. The research purposes to obtain cane yield and sugar yield RC optimally with maintaining ratoon techniques in dry land. Research has conducted in the Ngimbang, Lamongan district from June 2013 until August 2014. Sugarcane varieties used PS 862 (early ripening) belong to farmers. The study compiled by randomized block design (RBD) and repeated 3 times. The treatment consisted of 1). Replanting; 2). Off barring; 3). Organic fertilizer; 4). Maintaining 10 plants/m; 5). Giving PGR; 6). The package of (1+2); 7). The package of (1+2+3); 8). The package of (1+2+3+4); 9). The package of (1+2+3+4+5); and 10). Control. The results showed that the complete treatment of maintaining ratoon (replanting, off barring, organic fertilizer, maintaining 10 plants/m and PGR) obtained the highest value on the highgrowth parameters include 304.67 cm and a diameter of 3.16 cm, while the production parameters include the stalk number 5.73 stalk/m, stalk weight 1.29 kg/stalk, and stalk length 264.11 cm. Maintaining ratoon could gave the best cane yield and sugar yield than ratoon plants without maintaining ratoon cane with an increase of cane yield 16.20 tons/ha (32.14%) and an increase of sugar yield 1.38% (25.60%). Maintaining on ratoon cane 4th on rainfed significantly increase the production of sugarcane per hectare although not linear with increasing sugar yield.Keywords: Maintaining ratoon, PS 862 varieties, dry land, Sacharrum officinarum PENINGKATAN PRODUKSI DAN RENDEMEN TEBU (Sacharrum officinarum) MELALUI RAWAT RATOONABSTRAKTingkat produktivitas tebu di lahan kering atau tadah hujan umumnya masih rendah sebesar 40 sampai dengan 50 ton per hektar. Para petani tebu lebih memilih rawat ratoon daripada membongkar tebu ratoon (RC). Hal tersebut dapat dipahami karena membongkar ratoon membutuhkan biaya yang lebih besar, terutama dalam pembelian bibit tebu dan olah tanah. Pendekatan melalui teknik rawat ratoon diharapkan dapat meningkatkan produksi dan rendemen tebu. Tujuan dari penelitian untuk memperoleh pertanaman tebu dengan teknik rawat ratoon yang berproduksi dan berendemen optimal di lahan kering. Penelitian dilaksanakan di Ngimbang, Kabupaten Lamongan mulai Juni 2013 sampai Agustus 2014. Varietas tebu yang digunakan yaitu PS 862 (masak awal) milik petani. Penelitian disusun dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang 3 kali. Perlakuan terdiri atas 1). Sulam; 2). Pedot Oyot; 3). Pupuk Organik; 4). Pertahankan 10 tanaman/m; 5). Pemberian ZPT; 6). Paket (1+2); 7). Paket (1+2+3); 8). Paket (1+2+3+4); 9). Paket (1+2+3+4+5); dan 10). Kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan lengkap pada rawat ratoon (sulam, pedot oyot, pupuk organik, 10 tanaman/m dan ZPT) diperoleh nilai tertinggi pada parameter pertumbuhan meliputi tinggi 304,67 cm dan diameter 3,16 cm, sedangkan parameter produksi meliputi jumlah batang terpanen 5,73 batang/m, bobot batang 1,29 kg/batang, dan panjang batang 264,11 cm. Rawat ratoon dapat memberikan hasil produksi dan rendemen terbaik dibandingkan tanaman tebu tanpa rawat ratoon dengan kenaikan sebesar 16,20 ton/ha (32,14%) dan peningkatan angka rendemen 1,38% (25,60%). Rawat ratoon RC 4 pada lahan tadah hujan secara signifikan meningkatkan produksi tebu perhektar meskipun tidak linier dengan peningkatan rendemen gula.Kata kunci: Rawat ratoon, varietas PS 862, lahan kering, Sacharrum officinarum
POTENSI DAN PEMANFAATAN LIMBAH DEKORTIKASI TANAMAN SISAL (Agave sisalana) Potential Use of Waste Plant Decortication of Sisal(Agave sisalana) Yoga Angangga Yogi; Garusti Garusti; Budi Santoso
Perspektif Vol 20, No 1 (2021): Juni 2021
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v20n1.2021.01-10

Abstract

Sisal (Agave sisalana) merupakan tanaman mempunyai produk utama berupa serat alami dengan rendemen rata – rata 5%. Limbah sisal mencapai hingga sekitar 95% biasanya terbuang dan dapat menjadi masalah lingkungan. Tujuan dari ulasan ini untuk menjelaskan potensi pemanfaatan limbah sisal. Produk samping yang sedang dikembangkan dapat meningkatkan nilai tambah limbah dekortikasi sisal. Dapat disimpulkan bahwa limbah dekortikasi sisal masih mengandung senyawa biokimia aktif yang berpotensi dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Limbah dekortikasi sisal dalam bidang farmakologi bersifat sitotoksik, antineoplastik, antifungal, anthelmintik, pelembab dalam bahan kosmetik, dan saponin yang terdapat dalam limbah dapat bersifat antioksidan, antimikrobia, antikanker. Limbah sisal juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan dan biogas. Selain itu dalam bidang makanan dan minuman limbah sisal mengandung senyawa penstabil/pengemulsi dan bahan kemasan biodegradable.
UJI ADAPTASI VARIETAS UNGGUL TEBU PADA KONDISI AGROEKOLOGI LAHAN KERING / Adaptation Test of Superior Varieties Sugarcane in Dryland Agroecological Conditions BUDI SANTOSO; MASTUR MASTUR; DJUMALI DJUMALI; SUMINAR DIYAH NUGRAHENI
Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol 21, No 3 (2015): September 2015
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/littri.v21n3.2015.109-116

Abstract

ABSTRAKPemilihan  varietas unggul  baru  yang  beradaptasi  pada  kondisi agroekologi kering merupakan langkah yang bijak dalam mendukung program pengembangan tebu. Karena kebutuhan air tanaman tebu di lahan kering  hanya  dipenuhi  dari  hujan, diperlukan  strategi  untuk  tetap mengoptimalkan produksi dengan mengeliminasi cekaman kekeringan. Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan November 2012 untuk melakukan pengujian terhadap adaptasi enam varietas unggul tebu yang toleran terhadap lahan kering. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Ngemplak, Pati. Penelitian disusun dalam rancangan petak terbagi yang diulang sebanyak lima kali. Juringan (sistem tanam tebu dalam baris) yang digunakan berukuran panjang 8 m dan lebar 10 m, serta jarak pusat ke pusat (pkp) 1 m. Parameter yang diamati meliputi persentase tumbuh,  tinggi  tanaman,  panjang  batang,  jumlah  dan  panjang  ruas, diameter batang, bobot batang per meter, persen brix nira, dan rendemen. Hasil   penelitian   menunjukkan  bahwa  varietas  Kentung   dan   BL menghasilkan bobot tebu (721,75 g/m dan 749,25 g/m) dengan rendemen masing-masing sebesar 8,54% dan 8,25%. Kedua varietas ini cocok untuk dikembangkan pada kondisi agroekologi lahan kering.Kata kunci: Saccharum officinarum, uji adaptasi, lahan kering, varietas unggul  ABSTRACTSelection of new superior varieties adapted to dry agroecology was a wise move to support the development of sugarcane. In general, the land thus fulfilled its water from the rain. Therefore we need a strategy for optimizing the production of sugarcane by eliminating barriers. In fiscal year 2012 research activities was  carried out to test six varieties of sugarcane for sugar cane clones tolerant of dry land. Research activities were located at Ngemplak, Pati. The design used is split plot design repeated 5 times. Plot size, are 8 m long, 10 m wide and center to center distance 1 m. Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) followed by LSD 5%. The parameters observed were growth percentage, plant height, stem lenght, number of segments, segment length, stem diameter, weight stem per meter, percent brix of sap, and yield of sugarcane per meter. The results are superior sugarcane varieties, BL and Kentung varieties produce cane weight 721.75 g / m and 749.25 g / m showed  that  respectively;  and  yield     8.54%  and 8.25% the highest respectively. Both varieties  are s uitable to be developed in dry land agroecological condition.Keywords:  Saccharum officinarum, adaptation test, dry land, superior varieties
Improvement of Cane Yield and Sugar Yield of Sugarcane (Sacharrum officinarum) Through Maintaining Ratoon FITRININGDYAH TRI KADARWATI; BUDI SANTOSO; AHMAD DHIAUL KHULUQ
Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol 21, No 4 (2015): Desember 2015
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/littri.v21n4.2015.199-205

Abstract

ABSTRACTThe level of sugarcane yield in dry land or rainfed generally still low at 40 to 50 tons per hectare. Farmers prefer maintenance of sugarcane than unloading ratoon cane (RC). This can be understood because unloading RC requires high cost, especially in the purchase of seed cane and tillage. Approach through maintaining ratoon techniques are expected to increase production and sugar yield. The research purposes to obtain cane yield and sugar yield RC optimally with maintaining ratoon techniques in dry land. Research has conducted in the Ngimbang, Lamongan district from June 2013 until August 2014. Sugarcane varieties used PS 862 (early ripening) belong to farmers. The study compiled by randomized block design (RBD) and repeated 3 times. The treatment consisted of 1). Replanting; 2). Off barring; 3). Organic fertilizer; 4). Maintaining 10 plants/m; 5). Giving PGR; 6). The package of (1+2); 7). The package of (1+2+3); 8). The package of (1+2+3+4); 9). The package of (1+2+3+4+5); and 10). Control. The results showed that the complete treatment of maintaining ratoon (replanting, off barring, organic fertilizer, maintaining 10 plants/m and PGR) obtained the highest value on the highgrowth parameters include 304.67 cm and a diameter of 3.16 cm, while the production parameters include the stalk number 5.73 stalk/m, stalk weight 1.29 kg/stalk, and stalk length 264.11 cm. Maintaining ratoon could gave the best cane yield and sugar yield than ratoon plants without maintaining ratoon cane with an increase of cane yield 16.20 tons/ha (32.14%) and an increase of sugar yield 1.38% (25.60%). Maintaining on ratoon cane 4th on rainfed significantly increase the production of sugarcane per hectare although not linear with increasing sugar yield.Keywords: Maintaining ratoon, PS 862 varieties, dry land, Sacharrum officinarum PENINGKATAN PRODUKSI DAN RENDEMEN TEBU (Sacharrum officinarum) MELALUI RAWAT RATOONABSTRAKTingkat produktivitas tebu di lahan kering atau tadah hujan umumnya masih rendah sebesar 40 sampai dengan 50 ton per hektar. Para petani tebu lebih memilih rawat ratoon daripada membongkar tebu ratoon (RC). Hal tersebut dapat dipahami karena membongkar ratoon membutuhkan biaya yang lebih besar, terutama dalam pembelian bibit tebu dan olah tanah. Pendekatan melalui teknik rawat ratoon diharapkan dapat meningkatkan produksi dan rendemen tebu. Tujuan dari penelitian untuk memperoleh pertanaman tebu dengan teknik rawat ratoon yang berproduksi dan berendemen optimal di lahan kering. Penelitian dilaksanakan di Ngimbang, Kabupaten Lamongan mulai Juni 2013 sampai Agustus 2014. Varietas tebu yang digunakan yaitu PS 862 (masak awal) milik petani. Penelitian disusun dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang 3 kali. Perlakuan terdiri atas 1). Sulam; 2). Pedot Oyot; 3). Pupuk Organik; 4). Pertahankan 10 tanaman/m; 5). Pemberian ZPT; 6). Paket (1+2); 7). Paket (1+2+3); 8). Paket (1+2+3+4); 9). Paket (1+2+3+4+5); dan 10). Kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan lengkap pada rawat ratoon (sulam, pedot oyot, pupuk organik, 10 tanaman/m dan ZPT) diperoleh nilai tertinggi pada parameter pertumbuhan meliputi tinggi 304,67 cm dan diameter 3,16 cm, sedangkan parameter produksi meliputi jumlah batang terpanen 5,73 batang/m, bobot batang 1,29 kg/batang, dan panjang batang 264,11 cm. Rawat ratoon dapat memberikan hasil produksi dan rendemen terbaik dibandingkan tanaman tebu tanpa rawat ratoon dengan kenaikan sebesar 16,20 ton/ha (32,14%) dan peningkatan angka rendemen 1,38% (25,60%). Rawat ratoon RC 4 pada lahan tadah hujan secara signifikan meningkatkan produksi tebu perhektar meskipun tidak linier dengan peningkatan rendemen gula.Kata kunci: Rawat ratoon, varietas PS 862, lahan kering, Sacharrum officinarum
Potensi Beberapa Isolat Bakteri Pelarut Fosfat Asal Lahan Tebu di Jawa Timur Berdasarkan Aktivitas Enzim Fosfatase Farida Rahayu; . Mastur; Budi Santoso
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 6, No 1 (2014): April 2014
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bultas.v6n1.2014.23-31

Abstract

 Fosfor (P) merupakan hara esensial untuk pertumbuhan tanaman karena P berperan penting dalam banyak ak-tivitas metabolisme tanaman. Tanaman memperoleh P dari larutan tanah dalam bentuk anion. Namun, anion P sangat reaktif dan dapat mudah terikat oleh unsur Al, Fe, Mg, dan Ca. Dalam bentuk tersebut, P sangat tidak terlarut sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) berperan penting dalam meningkatkan ketersediaan P dalam tanah sehingga potensi BPF yang diisolasi dari lahan tebu perlu diidentifikasi. Kegiatan identifikasi potensi bakteri pelarut fosfat dilakukan mulai Januari–Desember 2012 di Laboratorium Bioprosesing Balai Penelitan Tanaman Pemanis dan Serat, Malang. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan eksplorasi bakteri pelarut fosfat dan seleksi berdasarkan kemampuan bakteri dalam melarutkan fosfat. Isolat dieksplorasi dari lahan tebu di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Sidoarjo, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Bondowoso dan Situbondo. Dari 65 isolat bakteri yang berhasil diisolasi, 22 isolat bakteri diantaranya berpotensi sebagai bakteri pelarut fosfat (BPF). Setelah dilakukan uji lebih lanjut, diperoleh 9 isolat unggul bakteri pelarut fosfat yaitu SD-10, Bl-1, KD-5, ML-2, LJ II-3 yang menunjukkan aktivitas fosfatase tinggi di hari pertama, sedangkan LJ I -3 dan BD-2 menunjukkan aktivitas fosfatase pada hari kedua dan SD-7 serta BL-4 termasuk dalam 9 besar isolat dengan diameter zona bening terbesar. Luas daerah zona bening secara kualitatif menunjukkan besar kecilnya kemampuan bakteri dalam melarutkan fosfat. Isolat BPF tersebut diharapkan dapat membantu memperbaiki ketersediaan P di tanah dan mampu memperbaiki kualitas pertumbuhan dan perkembangan tanaman tebu. Phosphorus (P) is an essential nutrient for plant growth, because it plays an important role in many metabolisms activities. Plants obtain P from soil solution as anion. However, phosphate anions are very reactive and can be immobilized through precipitation with Al, Fe, Mg, and Ca. In these form, phosphate is insoluble and unavailable to plants. Phosphate solubilizing bacteria (PSB) plays important role in dynamics and availability of P in soil. So, the potency of PSB isolates which were explored from sugarcane soil of East Java might be important to be identified. Identification based on activity of phosphatase enzyme was conducted from January–December 2012 in Bioprocessing Laboratory Indonesian Sweetener and Fiber Crops Research Institute, Malang. The aim was to explore and select PSB based on their ability to dissolve of P. Isolation of PSB was collected from sugar cane land of East Java included Sidoarjo, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Bondowoso and Situbondo. Among 65 bacterial isolates, 22 bacterial isolates were potentially as PSB. After a further test, we obtained 9 isolate had high enzyme activities, ie. SD-10, BL-1, KD-5, ML-2 and LJ II-3 had phosphatase activity on the first day, whereas LJ I-3 dan BD-2 had an activity at the second day, while SD-7 and BL-4 had largest diameter of clear zones. Phosphate solubilizing bacteria isolate is expected to increase improve availability of P in the soil, quality and development of plants.
Studi Kelayakan Pengembangan Usaha Tani Tebu di Kabupaten Sampang Kuntoro Boga Andri; Prima Diarini Riajaya; Fitriningdyah Tri Kadarwati; Budi Santoso; Suminar Diyah Nugraheni
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 7, No 1 (2015): April 2015
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (578.944 KB) | DOI: 10.21082/bultas.v7n1.2015.15-27

Abstract

Dalam mendukung pencapaian swasembada gula, Pulau Madura menjadi salah satu sasaran lokasi pengembangan tebu. Di Kabupaten Sampang pengembangan usaha tani tebu dimulai sejak tahun 2009. Program inididukung oleh masuknya perusahaan perkebunan serta bantuan penganggaran dari APBN. Penelitian bertujuan mengetahui kelayakan secara sosial dan ekonomi serta potensi pengembangan usaha tani tebu ke depan dan untuk mengetahui peluang dari usaha tani tebu ini bagi masyarakat di Pulau Madura secara umum.  Penelitian dilaksanakan mulai September sampai Desember 2013 di lokasi-lokasi kecamatan pengembangan tebu Kabupaten Sampang. Informasi dikumpulkan dengan memanfaatkan data sekunder dan data primer melalui wawancara dengan individu maupun grup/kelompok masyarakat, dinas/institusi terkait. Data dianalisa menggunakan analisis deskriptif untuk memperoleh gambaran kondisi yang dihadapi dan pemecahan dari masalah yang dihadapi di wilayah yang diamati. Analisis aspek usaha tani meliputi data input-output komoditas existing dengan analisis finansial. Untuk melihat kelayakan usaha tani digunakan R/C Ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kelayakan usaha tani tebu adalah kepemilikan lahan, insentif rangsangan dana bantuan sosial (Bansos) APBN dan subsidi pengembangan Tebu Madura (Dinas Perkebunan Provinsi), serta kerja sama kemitraaan dengan pabrik gula (PTPN X) yang menawarkan bantuan modal, subsidi saprotan, alat/mesin pertanian, serta jaminan pasar. Kemitraan yang telah ada antara PTPN X dengan petani tebu di Sampang dapat dikategorikan dalam tipe kemitraan subkontrak dan layak diteruskan.  Skema yang sudah diterapkan dalam kontrak ini adalah pola kemitraan antara pemerintah daerah, swasta (PTPN X), dan petani tebu. Usaha tani tebu dengan R/C ratio sebesar 1,05 dan 1,68 dan pendapatan bersih Rp1.358.920,00/ha dan Rp14.024.360,00/ha pada usaha tani tebu awal dan tebu kepras I, membuktikan usaha tani tebu di lokasi penelitian sangat layak untuk diusahakan dan menguntungkan. Selain peluang bagi masyarakat memanfaatkan potensi lahan tidur dan sub-optimal untuk pengembangan usaha tani tebu yang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat di Kabupaten Sampang. In order to achieve self-sufficient in sugar consumption, the Madura Island became one of the targets of sugar cane development area. In Sampang Regency, the development of sugar cane agribusiness have been started since 2009. This program was supported by the companies as well as financial supported from national budget (APBN). The study aims to determine the feasibility of social and economic as well as the potentialfor future development of sugar cane farming and to understand the opportunities of the farming for community in Madura Island on the whole. The study was conducted from September to December 2013 at 14 districts of sugar cane developing area in Sampang. Information was collected by using secondary data and primary data through interviews with individual and group/community groups, agencies/institutions concerned.  Data were analyzed using descriptive analysis to obtain a description of the conditions encountered and the solving of problems encountered in the observed region. The analysis covers aspects of farm commodity input-output data with the existing financial analysis. To look at the feasibility of farming used the R/C ratio. The results of the study showed that some factors which influenced the farmer to plant the cane were: land ownership; the stimuli of incentives from social grants (Bansos) from APBN and subsidy from projectdevelopment (from Provincial Agricultural office); the cooperation of partners through sugar company (PTPN X) which offered grants, input subsidy, equipments/agriculture machinery as well as market assurance. The partnership among PTPN X and the sugar cane farmers in Sampang was feasible and categorized a subcontract partnership type. Meanwhile, the scheme that had been implemented in this type of contract was thepartnership pattern between local government, private (PTPN X) and the sugar cane farmers. The sugar cane farming with R/C ratio of 1.05 and 1.68, or net income recieved of Rp1,358,920/ha and Rp14,024,360/ha atthe first harvested and second period harvested, proving that the farming in the study area is feasible to carry on and profitable. In addition, it is the opportunities to develop the potential of the unused and suboptialland for sugar cane agribusiness development that provides economic benefits to the community in Sampang Regency.
Respon Pemberian Paclobutrazol pada Beberapa Varietas Kapas (Gossypium hirsutum L.) di Lahan Sawah Sesudah Padi Budi Santoso; Fitriningdyah Tri Kadarwati
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 3, No 1 (2011): April 2011
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (506.296 KB) | DOI: 10.21082/bultas.v3n1.2011.30-37

Abstract

Kapas (Gossypium hirsutum L.) merupakan penghasil serat alam yang digunakan untuk bahan baku tekstil. Pengembangan kapas diarahkan ke lahan-lahan marginal, walaupun sebagian ada yang ditanam pada sawah sesudah padi. Tingkat produktivitas serat kapas, saat ini masih rendah sekitar 0,8 sampai dengan 1 ton per hektar. Usaha peningkatan produksi kapas antara lain dengan pemberian zat stimulan (paclobutrazol), teruta-ma untuk memacu pertumbuhan vegetatif dan generatif seperti tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah bu-nga, dan jumlah buah. Kedua komponen tersebut menjadi penentu hasil serat. Paclobutrazol adalah zat stimu-lan bagi tanaman. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sumberrejo, Bojonegoro pada bulan Mei sam-pai dengan Oktober 2010, pada lahan sawah sesudah padi. Perlakuan disusun secara faktorial dengan meng-gunakan rancangan acak kelompok yang diulang sebanyak empat kali. Sebagai faktor pertama adalah 4 varietas kapas yang terdiri atas 1) Kanesia 8, 2) Kanesia 13, 3) Kanesia 14, dan 4) Kanesia 15. Faktor kedua adalah pemberian paclobutrazol melalui penyemprotan pada tanaman dengan dosis: a) 0; b) 1,50 l/ha diberikan sekali pada umur 60 hari; dan c) 1,50 l/ha diberikan dua kali umur 60 hari dan 75 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapas varietas Kanesia 8 dan 13 yang ditanam di lahan sawah sesudah padi mempunyai pertumbuhan vegetatif dan generatif optimal, kemudian disusul dengan Kanesia 13, Kanesia 14, dan Ka-nesia 15. Paclobutrazol yang disemprotkan pada tanaman kapas, tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan baik vegetatif maupun generatif. Hasil kapas berbiji untuk varietas kapas Kanesia 8 dan Kanesia 13 sama, masing-masing sebesar 1.643 kg/ha dan 1.686 kg/ha. Cotton is a natural fibre crop for some textile raw material. The development of cotton is directed mainly to marginal lands, although few of it is planted in paddy fields after rice harvested. The productivity level of cotton fibre, is still low, about 0.8 to 1 ton per hectare. Effort to increase cotton production is done through the application of growth regulator aiming at enhancing to the growth of plant height, number of branches, number of flower, and boll. These components are fibre determinans. Research conducted at Sumberrejo Ex-perimental Garden, Bojonegoro from May to October 2010, in paddy fields after rice harvested. Factorial treat-ment arranged using randomized block design repeated four times. The first factor consisting of four cotton varieties: 1) Kanesia 8, 2) Kanesia 13, 3) Kanesia 14, and 4) Kanesia 15. The second factor is application of pa-clobutrazol by spraying the plants with usage of: a) 0, b) 1.50 l/ha given once at age 60 days, and c) 1.50 l/ ha given twice at the age of 60 days and 75 days. The research showed that Kanesia 8 and Kanesia 13 varie-ties gave optimum vegetative and generative growth followed with Kanesia 13, Kanesia 14, and Kanesia 15. Paclobutrazol did not contribute significant effect on the growth of both vegetative and generative of cotton. The productivity of seed cotton of Kanesia 8 and Kanesia 13, 1,643 kg/ha and 1,686 kg/ha, respectively.