Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

PENGEPEREMAJAAN KARET DAN MODEL PENGEMBANGAN TUMPANGSARI KARET BERKELANJUTAN DI INDOENSIA Replanting and Sustainable Development of Participatory Rubber Intercropping Modeling in Indonesia Sahuri Sahuri; Iman Satra Nugraha
Perspektif Vol 18, No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n2.2019.87-90

Abstract

Model tumpangsari karet partisipatif berkelanjutan merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh petani agar dapat bertahan dalam kondisi harga karet rendah saat ini. Tulisan ini membahas model tumpangsari karet partisipatif, implementasi model, kendala teknis pengembangan model, inovasi teknologi dan kelembagaan model, tantangan pengembangan model, dan perspektif kebijakan pengembangan model. Model tumpangsari karet partisipatif merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan produktivitas usahatani karet rakyat melalui inisiasi dan partisipasi petani serta layak secara finansial. Model ini dapat meningkatkan pendapatan petani, produktivitas lahan dan dan produktivitas karet. Kendala teknis pengembangan model ini adalah naungan tajuk tanaman karet sehingga tidak dapat berkelanjutan dan produktivitas tanaman sela menurun. Diperlukan modifikasi jarak tanam karet melalui jarak tanam ganda sehingga dapat mengembangkan model ini dalam jangka panjang. Kendala sosial dan ekonomi dapat diatasi melalui model tumpangsari karet partisipatif dan didukung oleh kebijakan pemerintah dan kelembagaan partisipatif yang kuat. Tantangan pengembangan model ini pada skala yang lebih luas antara lain: sikap mental ketergantungan petani pada bantuan pemerintah; lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah dan nonpemerintah; dan tidak terjaminnya kontinuitas anggaran merupakan tantangan yang dapat mengganggu upaya mobilisasi partisipasi petani dan masyarakat untuk menjalankan program secara komprehensif. Selain itu, tantangan yang harus dihadapi untuk memperlancar pelaksanaan program model ini antara lain meningkatkan peran pemerintah, penyuluh, menyederhanakan birokrasi administrasi, dan mendapatkan komitmen yang kuat dari pimpinan eksekutif dan legislatif  di daerah secara menyeluruh dan konsisten yang didukung oleh lembaga penelitian, penyuluh pertanian, dan lembaga keuangan daerah. Perspektif kebijakan pemerintah diperlukan untuk mendukung dan penyangga harga karet dan tanaman ekonomis lainnya di tingkat usahatani melalui penguatan kelembagaan ekonomi seperti lembaga pengolahan hasil, penyimpanan, dan pemasaran. Diperlukan juga dukungan bimbingan teknis dan pendampingan manajemen model usahatani ini untuk mempercepat adopsi teknologi. Secara sosial diperlukan diseminasi teknologi untuk mengetahui tingkat adaptasi teknologi di tingkat petani sehingga mempermudah petani dalam melaksanakan sistem usahataninya. ABSTRACTSustainable of participatory rubber intercropping model is one strategy that can be carried out by farmers in order to survive in the current low rubber price condition. In according with this issue, participatory rubber intercropping models, model implementation, technical constraints of model development, technological innovation and institutional models, challenges to the development of models, and implications of model policies are discussed. The participatory rubber intercropping model is one of the strategies to increase the productivity of smallholder rubber farming through the initiation and participation of farmers and is financially feasible. This model can increase farmers' income, land productivity and rubber productivity. Technic obstacle the development of rubber intercropping model was rubber canopy shading so that it cannot be sustainable and rubber intercrops productivity decreases. In according needed to modify rubber spacing to extend the period of intercrops cultivation. Social and economic constraints can be overcome through a participatory rubber intercropping model and supported by strong government policies and participatory institutions. The challenges of developing this model on a broader scale include: the mental attitude of farmers' dependence on government assistance; weak coordination between government and non-government agencies; and not guaranteeing budget continuity are challenges that can disrupt efforts to mobilize farmers and community participation to carry out comprehensive programs. In addition, challenges that must be faced to expedite the implementation of this model program include increasing the role of government, extension workers, simplifying administrative bureaucracy, and obtaining strong commitments from executive and legislative leaders in the region as a whole and consistently supported by research institutions, agricultural extension workers, and regional financial institutions. The government policy perspective is needed to support and support the price of rubber and other economic crops at the farm level through strengthening economic institutions such as processing, storage and marketing institutions. There is also a need for technical guidance and management assistance for this model to accelerate technology adoption. Socially necessary technology dissemination to determine the level of technological adaptation at the farm level so that farmers make it easier to implement this systems. 
Peningkatan Produktivitas Lahan dan Pendapatan Petani Melalui Tanaman Sela Pangan Berbasis Karet Sahuri Sahuri
Jurnal Lahan Suboptimal : Journal of Suboptimal Lands Vol. 6 No. 1 (2017): JLSO
Publisher : Research Center for Sub-optimal Lands (PUR-PLSO), Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (558.449 KB) | DOI: 10.33230/JLSO.6.1.2017.278

Abstract

Sahuri et al, 2017. Increasing of Land Productivity and Smallholders Income through Rubber Based Food Crops Intercropping System. JLSO 6(1):33-42.The land between a row of immature rubber period has a potential to produce food crops. The objective of this research was to study the effect of rubber+food crops intercropping system on increasing the land productivity of rubber, the growth of immature rubber trees and smallholders income. The experiment was conducted at the Sembawa Research Station from September 2013 to April 2014. The experiment was carried out as using randomized block design (RBCD). The treatments were four-planting patterni.e: PT1: rubber+upland rice; PT2: rubber+sweet corn; PT3: rubber+soybean; and PT4: rubber monoculture, with three replications.The results showed that food crops as rubber intercrops significantlyeffect on increasing the land productivity of rubber andthe growth of rubber. The added value of planting food crops as rubber intercrops are the efficiency of farming cost and farmer income increase of IDR 4,318,300/planting season/ha with RC ratio 1.38. Farmers have food availability for daily needs during the second year of immature rubber period.
UJI ADAPTASI ENAM KLON KARET DI LAHAN PASANG SURUT / The Adaptation Test of Six Rubber Clones in Tidal Swamps Sahuri Sahuri
Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol 24, No 2 (2018): Desember, 2018
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/littri.v24n2.2018.56-64

Abstract

Ideal land for growing rubber tree has increasingly limited. Hence farmers and companies were looking for alternative planting of rubber tree in non-conventional areas such as the land of tidal swamps. The study was conducted at Bangun Harjo Village, Air Sugihan Regency, Ogan Komering Ilir (OKI) District, South Sumatera Province, Indonesia from 2005 to 2014. The study was aimed to test the adaptability of six rubber clones in tidal swamps. The design used was a Randomized Block Design with rubber clones as treatment and three replications. Clones planted were IRR 39, IRR 118, IRR 220, PB 260, RRIC 100, dan BPM 24. In each treatment there were 40 rubber trees and 15 rubber trees as samples. The parameters observed were stem girth, bark thickness, and latex yield. The data were statistically analyzed using ANOVA, followed by Duncan Multiple Ranges Test (DMRT) at 5% levels. The results showed that rubber trees in tidal swamps would be able to mature tapping at the age of 60 month after planting (5 years) as long as using the recommended treatment. The growth of stems of each clone at the age of 12-60 month after planting in tidal land have different growth response. However, at the age of 60 BST the highest significant girth growth was IRR 39 (48.66 cm) while the lowest was the BPM 24 (44.17 cm) clone. The average yield per tree per taping (g/t/t) from 1st to 3rd years the highest was IRR 220 (26.23 g/t/t) and the lowest was IRR 39 (15.85 g/t/t). IRR 220 is adapted to tidal swamps.Keyword: Adaptability, rubber clones, tidal swamps, growth  AbstrakLahan yang ideal untuk pertumbuhan tanaman karet semakin terbatas sehingga banyak petani dan perusahaan mencari lahan alternatif untuk pengembangan karet di daerah non-konvensional seperti lahan pasang surut. Penelitian dilakukan di Desa Bangun Harjo, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan dari tahun 2005 sampai 2014. Lokasi penelitian merupakan lahan pasang surut tipe luapan C ketinggian 10-15 meter di atas permukaan laut (dpl). Penelitian bertujuan menguji daya adaptasi enam klon karet pada lahan pasang surut. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan klon sebagai perlakuan dan diulang tiga kali. Klon yang diuji adalah IRR 39, IRR 118, IRR 220, PB 260, RRIC 100, dan BPM 24. Dalam setiap perlakuan terdapat 40 tanaman dan 15 tanaman sebagai contoh. Parameter yang diamati adalah lilit batang, tebal kulit, dan hasil lateks. Data dianalisis dengan sidik ragam, jika berbeda nyata diuji lanjut dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman karet pada lahan pasang surut dengan pemeliharaan sesuai anjuran mampu matang sadap pada umur 60 bulan setelah tanam (5 tahun). Pertumbuhan lilit batang masing-masing klon pada umur 12-60 bulan setelah tanam di lahan pasang surut memiliki respon pertumbuhan yang berbeda. Namun pada umur 60 bulan setelah tanam pertumbuhan lilit batang tertinggi adalah klon IRR 39 (48,66 cm) sedangkan yang terendah adalah klon BPM 24 (44,17 cm). Rata-rata hasil mulai TM1 sampai TM3 yang tertinggi adalah klon IRR 220 (26,23 g/ pohon/sadap) dan terendah adalah klon IRR 39 (15,85 g/pohon/sadap). Klon IRR 220 beradaptasi baik pada lahan pasang surut.Kata kunci: Adaptabilitas, hasil, klon karet, lahan pasang surut, pertumbuhan
UJI ADAPTASI ENAM KLON KARET DI LAHAN PASANG SURUT / The Adaptation Test of Six Rubber Clones in Tidal Swamps Sahuri Sahuri
Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol 24, No 2 (2018): Desember, 2018
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/littri.v24n2.2018.56-64

Abstract

Ideal land for growing rubber tree has increasingly limited. Hence farmers and companies were looking for alternative planting of rubber tree in non-conventional areas such as the land of tidal swamps. The study was conducted at Bangun Harjo Village, Air Sugihan Regency, Ogan Komering Ilir (OKI) District, South Sumatera Province, Indonesia from 2005 to 2014. The study was aimed to test the adaptability of six rubber clones in tidal swamps. The design used was a Randomized Block Design with rubber clones as treatment and three replications. Clones planted were IRR 39, IRR 118, IRR 220, PB 260, RRIC 100, dan BPM 24. In each treatment there were 40 rubber trees and 15 rubber trees as samples. The parameters observed were stem girth, bark thickness, and latex yield. The data were statistically analyzed using ANOVA, followed by Duncan Multiple Ranges Test (DMRT) at 5% levels. The results showed that rubber trees in tidal swamps would be able to mature tapping at the age of 60 month after planting (5 years) as long as using the recommended treatment. The growth of stems of each clone at the age of 12-60 month after planting in tidal land have different growth response. However, at the age of 60 BST the highest significant girth growth was IRR 39 (48.66 cm) while the lowest was the BPM 24 (44.17 cm) clone. The average yield per tree per taping (g/t/t) from 1st to 3rd years the highest was IRR 220 (26.23 g/t/t) and the lowest was IRR 39 (15.85 g/t/t). IRR 220 is adapted to tidal swamps.Keyword: Adaptability, rubber clones, tidal swamps, growth  AbstrakLahan yang ideal untuk pertumbuhan tanaman karet semakin terbatas sehingga banyak petani dan perusahaan mencari lahan alternatif untuk pengembangan karet di daerah non-konvensional seperti lahan pasang surut. Penelitian dilakukan di Desa Bangun Harjo, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan dari tahun 2005 sampai 2014. Lokasi penelitian merupakan lahan pasang surut tipe luapan C ketinggian 10-15 meter di atas permukaan laut (dpl). Penelitian bertujuan menguji daya adaptasi enam klon karet pada lahan pasang surut. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan klon sebagai perlakuan dan diulang tiga kali. Klon yang diuji adalah IRR 39, IRR 118, IRR 220, PB 260, RRIC 100, dan BPM 24. Dalam setiap perlakuan terdapat 40 tanaman dan 15 tanaman sebagai contoh. Parameter yang diamati adalah lilit batang, tebal kulit, dan hasil lateks. Data dianalisis dengan sidik ragam, jika berbeda nyata diuji lanjut dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman karet pada lahan pasang surut dengan pemeliharaan sesuai anjuran mampu matang sadap pada umur 60 bulan setelah tanam (5 tahun). Pertumbuhan lilit batang masing-masing klon pada umur 12-60 bulan setelah tanam di lahan pasang surut memiliki respon pertumbuhan yang berbeda. Namun pada umur 60 bulan setelah tanam pertumbuhan lilit batang tertinggi adalah klon IRR 39 (48,66 cm) sedangkan yang terendah adalah klon BPM 24 (44,17 cm). Rata-rata hasil mulai TM1 sampai TM3 yang tertinggi adalah klon IRR 220 (26,23 g/ pohon/sadap) dan terendah adalah klon IRR 39 (15,85 g/pohon/sadap). Klon IRR 220 beradaptasi baik pada lahan pasang surut.Kata kunci: Adaptabilitas, hasil, klon karet, lahan pasang surut, pertumbuhan
PENGEPEREMAJAAN KARET DAN MODEL PENGEMBANGAN TUMPANGSARI KARET BERKELANJUTAN DI INDOENSIA Replanting and Sustainable Development of Participatory Rubber Intercropping Modeling in Indonesia Sahuri Sahuri; Iman Satra Nugraha
Perspektif Vol 18, No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (451.821 KB) | DOI: 10.21082/psp.v18n2.2019.87-90

Abstract

Model tumpangsari karet partisipatif berkelanjutan merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh petani agar dapat bertahan dalam kondisi harga karet rendah saat ini. Tulisan ini membahas model tumpangsari karet partisipatif, implementasi model, kendala teknis pengembangan model, inovasi teknologi dan kelembagaan model, tantangan pengembangan model, dan perspektif kebijakan pengembangan model. Model tumpangsari karet partisipatif merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan produktivitas usahatani karet rakyat melalui inisiasi dan partisipasi petani serta layak secara finansial. Model ini dapat meningkatkan pendapatan petani, produktivitas lahan dan dan produktivitas karet. Kendala teknis pengembangan model ini adalah naungan tajuk tanaman karet sehingga tidak dapat berkelanjutan dan produktivitas tanaman sela menurun. Diperlukan modifikasi jarak tanam karet melalui jarak tanam ganda sehingga dapat mengembangkan model ini dalam jangka panjang. Kendala sosial dan ekonomi dapat diatasi melalui model tumpangsari karet partisipatif dan didukung oleh kebijakan pemerintah dan kelembagaan partisipatif yang kuat. Tantangan pengembangan model ini pada skala yang lebih luas antara lain: sikap mental ketergantungan petani pada bantuan pemerintah; lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah dan nonpemerintah; dan tidak terjaminnya kontinuitas anggaran merupakan tantangan yang dapat mengganggu upaya mobilisasi partisipasi petani dan masyarakat untuk menjalankan program secara komprehensif. Selain itu, tantangan yang harus dihadapi untuk memperlancar pelaksanaan program model ini antara lain meningkatkan peran pemerintah, penyuluh, menyederhanakan birokrasi administrasi, dan mendapatkan komitmen yang kuat dari pimpinan eksekutif dan legislatif  di daerah secara menyeluruh dan konsisten yang didukung oleh lembaga penelitian, penyuluh pertanian, dan lembaga keuangan daerah. Perspektif kebijakan pemerintah diperlukan untuk mendukung dan penyangga harga karet dan tanaman ekonomis lainnya di tingkat usahatani melalui penguatan kelembagaan ekonomi seperti lembaga pengolahan hasil, penyimpanan, dan pemasaran. Diperlukan juga dukungan bimbingan teknis dan pendampingan manajemen model usahatani ini untuk mempercepat adopsi teknologi. Secara sosial diperlukan diseminasi teknologi untuk mengetahui tingkat adaptasi teknologi di tingkat petani sehingga mempermudah petani dalam melaksanakan sistem usahataninya. ABSTRACTSustainable of participatory rubber intercropping model is one strategy that can be carried out by farmers in order to survive in the current low rubber price condition. In according with this issue, participatory rubber intercropping models, model implementation, technical constraints of model development, technological innovation and institutional models, challenges to the development of models, and implications of model policies are discussed. The participatory rubber intercropping model is one of the strategies to increase the productivity of smallholder rubber farming through the initiation and participation of farmers and is financially feasible. This model can increase farmers' income, land productivity and rubber productivity. Technic obstacle the development of rubber intercropping model was rubber canopy shading so that it cannot be sustainable and rubber intercrops productivity decreases. In according needed to modify rubber spacing to extend the period of intercrops cultivation. Social and economic constraints can be overcome through a participatory rubber intercropping model and supported by strong government policies and participatory institutions. The challenges of developing this model on a broader scale include: the mental attitude of farmers' dependence on government assistance; weak coordination between government and non-government agencies; and not guaranteeing budget continuity are challenges that can disrupt efforts to mobilize farmers and community participation to carry out comprehensive programs. In addition, challenges that must be faced to expedite the implementation of this model program include increasing the role of government, extension workers, simplifying administrative bureaucracy, and obtaining strong commitments from executive and legislative leaders in the region as a whole and consistently supported by research institutions, agricultural extension workers, and regional financial institutions. The government policy perspective is needed to support and support the price of rubber and other economic crops at the farm level through strengthening economic institutions such as processing, storage and marketing institutions. There is also a need for technical guidance and management assistance for this model to accelerate technology adoption. Socially necessary technology dissemination to determine the level of technological adaptation at the farm level so that farmers make it easier to implement this systems. 
ANALISIS USAHATANI DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN GAWANGAN KARET MENGGUNAKAN CABAI RAWIT SEBAGAI TANAMAN SELA Sahuri Sahuri; M. J. Rosyid
Warta Perkaretan Vol. 34 No. 2 (2015): volume 34, Nomor 2, Tahun 2015
Publisher : Pusat Penelitian Karet - PT. Riset Perkebunan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1102.771 KB) | DOI: 10.22302/ppk.wp.v34i2.250

Abstract

Usahatani cabai rawit (Capsicum frutescens Linn.) sebagai tanaman sela karet muda berpengaruh terhadap keragaan pertumbuhan lilit batang tanaman karet, meningkatkan produktivitas lahan, dan meningkatkan pendapatan petani. Pengkajian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sembawa, Desa Sembawa, Kecamatan Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan dan pada musim hujan (MH) tahun 2013 di lahan kering dataran rendah. Tujuan pengkajian adalah untuk meningkatkan produksi cabai rawit dengan penerapan teknologi tumpang sari cabai rawit + karet, mengetahui pengaruhnya terhadap tanaman karet dan mengetahui peningkatan pendapatan petani. Hasil pengkajian menunjukkan pertumbuhan tanaman karet tidak mengalami kelambatan dan tumbuh lebih dari kondisi normal karena adanya tanaman sela cabai rawit. Produksi buah segar cabai rawit sebagai tanaman sela karet adalah 6.750 kg/ha. Usahatani cabai rawit sebagai tanaman sela karet pada saat harga rendah masih menguntungkan dengan R/C ratio 1,50 dan B/C ratio 0,50, sedangkan pada saat harga tinggi sangat  menguntungkan dengan R/C ratio 4,29 dan B/C ratio 3,29. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi pola tanam cabai sebagai tanaman sela karet secara ekonomis menguntungkan dan layak untuk dikembangkan pada areal perkebunan karet baik perkebunan karet besar maupun perkebunan karet rakyat.
Peningkatan Produktivitas Lahan dan Pendapatan Petani Melalui Tanaman Sela Pangan Berbasis Karet Sahuri Sahuri
Jurnal Lahan Suboptimal : Journal of Suboptimal Lands Vol. 6 No. 1 (2017): JLSO
Publisher : Research Center for Suboptimal Lands (PUR-PLSO), Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33230/JLSO.6.1.2017.278

Abstract

Sahuri et al, 2017. Increasing of Land Productivity and Smallholders Income through Rubber Based Food Crops Intercropping System. JLSO 6(1):33-42.The land between a row of immature rubber period has a potential to produce food crops. The objective of this research was to study the effect of rubber+food crops intercropping system on increasing the land productivity of rubber, the growth of immature rubber trees and smallholders income. The experiment was conducted at the Sembawa Research Station from September 2013 to April 2014. The experiment was carried out as using randomized block design (RBCD). The treatments were four-planting patterni.e: PT1: rubber+upland rice; PT2: rubber+sweet corn; PT3: rubber+soybean; and PT4: rubber monoculture, with three replications.The results showed that food crops as rubber intercrops significantlyeffect on increasing the land productivity of rubber andthe growth of rubber. The added value of planting food crops as rubber intercrops are the efficiency of farming cost and farmer income increase of IDR 4,318,300/planting season/ha with RC ratio 1.38. Farmers have food availability for daily needs during the second year of immature rubber period.
ASPEK TEKNIS, FISIOLOGIS, DAN EKONOMIS BERBAGAI SISTEM PENYADAPAN FREKUENSI RENDAH UNTUK MERESPON TINGGINYA BIAYA PENYADAPAN DAN KELANGKAAN PENYADAP Radite Tistama; Afdholiatus Syafaah; sahuri sahuri; jamin saputra; Iman Satra Nugraha
Jurnal Penelitian Karet JPK : Volume 39, Nomor 1, Tahun 2021
Publisher : Pusat Penelitian Karet - PT. Riset Perkebunan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22302/ppk.jpk.v39i1.776

Abstract

Agribisnis karet selama satu dekade ini kurang menguntungkan karena harga karet sangat rendah dan rendahnya produktivitas di sebagian besar perkebunan karet. Kondisi ini membutuhkan upaya efesiensi biaya produksi terutama dari biaya penyadapannya. Sistem penyadapan frekuensi rendah (PFR) diuji untuk mengatasi permasalahan biaya produksi penyadapan. Klon yang digunakan untuk pengujian ini adalah PB 260 dan RRIC 100 pada tanaman satu tahun sadap atau TM 1. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa selama 7 bulan pengamatan, klon PB 260 dan RRIC 100 dengan perlakuan PFR d4, d5, dan d7 masih di bawah produksi sistem sadap konvensional d3. Perubahan produksi PB 260 terjadi seiring penurunan frekuensi penyadapan yaitu dari sistem d3 ke PFR d4 terjadi penurunan sebesar 17%, dari d3 ke PFR d5 menurun sebesar 34%, dan dari d3 ke LFT d7 menurun sebesar 52%. PFR d4 pada RRIC 100 menghasilkan karet kering paling mendekati produksi d3 dengan selisih 456 kg/ha/tahun atau 26% lebih rendah. Konsumsi kulit pada frekuensi penyadapan d3 sesuai dengan norma, sedangkan pemakaian kulit PFR d4, d5, dan d7 masih kurang 2-3 cm per bulan di bawah norma. Diagnosis lateks menunjukkan bahwa kondisi fisiologis tanaman kedua klon yang diperlakukan dengan d4 masih dikategorikan optimum, sementara sistem sadap d5 dan d7 masih termasuk dalam kondisi under eksploitasi. Keuntungan tertinggi diperoleh pada frekuensi penyadapan d3 diikuti PFR d4, d5, dan d7. Keuntungan sistem penyadapan d3 akan tercapai apabila tersedia tenaga penyadap. Perkebunan karet yang terkendala kurangnya penyadap, PFR d4 atau d5 sebaiknya diimplementasikan.
Improved the growth and yield of rubber at mature period throught Iles-Iles (Amorphophallus muelleri Blume) intercropping Sahuri Sahuri
Agrovigor Vol 16, No 2 (2023)
Publisher : Universitas Trunojoyo Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21107/agrovigor.v16i2.10603

Abstract

Rubber plants that have produced can be improved through iles-iles farming. This study aims to determine the effect of the iles-iles rubber intercropping system on soil fertility, rubber growth, and latex yield. The study used a completely randomized block design (CRBD) with three replications. The treatment compared the rubber monoculture system with iles-iles rubber intercropping. The results showed that the cultivation of iles-iles as a rubber intercropping during the mature period of two years of observation did not inhibit the growth of rubber because it was not significantly different (P = 0.255) compared to the monoculture system but had a significant (P = 0.0013) effect on the latex yield. The BEP (Break Event Point) value of this farming system was achieved at the price of wet tubers of IDR 7.139 kg-1 with a production of 2.368 kg ha-1, while the value of the LER (Land Equivalent Ratio) in this farming system was 1.84.
TEKNOLOGI DAN ANALISIS USAHATANI KOPI SEBAGAI TANAMAN SELA DI PERKEBUNAN KARET Andrea Akbar; Hajar Asywadi; Sahuri Sahuri
Warta Perkaretan Vol. 41 No. 2 (2022): Volume 41, Nomor 2, Tahun 2022
Publisher : Pusat Penelitian Karet - PT. Riset Perkebunan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22302/ppk.wp.v41i2.910

Abstract

Pendapatan rumah tangga petani karet saat ini sedang menurun. Hal ini berdampak pada rendahnya daya beli, kemampuan menabung, pembentukan modal usaha tani, tingkat kesehatan dan pendidikan keluarga petani karet. Petani memerlukan pendapatan yang relatif stabil sepanjang siklus penanaman karet. Petani saat ini dapat menanam tanaman sela diantara tanaman karet. Tanaman kopi (Coffea canephora) dapat menjadi opsi tanaman sela diantara tanaman karet (Hevea brasiliensis). Penanaman tanaman sela perlu mempertimbangkan faktor kompetisi antar komoditi sehingga diperlukan penyesuaian jarak tanam. Jarak tanam yang digunakan adalah jarak tanam ganda (JG) 19 m + (4 m x 2 m) dengan populasi karet 435 pohon/ha. Kopi ditanam diantara jarak tanam lebar dengan jarak tanam 2 m x 2 m dan jarak antara tanaman kopi dan karet adalah 5 m. Kajian ini ditulis dengan metode studi pustaka dengan mengumpulkan data sekunder dari buku, jurnal dan penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Hasil analisis pendapatan usaha tani tumpang sari tanaman karet dan kopi menunjukkan hasil positif. Pendapatan usaha tani karet monokultur sebesar Rp9.717.159,52 per tahun per hektar, sementara rata-rata pendapatan untuk usaha tani kopi sebagai tanaman sela sebesar Rp38.814.285 per tahun per hektar dan rata-rata penerimaan usaha tani karet dan kopi sistem JG sebesar Rp48.531.444. Nilai NPV sistem karet monokultur layak pada tingkat bunga investasi 5%, masing-masing sebesar Rp5,603,746,- untuk sistem jarak tunggal (JT) dan Rp2.819.424,- untuk sistem jarak ganda (JG).