Wahyuddin Halim
Fakulty of Ushuluddin and Filsafat UIN Alauddin Makassar

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

ARUNG, TOPANRITA DAN ANREGURUTTA DALAM MASYARAKAT BUGIS ABAD XX Halim, Wahyuddin
Al-Ulum Vol 12, No 2 (2012): Al-Ulum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (122.763 KB)

Abstract

Artikel ini berupaya mengulas pengertian beberapa konsep kunci berkaitan dengan otoritas politik dan agama dalam masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, khususnya sejak abad ke-20, seperti arung (bangsawan), topanrita (cendekiawan) dan anregurutta (kiyai). Setelah menganalisis pergeseran makna dari konsep-konsep tersebut, artikel ini berupaya merunut relasi antara otoritas tradisional (arung) dengan sosok topanrita yang, dalam makna tradisionalnya, identik dengan konsep cendekiawan dalam masyarakat modern. Setelah menunjukkan peralihan makna dari konsep topanrita sehingga lebih merepresentasikan sosok ulama tradisional dalam masyarakat Bugis, artikel ini menyimpukan, salah satu faktor penencapaian masa keemasan kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar di masa lalu adalah karena adanya relasi yang bersifat kritis dan simbiotik antara otoritas politik (arung) dan sosial-agama (topanrita atau anregurutta) dalam kerajaan-kerajaan tersebut.-----------------------------------This article attempts to review some understanding of key concepts related to political and religious authority in the Bugis people of South Sulawesi, particularly since the 20th century, such as arung (nobility), topanrita (scholar) and anregurutta (Islamic scholar). After analyzing the shift in the meaning of these concepts, this article seeks to trace the relationship between traditional authorities (white) with topanrita figure that, in the traditional sense, synonymous with the concept of intellectuals in modern society. After pointing out the meaning of the concept of transition topanrita so much represents the traditional ulama in Bugis society, the article concluded, among other factors of golden era of kingdoms Bugis-Makassar in the past is because of the critical relationship between political authority and symbiotic (arung) and socio-religious (anregurutta or topanrita) in these kingdoms.
EKSPLORASI ATAS PRAKTIK DAN NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM KERAJAAN WAJO’ ABAD KE-15/16 DAN KOMPATIBILITASNYA DENGAN SISTEM DEMOKRASI MODERN Halim, Wahyuddin
Jurnal Masyarakat dan Budaya Vol 18, No 2 (2016)
Publisher : P2KK LIPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (632.964 KB) | DOI: 10.14203/jmb.v18i2.410

Abstract

This paper explores the practice of democratic values in political system of the traditional Bugis state or kingdom of Wajo’ in South Sulawesi during its golden era around the end of the 15th and the early 16th century. Long before similar values were established in the 18th century Europe, in Wajo’ they had been part of the state system, developing Wajo’ as unique kingdom among other Bugis-Makassar kingdoms in the southern Sulawesi. Some scholars have claimed Wajo’ as ‘democratic-aristocratic kingdom’ (Pelras, 2006), ‘aristocratic republic’ (Mattulada, 1991a), and ‘democratic kingdom’ (Abidin, 1983). Based on literature review on the traditional manuscripts (B. Lontara’), as have been transliterated and explained by some scholars of Bugis history and culture, I describe some democratic practices in Wajo’ political and moral system (pangngadereng), such as the state’s acknowledgment and respect to its people’s right for freedom, the freedom of speech, the existence of a board of the highest lords which is similar to people’s representative body in the modern political system, the king election, and the people’s equal right before the law. Keywords: Democracy, local wisdom, political system, Wajo’ kingdom, freedom Tulisan ini menggali praktik nilai-nilai demokrasi dalam sistem politik dari kerajaan Bugis tradisional Wajo’ di Sulawesi Selatan selama era kejayaannya pada sekitar akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Lama sebelum nilai-nilai yang kurang lebih sama dipraktikkan di Eropa pada abad ke-18, nilai-nilai tersebut telah menjadi sistem kerajaan di Wajo’, dan membuatnya menjadi kerajaan yang cukup unik di antara kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar lainnya di bagian selatan Pulau Sulawesi. Beberapa sarjana telah menyebut Wajo’ sebagai ‘kerajaan aristokratik demokratis’ (Pelras, 2006), ‘republik aristokratis’ (Mattulada, 1991a) dan ‘kerajaan demokratis’ (Abidin, 1983). Berdasarkan atas pembacaan cermat atas sejumlah manuskrip tradisional (Bugis: Lontara’), sebagaimana ditransliterasi dan diulas oleh beberapa pakar sejarah dan budaya Bugis, penulis mendeskripsikan beberapa praktik dasar demokrasi dalam sistem politik dan moral (pangngadereng) seperti pengakuan dan penghormatan kerajaan atas hak-hak kebebasan rakyatnya, adanya kebebasan berbicara, adanya dewan pertuanan tertinggi yang agak menyerupai dewan perwakilan rakyat di sistem demokrasi politik modern, sistem pemilihan raja dan kesamaan hak semua orang di hadapan hukum. Kata kunci: Demokrasi, Kearifan Lokal, Sistem Politik, Kerajaan Wajo’, Kebebasan