Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PENGEPEREMAJAAN KARET DAN MODEL PENGEMBANGAN TUMPANGSARI KARET BERKELANJUTAN DI INDOENSIA Replanting and Sustainable Development of Participatory Rubber Intercropping Modeling in Indonesia Sahuri Sahuri; Iman Satra Nugraha
Perspektif Vol 18, No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v18n2.2019.87-90

Abstract

Model tumpangsari karet partisipatif berkelanjutan merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh petani agar dapat bertahan dalam kondisi harga karet rendah saat ini. Tulisan ini membahas model tumpangsari karet partisipatif, implementasi model, kendala teknis pengembangan model, inovasi teknologi dan kelembagaan model, tantangan pengembangan model, dan perspektif kebijakan pengembangan model. Model tumpangsari karet partisipatif merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan produktivitas usahatani karet rakyat melalui inisiasi dan partisipasi petani serta layak secara finansial. Model ini dapat meningkatkan pendapatan petani, produktivitas lahan dan dan produktivitas karet. Kendala teknis pengembangan model ini adalah naungan tajuk tanaman karet sehingga tidak dapat berkelanjutan dan produktivitas tanaman sela menurun. Diperlukan modifikasi jarak tanam karet melalui jarak tanam ganda sehingga dapat mengembangkan model ini dalam jangka panjang. Kendala sosial dan ekonomi dapat diatasi melalui model tumpangsari karet partisipatif dan didukung oleh kebijakan pemerintah dan kelembagaan partisipatif yang kuat. Tantangan pengembangan model ini pada skala yang lebih luas antara lain: sikap mental ketergantungan petani pada bantuan pemerintah; lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah dan nonpemerintah; dan tidak terjaminnya kontinuitas anggaran merupakan tantangan yang dapat mengganggu upaya mobilisasi partisipasi petani dan masyarakat untuk menjalankan program secara komprehensif. Selain itu, tantangan yang harus dihadapi untuk memperlancar pelaksanaan program model ini antara lain meningkatkan peran pemerintah, penyuluh, menyederhanakan birokrasi administrasi, dan mendapatkan komitmen yang kuat dari pimpinan eksekutif dan legislatif  di daerah secara menyeluruh dan konsisten yang didukung oleh lembaga penelitian, penyuluh pertanian, dan lembaga keuangan daerah. Perspektif kebijakan pemerintah diperlukan untuk mendukung dan penyangga harga karet dan tanaman ekonomis lainnya di tingkat usahatani melalui penguatan kelembagaan ekonomi seperti lembaga pengolahan hasil, penyimpanan, dan pemasaran. Diperlukan juga dukungan bimbingan teknis dan pendampingan manajemen model usahatani ini untuk mempercepat adopsi teknologi. Secara sosial diperlukan diseminasi teknologi untuk mengetahui tingkat adaptasi teknologi di tingkat petani sehingga mempermudah petani dalam melaksanakan sistem usahataninya. ABSTRACTSustainable of participatory rubber intercropping model is one strategy that can be carried out by farmers in order to survive in the current low rubber price condition. In according with this issue, participatory rubber intercropping models, model implementation, technical constraints of model development, technological innovation and institutional models, challenges to the development of models, and implications of model policies are discussed. The participatory rubber intercropping model is one of the strategies to increase the productivity of smallholder rubber farming through the initiation and participation of farmers and is financially feasible. This model can increase farmers' income, land productivity and rubber productivity. Technic obstacle the development of rubber intercropping model was rubber canopy shading so that it cannot be sustainable and rubber intercrops productivity decreases. In according needed to modify rubber spacing to extend the period of intercrops cultivation. Social and economic constraints can be overcome through a participatory rubber intercropping model and supported by strong government policies and participatory institutions. The challenges of developing this model on a broader scale include: the mental attitude of farmers' dependence on government assistance; weak coordination between government and non-government agencies; and not guaranteeing budget continuity are challenges that can disrupt efforts to mobilize farmers and community participation to carry out comprehensive programs. In addition, challenges that must be faced to expedite the implementation of this model program include increasing the role of government, extension workers, simplifying administrative bureaucracy, and obtaining strong commitments from executive and legislative leaders in the region as a whole and consistently supported by research institutions, agricultural extension workers, and regional financial institutions. The government policy perspective is needed to support and support the price of rubber and other economic crops at the farm level through strengthening economic institutions such as processing, storage and marketing institutions. There is also a need for technical guidance and management assistance for this model to accelerate technology adoption. Socially necessary technology dissemination to determine the level of technological adaptation at the farm level so that farmers make it easier to implement this systems. 
ASPEK TEKNIS, FISIOLOGIS, DAN EKONOMIS BERBAGAI SISTEM PENYADAPAN FREKUENSI RENDAH UNTUK MERESPON TINGGINYA BIAYA PENYADAPAN DAN KELANGKAAN PENYADAP Radite Tistama; Afdholiatus Syafaah; sahuri sahuri; jamin saputra; Iman Satra Nugraha
Jurnal Penelitian Karet JPK : Volume 39, Nomor 1, Tahun 2021
Publisher : Pusat Penelitian Karet - PT. Riset Perkebunan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22302/ppk.jpk.v39i1.776

Abstract

Agribisnis karet selama satu dekade ini kurang menguntungkan karena harga karet sangat rendah dan rendahnya produktivitas di sebagian besar perkebunan karet. Kondisi ini membutuhkan upaya efesiensi biaya produksi terutama dari biaya penyadapannya. Sistem penyadapan frekuensi rendah (PFR) diuji untuk mengatasi permasalahan biaya produksi penyadapan. Klon yang digunakan untuk pengujian ini adalah PB 260 dan RRIC 100 pada tanaman satu tahun sadap atau TM 1. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa selama 7 bulan pengamatan, klon PB 260 dan RRIC 100 dengan perlakuan PFR d4, d5, dan d7 masih di bawah produksi sistem sadap konvensional d3. Perubahan produksi PB 260 terjadi seiring penurunan frekuensi penyadapan yaitu dari sistem d3 ke PFR d4 terjadi penurunan sebesar 17%, dari d3 ke PFR d5 menurun sebesar 34%, dan dari d3 ke LFT d7 menurun sebesar 52%. PFR d4 pada RRIC 100 menghasilkan karet kering paling mendekati produksi d3 dengan selisih 456 kg/ha/tahun atau 26% lebih rendah. Konsumsi kulit pada frekuensi penyadapan d3 sesuai dengan norma, sedangkan pemakaian kulit PFR d4, d5, dan d7 masih kurang 2-3 cm per bulan di bawah norma. Diagnosis lateks menunjukkan bahwa kondisi fisiologis tanaman kedua klon yang diperlakukan dengan d4 masih dikategorikan optimum, sementara sistem sadap d5 dan d7 masih termasuk dalam kondisi under eksploitasi. Keuntungan tertinggi diperoleh pada frekuensi penyadapan d3 diikuti PFR d4, d5, dan d7. Keuntungan sistem penyadapan d3 akan tercapai apabila tersedia tenaga penyadap. Perkebunan karet yang terkendala kurangnya penyadap, PFR d4 atau d5 sebaiknya diimplementasikan.
PENGEPEREMAJAAN KARET DAN MODEL PENGEMBANGAN TUMPANGSARI KARET BERKELANJUTAN DI INDOENSIA Replanting and Sustainable Development of Participatory Rubber Intercropping Modeling in Indonesia Sahuri Sahuri; Iman Satra Nugraha
Perspektif Vol 18, No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (451.821 KB) | DOI: 10.21082/psp.v18n2.2019.87-90

Abstract

Model tumpangsari karet partisipatif berkelanjutan merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh petani agar dapat bertahan dalam kondisi harga karet rendah saat ini. Tulisan ini membahas model tumpangsari karet partisipatif, implementasi model, kendala teknis pengembangan model, inovasi teknologi dan kelembagaan model, tantangan pengembangan model, dan perspektif kebijakan pengembangan model. Model tumpangsari karet partisipatif merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan produktivitas usahatani karet rakyat melalui inisiasi dan partisipasi petani serta layak secara finansial. Model ini dapat meningkatkan pendapatan petani, produktivitas lahan dan dan produktivitas karet. Kendala teknis pengembangan model ini adalah naungan tajuk tanaman karet sehingga tidak dapat berkelanjutan dan produktivitas tanaman sela menurun. Diperlukan modifikasi jarak tanam karet melalui jarak tanam ganda sehingga dapat mengembangkan model ini dalam jangka panjang. Kendala sosial dan ekonomi dapat diatasi melalui model tumpangsari karet partisipatif dan didukung oleh kebijakan pemerintah dan kelembagaan partisipatif yang kuat. Tantangan pengembangan model ini pada skala yang lebih luas antara lain: sikap mental ketergantungan petani pada bantuan pemerintah; lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah dan nonpemerintah; dan tidak terjaminnya kontinuitas anggaran merupakan tantangan yang dapat mengganggu upaya mobilisasi partisipasi petani dan masyarakat untuk menjalankan program secara komprehensif. Selain itu, tantangan yang harus dihadapi untuk memperlancar pelaksanaan program model ini antara lain meningkatkan peran pemerintah, penyuluh, menyederhanakan birokrasi administrasi, dan mendapatkan komitmen yang kuat dari pimpinan eksekutif dan legislatif  di daerah secara menyeluruh dan konsisten yang didukung oleh lembaga penelitian, penyuluh pertanian, dan lembaga keuangan daerah. Perspektif kebijakan pemerintah diperlukan untuk mendukung dan penyangga harga karet dan tanaman ekonomis lainnya di tingkat usahatani melalui penguatan kelembagaan ekonomi seperti lembaga pengolahan hasil, penyimpanan, dan pemasaran. Diperlukan juga dukungan bimbingan teknis dan pendampingan manajemen model usahatani ini untuk mempercepat adopsi teknologi. Secara sosial diperlukan diseminasi teknologi untuk mengetahui tingkat adaptasi teknologi di tingkat petani sehingga mempermudah petani dalam melaksanakan sistem usahataninya. ABSTRACTSustainable of participatory rubber intercropping model is one strategy that can be carried out by farmers in order to survive in the current low rubber price condition. In according with this issue, participatory rubber intercropping models, model implementation, technical constraints of model development, technological innovation and institutional models, challenges to the development of models, and implications of model policies are discussed. The participatory rubber intercropping model is one of the strategies to increase the productivity of smallholder rubber farming through the initiation and participation of farmers and is financially feasible. This model can increase farmers' income, land productivity and rubber productivity. Technic obstacle the development of rubber intercropping model was rubber canopy shading so that it cannot be sustainable and rubber intercrops productivity decreases. In according needed to modify rubber spacing to extend the period of intercrops cultivation. Social and economic constraints can be overcome through a participatory rubber intercropping model and supported by strong government policies and participatory institutions. The challenges of developing this model on a broader scale include: the mental attitude of farmers' dependence on government assistance; weak coordination between government and non-government agencies; and not guaranteeing budget continuity are challenges that can disrupt efforts to mobilize farmers and community participation to carry out comprehensive programs. In addition, challenges that must be faced to expedite the implementation of this model program include increasing the role of government, extension workers, simplifying administrative bureaucracy, and obtaining strong commitments from executive and legislative leaders in the region as a whole and consistently supported by research institutions, agricultural extension workers, and regional financial institutions. The government policy perspective is needed to support and support the price of rubber and other economic crops at the farm level through strengthening economic institutions such as processing, storage and marketing institutions. There is also a need for technical guidance and management assistance for this model to accelerate technology adoption. Socially necessary technology dissemination to determine the level of technological adaptation at the farm level so that farmers make it easier to implement this systems. 
POLA TUMPANG SARI KARET-PADI PADA TINGKAT PETANI DI LAHAN PASANG SURUT (Studi Kasus Di Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten OKI, Provinsi Sumatera Selatan) Sahuri Sahuri; Andi Nur Cahyo; Iman Satra Nugraha
Warta Perkaretan Vol. 35 No. 2 (2016): Volume 35, Nomor 2, Tahun 2016
Publisher : Pusat Penelitian Karet - PT. Riset Perkebunan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1751.603 KB) | DOI: 10.22302/ppk.wp.v35i2.94

Abstract

Usahatani padi sebagai tanaman sela karet berpengaruh terhadap pertumbuhan lilit batang karet, meningkatkan produktivitas lahan, meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan pemeliharaan tanaman karet. Pengkajian dilaksanakan di lahan pasang surut tipe luapan C Air Sugihan, Sumatera Selatan pada bulan Juni dan Oktober 2014. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan karet pola tumpangsari padi, hasil padi sebagai tanaman sela karet dan pendapatan petani pola tumpangsari karet-padi di daerah pasang surut. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pertumbuhan lilit batang karet klon PB 260 umur 3 tahun pola tumpangsari karet-padi dengan sistem bedengan 16,52% lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan lilit batang karet monokultur tanpa sistem bedengan. Produksi padi sebagai tanaman sela karet adalah 2.800 kg/ha GKG. Usahatani padi sebagai tanaman sela karet pada saat harga rendah masih menguntungkan dengan R/C ratio 1,46, sedangkan pada saat harga tinggi sangat  menguntungkan dengan R/C ratio 1,94. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani padi sebagai tanaman sela karet di daerah pasang surut secara ekonomis menguntungkan dan layak untuk dikembangkan, terutama pada areal karet rakyat. Pola tumpangsari karet-padi di daerah pasang surut sebaiknya dilakukan dengan sistem bedengan yaitu memberikan air irigasi, membuat tinggi muka air tetap agar lapisan di bawah perakaran tanaman karet dan padi dalam kondisi jenuh air sehingga mampu menekan keracunan pirit (FeS2). Selain itu, memperbaiki unsur hara serta menggunakan klon dan varietas yang adaptif untuk meningkatkan produktivitas tanaman karet dan padi.
POTENSI MODEL USAHA PEREMAJAAN KARET RAKYAT DI SUMATERA SELATAN Lina Fatayati Syarifa; Dwi Shinta Agustina; Iman Satra Nugraha; Aprizal Alamsyah
Warta Perkaretan Vol. 40 No. 2 (2021): Volume 40, Nomor 2, Tahun 2021
Publisher : Pusat Penelitian Karet - PT. Riset Perkebunan Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22302/ppk.wp.v40i2.806

Abstract

Strategi peremajaan karet rakyat ini dipandang perlu mengingat luasnya areal karet rakyat yang sudah tua/rusak, serta banyaknya areal tanaman menghasilkan (TM) yang kondisinya juga sudah tidak layak sadap. Kondisi ini menyebabkan upaya-upaya peremajaan karet rakyat harus segera dipercepat. Kajian ini dibuat untuk menganalisis strategi peremajaan karet rakyat yang arahnya lebih dititikberatkan pada upaya pemberdayaan masyarakat perkebunan secara optimal, sehingga nantinya dapat dibuat model-model usaha peremajaan yang dapat diterapkan dalam upaya mempercepat peremajaan karet rakyat. Dengan melihat potensi luasnya areal karet-karet tua dan rendahnya tingkat adopsi bahan tanam klonal, maka wilayah-wilayah yang dapat dijadikan sasaran prioritas untuk dilaksanakan program peremajaan karet di Sumatera Selatan yaitu Kabupaten Musi Rawas Utara (5.571 ha), Kabupaten Musi Rawas (4.014 ha), Kabupaten Musi Banyuasin (4.014), Ogan Komering Ilir (2.603 ha), OKU Timur (2.265 ha), Ogan Komering Ulu (1.588 ha), Banyuasin (1.893 ha), dan Muara Enim (2.308 ha). Upaya peremajaan karet dengan menerapkan teknologi maju secara swadaya sebenarnya telah dilakukan oleh sebagian petani. Namun pada pelaksanaannya masih berjalan lambat karena petani memiliki keterbatasan, antara lain: kekurangan modal, ketidaktersediaan sarana produksi seperti bibit unggul dan pupuk, serta kurangnya pengetahuan teknis. Dapat diidentifikasi potensi sumber dana internal dari petani dan dana eksternal dari pihak luar yang dapat membiayai peremajaan, antara lain: penjualan hasil tanaman intercropping, bantuan CSR migas/perusahaan swasta, kemitraan dengan perusahaan kayu karet, serta bantuan pemerintah. Dari analisis kelayakan finansial, semua pilihan skenario model usaha peremajaan karet rakyat dapat dikategorikan layak untuk diusahakan. Apabila di suatu wilayah tidak tersedia pabrik kayu karet, tanaman hasil intercropping tidak bisa dijual, dan apabila tidak terdapat perusahaan-perusahaan yang potensial mengeluarkan dana CSR untuk membiayai peremajaan karet rakyat, maka diperlukan peran pemerintah daerah yang tinggi di wilayah tersebut untuk menyediakan bantuan peremajaan bagi karet rakyat.